Pemikiran Fikih Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid

Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.

Ibn Rusyd adalah salah seorang sosok ilmuwan muslim abad ke-12 M yang memiliki jasa yang besar bagi peradaban Islam dan juga bagi orang-orang Barat. Karena dari terjemahan karya-karyanyalah dinamika berpikir mereka terbuka sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan era pencerahan (renasissance) sebagai manifestasi peradaban Barat yang hingga kini masih mendominasi dunia. Maka dari itu, tak heran  jika tulisan-tulisan yang berkaitan dengan peradaban Islam, khususnya dalam bidang pemikiran Islam, terasa tidak lengkap tanpa kehadiran Ibn Rusyd.
Dari segi filsafat, Ibn Rusyd dapat dikatakan telah mendapatkan haknya untuk dikaji dan diteliti. Begitu banyak tulisan, baik berupa makalah, jurnal, maupun buku-buku ilmiah yang mengangkat masalah filsafat Ibn Rusyd baik secara historis, metodologis maupun ontologis.
Tapi, sebagai ilmuwan yang juga aktif dalam bidang Fikih, Ibn Rusyd tampaknya belum mendapatkan penghargaan yang selayaknya. Riwayat hidupnya yang penuh dengan warna-warni fikih, baik sebagai pencari ilmu maupun sebagai hakim dan juga penulis buku-buku fikih berkualitas adalah tiga hal yang dapat dijadikan pintu masuk bagi para peminat studi keislaman untuk mengkaji pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd di bidang ini.[1] Sebagaimana kita ketahui, buku Bidâyatul mujtahid, karya Ibn Rusyd ini telah dikenal oleh seluruh umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia, terutama di pesantren-pesantren dari dahulu hingga sekarang. Namun, sangat disayangkan, tulisan tentang kepiawaian Ibn Rusyd dalam bidang ini hampir tidak ada.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, penulis melihat bahwa kecemerlangan Ibn Rusyd dalam bidang Fikih nampak terabaikan, suatu hal yang disebut ironi oleh Nurcholish Madjid.[2]

Ibn Rusyd dan Bidâyatul mujtahid

Ibn Rusyd adalah salah seorang ilmuwan muslim yang cukup produktif dalam menulis. Selain mengarang buku-buku filsafat, Ibn Rusyd yang juga seorang dokter ini, banyak mengarang buku-buku fikih. Di antara buku-buku fikih karangannya, sebagaimana ditulis oleh El Abidi adalah buku ad-Da’âwî, Mukhtashar al mustashfâ fil ushul, Ad dars al kâmil fi al Fikih, Risâlatun fi ad dlahaya, Al kharaj[3]
Dan buku Bidâyatul mujtahid yang judul lengkapnya adalah Bidâyatul mujtahid wa nihâyatul muqtashid adalah karya Ibn Rusyd dalam bidang Fikih yang paling terkenal sekaligus paling berkualitas jika dibandingkan dengan buku-buku Fikihnya yang lain. Buku Ibn Rusyd ini selesai ditulis oleh Ibn Rusyd pada tahun 1188 M. ketika menjabat sebagai Hakim Agung di Cordoba, atau pada saat usianya sekitar 62 tahun. Buku ini memuat pandangan dan argumentasi seluruh aliran Fikih, baik mereka yang beraliran Tekstualis maupun yang beraliran Rasionalis sejak jaman sahabat hingga abad ke-11 M.[4] Pada era kita sekarang ini, buku ini dikategorikan sebagai buku yang mengandung Ilmu Fikih Perbandingan atau Ilmu Perbandingan Mazhab.
Secara historis, tepatnya sejak akhir abad ke-11 M. Ilmu Fikih Perbandingan dikenal dengan sebutan Ilmu Khilaf, yaitu ilmu yang membahas pendapat dan atau pandangan para ulama yang berbeda dengan membandingkan dalil-dalil yang mereka gunakan dalam menetapkan suatu hukum. Dalam pengantar buku sejarahnya yang sangat terkenal “Al Muqaddimah”, Ibn Khaldun menegaskan bahwa Ilmu Khilaf (Al Khilâfiyyât) adalah ilmu yang sangat berguna untuk mengetahui pendapat para Imam beserta argumentasi-argumentasi mereka dan memudahkan orang lain yang ingin menggunakannya dalam menentukan suatu hukum[5]. Karena pentingnya ilmu ini, maka sangatlah wajar jika para ulama Islam seperti  Imam Ghazali, Imam Hanafi, Imam Syafi’,  Imam Maliki dan imam-imam yang lainnya dengan kadar yang berbeda antara yang satu dan yang lainnya  menaruh perhatian besar terhadap ilmu ini.
Dan sebagaimana para ulama Islam di atas, Ibn Rusyd pun tidak ketinggalan. Dengan metode penulisan yang cukup berbeda dari para penulis sebelumnya yang dijadikan referensi olehnya seperti kakeknya sendiri, Ibn Rusyd melihat bahwa Ilmu Khilaf berbeda dengan Fikih. Jika Fikih hanya menerangkan suatu hukum tanpa disertai dengan dalil-dalil, atau jika pun dengan dalil, itu terbatas pada satu pendapat saja, Ilmu Khilaf mendeskripsikan suatu hukum  dengan berbagai pandangan dan pendapat  yang berbeda disertai dengan argumentasi dan dalil-dalilnya.
Karena alasan inilah mengapa Ibn Rusyd mengarang buku Bidâyatul mujtahid, suatu alasan yang bertitik tolak dari pemikirannya tentang pentingnya pintu ijtihad dibuka kembali.

Seruan Ijtihad Ibn Rusyd

Sebagai sebuah karya ilmiah, buku Bidâyatul mujtahid tidak lahir begitu saja tanpa dilatarbelakangi keadaan-keadaan dan situasi yang menyertainya. Dan jika kita kembali ke sejarah menjelang kehadirannya, yaitu akhir abad ke-11 M., maka akan kita temukan bahwa dunia Islam pada waktu itu berada dalam kondisi yang sangat buruk di mana konflik politik melanda seluruh wilayah Islam. Pada masa kemunduran Islam yang sejatinya telah dimulai sejak akhir pemerintahan Bani Umayah dan disebut sebagai masa disintegrasi oleh Harun Nasution ini, daerah-daerah yang berada jauh dari pusat pemerintahan di Damaskus dan kemudian di Baghdad melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah yang mengakibatkan timbulnya dinasti-dinasti kecil.[6]
Tentunya, kondisi politik yang tidak kondusif ini sangat berpengaruh pada bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial dan budaya serta keilmuan. Dalam bidang yang terakhir ini, mereka tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan produktif sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Secara khusus di bidang Fikih, para ulama Islam tidak lagi menghasilkan karya-karya ilmiahnya dan merasa cukup dengan yang telah ada sebelumnya. Yang dilakukan mereka tidak lebih dari sekadar meringkas atau membuat penjelasan-penjelasan dari karya-karya pendahululnya Dalam kondisi yang demikian, umat Islam dilanda penyakit yang disebut dengan taqlîd, yaitu mengikuti pendapat seseorang tanpa disertai dengan ilmu, alasan, argumentasi atau dalil apa pun.[7] 
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, secara lebih detail, Dr. Hammadi el Abidi[8] menulis empat fenomena hilangnya spirit ijtihad di kalangan ahli fikih ini. Keempat fenomena tersebut adalah:

1. Peringkasan.

Pada satu sisi, peringkasan merupakan suatu karya ilmiah yang tentunya memiliki nilai positifnya sendiri. Tapi di sisi lain, karena ini adalah fikih, maka suatu peringkasan terhadap fikih akan menghilangkan substansi fikih itu sendiri. Menurut El Abidi, peringkasan adalah suatu penyakit karena kebosanan dan kepenatan jiwa.[9]

2. Perhatian lebih kepada cabang dibanding ke fundamen.

Pada saat merebaknya karya-karya peringkasan, ditemukan kesulitan memahami isinya, lahirlah karya-karya berupa penjelasan-penjelasan terhadap peringkasan tersebut yang pada akhirnya perhatian ditujukan hanya kepada masalah-masalah yang itu-itu saja dan tidak menyentuh permasalahan baru yang lebih sesuai dengan kondisi jaman.

3. Debat kusir.

Para ahli fikih sangat intens dalam beradu argumentasi dan dalil-dalil dalam mengutarakan pendapat dan pandangan mereka dalam suatu hukum.. Namun, adu argumentasi tersebut tak lebih dari sekadar debat yang tujuannya bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk memenangkan pertarungan dan mempertahankan pendapat mereka masing-masing.

4. Asumsi-asumsi Fikih yang tidak logis.

Para ahli fikih banyak mengeluarkan asumsi-asumsi yang mustahil dan mengatakan bahwa inilah ilmu. Contoh asumsi yang mereka ajukan adalah bagaimana jika manusia berubah menjadi hewan, apakah ia tetap terbebani oleh kewajiban atau tidak lagi terbebani? Kemudian, bagaimana jika manusia ingin menikah dengan jin apakah diberlakukan syarat-syarat nikah yang biasa berlaku pada pernikahan antara manusia dengan manusia lainnya?[10]
Di samping keempat fenomena di atas, El Abidi juga menambahkan, bahwa hilangnya spirit ijtihad diperparah oleh kondisi para pengikut mazhab fikihnya yang terlalu mengagungkan para Imamnya. Inilah yang disebut dengan fanatisme mazhab. Sebagai contoh, sebagaimana ditulis El Abidi, adalah Abulmazhfar As Sam’ani yang pindah dari mazhab Syafi’i ke mazhab Hanafi, kemudian kembali lagi ke mazhab sebelumnya. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal demikian, ia menjawab bahwa pada suatu malam ia bermimpi bertemu Tuhannya dan mengatakan: “Kembalilah kepada Kami wahai Abulmazhfar”.
Selain itu, Sebagian para pengikut mazhab Hanafi menyatakan bahwa nabi Isa ketika hadir kembali ke dunia pada akhir jaman nanti akan mengikuti mazhab Hanafi.[11]
Kondisi demikianlah yang dialami oleh Ibn Rusyd, suatu kondisi yang membawanya menjadi salah seorang ilmuwan muslim yang mewajibkan dibukanya kembali pintu ijtihad sebagaimana yang ditulisnya dalam Bidâyatul mujtahid: “Kami tulis buku ini, tidak lain adalah agar para ahli fikih mencapai derajat mujtahid”.[12]  Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengeluarkan segala kemampuan yang ada untuk menggali nilai-nilai Islam dan menerapkannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Derajat mujtahid sendiri tidak akan dapat diperoleh seseorang hanya  dengan menghapal hukum-hukum dari berbagai permasalahan saja tanpa dibarengi dengan kapasitas yang cukup di bidang Ushul fikih, bahasa Arab, dan Filologi, meskipun ia memiliki kualitas hapalan yang sangat tinggi.
Dalam hal pemahaman terhadap Islam yang sering dipersempit oleh sebagian umat Islam dengan fikih, Ibn Rusyd sangat menentang taqlid dan fanatisme mazhab, suatu pandangan yang juga disuarakan oleh para reformer dan pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh di Mesir dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia dengan tujuan memberikan penyadaran dan demi kemajuan bagi umat Islam yang seakan larut dalam pandangan keislamannya yang  sempit.
Dengan demikian, Ibn Rusyd melalui Bidâyatul mujtahid-nya sangat memperhatikan masalah-masalah keislaman dan peduli dengan umat Islam. Karena kepeduliannya tersebut, ia menyerukan dibukanya kembali pintu ijtihad yang sebelumnya ditutup dengan harapan dapat membuka pikiran umat Islam bahwa para Imam Mazhab bukanlah Nabi atau pun Rasul yang diutus oleh Allah Swt yang tidak mungkin melakukan suatu kesalahan. Mereka adalah manusia biasa sehingga kita bisa saja berbeda pendapat dengan mereka.

Syariat Islam dan Kemaslahatan dalam Pandangan Ibn Rusyd

            Siapa pun yang melakukan pengkajian dan penelitian terhadap syariat Islam (fikih), akan mendapatkan bahwa syariat Islam memiliki tujuan moral dan sosial yang sangat tinggi. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari realita ini, bahkan oleh orang yang berusaha mengingkarinya.
Pernyataan yang bukan hanya isapan jempol belaka ini juga dianut oleh Ibn Rusyd dalam Bidâyatul mujtahid. Dan pandangan-pandangan Ibn Rusyd dalam hal hubungan antara syariat Islam dan kemaslahatan ini terkait dengan suatu ilmu yang disebut dengan Ilmu al maqâshid atau Maqâshidus syarî’ah, yaitu suatu ilmu yang didasari oleh suatu prinsip bahwa segala perbuatan dan atau hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt pasti memiliki arti dan hikmah  serta tujuannya sendiri yang tidak mungkin sia-sia. Arti dan hikmah inilah yang disebut dengan kemaslahatan.[13]
Dalam Al Quran banyak disebutkan secara eksplisit bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah Swt tidak luput dari kemaslahatan sebagai tujuannya, seperti pada ayat tentang wudlu. Allah Swt berfirman:
 (ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم)[14]
            Dalam ayat di atas Allah Swt menegaskan bahwa perintah wudlu bukan untuk menyulitkan manusia tapi untuk kemaslahatan dirinya yaitu berupa kesucian diri dan kesempurnaan nikmat dari Allah Swt.
            Kemudian ayat tentang shalat. Allah Swt berfirman:
(إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر)[15]
            Dalam ayat ini Allah Swt menandaskan bahwa perintah shalat ditetapkan untuk kemaslahatan manusia yaitu agar dirinya terjaga dari segala tindak kejahatan yang mungkin dilakukannya.
Begitu pula dengan ayat tentang qishas. Allah Swt.
(ولكم في القصاص حياة)[16]
Allah Swt adalah pencipta manusia yang tentunya Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Ia menetapkan hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, yaitu berupa kehidupan di mana ketika seseorang yang membunuh diberi hukuman mati, akan berdampak besar bagi orang lain sehingga tindak pidana pembunuhan yang sangat merugikan manusia dapat ditekan seminimal mungkin.
Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat di atas, As Syathibi dengan tegas mengatakan bahwa hal ini (adanya kemaslahatan manusia di dalam hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt berlaku bagi semua hukum-hukum-Nya yang lain meskipun tidak secara eksplisit diungkapkan di dalam Al- Quran.[17]
            Para ulama Fikih yang menulis tentang maqâshidussyari’ah atau ilmu al maqâshid membagi tujuan syariat baik dalam peribadatan, hubungan antar manusia, maupun adat istiadat menjadi tiga, Pertama: untuk kepentingan yang mendesak (primer). Tujuan ini mencakup lima hal yaitu untuk memelihara agama, memelihara akal, memelihara jiwa, memelihara harta dan memelihara keturunan. Tujuan ini menjadi suatu hal yang sangat mendesak karena tanpa kelima hal tersebut, kehidupan manusia di dunia dan akhirat akan rusak. Kedua: untuk kepentingan sekunder. Contohnya adalah makan, minum, melakukan akad persewaan, jual beli, dan lain-lain. Meskipun tujuan ini sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya, namun derajatnya masih di bawah tujuan primer karena pada saat kebutuhan ini tidak terpenuhi, kerusakan yang diakibatkannya tidak separah kerusakan yang ditimbulkan pada saat kebutuhan yang pertama tidak terpenuhi. Yang ketiga: untuk kepentingan tersier, yaitu segala hal yang berkaitan dengan adat istiadat dan etika yang baik, seperti selalu menjaga kebersihan, menjaga kerapihan dalam berpakaian, menjalankan amalan-amalan sunnah, menjalankan etika kesopanan dalam makan dan lain sebagainya.[18]
            Pada dasarnya Ibn Rusyd tidak berbeda dengan para ulama fikih sebelumnya dalam hal hubungan antara syariat dengan kemaslahatan. Yang membedakan antara Ibn Rusyd dan yang lainnya adalah penekanannya saja. Jika para ahli fikih menekankan sisi kemaslahatan dan kepentingan, Ibn Rusyd menekankan pandangannya pada sisi moral. Ia berpendapat bahwa syariat itu lahir untuk memperbaiki akhlak manusia. Dalam hal ini El Abidi menyatakan bahwa Ibn Rusyd adalah satu-satunya ahli fikih yang membangun  tujuan syariat di atas fondasi moral (akhlak).[19]
            Berikut ini penulis uraikan contoh pemikiran Ibn Rusyd tentang hubungan antara syariat dan kemaslahatan yang dibangunnya di atas fondasi akhlak dalam Bidâyatul mujtahid:

1. Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan seseorang kepada orang lain.

            Apakah hukum mengambil kembali hadiah yang telah kita berikan kepada oranglain? Sebagian ahli Fikih mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja dan sebagian yang lainnya mengatakan tidak boleh. Dalam hal ini, Imam Maliki mengatakan bahwa hal itu tidak boleh kecuali yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Itu pun dengan syarat barang yang dihadiahkan tidak berpindah tangan, misalnya dengan adanya pernikahan dan lain-lain. Sedangkan Ibn Rusyd menyatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan karena alasan akhlak. Ia mengatakan: “Mengambil kembali hadiah yang telah diberikan kepada orang lain bukanlah akhlak yang terpuji, padahal nabi Muhammad Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak.[20]

2. Masalah anak yang dilahirkan oleh seorang hamba sahaya.

            Dalam masalah anak yang dilahirkan oleh seorang hamba sahaya, para ahli Fikih sependapat tentang hukumnya bahwa anak itu adalah anak wanita tersebut jika ia dinikahi oleh tuannya dalam keadaan belum hamil darinya di mana setelah kematiannya ibu tersebut menjadi bebas (bukan hamba sahaya lagi). Tapi jika ia dinikahi oleh tuannya pada saat ia hamil, para ahli Fikih berbeda pendapat. Imam Malik mengatakan bahwa ia bukanlah anaknya sehingga ia tetaplah hamba sahaya meskipun tuannya telah meninggal. Yang lain mengatakan bahwa ia adalah anaknya secara mutlak.
            Ibn Rusyd dalam masalah ini menolak pendapat Imam Malik. Ia mengatakan bahwa ia adalah anak wanita tersebut dalam kondisi apa pun dan bukanlah suatu akhlak yang terpuji seandainya tuannya menjual wanita tersebut padahal Rasulullah Saw bersabda bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak.[21]

Penutup

            Demikianlah deskripsi pemikiran Ibn Rusyd dalam bidang Fikih yang memiliki perbedaan dengan kebanyakan para ulama pada jamannya. Namun satu hal yang kiranya perlu ditekankan di sini yaitu bahwa yang dilakukan oleh Ibn Rusyd adalah suatu ijtihad yang memiliki kemungkinan benar dan salah sekaligus sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama Fikih lainnya. Dan yang namanya ijtihad-sebagaimana kita ketahui- jika benar akan mendapatkan pahala dua kali dan jika salah akan mendapatkan pahala satu kali.
Adalah suatu hal yang sangat manusia jika terjadi perbedaan pendapat di antara manusia karena dalam posisi itulah manusia diciptakan. Maka dari itu, perbedaan bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan. Yang jadi permasalahan adalah bagaimana menyikapi perbedaan itu. Jika Islam mengajarkan umatnya untuk bertoleransi terhadap pemeluk agama lain, maka toleransi intern umat Islam yang lebih dikenal dengan istilah ukhuwah Islamiyah itu lebih dianjurkan lagi.
Oleh karena itu, sangat disayangkan sekali kejadian yang menimpa Ibn Rusyd ketika buku-bukunya tentang filsafat dibakar, jabatannya sebagai Hakim Agung dicopot, bahkan dicap sebagai kafir oleh Khalifah Ya’qub Ibn Yusuf pada tahun 1195 M. hanya karena pemikiran-pemikiran filsafatnya yang berbeda dengan mayoritas umat Islam waktu itu.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari sejarah.


Catatan Akhir

[1] Ibn Rusyd lahir di Cordova pada 520 H./1125 M. Ia lahir dari keluarga yang sangat relijius dan memiliki aktivitas keilmuan yang tinggi. Kakeknya adalah seorang Hakim di Cordova dan seorang penulis berpengaruh di Spanyol, begitu juga ayahnya.
[2] Nurkholish,Madjid Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 93.
[3] El Abidi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm as syarî’ah, hal: 32
[4] Dari kalangan Sahabat, Ibn Rusyd banyak menguraikan pendapat Ali, Umar, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Ibn Umar dan Aisyah. Dari kalangan Tabi’in dan Tabi’ittabi’in, ia banyak mendeskripsikan pandangan Ikrimah, Nafi’, Sa’id ibn al Musayyab, Ibn Syihâb az zuhrî, Ibrahim an nakh’i, Hammad ibn abî sulaimân, Mujâhid, Thâwus dll. Dari kalangan Imam Mazhab, selain Imam mazhab yang empat, ia banyak mengulas pandangan Imam Abi Lailâ, Sufyan ats tsauri, Laits ibn sa’d, Auzâ’i, Sufyan ibn Uyainah, Hasan al bashri, Ibn Jarîr at Thabarî, Daud azh zhâhir dll.
[5]Abdurrahman ibn khaldûn, AlmMuqaddimah, h. 251.
[6]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid I, Jakarta, UI Press, 1985 h. 75.
[7] Muhammad bin Ali As Syaukani, Al qaul al muîid îi adillat all ijtihâd wa at taqlîd, hal: 101.
[8] Ia adalah salah seorang Dosen pada mata kuliah Ilmu Perbandingan Mazhab di Universitas Zaitunah, Tunis-Tunisia.
[9] EL Abidi, Hammadi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm assyarî’ah, Beirut, Darul fikr al ‘arabî, Cet. ke 1, 1991,  h.  158.
[10] EL Abidi, Hammadi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm assyarî’ah h. 160.
[11] EL Abidi, Hammadi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm assyarî’ah h. 160.
[12] Ibn Rusyd, Bidâyatul mujtahid, Darul fikr, Beirut, 2005, jilid 2 h. 157.
[13]  Berkenaan dengan ilmu al maqâshid  ini - sebagaimana diuraikan oleh El Abidi-, ilmuwan muslim yang pertama menaruh perhatian terhadapnya - adalah Ibrahim an nakh’i (w:96 H) dari kalangan Tabi’in dan Syekh Hammad ibn Abi Sulaiman, salah seorang guru Abu Hanifah. Kemudian Al ‘Izz ibn Abdissalam yang mengarang buku al Qawâ’id . Setelah itu muncul Najmuddin At Thufi yang mengarang buku berjudul al mashâlih al mursalah. Setelah At Thufi, datang Abu Ishaq As Syatibi pada abad ke-8 H., seorang keturunan Granada, Spanyol. Yang terakhir ini adalah ilmuwan Muslim yang pertama kali mengkhususkan pembahasan tentang al maqâshid dalam bukunya yang berjudul al Muwâfaqât.
[14] QS Al Mâidah [5]: 6.
[15]  QS Al-‘Ankabut [29]: 45.
[16]  QS Al Baqarah [2]:179.
[17] As Syathibi, Abu Ishaq, Al Muwafaqat, jilid 2,Beirut, Darul ma’rifah, t.t. hal: 7.
[18] Lihat penjelasan yang lebih detail tentang tiga tujuan syariat ini dalam buku Al Muwâfaqât karya Imam Abu Ishaq As Syathibi,  jilid 2 hal: 8-12.
[19] El Abidi, Ibn Rusyd Wa ‘ulûm a-ssyarî’ah, h. 107.
[20] Ibn Rusyd, Bidâyatul mujtahid, jilid 2  h. 271.
[21] Ibn Rusyd, Bidâyatul mujtahid, jilid 2  h. 321.

Peradaban Islam Masa Bani Abbasiyah




Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.
Dalam sejarah peradaban Islam, masa kekhilafahan bani Abbasiyah adalah masa keemasan Islam di mana setiap unsur-unsur yang menjadi bangunan peradaban Islam telah mencapai puncaknya.

A. Politik, Sosial dan pemerintahan Islam

1. Pola Pemerintahan Bani Abbasiyah

Kekhilafahan bani Abbasiyah didirikan oleh Abul ‘Abbas pada tahun 750 M. Tapi, menurut Harun Nasution, pembina sebenarnya adalah Al Mansur (754-775M.) yang memindahkan ibukota pemerintahannya dari Damaskus ke Baghdad pada 762 M.1
Kekuasaan bani Abbasiyah berlangsung sekitar 524 tahun dari 750 -1258 M. Dalam rentang waktu yang sangat panjang ini kekhilafahan bani Abbsiyah mengalami lima periode dilihat dari pola pemerintahan dan politik yang diterapkan oleh para khalifahnya. Kelima periode ini adalah sebagai berikut:
    1. Periode Persia I, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Persia.
    2. Periode Turki II, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Turki.
    3. Periode Persia II, di mana orang-orang Persia kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang sejatinya dikuasai oleh bani Buwaih.
    4. Periode Turki II, di mana orang-orang Turki kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang dikuasai oleh bani Seljuk.
    5. Periode Tanpa Pengaruh selain arab. Periode ini hanya efektif di Baghdad hingga masa kehancuran peradaban Islam.2
Pada periode Persia pertama yang berlangsung dari 750-847 M ini pengaruh kerajaan Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah nampak pada corak pemerintahannya yang otokratis dan gaya pemerintahannya yang seakan mewakili Allah di bumi di mana khalifah diterjemahkan bukan khalifah Rasulillah tapi khalifah Allah. Maka dari itu pada masa ini terdapat gelar-gelar baru yang pada masa bani Umayah belum ada dengan memakai kosakata « Allah ». seperti Al Hakim bi amrillah dan Al Hafizh lidinillah. Menurut Abdul Mun’im Majid, tujuan pemakaian gelar ini adalah untuk menopang kekuasaan mereka.3
Selain itu, pengaruh Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah dapat dilihat diangkatnya pejabat pemerintahan dari orang-orang Persia. Harun Nasution menyebutkan bahwa Pengawal Al Mansur dan Wazir, jabatan pemerintahan baru yang membawahi depertemen-departemen dalam pemerintahan bani Abbasiyah adalah orang-orang Persia.4
Sebagai konsekuensi dari sikap condong kepada keturunan Persia, pemerintahan bani Abbasiyah berada dalam kondisi sulit di mana terjadi kemarahan orang-orang Arab, baik dari kalangan bani Umayah sendiri maupun dari kalangan bani Abbas sendiri terhadap pemerintahan dengan terjadinya pergerakan protes yang dilancarkan oleh Abdullah bin Ali, saudara khalifah Al Manshur sendiri. Selain itu, kemarahan juga timbul dari orang-orang Persia sendiri yang merasa berada di atas angin dan mendapatkan kesempatan baik untuk membangkitkan kembali keturunan Ali dengan gerakan perlawanannya yang dipimpin oleh Abu Muslim Al Khurasani. A. Hasjmi menulis, bahwa pada akhirnya gelombang kemarahan tersebut dapat ditangani oleh khalifah Al Manshur.5
Pada periode kedua, pemerintahan bani Abbasiyah, secara politis didominasi oleh bangsa Turki selama kurang lebih satu abad dari 847-945 M.
Pada periode ketiga, kekuasaan politik kembali didominasi oleh bangsa Persia selama 110 tahun hingga 1055 M. dan pada periode keempat kembali bangsa Turki yang menguasai politik di pemerintahan bani Abbasiyah selama kurang lebih satu setengah abad hingga 1194 M.
Sedangkan periode kelima sebagai periode terakhir masa pemerintahan bani Abbasiyah, pemerintahan mulai rapuh dan hanya efektif di sekitar kota Baghdad hingga akhirnya hancur pada 1258 M.

2. Gerakan-gerakan Politik Keagamaan

Setelah mengatasi permasalahan kemarahan sebagian rakyat yang tidak mendukung sikap pemerintahan yang condong ke keturunan Persia, pemerintahan bani Abbasiyah dihadapkan pada permasalahan baru, yaitu timbulnya gerakan-gerakan keagamaan bertendensi politik selain gerakan-gerakan yang telah ada sejak jaman pemerintahan bani Umayah. Gerakan-gerakan ini adalah :
    1. Ar Rawandiyah, yaitu gerakan yang berasal dari keturunan Persia yang telah masuk Islam. A. Hasjmi mengatakan bahwa gerakan mereka bertujuan untuk memasukkan unsur-unsur agama mereka (Zoroaster, Manuwiyah, Mazdakiyah, Sabaiyah) ke dalam Islam untuk menghancurkan Islam.6 Gerakan ini berhasil ditumpas oleh khalifah Al Manshur.
    2. Al Muqannaiyah, yaitu gerakan yang timbul pada masa pemerintahan Al Mahdi dengan ajarannya bahwa Tuhan menjelma ke dalam diri manusia yang dimulai dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, Ali bin Abi Thalib, puter-putera Ali, Abu Muslim Al Khurasani hingga ke diri Al Muqanna. Gerakan ini ditumpas pada jaman Al Makmun yang mengirim pasukannya yang berjumlah 70000 orang.
    3. Al Khuramiyah, yaitu gerakan keagamaan dengan ajaran reinkarnasi yang bertujuan untuk menghancurkan pemerintahan Abbasiyah dan memindahkan kekhilafahan ke Persia. Gerakan ini ditumpas oleh khalifah Al Mu’tashim.
    4. Az Zanadiqah, yaitu gerakan zindiq yang keluar dari ajaran-ajaran Islam yang dibangun oleh kaum mawali dari keturunan Persia. Gerakan ini memiliki sejarah yang panjang di mana para khalifah Abbasiyah hampir terus berhadapan dengan gerakan ini sepanjang pemerintahannya.
    5. Ahlussunnah, yaitu gerakan keagamaan yang lahir sebagai reaksi atas pemikiran-pemikiran Mu’tazilah yang dalam perkembangannya mendukung pemerintah bani Abbasiyah.
    6. Partai-partai pendukung Ali, yaitu gerakan-gerakan politik para pendukung Ali yang ikut membangun pemerintahan bani Abbasiyah dan bermaksud merebut kekuasaan dari tangan para pemimpin dari bani Abbas. Karena tujuan ini, mereka pun melakukan berbagai aksi kekerasan berupa pemberontakan-pemberontakan di berbagai kota. A. Hasjmi menulis bahwa mereka berkali-kali mempergunakan kekerasan bersenjata seperti pemberontakan Muhammad bin Abdullah di Hijaz, pemberontakan Ibrahim bin Abdullah di Irak, pemberontakan Husin bin Ali di Madinah dan pemberontakan Yahya bin Abdullah dan saudaranya Idris bin Abdullah di Maroko.7

3. Wizarah, Kitabah dan Diwan

Pada jaman pemerintahan bani Abbasiyah terdapat dua macam Wizaarat, yaitu Wizaratut Tanfiz di mana Wazir bekerja atas nama khalifah dan Wizaratu Tafwidl di mana Wazir berwenang penuh dalam pemerintahan. Jabatan ini, sebagaimana ditulis oleh Badri Yatim belum ada pada masa bani Umayah sebagai salah satu perbedaan antara peradaban Islam masa bani Umayah dan masa bani Abbasiyah.8
Untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan, dibentuk sekretariat negara yang disebut Diwanul Kitabah yang dipimpin oleh Sekretaris Negara dibantu oleh beberapa sekretaris. A. Hasjmi menulis ada lima sekretaris yang bekerja di bawah kendalai Sekretaris Negara yaitu Sekretaris bidang keuangan, sekretaris bidang persuratan, sekretaris bidang militer, sekretaris bidang kepolisian dan sekretaris bidang kehakiman.9
Sedangkan Wazir, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para menteri yang membawahi departemen. Di antara departemen-departemen ini adalah departemen keuangan, departemen kehakiman, departemen Pengawasan urusan negara, depertemen kemiliteran, departemen tenaga kerja, departemen perhubungan, departemen pengawasan keuangan, departemen urusan arsip, departemen pembelaan rakyat tertindas, departemen keamanan dan kepolisian, departeman sosial, departemen urusan keluarga dan wanita dan departemen pekerjaan umum.

4. Tentara

Tidak berbeda dengan pada masa bani Umayah, pada masa bani Abbasiyah tentara berada di bawah Diwanul Jundi yang terdiri dari dua angkatan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut. Namun pada masa bani Abbasiyah, pengaturan ketentaraan ini sudah lebih sempurna di mana kedua angkatan di atas terbagi atas empat bagian, yaitu Arif, yaitu komandan regu yang membawahi 10 orang prajurit, Naqib, komandan kompi yang membawahi 10 Arif (100 prajurit), Qaid, komandan batalion yang membawahi 10 Naqib (1000 prajurit) dan Amir, panglima divisi yang membawahi 10 Qaid (10.000 prajurit).
Dalam banyak kesempatan, khalifah bani Abbasiyah, sebagaimana ditulis A. Hasjmi, menyerahkan pimpinan negara kepada panglima besar, terutama dalam keadaan darurat. Panglima besar yang diserahi pimpinan oleh Khalifah ini dikenal dengan sebutan Amirul Umara.10

5. Peradilan

Jika pada masa Khulafaurrasyidin dilanjutkan dengan masa bani Umayah peradilan pada masa bani Abbasiyah telah banyak dipengaruhi oleh politik. Selain itu perkembangan yang terjadi pada masa bani Abbasiyah ini nampak dari diadakannya jabatan baru yaitu Jaksa Penuntut Umum dan dibentuknya Diwan Qadli al Qudlat atau Mahkamah Agung. Organisasi peradilan pun berubah menjadi sebagai berikut:
  1. Mahkamah Agung yang membawahi semua badan-badan pengadilan
  2. Pengadilan Tinggi Provinsi
  3. Pengadilan Negeri/Kota
  4. Kejaksaan.11

6. Warga Negara Keturunan

Sebenarnya warga negara keturunan telah ada sejak masa bani Umayah karena luasnya kekhilafahan yang terdiri dari berbagai bangsa dan etnik yang berbeda, seperti unsur Barbar di Afrika Utara, unsur Qibti di Mesir, Unsur Kurdi di Irak, unsur Persia di Iran dan lain-lain.
Namun pada masa bani Abbasiyah, perkawinan campuran antara pria Arab dan wanita non Arab nampak sangat menonjol di mana bukan masyarakat umum saja yang melakukan tetapi juga para khalifah, pejabat pemerintahan, panglima tentara, gubernur dan pembesar-pembesar lainnya. A. Hasjmi mengatakan bahwa para khalifah yang berasal dari golongan taulid (warga negara keturunan) ini banyak di antaranya adalah Harun Ar Rasyid, Makmun dan Al Mu’tashim.12

7. Disintegrasi Politik

Secara politis, kekuasaan politik bani Abbasiyah mengalami masa keemasannya hanya pada periode pertama sebelum berpindahnya dominasi kekuasaan politik ke tangan bangsa Turki pada periode kedua. Pada periode ini dan seterusnya, kekhilafahan bani Abbasiyah lebih didominasi oleh disintegrasi yang terwujud dalam bentuk pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat dan perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
Dalam hal pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat, penulis melihat adanya dua alternatif, yang pertama adalah keinginan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan bani Abbasiyah untuk lebih berkuasa dan yang kedua karena para khalifah bani Abbasiyah lebih mementingkan pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban dibandingkan dengan kekuasaan politik. Para khalifah ini nampak merasa cukup dengan upeti-upeti yang diberikan daerah-daerah provinsi sebagai lambang kepatuhan kepada pemerintah pusat. Satu hal yang pasti, pemerintahan bani Abbasiyah sejak diangkatnya orang-orang Turki untuk menduduki jabatan sebagai tentara profesional, memudar yang diikuti oleh kemerdekaan daerah-daerah provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad.
Berkenaan dengan pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat ini, Badri Yatim menyebutkan lebih dari 20 dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari pemerintahan bani Abbasiyah sejak 820 M. hingga keruntuhannya pada 1258 M., baik dari latar belakang kebangsaan seperti bangsa Arab, Persia, Turki dan Kurdi maupun dari latar belakang paham keagamaan seperti Syi’ah dan Sunni.13
Sedangkan dalam hal perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, telah terjadi sejak pemerintahan bani Abbasiyah ini berdiri. Pada periode kedua, kekuasaan pemerintahan berhasil direbut oleh orang-orang Turki. Pada periode ketiga, pemerintahan pusat bani Abbasiyah berpindah ke tangan bani Buwaih yang berasal dari keluarga miskin di Dailam setelah ketiga orang putra Abu Syuja’ Buwaih, Ali Hasan dan Ahmad memasuki kancah kemiliteran yang dimulai dengan memasuki dinas militer.14
Pada periode keempat kekuasaan pemerintah pusat dipegang oleh Bani Seljuk setelah kekuasaan bani Buwaih yang berjalan sekitar satu abad menurun yang terutama disebabkan oleh perebutan kekuasaan yang terjadi di antara keturunan bani Buwaih. Dinasti Seljuk sendiri adalah gabungan antara kabilah-kabilah kecil dari suku Ghuz di Turkistan yang pada abad kedua, ketiga dan keempat hijriah pergi ke Transoxiana dan Khurasan dan dipersatukan oleh Seljuk bin Tuqaq. Kekuasaan bani Seljuk ini berusia hampir satu setengah abad dengan wilayah kekuasaan yang sangat besar, terutama pada masa Malik Syah (1072-1092M.) yang meliputi Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan ahwaz, Seljuk Kirman, Sejuk Irak, Seljuk Syiria dan Seljuk Rum.15
Pada periode kelima, kekuasaan bani Abbasiyah berada dalam genggaman Khawarizm Syah yang merupakan periode terakhir dari peradaban Islam masa bani Abbasiyah. Kekuasaan yang hanya berusia 64 tahun di bawah kepemimpinan khalifah Al Mu’tashim ini akhirnya dihancurkan oleh serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada 1258 M.

B. Ekonomi Islam

Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, kegiatan perekonomian bertambah maju seiring dengan perkembangan jaman sehingga kekayaan negara bertambah banyak, meskipun pada umumnya tidak berbeda dengan kegiatan perekonomian yang dilakukan bani Umayah. Badri Yatim menulis bahwa pada masa Al Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.16
Kemudian di sektor industri di mana banyak berdiri kota-kota industri, seperti Bashrah yang terkenal dengan industri sabun dan gelasnya, Kufah dengan industri suteranya, Mesir dengan industri tekstilnya, Andalusia dengan industri kapal, kulit dan senjatanya dan Baghdad tentunya sebagai ibukota dengan berbagai industri yang digelutinya. Berkenaan dengan industri di Baghdad ini, A. Hsjmi menulis, bahwa Baghdad mempunyai 400 buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000 kilang keramik.17
Selain sektor pertanian dan industri di atas, masa pemerintahan bani Abbasiyah juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam bidang perdagangan. Pada masa ini usaha-usaha untuk memajukan perdagangan dilakukan dengan membangun sumur-sumur dan tempat peristirahatan para pedagang, membangun armada-armada dagang dan membangun armada-armada lalut untuk melindungi para pedagang dari ancaman serangan bajak laut. A. Hasjmi mengatakan bahwa Baghdad merupakan Kota Perdagangan terbesar di dunia pada waktu itu yang dilanjutkan dengan Damaskus sebagai kota keduanya di samping kota-kota perdagangan lainnya di dunia Islam seperti Bashrah, Kufah, Madinah, Kairo, Kairawan, dan kota-kota di tanah Persia.18
Kemajuan ekonomi yang sangat signifikan ini diawali oleh khalifah Al Manshur yang piawai dalam bidang ekonomi dengan meletakkan fondasi-fondasinya dengan kuat selama 22 tahun yang dilanjutkan dengan khalifah-khalifah lainnya, terutama Harun Ar Rasyid. Sepeninggal Al Manshur,--sebagaimana ditulis oleh A. Hasjmi—kas negara masih tersisa sebanyak 810.000 dirham dan ketika khalifah Harun Ar Rasyid meninggal, ia meninggalkan kekayaan negara kurang lebih 900.000.000 dirham.19
Perbedaan-perbedaan dalam bidang ekonomi yang ada antara masa bani Umayah dan bani Abbasiyah ini di antaranya adalah pada penerapan konsep kepemilikan atas tanah di mana pada jaman bani Abbasiyah, konsep tanah adalah hak penuh negara lebih tegas dikemukakan, sementara pada masa bani Umayah, tanah adalah milik umat Islam yang diwakili oleh Khalifah. Perbedaan yang lain adalah pada penerapan pajak di mana diperoleh cara yang mempermudah dan memperlancar penarikan pajak dengan adanya sistem penjamin yang pada waktu itu disebut dengan Dhaman atau Qibalat.20
Selain itu, sikap bani pemerintahan bani Abbasiyah kepada para petani lebih baik jika dibandingkan dengan sikap bani Umayah yang kurang mendukung sektor pertanian, terutama di masa-masa awal pemerintahan. A. Hasjmi menulis bahwa tindakan-tindakan yang mendukung sektor pertanian seperti memberikan jaminan kepada para petani, memperluas areal pertanian, membangun bendungan-bendungan untuk keperluan irigasi hingga mengambil tindakan keras kepada para pejabat yang berlaku kejam terhadap petani menjadikan sektor pertanian pada masa Abbasiyah maju sekali sehingga tidak satu pun daerah yang tidak mempunyai lahan pertanian.21
Namun, kemajuan di bidang ekonomi ini bukan terjadi selama pemerintahan bani Abbasiyah, tapi hanya pada periode pertamanya di mana kekuasaan politik masih sangat kuat dan secara ekonomi sangat kaya. Setelah terjadinya disintegrasi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pendapatan pemerintah pun menurun. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh makin menyempitnya daerah kekuasaan, banyaknya kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan adanya dinasti-dinasti kecil yang tidak lagi membayar upeti, sedangkan pengeluaran membengkak. Badri Yatim menulis, pembengkakan pengeluaran ini antara lain karena kehidupan para khalifah dan pejabat yang semakin mewah, jenis pengeluaran yang semakin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.22

C. Ilmu Pengetahuan Islam

Masa bani Abbasiyah disebut sebagai masa keemasan peradaban Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan di mana kemajuannya terjadi dengan sangat pesat dan mencapai puncaknya. Hal ini tidaklah mengherankan tentunya jika melihat perkembangan yang terjadi sebelumnya di mana stabilitas politik yang telah terwujud dan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan waktu itu dapat dikatakan telah mencapai tingkatannya yang paling tinggi. Ditambah lagi dengan industri kertas yang juga sangat mendukung gerakan keilmuan, telah ada sejak masa khalifah Harun Ar Rasyid.
Hal ini, terlepas dari adanya disintegrasi politik maupun pemisahan diri daerah-daerah provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad sejak periode kedua sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, karena baik pusat maupun daerah sama-sama mementingkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan ini, Badri Yatim menulis bahwa selain perkembangan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan pemerintahan, setidaknya terdapat dua faktor lain yaitu faktor asimilasi dan gerakan terjemahan. Asimilasi ini terjadi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain seperti Persia, India dan Yunani yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan gerakan terjemahan, hal ini berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Al Mansur hingga Harun Ar Rasyid dengan penerjemahan karya-karya dalam bidang astronomi dan logika. Fase kedua, mulai masa Al Ma’mun hingga tahun 300 H dengan penerjemahan buku-buku di bidang filsafat dan kedokteran. Dan fase ketiga berlangsung setelah 300 H di mana buku-buku yang diterjemahkan semakin meluas.23
Pada masa bani Abbasiyah ini, kegiatan keilmuan Islam baik berupa penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab maupun penulisan karya-karya asli penulis Islam sangat intens dilakukan. Harun Nasution menulis bahwa buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari Byzantium dan berlangsung selama satu abad lamanya. 24
Dalam kegiatan keilmuan ini, sejak khalifah Al Mansur, tepatnya setelah ia memindahkan ibukota pemerintahan ke Baghdad pada 762 M., buku-buku dari berbagai bahasa yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan banyak diterjemahkan dan dibukukan. Usaha pengembangan ilmu pengetahuan Islam ini diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya terutama Al Ma’mun (813-833 M.), khalifah yang karena cintanya kepada ilmu pengetahuan membangun sekolah-sekolah dan Bait al Hikmah di Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan keilmuan. Musyrifah Sunanto menyatakan bahwa di sinilah orang dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877M.), penerjemah buku kedokteran Yunani, termasuk buku ilmu kedokteran yang sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama Materia Medika.25
Dengan dilakukannya berbagai penerjemahan dari buku-buku yang berasal dari Barat, dalam hal ini Yunani Klasik, lahirlah para ulama dan cendekiawan muslim yang tidak hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari, tetapi juga melahirkan ilmu-ilmu baru, khususnya di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Dalam bidang filsafat, muncul Ikhwanusshafa, Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd dan lain-lain. Dalam bidang astronomi, terdapat Al Battani, Ibn Al Hatsam, Al Fazari As Shufi, dan lain-lain. Dalam Ilmu Kimia ada Jabir Ibn Hayyan yang disebut sebagai Bapak Ilmu Kimia dan Abu Bakar Ar Razi. (865-925 M.), Al Hawawi, Al Majrithi dan lain-lain. Dalam bidang Fisika ada Abu Raihan Muhammad Al Bairuni (973-1048 M.), Al Khazin, Al Hamdani dan lain-lain. Dalam bidang geografi ada Al Mas’udi, Al Maqdisi, Al Handani dan lain-lain. Dalam bidang kedokteran dan farmasi ada Hunain Ibn Ishaq, Abu Bakar Ar Razi, Az Zahrawi, Ibn Sina dan lain-lain.
Selain penerjemahan dan penemuan ilmu-ilmu baru dalam bidang ilmu pengetahuan umum, buku-buku yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan agama pun disusun dengan cara yang lebih sistematis dan rapi. Dalam bidang hadits terkenallah nama-nama seperti Bukhari dan Muslim pada abad ke IX M. Dalam bidang Fikih terdapat empat imam madzhab yang terkenal yaitu Imam Abu Hanifah (700-767 M.), Imam Malik (713-795 M.), Imam Syafi’I (767-820 M.) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M.). Dalam bidang tafsir terdapat Al Thabari (839-923 M.). Dalam bidang sejarah ada Ibn Hisyam pada abad kedelapan, Ibn Sa’d pada abad kesembilan. Dalam bidang teologi (ilmu kalam) ada Wasil bin ‘Atha, Ibn Huzail, Al Allaf (752-849 M.), dari golongan Mu’tazilah. Ada Abul Hasan Al Asy’ari (873-955M.) dan Al Maturidi dari golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah pada abad kesembilan dan kesepuluh. Dalam bidang tasawuf terkenallah Zunnun Al Mishri, Abu Yazid Al Busthami, Al Hallaj.
Dan tidak hanya itu saja, kemajuan ilmu pengetahuan pada masa bani Abbasiyah ditandai dengan kemajuan di bidang sastra Arab. Dalam bidang ini, baik puisi maupun prosa mengalami kemajuan yang signifikan yang membedakannya dari puisi dan prosa pada jaman bani Umayah. Tentang kemajuan di bidang puisi, A. Hasjmi mengemukakan bahwa pada jaman bani Abbasiyah telah lahir para sastrawan (penyair) yang membawa aliran baru dalam sajak-sajaknya, baik isi, uslub, tema, atau pun sasarannya, sehingga dalam hal-hal tersebut mereka mengatasi para penyair sebelumnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa para penyair zaman bani Umayah masih terlalu keras mempertahankan kemurnian Arabnya, sehingga mereka menghindari filsafat, bahkan apa saja yang bukan asli Arab, sedangkan para penyair zaman Abbasiyah telah merubah kebiasaan itu.26
Begitu juga dengan prosa, A. Hasjmi mengatakan bahwa selama masa pemerintahan bani Abbasiyah, prosa telah mengalami kemajuan yang pesat, baik dari gaya bahasanya maupun dari isinya. Para prosais masa Abbasiyah ini, lanjut A. Hasjmi, berani mengadakan perubahan-perubahan dan berbaikan dalam dunia sastra, bahkan kalau perlu dengan meninggalkan sama sekali kebiasaan-kebiasaan zaman sebelumnya.27
Adapun para ahli muslim di bidang puisi dan prosa di antaranya adalah Abu Nuwas (145-198 H.), Abu Atahiyah (130-211 H.), Abdullah Ibn al Muqaffa’ (w. 143 H.), Al Jahizh (w. 255 H.), Badi’uzzaman al Hamzani (w. 398 H.), Al Mutanabbi (303-354 H.), Al Mu’arry (363-449 H.), dan Ibn Qutaibah (w. 276 H.)
Bidang seni musik adalah salah satu yang membedakan masa ini dengan masa sebelumnya di mana perkembangannya pada masa bani Abbasiyah sangat signifikan. Baik buku-buku asli maupun terjemahan dari bahasa Yunani dan India, pada masa bani Abbasiyah ini tentang musik dan ilmunya telah banyak disusun. Di samping itu, para khalifah dan para pejabat pemerintahan lainnya memberi perhatian yang sangat besar terhadap musik, sehingga banyak didirikan sekolah-sekolah musik di berbagai daerah baik untuk level menengah maupun tinggi. A. Hasjmi mengatakan bahwa sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Saiduddin Mukmin (w.1294 M.)28
Di antara ahli musik pada masa ini adalah Yunus bin Sulaiman (w. 765 M.), Khalil bin Ahmad (w. 791 M.), Al Kindi (w. 874 M.), Hunain bin Ishak (w. 873 M) dan Al Farabi yang juga seorang filosof.

1 Harun Nasution, Op. Cit., h.67.
2 Badri Yatim, Op. Cit., h.50 dengan sedikit modifkasi.
3 Abdul Mun’im Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997. h. 17.
4 Harun Nasution, Op. Cit., h. 67-68.
5 A. Hasjmi, Op. Cit. h. 222.
6 Ibid., h. 223.
7 Ibid., h. 226
8 Badri Yatim, Op. Cit., h. 54.
9 A. Hasjmi, Op. Cit., h. 230.
10 Ibid, h. 233.
11 Ibid., h. 235.
12 Ibid., h. 245.
13 Badri Yatim, Op. Cit., h. 65-66.
14 Lihat kisah perjalanan karir bani Buwaih ini di buku Sejarah Peradaban Islam karya Dr. Badri Yatim, MA, h. 69-70.
15 Ibid., h. 75.
16 Ibid., h. 52.
17 Ibid., h. 241.
18 Ibid., h. 242.
19 A. Hasjmi, Op. Cit. , h. 238.
20 Abdul Mun’im Majid, Op. Cit., h. 27.
21 A. Hasjmi, Op. Cit., h. 240.
22 Badri Yatim, Op. Cit., h. 82.
23 Ibid., h. 55-56.
24 Harun Nasution, Op. Cit., h. 70.
25 Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 80.
26 A. Hasjmi, Op. Cit., h. 307.
27 Ibid., h. 310.
28 Ibid. , h. 319.

Peradaban Arab Sebelum Islam


Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.

 

A. Letak Geografis Negeri Arab

Negeri Arab yang dinamakan Jazirah Arab oleh bangsa mereka sendiri, secara geografis terletak di barat daya Asia yang merupakan semenanjung yang dikelilingi laut dari tiga arah, yaitu Laut Merah, Samudera India (Indonesia) dan Teluk Persia.
Berdasarkan pada tingkat kesuburannya, negeri ini pada umumnya adalah padang pasir (sahara/desert) yang tidak ditumbuhi tanaman dan tidak berair. Jika dilihat pada karakter permukaannya, sahara ini, sebagiannya ada yang berupa padang pasir berdebu dan pasir halus, ada juga yang berupa pegunungan dan perbukitan dan ada juga yang berupa dataran rendah dan tinggi.
Sahara-sahara yang merupakan bagian terbesar Jazirah Arab ini menempati kawasan-kawasan yang terletak di wilayah pesisir barat, barat daya Sahara Syam dan wilayah Sahara Syam (Syria sekarang) itu sendiri dan wilayah tengah. Sedangkan daerah yang bertanah subur dan hijau disebut dengan Arabia Fellix yang membentang sepanjang pesisir Semenanjung Jazirah Arab; pada bagian tenggara terletak negeri Yaman. Di lokasi inilah peradaban Arab sebelum Islam yang dimanifestasikan oleh Kerajaan Saba’ dan Ma’in tumbuh dan berdiri. Di bagian selatan terletak Hadlramaut, penghasil kayu gaharu yang kini menjadi Ibu kota Negara Yaman. Di bagian timur terletak negeri Al Ahsa’ yang subur yang terletak di Teluk Persia dan di sebelah utara Yaman terletak negeri Hijaz, lokasi kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah dan sebagai tempat hijrahnya nabi Muhammad Saw.
Dari kondisi alam negeri Arab di atas, para ahli Geografi Arab –sebagaimana diringkaskan oleh Hasan Ibrahim Hasan—membagi jazirah Arab ini menjadi lima wilayah besar:
  1. Tihamah, yaitu wilayah yang membentang sejajar dengan pantai Laut Merah mulai dari Yanbu’ sampai Najran di Yaman. Dinamakan Tihamah, karena udaranya yang sangat panas dan anginnya yang tenang.
  2. Hijaz, yaitu wilayah yang terletak di sebelah utara Yaman dan sebelah timur Tihamah. Wilayah ini memiliki banyak lembah yang membentang dari Syam sampai Najran.
  3. Najed, yaitu wilayah yang membentang di antara Yaman di sebelah selatan dan sahara As Samarah di sebelah utara, lalu dengan wilayah Al ‘Arudl dan dengan perbatasan Iraq. Dinamai Najed karena permukaan tanahnya yang tinggi.
  4. Yaman, yaitu wilayah yang membentang dari Najed sampai ke Samudera Indonesia di sebelah selatan dan Laut Merah di sebelah barat. Kemudian bersambung dengan Hadlramaut, As Syahr dan Oman dari sebelah timur.
  5. Al ‘Arudl, yaitu wilayah yang meliputi Al Yamamah, Oman dan Bahrain. Dinamai Al ‘Arudl karena wilayah tersebut melebar antara Yaman, Najed dan Iraq1.

B. Keadaan Sosial, Politik dan Pemerintahan Jazirah Arab

Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Arab terbagi menjadi dua, yaitu mereka yang hidupnya nomaden, atau selalu berpindah-pindah tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan mereka yang hidupnya sudah menetap dengan mata pencahariannya secara mayoritas sebagai petani atau pedagang. Tapi, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya yang sama, yaitu budaya kesukuan. Hubungan politik yang terjadi di antara mereka sangat menekankan rasa kesukuan ini, di mana loyalitas dan solidaritas kepada suatu suku merupakan sumber kekuatan bagi suku tersebut. Oleh karena itu di antara mereka kerap terjadi peperangan.
Perang-perang ini sering terjadi karena adanya perselisihan dalam memperebutkan kepemimpinan dan persaingan dalam memperebutkan sumber mata air dan rumput untuk binatang gembalaan. Di antara sekian banyak perang, Hasan Ibrahim Hasan menyebut 3 (tiga) perang yang menurutnya sangat terkenal, yaitu perang Al Basus, perang Dahis dan Ghubara’, dan perang Fijar2.
Peperangan yang terjadi terus menerus ini secara tidak langsung berakibat pada rendahnya kualitas kebudayaan dan peradaban mereka di mana mereka tidak mengenal budaya tulis menulis yang pada akhirnya peristiwa-peristiwa sejarah yang mereka alami pun tidak banyak diketahui.
Berkaitan dengan hal ini, Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa kurang dikenalnya sejarah kuno bangsa Arab disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor politik dan faktor budaya. Pada faktor sosial politik, sifat masyarakat Arab yang secara mayoritasnya adalah nomaden ini pada umumnya tidak memiliki kesatuan politik. Mereka hidup berpisah antara kabilah yang satu dengan yang lainnya dan di antara mereka kerap terjadi permusuhan dan tidak mempunyai raja yang kuat. Pada faktor budaya, mayoritas mereka tidak mengenal budaya tulis menulis, sehingga peristiwa-peristiwa yang mereka alami tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan3.
Dalam kondisi politik seperti disebutkan di atas, bangsa Arab tidak memiliki sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang ini, terutama dalam bidang yudikatif dan pertahanan dan keamanan (hankam). Dalam bidang yudikatif, mereka tidak memiliki peradilan, tempat memperoleh kepastian hukum tentang suatu kasus atau memvonis suatu pelanggaran. Dalam tatanan masyarakat Arab kuno, orang yang teraniaya secara langsung melakukan pembalasan kepada orang yang menganiayanya dan kabilahnya jika tindakan penganiayaan itu dianggap membahayakan, atau jika yang berbuat aniaya telah membayar ganti rugi dengan kesepakatan kedua suku, pihak teraniaya tidak berhak menuntut pembalasan atas tindakan aniasya yang diterimanya. Sedangkan dalam bidang hankam, mereka tidak mengenal sebutan polisi seperti yang kita kenal sekarang sebagai pelindung masyarakat dan penjaga keamanan negeri dari bahaya dari luar. Kondisi ini, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, tidak berbeda dengan yang terjadi di lingkungan masyarakat Jerman pada abad pertengahan4
Namun, hal ini tidak berarti bahwa bangsa Arab kuno sepanjang sejarahnya tidak memiliki peradaban yang tinggi. Karena, selain keadaan politik yang telah diuraikan di atas jazirah Arab juga mengalami masa-masa kejayaannya sebelum kehadiran Islam. Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan besar di jazirah Arab seperti kerajaan Saba’, kerajaan Himyar, kerajaan Ghassan dan lain-lain. Oleh karena itu, berbicara tentang keadaan politik jazirah Arab terasa tidak lengkap tanpa deskripsi tentang kerajaan-kerajan bersejarah di atas.
Dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Islam versi Indonesia, Hasan Ibrahim Hasan menguraikan 6 kerajaan yang ada pada masa Arab pra Islam. Uraian singkat tentang kerajaan-kerajaan ini adalah sebagai berikut:
        1. Kerajaan Ma’in
        2. Kerajaan Saba’
        3. Kerajaan Himyar
        4. Kerajaan Hirah
        5. Kerajaan Ghassan
        6. Kerajaan Hijaz (Mekah)
  1. Kerajaan Ma’in
Berdasarkan petunjuk yang dikemukakan dalam prasasti dan Taurat serta berita yang ditulis oleh sebagian sejarawan Yunani, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, kerajaan Ma’in berdiri antara tahun 1200-600 SM yang merupakan kerajaan yang kuat dan sangat kaya melebihi kerajaan Saba’ yang kisahnya lebih terkenal dalam sejarah. Para rajanya berasal dari Irak yang mencari tempat subur untuk dijadikan tempat tinggal di Yaman5.
Kerajaan ini berlokasi di wilayah yang disebut Al Jauf, sebelah tenggara Shan’a’, Yaman Selatan, di antara Najran dan Hadlramaut. Ibukotanya adalah Al Qarni yang kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah Quthban, Hadlramaut dan Melukh hingga bagian utara Jazirah Arab. Ahmad Fuad Pasya menulis bahwa kerajaan ini melakukan hubungan dagang dengan Mesir dengan mengekspor kemenyan dan wewangian yang digunakan dalam rumah-rumah peribadatan.6
  1. Kerajaan Saba’
Kerajaan Saba’ berdiri di antara masa kerajaan Ma’in dan Quthban yang mulai tampak kekuasaannya di akhir masa kerajaan Ma’in, ditandai dengan berpindahnya kekuasaan kerajaan tersebut kepada penguasa Saba’. Wilayah kekuasaannya meliputi pantai Teluk Persia di sebelah timur sampai ke Laut Merah di sebelah barat. Dengan berpindahnya kekuasaan kepada penguasa Saba’, maka secara otomatis wilayah bagian selatan Jazirah Arab yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasan Ma’in menjadi wilayah kekuasan Saba’. Usia kerajan ini diperkirakan mencapai 835 tahun sejak 950-115 SM7.
Kerajaan Saba’ berakhir ditandai dengan jebolnya bendungan Ma’rib yang menjadi tumpuan utama ekonomi pertanian masyarakat Saba’ dan sumbangan terbesar kemajuan bangsanya. Peristiwa bobolnya bendungan Ma’rib ini bagi para sejarawan, khususnya sejarawan Arab merupakan faktor utama penyebab runtuhnya kerajaan Saba’. Sedangkan menurut sebagian orientalis, sebagaimana dikutip Hasan Ibrahim Hasan, bobolnya bendungan Ma’rib justeru merupakan akibat dari kelalaian suatu bangsa yang sedang mengalami kemunduran. Tidak masuk di akal suatu peradaban yang begitu besar akan lenyap dalam seketika hanya karena bobolnya suatu bendungan8.
Berkenaan dengan bobolnya bendungan Ma’rib yang merupakan peristiwa bersejarah yang terjadi pada kerajaan Saba’ ini, Al Quran mendeskripsikannya sebagai siksa yang diturunkan Allah Swt kepada penduduk Saba’9.
  1. Kerajaan Himyar
Kerajaan Himyar berdiri sekitar tahun 115 SM tepat pada saat runtuhnya kerajaan Saba’ yang pada awalnya hanya menguasai wilayah Quthban yang terletak di antara kerajaan Saba’ dan Laut Merah. Namun setelah itu, kerajaan ini memperlebar wilayah kekuasaannya dengan menduduki wilayah kekuasaan kerajaan Saba’. Dengan demikian, maka kerajaan Himyar menjadi pewaris peradaban bangsa Saba’ dan Ma’in yang hadir sebelumnya10.
Ahmad Fuad Pasya mengatakan bahwa tentara kerajaan Himyar ini mencapai wilayah Cina di bagian timur dan Qanstantinopel dan Roma di bagian barat. 11
  1. Kerajaan Hirah
Kerajaan Hirah terletak pada jarak tiga mil dari kota Koufah, di tepi danau Najef, sebagai pusat kaum Syi’ah sampai hari ini. Daerah ini merupakan tempat yang subur karena dialiri oleh anak sungai Euphrat. Penduduknya sejak abad ketiga Masehi terdiri dari tiga bangsa, yaitu bangsa Tanukh yang mendiami wilayah barat sungai Euphrat, bangsa Ibad yang mendiami wilayah kota dan bangsa Ahlaf yang merupakan bangsa pendatang dan bukan dari bangsa Tanukh maupun Ibad12.
Kerajaan ini mengalami kemunduran setelah dilanda beragam bencana dan setelah para kaisar dari keluarga Sasanid, penguasa imperium Persia juga mengalami kemunduran. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah terbunuhnya raja Al Munzir bin Maussama Al Lakhami yang disusul dengan kematian puteranya di tangan Al Harits bin Abu Syamr Al Ghassani dalam perang Murj Halimah pada tahu 570 M. Selain itu goncangan yang terjadi dalam tubuh keluarga kerajaan yang memperebutkan kursi dan mahkota kerajaan juga ikut menjadi faktor runtuhnya kerajaan Himyar13.
  1. Kerajaan Ghassan
Sejarah kerajaan Ghassan dimulai ketika orang-orang Azad meninggalkan Yaman setelah bendungan Ma’arib bobol, di mana di antara mereka ada yang menuju Syam (Siria sekarang). Mereka menetap di sebuah daerah dekat mata air yang bernama Ghassan, oleh karenanya mereka pun dipanggil dengan sebutan Uzd Ghassan. Ketika orang-orang Adh Dhaja’ah sebagai penduduk asli setempat dalam keadaan lemah, maka Uzd Ghassan pun berhasil menancapkan kekuasaannya dengan mendirikan kerajaan yang dikenal dengan kerajaan Ghassan14.
Setelah berkuasa selama 85 tahun, akhirnya kerajaan ini berakhir setelah diserang oleh kerajaan Persia sebagai musuh besarnya pada tahun 613 M (waktu nabi Muhammad telah mendirikan negara Madinah) dan tidak dibiarkannya Bani jafnah sebagai pemilik kekuasaan kerajaan Ghassan untuk bertahan pada wilayah yang selama ini berada di bawah kendali kekuasaannya15.
6. Kerajaan Hijaz (Mekah)
Dalam sejarah, negeri Hijaz adalah suatu negeri yang bebas dari penaklukan dan penjajahan bangsa asing, meskipun banyak raja, baik dari kerajaan Persia maupun pada masa Iskandar Zulkarnaen yang berhasrat untuk menaklukkannya. Sifat kemerdekaan dari bangsa asing ini oleh Sidillot yang dikutip oleh Hasan Ibrahim Hasan menjadikan negeri Hijaz memiliki karakteristiknya sendiri yaitu darah keturunan yang murni, nenek moyang yang mulia dan tanah air yang suci16.
Kaum Amaliq adalah orang-orang yang pertama menetap di Mekah, disusul dengan kabilah Jurhum pada generasi keduanya. Pada masa Jurhum inilah ka’bah (Baitullah) berada di bawah kekuasaan nabi Ismail yang tinggal bersama ibunya Sarah dan menjalin hubungan kekeluargaan dengan mereka. Sepeninggalnya, Baitullah berada di bawah kekuasaan Tsabit putera sulungnya. Pengawasan terhadap Baitullah berpindah ke tangan para pemimpin Jurhum sepeninggal Tsabit dan berlanjut hingga tahun 307 M. Namun karena kerusakan yang dibuat oleh para pemimpin Jurhum setelah kekuasaannya meluas, kabilah Khuza’ah yang datang dari Yaman setelah peristiwa banjir ‘Arim mengambil alih kekuasaan dan mengusir kabilah Jurhum dari Mekah dengan dibantu anak cucu Kinanah.
Setelah berkuasa selama kurang lebih 300 tahun, kekuasaan pun berpindah ke tangan kabilah Quraisy di bawah kepemimpinan Qushay bin Kilab yang perlahan-lahan menguat dan berhasil menguasai Mekah pada tahun 440 M sehingga jabatan As-Siqayah, Al Hijabah, Ar Rifadah dan Al Liwa menjadi wilayah kekuasaanya, padahal sebelumnya tidak pernah satu orang pun penguasa Mekah yang menghimpun seluruh jabatan tersebut seorang diri. Sepeninggal Qushay kepemimpinan terus bergulir di antara kabilah Quraisy hingga Abdul Muthalib, kakek nabi Muhammad sebagai penggali sumur Zamzam agar kembali berfungsi. Pada masanya Allah Swt telah menghinakan Abrahah Al Asyram dari Habasyah (Ethiopia sekarang) ketika hendak menghancurkan Ka’bah 17.

C. Keadaan Ekonomi Masyarakat Arab.

Bangsa Arab kuno sebelum kelahiran Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan di bidang ekonomi yang didominasi oleh perdagangan. Pada waktu itu penduduk Saba’ di bawah kendali kerajaan Saba’ dikenal sebagai orang-orang sukses dalam meraih materi dan harta kekayaan duniawi berkat keahlian mereka dalam berdagang, terutama dari hasil berdagang wangi-wangian seperti kayu gaharu yang banyak dipergunakan di tempat peribadatan di Mesir dan Habsyi serta di negeri-negeri lainnya. Kafilah dagang kaum Saba’ membawa kayu gaharu dan hasil-hasil bumi Yaman lainnya ke bagian utara Jazirah Arab. Selain Saba’, Yaman di bawah kendali kerajaan Himyar juga merupakan daerah transit untuk perdagangan yang menghubungkan satu negeri dengan yang lainnya.
Namun, setelah negeri Yaman dijajah oleh bangsa Habasyah dan kemudian oleh bangsa Persia, maka kaum penjajah itu dapat menguasai perdagangan di laut. Akan tetapi, perdagangan dalam jazirah Arab berpindah tangan ke penduduk Mekah karena kaum penjajah itu tidak dapat menguasai bahagian dalam jazirah Arab.
Maka dari itu, berbicara tentang perdagangan pada masa ini, selain Yaman –sebagaimana telah disebutkan di atas-- salah satu kota penting yang dapat disebut di sini adalah Mekah, yaitu suatu kota yang dilalui jalur perdagangan ramai yang menghubungkan antara Yaman di Selatan dan Syria di Utara terutama pada bulan-bulan Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram. Kota Mekah menjadi pusat perdagangan antara Yaman dengan Syam dan Habasyah. Ketika tanah Mekah hanya merupakan tanah gersang berbatu dan tidak berair dan tidak ditumbuhi oleh tanaman, penduduknya dikaruniai kelebihan dibanding bangsa lain yaitu aktivitasnya dalam bidang perdagangan. Di samping itu, masyarakat Mekah disenangi atau memiliki tempat khusus di hati bangsa Arab lainnya mengingat kedudukannya sebagai pemelihara dan penjaga Ka’bah. Ditambah lagi dengan letak Mekah yang strategis dari sisi geografis yaitu di tengah-tengah antara Yaman di selatan dan Syam di utara.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada faktor lain yang menjadikan Mekah memegang kendali peranan dalam perdagangan. Faktor tersebut adalah banyaknya orang-orang Yaman yang telah berpindah ke Mekah, sedang mereka memiliki pengalaman luas di bidang perdagangan.
Dari penduduk Arab, kafilah dagang yang paling terkenal adalah kafilah dagang Quraisy. Mengenai kafilah ini, Hasan Ibrahim Hasan menulis:
Kafilah dagang Mekah dapat menjelajahi berbagai penjuru jazirah Arab seperti Bangsa Yaman. Mereka berhasil membawa barang dagangannya sampai ke Ghaza, Baitul Maqdis, Damaskus bahkan sampai menyeberangi Laut Merah menuju Habasyah. Pelabuhan Jeddah yang berjarak 40 mil dari Mekah merupakan jembatan penghubung antara Mekah dan Habasyah. Selanjutnya barang dagangan dari Mekah ini diperdagangkan pula melalui pelabuhan Jeddah ke Al Qhatif di Bahrain dan sekembalinya dari sana perahu-perahu niaga mereka dipergunakan untuk membawa permata yang ditambang di sekitar Teluk Persia sampai ke muara sungai Euphra Kafilah-kafilah dagang Quraisy ini membawa barang dagangan dari pasar-pasar di Shan’a’ dan dari pelabuhan Oman serta Yaman berupa minyak wangi dan kayu gaharu yang banyak dipergunakan di rumah-rumah peribadatan, gereja-gereja dan istana-istana di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut Putih (Laut Tengah). Mereka juga membawa barang-barang seperti kain sutera, kulit, senjata, logam mulia yang dibeli di pelabuhan-pelabuhan Yaman sebagai barang yang berasal dari China, India dan negeri-negeri Timur lainnya. Kemudian kafilah-kafilah tersebut dari pasar Bushra dan Damaskus membawa gandum, benda-benda hasil kerajinan tangan, minyak zaitun, biji-bijian, kayu dan barang-barang yang terbuat dari kaca. Sedang dari Habasyah, kafilah-kafilah ini membawa rempah-rempah. Sedangkan dari Mesir mereka membawa kain tenun yang sangat terkenal yaitu kain tenun Qibthi. .18
Dengan kalimat-kalimat yang berbeda, A. Syalabi, tentang perdagangan yang dilakukan kafilah dagang Arab ini menulis:
Dari San’a’ kota-kota pelabuhan di Oman dan Yaman, kafilah-kafilah bangsa Arab membawa minyak wangi, kemenyan, kain sutera,barang logam, kulit, senjata dan rempah-rempah. Barang-barang perniagaan yang disebutkan ini ada yang dihasilkan di Yaman dan ada pula yang didatangkan ke kota-kota pelabuhan itu dari Indonesia, India dan Tiongkok. Oleh kafilah-kafilah itu barang-barang ini dibawa ke pasar-pasar di Syam. Minyak wangi dan kemenyan amat diperlukan di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut Tengah, dipakai di candi-candi, gereja-gereja, istana-istana raja dan rumah orang-orang kaya. Di waktu kembali, kafilah-kafilah itu membawa gandum, minyak zaitun, beras, jagung dan tekstil dari Mesir dan Syam.” 19

Secara teratur kafilah dagang Arab ini mengadakan perjalanan dagang dua kali dalam setahun, yaitu perjalanan di musim dingin ke Yaman dan di musim panas ke Syam. Keempat anak Abdu Manaf dengan aktif melakukan perjalanan niaga ke berbagai negeri; Hasyim selalu berdagang ke Syam; Abd Syams ke Habasyah; Abdul muthalib ke Yaman dan Naufal ke Persia. Para pedagang Quraisy di bawah lindungan keempat anak Abd Manaf ikut aktif mengikuti jejak mereka dan berkat lindungan tersebut mereka tidak ada yang berani mengganggu. Tentang aktivitas perdagangan ini, Allah Swt mengabadikannya dalam Al Quran.20
Berkat aktivitas dagang ini, banyak masyarakat Quraisy yang menjadi orang-orang kaya, mereka di antaranya adalah Abu Sufyan, Walid ibn al mughirah dan Abdullah ibn Jud’an. Yang terakhir ini, saking kayanya telah mempersenjatai seratus tentara Quraisy secara lengkap dalam perang Al fijar21.

D. Keadaan Ilmu Pengetahuan Arab


Aktivitas perdagangan yang dilakukan bangsa Arab, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya berimbas ke aspek lain yang berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya nonmaterial, seperti aspek kerohanian kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Hubungannya dengan Syam, Habasyah, Persia, Romawi sebagai pemilik peradaban tinggi pada waktu itu telah membantu mereka menjadi orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan dan wawasan tentang hal ihwal bangsa-bangsa dalam aspek politik, sosial dan kesusasteraan yang sangat berpengaruh dalam mencerdaskan akal pikiran dan kemajuan bagi mereka. Kehidupan Intelektual Arab pun cukup tinggi ditandai dengan adanya ilmu-ilmu seperti Ilmu Bintang, Ilmu Iklim dan Ilmu kedokteran meskipun masih dalam taraf yang sederhana.
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab dapat dikatakan sebagai bangsa yang sangat maju. Mereka memiliki bahasa yang indah dan kaya. Berkenaan dengan kepandaian berbahasa bangsa Arab ini, A. Hasjmi mengatakan:
Telah menjadi kelaziman dari orang-orang Arab Jahiliyah, yaitu mengadakan majlis atau nadwah (klub) di tempat mana mereka mendeklamasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya. Terkenallah dalam kalangan mereka “Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di samping Ka’bah.
Di samping itu, mereka mengadakan Aswaq (Pekan) pada waktu tertentu, di beberapa tempat dalam negeri Arab. Tiap-tiap ada sauq berkumpullah ke sana para saudagar dengan barang dagangannya, penyair dengan sajak-sajaknya, ahli pidato dengan khutbah-khutbahnya, dan sebagainya”.22
1 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1, Kalam Mulia, Jakarta, Cet. ke1, h. 91-108, h. 7.
2 Untuk lebih jelas tentang peperangan ini lihat Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Terj.) jilid 1, Kalam Mulia, Jakarta, Cet. ke1, h. 91-108.
3 Ibid, h. 1.
4 Ibid, h. 89.
5 Ibid, h.36.
6 Ahmad Fuad Pasya, At Turats al ‘Ilmi lil hadlarah al Islamiyyah wa makanatuha fi tarikhil ‘ilmi wal hadlarah, Darul Ma’arif, Shan’a’, Cet. ke 2, 1997, h. 14.
7 Op. Cit, h. 37.
8 Ibid, h.. 43.
9 Lihat QS Saba’ [34] :16-17 tentang adzab yang diturunkan Allah Swt pada bangsa Saba’.
10 Op. Cit, h.. 44.
11 Ahmad Fuad Pasya, Op. Cit, h. 16.
12 Ibid, h. 17. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa berdirinya kerajaan ini berkat bantuan imperium Romawi sebagai sekutunya yang mengangkat salah seorang dari orang-orang Arab Ghassan menjadi raja, lihat h. 66.
13 Untuk lebih jelasnya, lihat, Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit, h. 52-66.
14 Ibid, h. 66.
15 Ibid, h. 72.
16 Ibid, h. 74.
17 Ibid, h. 75-77.
18 Ibid, h. 109-110.
19 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, cet. IX tahun 1997, h. 53.
20 Q.S. Quraisy [106] :1-4.
21 Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h.111.
22 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Cet, ke-5, tahun 1995, h. 23.