Pemikiran Moderen dalam Islam di India dan Indonesia


Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.

1. Sir Sayyid Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan lahir pada 1817 di Delhi dalam lingkungan keluarga yang agamis di mana ia selalu mempelajari Al Quran dan bahasa Arab.  Ia putra seorang bangsawan dan pejabat pemerintah di Istana Sultan Mongol, Mir Mir Muragjen yang juga seorang sufi. Karena merasa bosan dalam pelajarannya, pada usia 21 tahun ia memutuskan untuk  bekerja pada pemerintahan Inggris, meskipun tidak diperkenankan oleh keluarganya.
Meskipun tidak menempuh pendidikan tinggi, Ahmad Khan sangat memperhatikan keadaan di sekelilingnya, terutama umat Islam yang sedang dalam kondisi buruk karena didominasi oleh sikap taqlid dan penuh dengan kecurigaan, apalagi terhadap segala sesuatu yang berasal dari Barat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa Inggeris pada masanya telah menancapkan cakar penjajahan di India selama beberapa tahun lamanya. Selain itu, ia juga aktif dalam menulis. Wilfred Cantwel Smith menyatakan bahwa Ahmad Khan banyak sekali menulis, terutama tentang sains abad pertengahan, teologi dan sejarah yang menunjukkan minatnya pada masa-masa bahagia ketika peradaban Islam di India sedang mengalami kemajuan.[1]
Pada 1857, ia menyaksikan betapa umat Islam India berada dalam suatu kondisi yang sangat menyedihkan setelah terjadinya pemberontakan. Kejadian ini sangat berpengaruh dalam dirinya yang kemudian menjadi dasar dalam ide-ide pembaharuannya untuk memajukan umat muslim India.
Pada 1869 Ahmad Khan berkunjung ke London selam tujuh bulan dengan tujuan melihat secara langsung kemajuan Barat dan menulisnya agar dapat dimanfaatkan oleh umat Islam di India.
Didasari kedua peristiwa di atas, bebeda dengan pemikir pembaharuan pendahulunya, Jamaluddin Al Afghani, yang memilih jalan perang, ia lebih memilih jalan kerjasama dengan pihak Inggris. Ini ia lakukan karena menurutnya, perbaikan kondisi umat Islam bukan dengan jalur politik tapi melalui jalur pendidikan. Karena itulah ia pada 1878 mendirikan Muslim Anglo Oriental College (M.A.O.C.) di Aligarh, suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya selain matapelajaran agama, dimasukkan pula matapelajaran bahasa Inggeris dan matapelajaran-matapelajaran tentang ilmu pengetahuan moderen. Usaha pembaruan di bidang pendidikan ini ia lanjutkan dengan mengadakan Konferensi Pendidikan Islam tahun 1886, 12 tahun sebelum akhirnya ia meninggal dunia pada 1898.
Pada perkembangannya kemudian, ide-ide pembaruan yang dicetuskan Sir Sayyid Ahmad Khan ini terwujud dalam suatu gerakan yang disebut Gerakan Aligarh. Dan karena kesuksesannya dalam pembaruannya di bidang pendidikan, M.A.O.C. pun ditingkatkan menjadi universitas pada 1920 yang hingga sekarang dikenal dengan nama Universitas Aligarh yang berfungsi tidak hanya sebagai produsen ilmuwan-ilmuwan Muslim India tapi juga sebagai pusat gerakan nasionalis Islam yang mencikalbakali berdirinya negara Pakistan.[2]
Selain dalam bentuk lembaga pendidikan, ide-ide pembaharuan Ahmad khan dituangkan melalui tulisan-tulisannya seperti Tafsirul Quran dalam bahasa Urdu dan Essays on the life of Muhammad. Dalam karya-karya tersebut, Wilfred melihat bahwa Ahmad Khan sangat percaya kepada Al Quran sebagai pemegang otoritas kebenaran mutlak, sedangkan Hadits berada pada urutan keduanya, bahkan ia menolak hadits-hadits yang berisi tentang moralitas sosial Islam dalam masyarakat Islam abad pertama dan kedua, dan menolak hukum fikih yng berisi tentang pengembangan moralitas di masyarakat berikutnya sampai zaman empat mazhab. Dengan demikian, tulis Wilfred kemudian, bahwa Ahmad Khan menerima hanya Al Quran dan memberikan relevansinya dengan masyarakat baru di zamannya sendiri dan menyangkal segala sesuatu selain Al Quran seperti otoritas para ulama, yang dianggapnya paling menentukan dalam agamanya.[3]
Selain itu, Ahmad Khan, sebagaimana diuraikan Wilfred sangat mengedepankan akal dalam melakukan interpretasi Al Quran yang menurutnya sangat mirip dengan pemikiran Mu’tazilah yang sering melakukan takwil. Mu’jizat baginya tidak pernah terjadi dan mi’raj nabi Muhammad hanyalah sekadar visi. Al Quran sendiri diartikan olehnya sebagai karya Allah Swt.[4]
Perlu diuraikan di sini bahwa di India, pemikiran pembaruan telah muncul pada abad ke-18, bersamaan waktunya dengan munculnya pemikiran pembaruan di Turki. Perbedaannya adalah bahwa di Turki, pemikiran pembaruan dalam kerangka pemerintahan di kesultanan Utsmaniyah yang sedang mengalami kemunduran, sementara di India, pemikiran pembaruan ini muncul dalam kerangka kerajaan Islam Mongol yang juga telah menurun kekuasaannya di India karena pengaruh Inggris yang mulai menjajah pada abad ke-17.[5] Pemikir pembaruan di India pada abad ke-18 ini di antaranya adalah Syah Waliyullah (1703-1762) pada awalnya dan dilanjutkan oleh Sayyid Ahmad Syahid (1752-1831) pada akhirnya memasuki abad ke-19, di mana pembaruannya dilanjutkan dengan Sayyid Ahmad Khan yang menjadi pembahasan kita kali ini.

2. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab India (Pakistan sekarang) pada 9 Nopember 1877[6] dalam keluarga Islam yang taat beragama di mana ayahnya adalah seorang sufi. Ia menempuh pendidikan formalnya pertama kali di maktab yang dilanjutkannya ke Scottish Mission School  di mana ia bertemu salah seorang yang kemudian berpengaruh kepada pemikiran keagamaannya, yaitu Sayid Mir Hasan.
Pada 1895, ia ke Lahore dan belajar di Government College di mana ia bertemu oleh Sir Thomas Arnold, guru besar Universitas Aligarh dan berkenalan dengan filsafat Barat darinya yang kemudian merekonmendasikannya untuk belajar ke Eropa. Pada tahun 1908 ia berhasil meraih gelah doktor dari Universitas Munich Jerman  dengan tesis tentang mistisisme Persia setelah sebelumnya berhasil mencapai gelar MA pada Universitas Cambridge di Inggeris. Ia pun sempat menggantikan gurunya Sir Thomas Arnold sebagai pengajar di Universitas London yang telah berusia lanjut.[7]
Pada tahun itu pula (1908) ia pulang ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara. Di samping itu ia juga aktif menggubah syair-syair sehingga ia terkenal sebagai pujangga dengan syair-syair yang menggelorakan semangat ajaran aktivismenya yang dinamis, ajaran tentang masa depan yang didasari nilai-nilai Islam yang sangat mengagumkan. Karirinya pun mulai menanjak sejak saat itu  di mana pada 1922 Muhammad Iqbal diangkat menjadi seorang bangsawan dan empat tahun kemudian menjadi anggota dewan legislatif pusat. Pada 1930 ia menjadi Ketua Liga Muslim.[8]
Ia meninggal pada 21 April 1938 setelah menderita penyakit kencing batu sejak 1935 sebelum ide negara Pakistan yang dicetuskannya menjadi kenyataan.
Dalam pandangan keagamaan, Iqbal membangunkan umat Islam yang menurutnya sedang terlelap dalam tidurnya dan menyerukan kepada mereka agar bersikap aktif dan dinamis dengan meninggalkan paham fatalisme dan mengambil paham kebebasan. Menurut Iqbal, sebagaimana ditulis Smith, hidup itu bukan untuk dikontemplasikan, namun harus dijalani dengan penuh semangat.[9] Oleh karena itu, pintu  ijtihad harus dibuka kembali seluas-luasnya, termasuk dalam lapangan fikih. Hal itu, menurut Iqbal karena sejak masa-masa yang sangat dini dalam sejarah Islam sampai masa Daulat Abbasiyah telah bermunculan berbagai mazhab fikih sebagai bukti diberlakukannya ijtihad.[10] Dalam hal ini, Iqbal mengkritisi pandangan sebagian ulama yang memberikan persyaratan ijtihad yang sangat ketat sehingga tidak mungkin dipenuhi yang mengakibatkan hukum Islam menjadi stagnan dan tidak berkembang. Umat Islam pun dilanda penyakit taqlid yang berkepanjangan. Ia mengatakan bahwa sikap pemagaran ijtihad dengan syarat-syarat yang sangat sulit ini merupakan sikap yang ganjil dalam sistem hukum yang didasarkan pada Al Quran yang mengandung satu pandangan hidup yang dinamis.[11]
Seruan untuk bergaya hidup yang dinamis dan meninggalkan sikap hidup yang pasif kepada umat Islam ini begitu  kerasnya dalam tulisan-tulisan Iqbal sehingga dapatlah dikatakan bahwa inilah inti dari seluruh ide-ide pembaharuannya yang diarahkan kepada umat Islam. Dalam suatu syairnya, sebagaimana dikutip Smith, Iqbal, berkenaan dengan ide dinamismenya sampai mengatakan bahwa seorang kafir yang dinamis adalah lebih baik daripada seorang muslim yang pasif. Berikut ini syairnya:
Seorang kafir yang berada di hadapan berhalanya dengan
Hati yang hidup (punya semangat)
Adalah lebih baik daripada orang beragama (Islam)
Yang tertidur di masjid.[12]
Namun hal itu bukan berarti rasa solidaritas Iqbal terhadap sesama umat Islam pudar, karena, sama dengan Jamaluddin Al Afghani, ia mengaku sebagai seorang Pan Islamis. Selain itu, ia juga sangat menekankan ukhuwah islamiyah dalam sya’ir-syairnya. Ia menghendaki adanya suatu jamaah Islam di mana seluruh umat Islam hidup adil dan makmur dalam satu persaudaraan tanpa dibatasi oleh suku, warna kulit dan etnik kedaerahan. Itulah yang merupakan ide Iqbal tentang negara Pakistan.
Selain itu, Iqbal sangat kritis dalam menghadapi dan menanggapi nilai-nilai Barat. Pada satu sisi ia menerima vitalitas dan dinamisme masyarakat dalam Barat dalam kehidupannya karena tidak bertentangan dengan Islam. Tapi, di sisi lain, ia mengecam nilai-nilai yang destruktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, ia tidak suka dan tidak rela meniru-niru demokrasi ala Barat. Ia sangat mengecam demokrasi Barat dan juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia juga menggambarkan peradaban Barat sebagai peradaban yang gelap karena kering dari nilai-nilai agama. Dalam suatu sya’irnya yang dikutip oleh Osman Raliby, Muhammad mengecam peradaban Barat dengan menulis:
“Wahai Bangsa Barat,
Bumi Tuhan ini bukanlah toko,
Emas yang kau sangka murni kini ternyata bernilai rendah.
Kebudayaan bakal bunuh diri dengan pedangnya sendiri,
Sangkar atas dahan yang lapuk tidaklah bisa menjadi aman”.[13]

3. Ahmad Dahlan

            Ahmad Dahlan lahir pada 1869, dengan nama Muhammad Darwis dalam keluarga yang taat beragama di Kauman Jogjakarta. Sebagaimana kebanyakan umat Islam pada waktu itu, ia tidak belajar di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda. Namun, hal itu tidak berarti ia tidak mempelajari ilmu pengetahuan umum. Selain belajar ilmu agama dari ayahnya, ia juga mempelajari ilmu falak dari gurunya Raden Dahlan dan ilmu kedokteran dari gurunya Syekh Muhammad Jamil Jambek.
            Pada 1890, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekah  belajar kepada Sayyid Santa sambil menunaikan ibadah haji. Kegiatan ini dilanjutkannya pada 1903 di mana ia belajar berbagai ilmu pengetahuan dari gurunya Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama besar dari Minangkabau yang juga guru Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU). Di sini, ia berkesempatan bertemu dengan Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh dan mempelajari karyanya yang terkenal, yaitu Tafsir Al Manar. Dari aktivitas haji yang kedua kalinya inilah Ahmad Dahlan mulai berpikir secara lebih mendalam tentang ide-ide moderennya dalam Islam.
            Sekembalinya dari Mekah, ia memulai transformasi ide-ide moderennya, baik sebagai guru pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah, maupun di organisasi-organisasi. Yunus Salam menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan selain sebagai pedagang, juga aktif di organisasi kebangsaan Budi Utomo sebagai salah satu pemimpinnya dan organisasi sosial Syarekat Dagang Islam (SDI) sebagai penasehat.[14]
            Karena dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh melalui muridnya Rasyid Ridha dan tafsirnya, ide-ide moderen Ahmad Dahlan yang termanifestasikan dalam organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan pada 12 Nopember 1912, tidak jauh berbeda dengan ide-ide pembaruan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Ia dalam bidang keagamaan sangat mengecam praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Dalam bidang pemikiran, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya menggunakan akal dalam memahami Islam. Berbeda dengan kebanyakan umat Islam pada masanya, ia memaknai makna tauhid sebagai teologi persaudaraan yang meliputi persaudaraan sesama umat Islam, yaitu ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan sesama manusia, yaitu toleransi antar umat beragama. Ide ini ia ungkapkan didasari oleh keadaan masyarakat Indonesia waktu itu yang sedang berada dalam penjajahan dengan tujuan agar seluruh masyarakat Indonesia mau saling membantu mewujudkan kepentingan bersama terlepas dari agama, etnik, suku bangsa maupun golongan. [15]
Selain itu, karena umat Islam didominasi oleh sikap taklid yang tidak produktif, dengan gerakan Muhammadiyahnya ia menyerukan  kepada umat Islam untuk kembali kepada Al Qur’an dan Hadis dan membuka kembali pintu ijtihad karena fatwa para ulama yang selama ini menjadi sandaran bukanlah kebenaran yang mutlak tanpa kemungkinan ada kesalahan di dalamnya. [16]
Dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan memandang perlunya ilmu pengetahuan umum dipelajari umat Islam agar mengejar ketertinggalannya dari Barat. Menurutnya, ilmu pengetahuan umum yang berasal dari Barat sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan agama. Oleh karena itu, ia pun mendirikan sekolah-sekolah yang di dalamnya terdapat perpaduan antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan dunia di samping melengkapi sekolah-sekolah pemerintah yang hanya mempelajari ilmu pengetahuan sekular dengan ilmu pengetahuan agama.[17]
            Selain menekankan pentingnya ilmu pengetahuan Barat, Ahmad Dahlan juga menerima sistem pendidikan Barat. Hal ini bisa dilihat dari sekolah-sekolah yang ia dirikan di mana tidak lagi merupakan sekolah-sekolah tradisional seperti pesantren yang dilakukan di dalam masjid atau surau. Sekolah-sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan adalah sekolah-sekolah moderen karena sudah merupakan bangunan tersendiri yang terdiri dari kelas-kelas sebagaimana yang diterapkan terlebih dahulu oleh pemerintah Belanda dalam sekolah-sekolahnya.
Sistem pendidikan Barat yang diadopsi Ahmad Dahlan, selain itu adalah jelasnya waktu belajar di sekolah. Berbeda dengan pesantren tradisional di mana waktunya yang tidak terikat, di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, telah diketahui dengan jelas kapan tahun ajaran baru dimulai dan kapan berakhir.
 Masalah hubungan antara guru dan murid juga menjadi salah satu sistem pendidikan yang diadopsi oleh Ahmad Dahlan. Ia, dalam sekolah-sekolahnya menekankan bahwa hubungan antara guru dan murid bukan hubungan antara raja dan rakyatnya di mana guru merupakan kata akhir yang tidak dapat dikritisi apalagi dibantah perkataannya.[18]
Dalam bidang sosial, pemikiran pembaharuan Ahmad Dahlan terwujud dalam sikapnya mengangkat martabat wanita dengan mendirikan organisasi khusus wanita, yaitu Aisiyah lima tahun setelah berdirinya Muhammadiyah. Ia berpendapat bahwa kedudukan laki-laki sama dengan perempuan. Oleh karena itu, wanita juga dapat berperan dalam masyarakat dan tidak terbatas pada perannya sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, ia pun merubah praktek sebagian umat Islam dalam pengelolaan zakat yang mengangap bahwa kyai mapun pejabat pemerintahan berhak menerima zakat karena hal ini bertentangan dengan Al Quran tentang para penerima zakat. Pembaharuan dalam pengelolaaan dana zakat dengan menjalankan manajemen yang moderen dikatakan oleh Mitsuo Nakamura dimulai sejak 1920.[19]
Pembaharuan Ahmad Dahlan dalam bidang sosial ini tercermin juga dalam sikapnya yang sangat peduli pada anak yatim yang ia demonstrasikan kepada para muridnya dalam memberikan pelajaran tafsir surat Al Ma’un. Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Yunan Yusuf, Mohammad Damami dan Muhammad Yusran Asrafi, Ahmad Dahlan waktu itu langsung memerintahkan kepada setiap satu orang dari muridnya untuk mencari seorang anak yatim miskin dan memberikannya seperangkat pakaian dan alat-alat mandi serta makanan. Setelah masing-masing melaksanakan perintahnya barulah pelajaran tafsirnya dilanjutkan.[20]

4. Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada 23 September 1919 dari seorang ayah yang berprofesi sebagai Penghulu dan Hakim Agama pada pemerintahan Belanda Tapanuli Selatan. Oleh karenanya, ia hidup dalam keluarga yang berkecukupan dalam ekonomi sehingga ia pun mendapatkan kesempatan bersekolah di HIS selama tujuh tahun. Ia juga hidup dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan yang ia nikmati di rumah di mana tiap hari ia mengaji dari pukul 16.00 hingga 17.00 dilanjutkan dengan setelah shalat maghrib. Pada pagi hari ia bangun untuk melakukan shalat Subuh berjamaah. Pada bulan Ramadlan, ia bertadarrus Al Quran hingga pukul 24.00.
            Pada 1934 Harun menempuh pendidikan di MIK, suatu sekolah swasta Islam moderen setingkat MULO di Bukittinggi. Di sini ia mulai mendapatkan pengaruh pemikiran moderen. Tapi karena merasa kurang nyaman, ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu sekolah guru Muhammadiyah (HIK) di Solo, namun tidak jadi karena ibundanya telah merencanakan kepergiannya ke Mekah dan menjadi guru di sana. Setelah bertemu dan berkonsultasi dengan Mukhtar Yahya, seorang alumnus Mesir, ia lebih tertarik mengikuti saran darinya setelah sebelumnya ia juga telah mengetahui tentang keadaan Mesir dari majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan Hamka.
            Agar tidak mengecewakan ibunya, ia pun ke Mekah dan mendalami bahasa Arab dengan niat dari sana akan terus ke Mesir. Setelah satu tahun setengah, ia pun tiba di Mesir pada 1938 setelah mendapat ijin dan uang dari orangtuanya di tanah air dan masuk ke Fakultas Ushuluddin di Universitas Al Azhar setelah lulus dalam ujian ahliyyah. Namun, karena kurang puas dengan sistem pendidikan di Al Azhar meskipun sudah lebih moderen dibanding di Majidil Haram, ia pun melanjutkan studinya di Universitas Amerika di Kairo. Karena masalah keuangan, kuliah di Universitas Amerikanya terbengkalai meskipun akhirnya selesai juga hingga tahun 1953 ketika ia disuruh pulang setelah menjadi atase di Kedutaan Indonesia di Mesir pada 1949. Pada 1955 setelah pemilu, Harun diangkat menjadi sekretaris Duta Besar di Belgia. Pada 1960 kembali ke Mesir setelah keluar dari kedutaan. Ia menekuni ilmu-ilmu keislaman kembali dengan belajar di Ad dirasat al islamiyyah. Salah satu dosennya adalah Abu Zahrah yang menurutnya moderen setelah merekomendasikan mandi dengan niat wudlu.
Namun, ia tetap tidak betah di sana dan kuliah pun dilanjutkan ke Universitas McGill setelah mendapat rekomendasi dari Abu Zahrah pada 1962 dengan beasiswa hingga meraih MA dan dilanjutkan dengan Ph. D pada 1968. Di sinilah Harun banyak belajar tentang Islam dari Barat yang moderen, baik dari kalangan orientalis maupun tidak. Ia berpendapat bahwa pengajaran Islam di Timur yang kurang kaku dan kurang rasional harus dirubah menjadi seperti di Barat yang sangat rasional. Karena latar belakang pendidikan agamanya, baik selama di Indonesia maupun di Mesir begitu kuat, ia lebih terpengaruh oleh filsafat Islam, tepatnya ilmu kalam. Dan disertasinya tentang Muhammad Abduh sebagai pemikir moderen sekaligus muktazilah adalah bukti  perhatiannya pada filsafat Islam dan sekaligus kemapanannya dalam pemikiran moderen.
            Maka dari itu, sepulangnya dari Kanada, Harun Nasution pun mencurahkan perhatiannya pada transformasi pemikiran Islam moderennya di Indonesia, khususnya di kalangan akademik, terutama di IAIN sebagai pusatnya. Dalam bidang pendidikan, meskipun ide-ide pembaruannya mengalami banyak kendala, akhirnya berhasil juga. Yang ia lakukan adalah modernisasi kurikulum. Pada aspek ini Harun menilai bahwa matakuliah-matakuliah umum,  terutama filsafat harus diajarkan karena matakuliah inilah yang menurutnya dapat merubah keadaan umat Islam menjadi maju. Titik tolaknya adalah bahwa pemikiran Mu’tazilah harus menggantikan pemikiran Asy’ariyah yang sangat dominan, karena dalam sejarah, umat Islam maju oleh kaum Mu’tazilah.[21]
            Di sini Harun Nasution, sebagaimana para pemikir moderen lainnya, menekankan pentingnya akal dalam memahami Islam. Akal baginya merupakan lambang kekuatan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya sehingga harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun, keinginan mengganti teologi Asy’ariyah dengan teologi Mu’tazilah bagi Harun bukan berarti mengedepankan akal dari wahyu sebagaimana disalahpahami sebagian orang karena Mu’tazilah juga menggunakan ayat-ayat Al Quran dan Hadis dalam mempertahankan pendapat mereka. Bahkan, dengan  mengutip An Nasysyar, Guru Besar Filsafat Islam Universitas Alexandria, Harun seakan ingin mengatakan bahwa Mu’tazilah terkenal sebagai orang-orang zahid, bertakwa dan banyak ibadah.[22]
            Pemikiran moderen Harun Nasution, salah satunya diuraikan dalam buku Islam ditinjau dari berbagai aspeknya yang disusun untuk keperluan IAIN dan perguruan-perguruan tinggi lain serta masyarakat umum. Pada kurikulum IAIN tahun 1975 buku ini merupakan matakuliah Komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa, apa pun jurusannya. Dalam buku ini Harun mengatakan bahwa dalam masyarakat waktu itu ada pandangan yang menganggap bahwa Islam itu sempit, padahal sebenarnya luas. Pandangan ini, menurut Harun keliru, oleh karenanya harus dirubah. Karena dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek lain seperti teologi, ajaran spirituil dan moral, sejarah, kebudayaan, politik, hukum, lembaga kemasyarakatan, mistisisme dan tarekat, filsafat, ilmu pengetahuan dan pemikiran serta usaha-usaha pembaharuan dalam Islam.[23]

5. Nurcholish Madjid

            Nurcholish Madjid lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, Kiai Abdul Madjid, yang dikenal sebagai pendukung Masyumi adalah seorang ulama alumni pesantren Tebuireng dan sekaligus murid dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu. Sedangkan ibunya adalah anak Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri yang juga teman dekat KH. Hasyim Asy’ari. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, Nurcholish menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968)[24], yang dilanjutkan dengan studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah dengan Fazlurrahman sebagai pembimbingnya yang sekaligus orang yang berpengaruh dalam pemikiran moderennya di Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa, Nurkholish aktif di organisasi mana pada periode tahun 1966-1969 dan 1969-1971 ia menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI. Ia juga menjadi Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) pada tahun 1967-1969, dan menjadi Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations) pada tahun 1969-1971.
Selain di organisasi, Nurcholish Madjid juga aktif dalam kegiatan ceramah dan tulis menulis. Yang terakhir ini ia mulai sejak ia masih menjadi mahasiswa pada tahun 1963 di mana ia mengirimkan hasil terjemahannya tentang fikih Umar bin Khattab ke majalah Gema Islam pimpinan Hamka. Setelah itu tulisannya banyak mengisi kolom-kolom di berbagai media masa di tanah air.
Tiga tahun setelah lulus dari IAIN, Nurcholish Madjid aktif dalam bidang pendidikan dengan mengajar sebagai dosen di almamaternya IAIN Syarif Hidayatullah, dan kemudian sejak tahun 1985 menjadi dosen pascasarjana di kampus yang sama. Ia juga aktif sebagai peneliti di LIPI sejak tahun 1978. Dan di luar negeri beliau juga sempat menjadi Guru Besar Tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, antara tahun 1991-1992.
Ide-ide moderen Nurcholish Madjid dikemukakan secara formal pertama kali pada 2 Januari 1970 pada acara silaturrahmi Idul Fithri atau halal bihalal yang diadakan bersama oleh empat organisasi pemuda dan mahasiswa muslim terkemuka waktu itu, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) dalam suatu makalah berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Dalam makalah ini, Nurcholish menyatakan bahwa pembaharuan pemikiran Islam adalah suatu persoalan yang mendesak, karena organisasi-organisasi Islam moderen seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis dan lainnya telah kehilangan elan mereka yang reformis dan dinamis dalam dunia moderen.[25]
            Kemudian, de-ide moderen ini pada 30 Oktober 1972 diungkapkan kembali oleh Nurcholish Madjid di dalam sebuah ceramah di Taman Ismail Marzuki yang dihadiri para cendikiawan-cendikiawan muslim dengan judul Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Indonesia, berupa penjelasan lebih lanjut dengan menguraikan masalah prinsip iman, prinsip amal saleh dan cita-cita keadilan sosial. Muhammad Kamal mengatakan dalam disertasinya tentang modernisasi di Indonesia dan respon para cendekiawan muslim terhadapnya bahwa ia hadir dalam acara tersebut dan Nurcholish waktu itu mengatakan dalam menjawab sebuah pertanyaan, bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah ada negara Islam, yang ada pada masa Nabi dan Khalifah pertama adalah negara-negara kesukuan.[26]
Menurut Nurcholish, pembaharuan pemikiran Islam ini dimulai dengan dua tindakan yang antara satu dengan yang lainnya erat hubungannya, yaitu membebaskan umat dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan proses yang disebut dengan liberalisasi dengan menerapkan sekularisasi, kebebasan berpikir, Idea of Progress dan sikap terbuka. [27]
Berbeda dengan sekularisme, sekularisasi menurut Nurcholish bukan berarti penerapan sekularisme, karena ini sangat bertentangan dengan Islam. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Tujuannya adalah untuk memantapkan tugas duniawi  sebagai Khalifah Allah di bumi, karena, menurut Nurcholish, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini. Jadi sekularisasi di sini menurut Nurcholish adalah desakralisasi terhadap sesuatu yang lain (dunia) daripada sesuatu yang benar-benar transendental (Tuhan) sebab sakralisasi kepada selain Tuhan itulah pada hakekatnya apa yang dinamakan “syirik” .
Dalam hal kebebasan berpikir, Nurcholish menyatakan bahwa hal ini dilakukan oleh setiap gerakan pembaharuan, baik perorangan maupun organisasi di mana pun di dunia ini dan kita harus mantap berkeyakinan bahwa semua bentuk pikiran atau pun ide yang umumnya dikira salah dan palsu, ternyata kemudian benar. Oleh karena itu, umat Islam diserukan untuk tidak ragu dan aktif mengambil inisiatif dalam berpikir bebas di dunia ini sehingga posisi-posisi strategis tidak diambil pihak lain yang akan merugikan kepentingan umat Islam sendiri.
Tentang idea of progress dan sikap terbuka, Nurcholish menyatakan bahwa sebagai umat Islam harus optimis menghadapi kehidupan dan tidak perlu khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata nilai-tata nilai duniawi manusia. Yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi perubahan ini, menurut Nurcholish adalah sikap mental yang terbuka, yaitu kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai duniawi dari mana saja asalkan mengandung kebenaran. Hal inilah yang menjadikan umat Islam dalam sejarahnya dalam mengambil warisan-warisan manusiawi baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persi), lanjut Nurcholish, melahirkan suatu kebudayaan dan peradaban yang dibanggakan.


[1] Wilfred Canttwell Smith,  Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 9.
[2] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 87.
[3] Wilfred Canttwell Smith,  Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 15-16.
[4] Wilfred Canttwell Smith,  Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 17.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 175.
[6] Sebenarnya tentang kelahiran Iqbal terdapat beberapa perbedaan. Miss Luce Claude Maitre, Osman Raliby dan Bachrum Rangkuti mencatat bahwa ia lahir pada 22 Pebruari 1873, sedangkan Wilfred Cant’well Smith mencatat kelahirannya tahun 1876. Namun yang terkuat adalah pada 9 Nopember 1877 di mana KBR Islam Pakistan memeringati 100 tahun kelahirannya pada tanggal 9 Nopemmber 1977. Lihat Drs. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam, h. 44.
[7] Drs. Muhammad Iqbal,  Rekonstruksi Pemikiran Islam, h. 47.
[8] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke-1, tahun 2004, h. 112.
[9] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke-1, tahun 2004, h. 113.
[10] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang, cet. ke-3, 1983, h.223.
[11] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang,cet. ke-3, 1983, h. 205.
[12] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke 1, 2004, h.115.
[13] Osman Raliby dalam Sedikit Tentang Iqbal dalam Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam,  Bulan Bintang, cet. ke-3, 1983, h. 15-16.
[14] Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, h. 10.
[15] Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, Penerbit Fajar Pustaka Baru, Cet. ke-1, 2000, h. 62-63.
[16] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (1900-1942), LP3ES, Cet. ke-7, 1994.
[17] Lihat Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, h. 68-70 tentang pembaruan gerakan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
[18] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, h. 70-72.
[19] Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Gajah Mada University Press, 1983.
[20] Lihat Muhammad Yunan Yusuf dalam Teologi Muhammadiyah : Cita Tajdid dan Realitas Sosial, h. 38-39, Mohammad Damami dalam Akar Gerakan Muhammadiyah, h. 93-94 dan Muhammad Yunan Asrofi dalam Kiyai Haji Ahmad Dahlan: Pemikirannya dan Kepemimpinannya, h. 50.
[21] Panitia Penerbitan Buku dan Seminar Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution dan LSAF, Cet. Ke-1, 1989, h. 37.
[22] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Cet ke 2, 2002 h. 58.
[23] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, UI Press, Cet. 5, 1985, h. 4.
[24] Sebelum belajr di IAIN, Nurcholish Madjid memiliki keinginan untuk melanjutkan studinya di Universitas Al Azhar, Mesir. Namun karena sesuatu hal ia tidak jadi ke sana. Ia pun akhirnya diberikan rekomendasi ke IAIN oleh KH. Syukri Zarkasyi, pimpinan Gontor waktu itu melalui salah seorang alumni Gontor karena Nurcholish tidak memiliki ijazah negeri.
[25] Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, PT Bina Ilmu, 1987, h. 117. Isi lengkap makalah ini bisa dilihat dalam lampiran buku ini.
[26] Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, PT Bina Ilmu, 1987, h. 126.
[27] Lihat lampiran dalam buku Modernisasi Indonesia yang telah disebutkan di atas pada halaman 245.

Pemikiran Moderen dalam Islam di Timur Tengah

Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.

1. Khairuddin Pasya At Tunisi

Khairuddin lahir pada 1810 di Syarkasy dari keluarga Abadan di sebuah provinsi Rusia di Asia Tengah. Ia diculik pada waktu masih kanak-kanak dan dijual sebagai budak di Istambul di mana Tahsin Bek, seorang bangsawan Turki membelinya dan memeliharanya hingga dewasa hingga ia menjualnya kembali kepada Bey Ahmad Pasya, seorang penguasa Tunisia yang kemudian membawanya ke Tunisia .
Di Tunisia, Khairuddin tinggal di Istana Bey dan mendapat perhatian yang sangat baik oleh Tuannya dengan memberikannya kesempatan menempuh pendidikan secara baik layaknya seperti anaknya sendiri. Setelah menempuh pendidikan tradisional sebagaimana masyarakat muslim Tunisia waktu itu dan menguasai bahasa Arab, Prancis dan Turki, ia beralih ke karir yang ia mulai dari militer. Karena prestasinya yang luar biasa, setelah Bey Ahmad Pasya meninggal, ia diangkat oleh Bey Muhammad Pasya sebagai Menteri Peperangan selama 6 tahun sejak 1273-1279 H di mana ia mulai melakukan pembaharuan di bidang administrasi negara dan sarana-sarana sosial. Ia juga dipercaya untuk mengemban amanah sebagai Ketua Majelis Syura yang merupakan salah satu usahanya dalam melakukan pembaharuan di bidang pemerintahan.
Namun, karena mendapatkan banyak rintangan, Khairuddin mengundurkan diri dari Kabinet dan menjalani karir sebagai Duta Besar di negara-negara Eropa, yaitu Jerman, Prancis, Inggeris, Swedia, Belanda, Denmark dan Belgia. Dari pengalamannya sebagai Duta Besar di berbagai negara Eropa ini, ia mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan kemajuan yang dicapai Barat dan menulisnya dalam sebuah buku berjudul Aqwamul Masalik Fi ma’rifati Ahwalil Mamalik. Karyanya ini merupakan manifestasi dari pemikiran moderennya yang ia tulis untuk kepentingan dan kemajuan umat Islam. [1]
Pada waktu Tunisia mengalami masalah keuangan yang sangat berat pada 1286 H, Khairuddin dipaksa oleh Bey Muhammad Shadiq Pasya untuk menjadi ketua dalam Komite Keuangan. Setelah berhasil mengatasi masalah keuangan tersebut, karirnya terus menanjak hingga menjadi Perdana Menteri. Pada saat itulah ia melaksanakan kembali ide-ide pembaharuannya sehingga Tunisia berubah keadaannya dari kesusahan, kesempitan, morat-marit dan teraniaya menjadi aman, makmur dan teratur. Keadaan ini terus berlangsung hingga pada 1294 H. ia mundur dari jabatannya karena merasa terus diserang oleh lawan-lawan politiknya yang tidak menyukai berbagai kebijakannya.
Karir Khairuddin tidak berhenti sampai di sini, karena tidak lama setelah itu, tepatnya pada 4 Desember 1878 (1295 H.) ia diangkat menjadi Perdana Menteri di kesultanan Utsmaniyah untuk menyelesaikan masalah politik dan keuangan yang sangat berat hingga akhirnya ia dibebastugaskan oleh Sultan Abdul Humid hingga meninggal dunia pada 1889.
Berkenaan dengan ide-ide moderen, dalam bukunya Aqwam al-Masalik  ini, pada bagian pendahuluannya, Khairuddin menerangkan keadaan umat Islam dan perlunya memperbaiki dan cara yang harus dilakukan untuk perbaikan itu. Ia, sebagaimana diuraikan oleh Mukti Ali, mencela umat Islam karena mereka tidak mau mengambil cara-cara Barat dalam perbaikan. Mereka menganggap bahwa apa saja yang keluar dari Eropa adalah haram dengan alasan yang bermacam-macam.[2]
Dari sini nampak bahwa Khairuddin sesungguhnya sedang berupaya mengingatkan umat Islam tentang pentingnya mencapai kemajuan sebagaimana yang telah dicapai oleh Barat. Dan Jika umat Islam ingin maju seperti negara-negara Barat, mereka tidak perlu merasa salah mengambil ilmu Barat untuk meraih kemajuan tersebut karena tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam masalah pemerintahan, ide moderen Khairuddin terwujud dalam pandangannya tentang perlunya suatu majelis syura yang berwenang menyikapi dan merespon segala permasalahan rakyat dengan sebaik-baiknya sehingga keputusan-keputusan Pemerintah tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ia, dalam hal ini mengecam tindakan-tindakan diktatorisme yang dilakukan pemimpin Islam dalam pemerintahannya. Sebagai contoh dalam penerapan pajak, Khairuddin mengecam tindakan pemerintahnya yang dengan seenaknya saja membelanjakan uang negara di mana jika telah kehabisan uang, maka yang dilakukan adalah dengan menentukan pajak-pajak baru.[3]
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa keadilan dan kebebasan merupakan dua tiang yang harus ada dalam suatu negara yang ingin maju. Penduduk Eropa yang mengalami kemajuan, menurut Khairuddin, hal itu terjadi karena adanya keadilan dan kebebasan ini. Itu hukum alam yang tidak akan berubah. Keadilan dan kebebasan pasti akan melahirkan kemakmuran.[4] Kebebasan yang dimaksud Khairuddin di sini meliputi kebebasan pribadi di mana seseorang itu bebas melakukan segala hal untuk kepentingan diri dan pekerjaannya, serta aman dan dilindungi dirinya, kehormatannya, harta bendanya dan persamaan bagi seluruh penduduk dalam hak dan kewajiban, dan kebebasan politik di mana setiap penduduk berhak ikut ambil bagian dalam pemerintahan dan berpartisipasi dalam penetapan undang-undang demi kepentingan bersama antar rakyat dan pemerintah.[5]
Dalam bidang pendidikan, ide-ide moderen Khairuddin teraplikasikan dalam wujud pembangunan sekolah-sekolah moderen, perbaikan perpustakaan dan pembenahan percetakan negara. Di sekolah-sekolah yang ia dirikan. tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga diajarkan di dalamnya ilmu-ilmu sekular di mana diajarkan pula bahasa Turki, Prancis dan Italia. Perpustakaan Jami’ Zaitunah yang pada waktu itu memiliki 1100 kitab tulisan tangan diatur dengan baik. Dan percetakan negara yang berwenang mencetak dan menyiarkan buku-buku diperbaiki sesuai dengan perkembangan jaman. Sementara itu, rakyat dianjurkan untuk berpartisipasi dalam menuangkan ide-ide mereka tentang politik di surat kabar Ar Raid At Tunisi terbitan pemerintah dan para pegawai pemerintahan diwajibakan untuk membaca surat kabar itu.[6]

2. Muhammad Ali Pasya

Muhammad Ali lahir pada 1765 dari keturunan Turki. Ia baru berusia 4 tahun ketika ayahnya meninggal dunia dan diasuh oleh pamannya. Pamannya pun meninggal dunia sehingga ia diambil oleh Gubernur dan dijadikan anak angkat dengan meminta sahabat ayahnya untuk mengasuhnya dengan biaya dari Gubernur.
Muhammad Ali sejak kecilnya tidak memperoleh pendidikan sebagaimana umat Islam kebanyakan pada waktu itu. Yang ia dapati adalah pengalaman-pengalaman di bidang kemiliteran. Namun, dalam bidang inilah ia berhasil meraih prestasi yang baik sehingga diangkat oleh kesultanan Utsmaniyah menjadi penguasa Mesir pada 1805.
Pada 1811 ia diperintahkan oleh pemerintahan Utsmaniyah untuk mengatasi masalah pemberontakan gerakan Wahabi di Saudi Arabia. Ia pun berhasil, dan setelah itu, bersama anaknya, Ibrahim Pasya, ia pun berniat menguasai pemerintahan pusat dan niatnya itu hampir berhasil kalau saja pemerintahan Inggeris dan Rusia tidak turun tangan membantu kesultanan Utsmaniyah. Ide untuk mandiri dengan memerdekakan diri dari kesultanan Utsmaniyah inilah yang membawa Muhammad Ali kepada ide nasionalisme. Maka, setelah Perjanjian London yang memaksanya untuk berkonsentrasi di Mesir, seluruh pemikiran pembaharuannya di fokuskan untuk kemajuan Mesir.
Ia berkeyakinan bahwa ketinggian dan kemajuan Eropa didasarkan atas kekuatan militernya yang didukung oleh kekuatan ekonomi yang membiayainya. Oleh karena itu, dalam pembaharuannya di Mesir, selain pembaharuan di bidang militer, pembaharuan di bidang ekonomi juga ia lakukan. Dan karena pembaharuan di kedua bidang tersebut memerlukan para ahli, maka untuk merealisasikan ide-ide pembaharuannya, selain mendatangkan para ahli dari Eropa, ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk melahirkan para ahli di kedua bidang tersebut. Untuk itu, didirikanlah Sekolah Militer di tahun 1815, Sekolah Teknik tahun 1816, sekolah kedokteran tahun 1827, sekolah pertambangan tahun 1834 dan sekolah pertanian tahun 1836. Ia juga mengirim pemuda-pemuda Mesir untuk belajar ke Eropa.
Pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali ini sebenarnya masih bersifat pragmatis di mana ilmu-ilmu pengetahuan sekular yang menjadi perhatiannya tidak dimasukkan dalam kurikulum Al Azhar, walaupun di masa lampau sains tersebut diajarkan. Karena, sebagaimana ditulis oleh Fazlurrahman, tujuan utama pendirian sekolah-sekolah tersebut sebelumnya adalah untuk menghasilkan pegawai-pegawai untuk pemerintahan dan administrasi.[7]
Tetapi dalam hal ini harus diakui bahwa melakukan pembaharuan di Al Azhar dengan memasukkan sains ke dalamnya adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan karena itu bertentangan dengan tradisi pengajaran yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Dalam sejarah pembaharuan di Mesir, Al Azhar baru memasukkan sains di dalam kurikulumnya pada 1961 atau lebih dari setengah abad setelah pembahruan Muhammad Ali dengan adanya fakultas-fakultas sekular seperti kedokteran, pertanian, teknik dan lain-lain. [8]
Oleh karena itu, usaha pembaharuan Muhammad Ali, sebagaimana telah disebutkan di atas memiliki nilai yang sangat positif dalam merintis gerakan pembaharuan dalam Islam di Mesir, karena usahanya tersebut telah membuat pemikiran moderen cepat berkembang di Mesir yang dilanjutkan oleh para pemikir lainnya seperti At Thahthawi dan Muhammad Abduh yang akan dijelaskan berikut ini.

3. Rifa’ah Rafi at Tahthawi

At Thahthawi lahir di Thahtha, suatu kota kecil di Mesir pada tahun 1801. Sebagaimana anak-anak muslim Mesir pada umumnya, at Thahthawi belajar ilmu-ilmu agama pada masa kecilnya. Pada usia 16 tahun ia melanjutkan studi ke Al Azhar.
Setelah menyelesaikan studinya di Al Azhar,  sebagai salah seorang ulama al Azhar, At Thahthawi dikirim ke Paris menjadi Imam masjid di sana oleh Muhammad Ali Pasya, pemikir pembaruan yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1826. Selain bertugas sebagai Imam, At Thahthawi juga belajar banyak ilmu pengetahuan dan membaca karya-karya para pemikir Perancis seperti Voltaire, Montesquieu, Condillac, dan Rousseau..
Sekembalinya di Kairo setelah kurang lebih lima tahun di Paris, ia diangkat menjadi guru dan penerjemah di sekolah kedokteran. Tahun 1836, ia pun mendirikan akademi bahasa-bahasa dan menterjemahkan konstitusi dan hukum perdata Prancis ke dalam bahasa Arab.
Selain mengajar dan menerjemahkan buku-buku, AT Tahthawi juga menulis. Di antara tulisannya terdapat buku-buku mengenai pengalaman di Paris, tentang perekonomian, pemerintahan demokrasi, pendidikan dan ijtihad. Buku-buku itulah yang merupakan wahana baginya untuk menuangkan ide-ide pembaruannya.
Dalam upayanya menyebarkan ide-ide moderennya, atThahthawi sempat  mendapatkan hambatan yaitu pada masa pemerintahan Abbas Hilmi I yang menutup lembaga penerjemahan yang ia dirikan dan mengasingkannya ke Khartum Sudan. Pada masa Sa’id ia diperbolehkan kembali ke Mesir dan melakukan aktivitas penerjemahannya kembali. Lalu pada masa pemerintahan Ismail, at Thahthawi dilibatkan dalam penerbitan Al Bulaq milik pemerintah. Di sini ia merekomendasikan buku-buku Arab klasik yang dianggapnya perlu diterbitkan, termasuk Al Muqaddimah, karya Ibn Khaldun yang sangat terkenal itu. yang meninggal dunia di Kairo pada tahun 1873.
Salah satu buku at Thahthawi yang menjadi salah satu referensi tentang pemikiran modernnya adalah At Thahthawi adalah Takhlis al-Ibriz ila Talkhis Bariz yang diterbitkan beberapa bulan setelah kembalinya dari Paris. Dalam buku ini, at Thahthawi menceritakan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Eropa, khususnya Perancis seperti kebersihannya, kedisiplinannya dan etos kerjanya yang sangat jauh berbeda dengan yang ada di Mesir, tanah airnya.
Adapun pemikiran-pemikiran moderen At Tahthawi, sebagaimana disimpulkan oleh Harun Nasution di antaranya adalah :
1.          Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal akhirat saja tapi juga hidup di dunia.
2.          Kekuasaan absolut raja harus dibatasi oleh syariat dan raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum terpelajar seperti dokter, ekonom dll.
3.          Syriat harus disesuaikan dengan perkembangan moderen
4.          Kaum ulama harus mempelajari filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan moderen agar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan masyarakat moderen
5.          Pendidikan harus bersifat universal dan sama bentuknya untuk semua golongan. Wanita harus memperoleh pendidikan yang sama dengan pria. Isteri tidak hanya untuk tinggal di dapur.
6.          Umat Islam harus dinamis dan berusaha meninggalkan sifat statisnya.[9]
Berkenaan dengan sains, dalam bukunya Manahij al Albab, Thahthawi menyatakan, sebagaimana dikutip Fazlurrahman, bahwa kaum muslim mesti mempelajari semua sains moderen, karena orang Eropa telah mengembangkannya sesudah meminjam dari kaum muslimin sendiri.[10]

4. Jamaluddin Al Afghani

Jamaluddin Al Afghani lahir pada 1838 dari keluarga bangsawan yang menguasai sebagian wilayah di Afghanistan sampai masa di mana raja Muhammad Khan mengambil alih kekuasaannya.[11] Dengan latar belakang yang demikian, ia memiliki kesempatan yang baik untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan, sehingga dalam usia 18 tahun ia sudah menguasai bahasa Arab, bahasa Persia, sejarah, hukum, filafat, di samping ilmu-ilmu agama.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Afganistan, ia berangkat ke India dan melanjutkan pendidikan tingkat tingginya di sana. Selain belajar, ia juga telah memulai pergerakan politik di India dalam mengusir penjajahan Inggeris. Pada 1857 ia ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan tinggal di Hijaz selama setahun. Setelah itu ia ke Palestina, melalui Irak dan Iran  hingga ke Balluchistan. Dari sana ia kembali ke Afghanistan dan menjabat sebagai pembantu raja Muhammad Khan dan menteri dalam pemerintahan Azam. Karena pemerintahan Azam ditaklukkan oleh oposisi di bawah pimpinan Shir Ali yang didukung Inggeris, ia meninggalkan Afghanistan dan pergi ke India dan meneruskan perjuangan politiknya di sana. Karena dianggap mengganggu stabilitas politik di India, Inggeris yang pada saat itu telah menjajah India mengusirnya karena dianggap berbahaya. Ia pun ke Mesir pada 1871 atas permintaan dari Risyad Pasya, Perdana Menteri  Mesir waktu itu dan menekuni bidang pendidikan dan pengajaran.[12]
Karena keadaan politik di Mesir kala itu yang memanas terutama pada 1876 di mana pemerintah asing mencampuri urusan dalam negeri pemerintahan Mesir, ia pun aktif kembali dalam kegiatan politik di mana pada 1879 ia mendirikan Partai Nasional (al hizbul wathani). Usahanya untuk menggulingkan raja Mesir, yiatu Khedive Ismail berhasil, meskipun Taufik, sebagai penggantinya dengan tekanan dari pihak Inggeris mengusir Afghani keluar dari Mesir pada 1879.
Pengembaraan politiknya yang sangat padat dan beragam, sejak di Afganistan, India hingga Mesir yang berada dalam cengkraman penjajahan Inggeris, sebagaiman diuraikan di atas, telah mengantarkan Al Afghani memfokuskan ide-ide pembaharuannya pada ide Pan Islamisme (Kesatuan Islam/Jama’ah Islamiyah).  Ia berpendapat bahwa Barat adalah musuh umat Islam, oleh karena itu, salah satu jalan agar umat Islam bangkit dari keterpurukannya adalah dengan bersatu padu melawannya. Ide-ide pembaharuannya yang dituliskan Afghani dalam majalah Al Urwatul Wutsqa bersama muridnya Muhammad Abduh terbit di Paris hanya selama delapan edisi dari 13 Maret hingga 17 Oktober 1884 karena dilarang pemerintah Inggeris yang merasa politiknya terancam.
Salah satu ide moderen Al Afghani terwujud dalam penolakannya terhadap teori evolusi Darwin dalam bukunya Ar Raddu ‘aladdahriyyin. Ia menganggap bahwa aliran evolusi Darwin melahirkan pengingkaran akan adanya Tuhan sekalipun Darwin sendiri bukan orang yang mengingkari Tuhan karena pada masa Darwin inilah tersebar mterialisme yang mengatakan bahwa alam ini mempunyai satu dasar, yaitu materi, dan tidak ada yang lainnya, dan segala sesuatu dalam kehidupan ini merupakan manifestasi dari materi itu, termasuk pikiran dan perasaan. Materi itu tidak akan hilang dan tidak akan rusak. Dan hukum-hukum yang mengenainya abadi, tidak akan berubah. Ia azali dan abadi. Dan sebenarnya di alam semesta ini tidak ada sesuatu yang binasa, tetapi segala sesuatu itu berubah dalam bentuk. Karena itu tidak ada jiwa, tidak ada ruh, tidak ada agama dan tidak ada Tuhan.[13]

5. Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di sebuah desa bernama Mahallatu Nasr, Mesir dari kedua orang tua yang sederhana. Belajar membaca dan menulis pertama kali didapatkannya di rumah orang tuanya sendiri. Pada umur 10 tahun, telah hapal Al Quran dengan baik. Menginjak umur 15 tahun, pergi ke "Al Jami Al Ahmadi" di Thontho untuk belajar Ilmu Tajwid dan  Tatabahasa Arab, tetapi tidak kerasan dan hampir saja keinginannya menuntut ilmu hilang dari dirinya dan beralih ke tani, jika tidak bertemu dengan salah seorang paman dari ayahnya, Syeikh Darwisy, seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran as Sanusiah yang sejalan dengan aliran Wahabiyah dalam hal ajakannya untuk kembali kepada corak Islam yang pertama yang bersih dari bid’ah. Apa yang ia pelajari bersama gurunya ini menjadi salah satu aspek pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh kemudian.[14]
Pada tahun 1866 dan berumur 17 tahun, ia berangkat ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikannya selama tiga tahun, tetapi hal itu tidak memberikannya banyak faedah karena sistem belajar di Al Azhar waktu itu yang sangat menekankan hapalan tanpa diiringi dengan pemahaman yang semestinya sehingga ia berhenti kuliah dan pergi mengamalkan zuhud dan menyendiri hingga akhirnya bertemu dengan Jamaluddin Al Afghani dan berguru kepadanya.
Pada tahun 1876, setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Al Azhar, Muhammad Abduh mengajar sejarah di universitas Darul Ulum selain mengajar di Universitas Al Azhar dan madrasah-madrasah yang berada di bawah naungannya. Pada saat yang sama, ia aktif menulis mengikuti gurunya Al Afghani di berbagai surat kabar, terutama Al Ahram dan terjun ke dunia politik.
Pada tahun 1884, tepatnya di musim panas, ia berangkat ke Inggeris sebagai wakil dari "Al Urwatul Wusqo" di London dan menemui para politikus Inggeris untuk membicarakan masalah Mesir dan eksistensinya. Yang terpenting adalah pembicaraannya dengan Lord Huntington, Menteri Peperangan Inggeris tentang keinginan rakyat Inggeris untuk merdeka dan bebas dari penjajahan Inggeris. Pada kesempatan itu, ketika disindir dengan perkataan Lord Huntington bahwa bangsa Mesir merasa senang berada di bawah kekuasaan Inggeris, ia mengatakan bahwa keinginan untuk merdeka dari suatu penjajahan asing adalah fithrah manusia yang hadir bahkan dari bangsa yang terliar  seperti "Zoolos". Karena pembicaraannya tersebut umur Al Urwatul Wusqo hanya sampai edisinya yang keempat belas.
Pada tahun 1885, ia pergi ke Beirut dan mengajar ilmu kalam di "madrasah As Sulthaniah" . Pelajaran inilah yang kemudian menjadi salah satu buku yang ditulisnya, yaitu "risalah tauhid". Selain mengajar, ia pun mendirikan organisasi keagamaan dengan tujuan utamanya yaitu mendekatkan tiga agama besar: Kristen, Yahudi dan Islam, dimana pendeta Ishak Taylor beragama Kristen menjadi salah satu anggotanya.
Pada tahun 1888, dan berumur 40 tahun, ia kembali ke Mesir dan menjadi Hakim dan Penasehat di sana. 10 tahun kemudian, menjadi mufti Mesir dan anggota majelis syuro bidang hukum. Pada saat menjadi Hakim, fatwanya yang terkenal adalah:
1.      bahwa umat Islam diperbolehkan menabung di bank dan memanfaatkan bunganya.
2.      Bahwa umat Islam diperbolehkan memakan makanan yang disembelih oleh selain Islam.
3.      Bahwa umat Islam diperbolehkan memakai pakaian selain pakaian asli mereka.
Sebelum meninggal, ia juga menjadi salah satu peletak dasar "Al Jamiyyah Al Khairiyah" yang bertujuan membantu para fakir miskin. Dan pada tahun 1905 ia meninggal dunia.
Dalam masalah keagamaan, ia berpendapat bahwa Islam yang dianut oleh sebagian umat Islam bukan Islam yang sebenarnya, suatu hal yang menjadi kan umat Islam terasing dari masyarakatnya sendiri. Abduh yang pada masa mudanya juga sebagai sufi, berpendapat bahwa tasawuf yang benar adalah tasawuf yang  dilakukan tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai anggota masyarakat.
Berkenaan dengan praktek sufi ini, pada suatu hari, ketika diundang pada suatu perayaan oleh para syuyukh Al Azhar, ia menolaknya. Pada saat ditanya sebabnya ia menjawab: "Saya tidak mau memperbanyak orang-orang fasik, perayaan ini adalah suatu kemungkaran. Abduh berpendapat bahwa berkah dari sufi dan keyakinannya adalah bertentangan dengan Syariat. Orang-orang Islam telah menjadikan para wali sebagai sekutu bagi Allah. Mereka pergi ke kubur untuk memohon hajat, baik untuk disembuhkan penyakitnya ataupun dimurahkan rezekinya. Padahal sebelumnya ziarah kubur dilakukan untuk menjadikan orang-orang yang meninggal itu  sebagai pelajaran bagi mereka yang masih hidup.
       Singkat kata, pemikiran moderen Abduh terhadap tasawuf yang sangat berkaitan dengan masalah keagamaan (akidah) ini dapat disimpulkan sabagai berikut:
1.      Al-Qur'an dan Sunnah amaliah yang mutawatir hukumnya adalah qath'i. Selain keduanya bisa dibedakan antara yang shahih dan yang tidak.
2.      Dalam segala hal yang berhubungan dengan akidah, kita tidak harus percaya 100% kepada hadits, terutama yang disebut "ahaditsulahad". Apalgi jika hanya perkataan manusia.
3.      Para wali itu bukan nabi yang maksum sehingga segala perkataannya harus dituruti.
Berkenaan dengan Al Quran, ia menyatakan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang hidup bermasyarakat tidak banyak dan itu pun hanya disebutkan secara umum. Dengan demikian, ajaran-ajaran tentang hidup bermasyarakat dalam Islam senantiasa dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, menurutnya, sikap taklid harus dibuang dan ijtihad dihidupkan kembali. Ia, dalam hal ini memberi penghargaan yang tinggi kepada akal dan Islam adalah agama yang sangat rasional. Bahkan ia mengatakan bahwa jika terdapat ayat-ayat yang pada lahirnya bertentangan dengan pendapat akal, maka harus dicarikan interpretasi terhadapnya sehingga selaras dengan pendapat akal. Karena apresiasinya yang tinggi terhadap akal ini, pemikirannya memiliki persamaan dengan Mu’tazilah.
Dalam hal kejumudan yang terdapat di kalangan umat Islam, Muhammad Abduh sangat kritis. Ia berpendapat bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan moderen, oleh karenanya sifat jumud atau statis yang menyebabkan umat Islam berhenti berpikir dan berusaha harus dihilangkan dan diganti dengan sifat dinamis sebagaimana yang diterapkan pada jaman Islam klasik yang dengan dinamisme dan inovasi-inovasinya telah mencapai suatu peradaban yang sangat tinggi.
Berbeda dengan gurunya, Muhammad Abduh lebih memfokuskan ide-ide moderennya pada bidang pendidikan. Oleh karena itu, sebagai wujud realisasi pembaruannya di bidang ini, Muhammad Abduh melakukan reformasi di dalam Al Azhar dengan memasukkan matapelajaran-matapelajaran tentang ilmu pengetahuan moderen. Ia berpendapat bahwa selain matapelajaran agama, matapelajaran umum juga perlu dipelajari umat Islam, baik di tingkat madrasah maupun perguruan tinggi.
Pemikiran moderen Muhammad Abduh memiliki pengaruh baik di Mesir sendiri maupun di dunia Islam lain, seperti Syria, Tunisia dan Indonesia melalui buku-buku yang ditulisnya sendiri, atau melalui mahasiswa-mahasiwa yang belajar di Al Azhar dan juga melalui murid-muridnya, terutama Rasyid Ridha. Yang terakhir ini, secara khusus menulis pemikiran-pemikiran gurunya dalam majalah Al Manar dan Tafsirnya.


[1] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 203.
[2] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 204.
[3] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 208.
[4] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 209.
[5] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 212.
[6] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 217.
[7] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 69.
[8] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 120.
[9] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, h. 97.
[10] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 74.
[11] Mukti Ali menulis bahwa nasab Jamaluddin Al Afghani sampai kepada Hasan bin Ali, sehingga ia dipanggil dengan sebutan Sayid dalam bukunya Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, Djambatan, tahun 1995, h. 259.
[12] Mukti Ali menyebutkan bahwa kegiatan Al Afghani dalam bidang pendidikan dan pengajaran ini dibagi menjadi dua, yaitu  mengajarkan pelajaran ilmiahnya secara teratur di rumahnya dan secara praktis di rumahnya pada saat dikunjungi oleh orang-orang maupun para pembesar maupun di rumah para pembesar tersebut dalam acara kunjungan balasan.
[13] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Dalam Islam di Timur Tengah, h. 279.
[14] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Dalam Islam di Timur Tengah, h. 435.