Rekonstruksi Peradaban Islam Dalam Pandangan Ziauddin Sardar



REKONSTRUKSI PERADABAN ISLAM
 DALAM PANDANGAN ZIAUDDIN SARDAR

Oleh: Aip Aly Arfan[1]
 
 
Abstrack: According to Ziauddin Sardar, how the Islamic  future will be prospective depends on their world-view in seeing sciences and technology development  dominated by West related to their interpretation to Islamic values and their magnificent  history. Then, what Muslims must do now in their lifes is how to see Islam not just as a religion, but also as a civilization. Briefly, Muslims have to reconstruct their great civilization. But how reconstruct Islamic civilization? Sardar sees that to reconstruct Islamic civilization, Muslims have to explore Islamic sciences epistemology and develop it supported all-out by all Muslims elements by establishing cooperative webs in the world.
 
Katakunci: Peradaban Islam, rekonstruksi, ilmu pengetahuan, teknologi, jihad intelektual.
 

A.           Pendahuluan


Dalam dunia Islam telah banyak bermunculan para penulis dan pemikir Islam yang membahas masalah peradaban Islam dalam karya-karya ilmiah mereka. Salah seorang dari mereka adalah Ziauddin Sardar, seorang pemikir muslim dan penulis produktif kelahiran Pakistan pada 1951. 
Hingga kini guru besar Postcolonial Studies di City University, London, dan Editor Tetap Futures dan Third Text, dua jurnal bergengsi yang khusus mendalami studi-studi kebijakan dan perencanaan serta isu-isu mutakhir tentang budaya kontemporer di London Inggris ini telah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel dalam bahasa Inggris.
Pemikiran Ziauddin Sardar tentang peradaban Islam sebenarnya telah ada pada tahun 80-an, di mana ia melahirkan karyanya yang berjudul The Future of Muslim Civilization dan diterbitkan di Malaysia pada 1988 yang dilanjutkan dengan karyanya yang lain berjudul Islamic Futures, The Shape of Ideas to come. Namun, karena berbagai hal, belum banyak yang mengetahui dan kemudian mengelaborasinya, yang menurut penulis sangat layak untuk dijadikan salah satu referensi bagi umat Islam dalam melihat agamanya dan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka di era globalisasi sekarang ini[2].
Salah satu poin penting dalam tulisan Ziauddin Sardar adalah idenya tentang rekonstruksi Peradaban Islam. Pertanyaannya adalah sejauh mana Sardar melihat masa depan Islam? Dan bagaimana rekonstruksi peradaban Islam yang ditawarkannya?

B.            Masa Depan Peradaban Islam: Pandangan Ziauddin Sardar


Masa depan peradaban Islam dalam banyak tulisan selalu dikaitkan dengan ide kebangkitan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-18 yang lalu[3]. Meskipun sudah kurang lebih dua abad berlalu, dan gambaran peradaban Islam masa depan masih buram, kebanyakan para pemikir Islam tetap optimis. Lalu, apakah memang belum saatnya umat Islam  bangkit? Sudah benarkah langkah umat Islam dalam mengusahakan kebangkitannya ini? Atau sebenarnya mereka bukannya berusaha untuk mengembalikan kejayaan yang pernah diraih, tapi sebaliknya, menghancurkan sisa-sisa peradaban mereka sendiri?
Jika kita melihat kembali ke belakang, ke sejarah, akan kita dapati bahwa peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaannya di mana tak ada satu peradaban pun yang  menandingi. Namun, kini umat Islam tidak lagi memiliki apa yang disebut dengan peradaban yang membanggakan, karena di segala bidang kehidupan, umat Islam berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Dalam dunia Arab sebagai representasi peradaban Islam, jawaban atas pertanyaan di atas adalah karena telah terjadi kebekuan pemikiran dalam tubuh orang Arab yang disebabkan oleh dua aliran pemikiran yang saling bertolak belakang, yaitu aliran klasik yang berusaha menghidupkan kembali kebudayaan Arab klasik tanpa disertai sikap kritis untuk memperbaruinya dan aliran moderen yang menolak seluruh kebudayan Arab secara mutlak dan beralih pada kebudayaan moderen. Aliran pertama disebut dengan aliran tradisionalis ortodox dan yang kedua disebut dengan aliran sekularis.
Untuk mengatasinya, konferensi Intelektual Arab yang dilakukan di Kuwait pada 7-12 April 1974 dengan tema Krisis Pembangunan Peradaban di Negeri Arab, merekomendasikan sebuah solusinya, yaitu dengan memberikan dukungan pada model pemikiran moderat yang tidak terlalu mendewa-dewakan tradisi, dan dapat menciptakan pemikiran Arab yang otentik sekaligus modern.
Di Indonesia, sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, terkait dengan kebangkitan Islam dan bagaimana membangun peradaban masa depannya, dikenal suatu jargon yang mirip dengan solusi yang direkomendasikan Dunia Arab di atas, yaitu melestarikan tradisi yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik (Al muhafazhah ‘alal qadimis  shâlih wal akhhdzu bil jadîd ashlah).
Lalu, bagaimana dengan pandangan Sardar tentang hal ini?
Menurut Sardar, masa depan umat Islam bergantung kepada diri mereka sendiri dengan menggali nilai-nilai yang mereka miliki dan tidak dengan meniru Barat dengan memaksakan ide-ide dan pemikirannya yang tidak cocok untuk diterapkan di dunia Islam. Sebagaimana ditulis Muhammad Al-Fayyadl:
“umat Islam tidak dapat hidup dengan cita-cita kemajuan (the idea of progress) sebagaimana yang dikonsepsikan oleh pandangan-dunia Barat. Sebab, mengikuti kerangka berpikir Barat berarti memaksakan ide-ide yang secara kultural asing bagi pengalaman umat Islam sendiri. Dengan demikian, umat Islam harus mulai membangun kemandiriannya dalam menata langkah menuju masa depan sesuai dengan kemampuan dan situasi internal mereka sendiri. Sistem-sistem ekonomi, sosial, politik, atau kultural yang dihasilkan dari pengalaman sendiri akan jauh lebih bermakna dan autentik, dan dalam jangka panjang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ketimbang memaksakan diri meniru sistem-sistem Barat, umat Islam sebaiknya mulai menggali khazanah kulturalnya sendiri untuk menemukan strategi-strategi yang diperlukan dalam menapaki masa depannya”.[4]

Secara lebih spesifik dan terfokus, Sardar mengaitkan masalah masa depan peradaban Islam dengan cara pandang umat Islam.  Menurutnya, ada kesalahan-kesalahan mendasar yang dilakukan sebagian besar umat Islam. Di antaranya, adalah Pertama, kesalahan pandangan tentang sisi kemanusiaan nabi Muhammad SAW. Dari sinilah lahirnya pemahaman bahwa ukuran keimanan seseorang dilihat dari sejauh mana ia secara fisik menyerupai Nabi, seperti dalam hal cara berpakaian yang kemudian melahirkan kesalahan-kesalahan lain.
Kedua, kesalahan tentang pemahaman syariah. Syariah yang merupakan kumpulan interpretasi manusia pada suatu jaman dan waktu-yang mungkin sudah
terbaik untuk waktu itu, namun telah dianggap seperti kitab suci yang tak boleh dikritisi. Kesalahan inilah yang membuat sulitnya pembaruan dalam bidang fikih Islam. Ketiga, hilangnya representasi individual karena kuatnya faktor ulama pada
praktek sehari-hari. Kesalahan inilah yang menghalangi lahirnya ide-ide pembaruan yang adaptif terhadap perubahan jaman, suatu hal yang sangat vital dalam membangun suatu peradaban.[5]
Selain itu, ia melihat bahwa kebanyakan umat Islam tidak benar-benar memahami nilai Islam. Banyak nilai-nilai Islam yang tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, seperti bertanya, membaca, berpikir dan menulis. Keempat hal tersebut kurang mendapat perhatian umat Islam, jika dibandingkan dengan salat, puasa dan zakat, misalnya. Dalam hal ini, Sardar mengatakan:
“Mereka pikir nilai Islam itu hanya shalat, puasa, zakat. Mereka tidak berpikir bahwa bertanya itu adalah juga nilai Islam. Mereka tidak menjadikan bertanya sebagai kunci dari nilai-nilai Islam. Padahal, kalau Anda lihat Alquran, di sana penuh dengan pertanyaan. Dialog pertama Nabi (Muhammad SAW) saat menerima wahyu adalah bertanya. Saat Nabi diminta untuk membaca, beliau mempertanyakan, apa yang harus dibaca. Jadi mengapa kita tidak jadikan bertanya sebagai nilai Islam. Jadi, buat saya, bertanya itu adalah nilai dasar Islam. Selain itu, membaca, berpikir, dan menulis, adalah juga nilai-nilai Islam. Bahkan, nilai ini datang lebih awal sebelum perintah shalat dan puasa. Dan jika Anda melihat masyarakat Muslim, satu hal yang tertinggal adalah membaca. Menulis juga tidak menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam masyarakat Islam”. [6]

Dari sini, Sardar sepertinya ingin mengatakan bahwa masa depan peradaban Islam tergantung umat Islam sendiri. Masa depan peradaban Islam akan cerah jika umat Islam tidak meninggalkan nilai-nilai Islamnya sendiri. Nilai-nilai Islam seperti membaca dan  berpikir jika ditinggalkan akan mengakibatkan umat Islam jauh dari kebangkitan Islam yang sedang mereka upayakan. Dengan kalimat lain, ibadah ritual bukan segalanya yang harus dilakukan untuk mencapai kebangkitan Islam.
Selain masalah cara pandang umat Islam terhadap nilai-nilai yang dimiliki, Sardar juga melihat bahwa cara pandang umat Islam terhadap sejarah yang keliru, di mana masa depan peradaban harus diterapkan seperti kejayaan Islam di masa lalu. Sardar melihat pentingnya melihat ke depan jika umat Islam ingin bangkit dan maju, bukan ke belakang, yang dikenal dengan sebutan tradisi dan sejarah. Kalau pun melihat ke belakang, itu dilakukan untuk dijadikan sebagai momentum. Dalam hal ini, Sardar mengatakan:
“Kalau Anda berjalan maju, terus Anda lihatnya ke belakang, maka Anda akan membentur sesuatu. Jadi kalau Anda maju, lihatlah ke depan. Tapi kalau perlu melihat ke belakang, jadikan itu sebagai momentum. Itulah yang disediakan sejarah. Kita perlu belajar sejarah, kita perlu maju dengan tradisi kita, tapi kita tidak boleh terkekang oleh tradisi kita. Tradisi itu hanya jadi batasan yang kaku. Berbagai tradisi itu diperlukan untuk memajukan masyarakat, bukan untuk mengekang”.[7]
Untuk mewujudkan ide-ide di atas, langkah yang harus ditempuh adalah melakukan apa yang disebut dengan rekonstruksi peradaban Islam, suatu pendekatan yang menitikberatkan pada upaya bagaimana memosisikan sains atau iptek terkait hubungannya dengan Islam dan bagaimana respon yang harus dilakukan umat Islam terhadapnya.

C.           Pendekatan Sains Islam Sebagai Upaya Rekonstruksi Peradaban Islam

Secara historis, pendekatan sains sebagai upaya rekonstruksi peradaban Islam telah diteorikan oleh para pemikir Islam, di antaranya adalah:
1. I’jazul Quran (mukjizat al-Quran).
Teori ini dipelopori oleh Maurice Bucaille yang populer dengan bukunya “La Bible, le Coran et la Science” (edisi Indonesia: “Bibel, Quran dan Sains Modern“).
Dengan teori ini, rekonstruksi peradaban Islam dilakukan dengan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat al-Quran. Dalam perkembangannya, teori ini mendapatkan kritikan dari ilmuwan muslim yang lain lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan dengan alasan menganggap Al-Quran sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Quran juga bisa berubah.
2. Islamisasi sains
Penggagas utama teori ini adalah Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan.
Teori ini berupaya membandingkan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Adapun tujuan dari teori ini ada 6 (enam), yaitu penguasaan disiplin ilmu modern, penguasaan warisan Islam, penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern, pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya), pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah dan Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.
3. Membangun sains pada pemerintahan Islami.
Teori ini memfokuskan upayanya terutama pada proses pemanfaatan sains. Dengan pijakan dasar pengertian bahwa dalam lingkungan Islam, sains tunduk pada tujuan mulia. Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok ini.
4. Menggali epistimologi sains Islam (murni).
Teori ini digulirkan oleh Ziauddin Sardar. Sepintas, teori ini nampak sama dengan teori islamisasi sains yang digagas Isail Raji Al Faruqi di atas, namun sebenarnya sangat berbeda. Jika islamisasi sains “mengislamkan sains” yang berasal dari Barat, penggalian epistemologi sains Islam tidak berawal dari pengertian sains itu identik dengan Barat.
Bagaimana jelasnya ide rekonstruksi peradaban Islam versi Ziauddin Sardar akan diuraikan berikut ini.

D.           Rekonstruksi Peradaban Islam: Kacamata Ziauddin Sardar


Ketika membicarakan masalah masa depan peradaban Islam, Ziauddin Sardar melihat pentingnya rekonstruksi peradaban Islam dilakukan. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa Islam dan masyarakat muslim menyerupai suatu bangunan yang sangat indah tetapi kuno, yang, pada tahun-tahun sulitnya sekarang ini, membutuhkan banyak biaya untuk pemugarannya. Fondasinya begitu kuat, tetapi penembokannya butuh perhatian mendesak. Kita perlu merekonstruksi peradaban muslim, sebab jika tidak, batu bata demi batu batu akan tumbang dan runtuh satu persatu.[8]

Rekonstruksi peradaban berarti membangun kembali peradaban Islam dalam pengertian, bahwa Islam bukan hanya dipandang sebagai agama saja, atau pun sistim etika dan politik saja, tapi Islam sebagai peradaban. Pengertian Islam sebagai peradaban bukan dengan melihat Islam sebagai peradaban historik sebagaimana yang dilakukan sebagian umat Islam sebagai romantisme, tetapi sebagai peradaban kontemporer, bahkan peradaban masa depan. Jadi, pentingnya sejarah sebagaimana yang dikatakan Sardar:
Sementara sejarah harus berpihak kepada kita, kita tidak boleh hidup di dalamnya”.[9]

Di era globalisasi sekarang ini, melakukan rekonstruksi peradaban Islam akan sulit dilakukan. Namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan, bahkan sangat mungkin dilakukan. Hal ini karena nilai-nilai Islam yang universal tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang lahir dari rahim peradaban Barat. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar umat Islam secara mayoritas menyadari pentingnya rekonstruksi peradabannya, sehingga proyek rekonstruksi ini tidak dilakukan hanya oleh individu-individu tertentu. Ia harus dilakukan secara bersinergi, simultan dan berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat Islam, bahkan oleh pihak penguasa (pemerintah), sebagaimana yang terjadi pada jaman kejayaan Islam di Baghdad dahulu di mana pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan bukan secara sporadis dan individual, tapi juga didukung oleh kalangan penguasa seperti para khalifah.[10]
Dalam hal ini diperlukan upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keseluruhan akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang dan maju. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan keduniawian, khususnya iptek ini. Bahwa akhirat itu lebih kekal, dan oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh Sardar, hal ini diungkapkannya dengan istilah perluasan syari’ah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijaksanaan sains dan penaksiran teoknologi, partisipasi masyarakat dan pembangunan pedesaan.[11] Di sini, peran para da’i dan aktivis pendidikan sangat strategis di mana merekalah ujung tombak bagi sosialisasinya ide-ide rekonstruksi peradaban ini di tengah-tengah masyarkat luas.

Sebagaimana dijelaskan Sardar, dalam melakukan upaya rekonstruksi peradaban Islam, ada enam hal penting yang perlu diperhatikan sebagai bahan  pertimbangan. Keenam hal ini secara ringkas adalah:
1.      Pembangunan peradaban dengan melihat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
2.      Pembangunan yang mencakup partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
3.      Pembangunan ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan negera-negara maju.
4.      Proses industrialisasi tidak boleh hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial tertentu dari negara-negara maju. Ia harus disertai dengan penguasaan teknologi.
5.      Tidak semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrasktruktur sains dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM), ilmu pengetahuan, keahlian dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan mengadaptasi teknologi impor.
6.      Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains negara-negara maju.[12]

Secara lebih kongkret, proyek rekonstruksi peradaban Islam ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai dan konsep Islam untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, dana zakat, infak dan shadaqah misalnya,  yang sebelumnya hanya dialokasikan hanya untuk pemberdayaan ekonomi,  seyogyanya diberikan porsi yang besar pula kepada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masjid, yang selama ini hanya diperuntukkan untuk shalat dan pengajian-pengajian, diupayakan untuk dikembangkan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang juga termasuk dalam kategori penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di sini adalah pengembangan teknologi dengan menguasai teknologi informasi dan media massa seperti radio dan televisi serta segala perangkat yang mendukungnya. Di Indonesia, media-media radio dan televisi sekarang ini didominasi oleh budaya konsumerisme di mana para penontonnya didorong, bahkan dijerumuskan kedalam budaya konsumtif yang mematikan produktivitas dan kreativitas, sesuatu yang inheren dalam suatu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berkenaan dengan informasi dan penguasaan teknologinya, umat Islam perlu mengembangkan Sistim Informasi Nasional (SIN), suatu keseluruhan yang kompleks dengan sejumlah subsistim dan segenap unsur yang membangunnya mesti berfungsi dalam kesalingterkaitan yang tepat satu sama lain. Adapun komponen SIN ini adalah:
1.            Perpustakaan Nasional, suatu penyimpan semua publikasi nasional dan bertugas menghimpun semua dokumen yang mungkin diperlukan untuk riset dan kegiatan-kegitan intelektual lainnya.
2.            Pusat-pusat Informasi Nasional, untuk bidang-bidang informasi ilmiah, informasi teknologis dan industrial, medis, pertanian, bisnis dan lain-lain.
3.            Pusat Alih Informasi, untuk pertukaran informasi nasional, seperti telepon-telepon yang menghubungkan para ilmuwan dan sarjana terkait dengan kegiatan-kegiatan intelektual seperti seminar-seminar, penelitian dan lain-lain.
4.            Lembaga Standar Nasional, untuk upaya-upaya standarisasi kuantitas, kualitas, pola, metode dan satuan-satuan pengukuran dalam sains, tekonologi, industri dan kedokteran.[13]

Dalam hal ini diperlukan para “penjaga gawang” informasi yang selain bertugas membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Islam, tetapi juga mengkritisi sumber-sumber informasi yang datang dari luar Islam (Barat). Sardar mengilustrasikan para penjaga gawang ini dengan Janus, Dewa Penjaga Pintu Romawi.[14]

Terkait dengan masalah pengembangan informasi ini, perlu diupayakan pula secara intensif kerjasama di antara negeri-negeri muslim dengan membangun Jaringan Informasi Muslim Internasional (JIMI). Hal ini menjadi penting setidaknya, sebagaimana diuraikan Sardar, karena tiga hal berikut ini:
1.                        Kesatuan iman, akidah, warisan budaya, perkembangan peradaban dan kesamaan struktur politik-ekonomi.
2.                        Kesatuan blok negeri-negeri muslim sebagai negara-negara berkembang yang memiliki kepentingan-kepentingan, problem-problem dan tantangan-tantangan yang sama dalam program pembangunan mereka.
3.                        Ada wilayah-wilayah tertentu yang merupakan prerogatif khas dunia muslim.[15]

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, dikarenakan telah terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan yang semakin tajam, maka diperlukan adanya saling kerjasama dan bahu-membahu antara para pakar Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di sini bukan hanya keahlian menjawab persoalan dengan perspektif ilmu pengetahuan spesifik tertentu saja yang dibutuhkan, tetapi juga keahlian melihat segala permasalahan dan problema kehidupan manusia secara total dan integral yang dapat memecahkan segala problem umat Islam secara komprehensif dan menyeluruh.
Dalam hal ini, masalah pendidikan menjadi hal yang sangat penting peranannya sebagai wadah aktualisasi dan sosialisasi ide-ide tentang rekonstruksi peradaban Islam. Di Indonesia, 20 % anggaran untuk pendidikan yang telah terrealisasi harus dijadikan sarana untuk terus meningkatan apresiasi di kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan bukan malah mempersulit segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Pemberian beasiswa untuk menempuh pendidikan, khususnya untuk ilmu pengetahuan umum dan teknologi harus terus dikembangkan dan digalakkan.

Lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembaga semacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintah di dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta aksara Al-Quran di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.

Di sisi lain, lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, terutama pesantren salaf perlu mereformasi dirinya dan memodernisasi sistim dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melaju begitu pesat. Di Indonesia, orde Reformasi ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat saling menghargai, saling memahami dan saling tolong-menolong dengan tujuan yang pasti, yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya para ilmuwan yang bermoral.

Namun dalam penguasaan teknologi, yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar teknologi yang dikembangkan bukan perpanjangan tangan peradaban Barat, karena jika itu yang terjadi, maka umat Islam akan seterusnya menjadi ketergantungan dan tidak terlepas dari dominasinya. Oleh karena itu, selain penguasaan teknologi, juga harus memiliki teknologi-teknologi alternatif yang dilahirkan umat Islam sendiri dan mengembangkannya untuk keperluan lokal dan domestik.

E.            Penutup


Dalam pandangan Ziauddin Sardar, masa depan peradaban Islam sangat bergantung kepada cara pandang umat Islam dalam melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dikuasai Barat saat ini terkait dengan interpretasi mereka terhadap nilai-nilai Islam dan sejarah masa lalu mereka yang gemilang. Jika umat Islam menginginkan masa depan peradabannya yang cerah, maka yang harus dilakukannya adalah bukan hanya dengan memandang Islam sebagai agama tapi juga sebagai peradaban.
Oleh karena itu, menurut Ziauddin Sardar, yang diperlukan saat ini oleh umat Islam adalah merekonstruksi peradabannya, dengan cara melakukan eksplorasi epistemologi sains Islam dan terus mengembangkannya yang didukung penuh oleh segala unsur umat Islam di seluruh dunia dengan membentuk jaringan-jaringan yang saling bekerjasama. Wallahua’lam bisshawâb.





[1] . Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dpk Institut Agama Islam  Al Aqidah Jakarta, sekarang Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO) Jakarta.
[2] . Di Indonesia, Ziauddin Sardar dikenal melalui tulisan-tulisan lepasnya yang dipublikasikan di jurnal-jurnal keislaman, seperti Ulumul Qur?an atau al-Hikmah pada tahun 90-an. Pada akhir Juli 2004, Ziauddin Sardar mengunjungi beberapa kota di Indonesia, di antaranya Jakarta dan Surabaya.
[3] . Chandra Muzaffar mengawali era kebangkitan Islam  dengan gerakan Wahabiyah pada abad ke-18.., Lihat tulisannya yang berjudul Kebangkitan Islam:Suatu Pandangan Global dalam Perkembangan odern Dalam Islam (Penyunting: Harun Nasution dan Azyumardi Azra), (Yayasan Obor Indonesia: Desember 1985), h. .71.
[8] . Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Paremeter-parameter Sains Islam, (Risalah Gusti:Surabaya, 1998),cet. pertama, h. 5.
[9] . Ziaddun Sardar, Jihad Intelektual, h. 7.
[10].  Lihat gambaran kemajuan peradaban Islam dalam tulisan Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke-16, , h. 52-53. Begitu juga dalam tulisan Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1,  (Jakarta: UI Press, , 1985), cet. ke-5, h. 70-73.
[11] . Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, h. 12.
[12] . Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988), cet. ke-1, h. 81-82.
[13] . Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi (Bandung: Mizan, Mei 1988), cet. ke 1, h. 174.
[14] Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21 h. 208.
[15] Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21 h. 192-193.



Daftar Pustaka

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid 1, (Jakarta: UI Press, , 1985)
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam:Suatu Pandangan Global dalam Perkembangan Modern Dalam Islam (Yayasan Obor Indonesia: Desember 1985)
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Paremeter-parameter Sains Islam, (Risalah Gusti:Surabaya, 1998)
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988)
Ziauddin Sardar, The Future of Muslim Civilization, (Selangor, Darul Ehsan, Malaysia, 1988)
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka: 1985)
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988)

Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam



Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam:
Urgensi Dan Eksistensinya Dalam Sejarah Islam
Oleh: Aip Aly Arfan[1]

A.      Pendahuluan

Islam adalah agama yang dipeluk oleh banyak orang di dunia. Sejak awal pertumbuhannya di Mekah hingga perkembangannya ke seluruh dunia, jumlah umat Islam saat ini mencapai lebih dari 1,6 miliar jiwa atau sekitar 23.4 persen dari total penduduk dunia. Pertumbuhan jumlah umat Islam ini akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah Muslim dunia sekitar 2.2 miliar jiwa atau sekitar 35 persen pada tahun tersebut.[2]
Berkenanan dengan hal itu, studi Islam bagi umat Islam adalah hal yang sangat penting dilakukan, baik untuk kebaikannya di dunia, maupun di akhirat nanti. Untuk kebaikan umat Islam di dunia, ia bermanfaat bukan hanya untuk menjalani hari-harinya dengan sebaik mungkin peradaban, tetapi juga untuk menapaki masa depan peradabannya yang gemilang. Sedangkan untuk untuk kebaikannya di akhirat, ia bermanfaat sebagai pembelajaran yang sangat berharga baginya agar tidak terjerumus ke dalam jurang neraka.
Sejak dahulu hingga kini, studi Islam telah berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di dunia Islam maupun non Islam. Saat ini di Indonesia, studi Islam sudah dilaksanakan di  perguruan-perguruan tinggi umum dan yang berlabelkan agama Islam, baik negeri maupun swasta, temasuk di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Indonesia Jakarta.
Sedangkan di negara-negara non Islam, studi Islam diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarh University India, Studi Islam di bagi menjadi dua, Islam sebagai doktrin dikaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari aspek sejarah dikaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program dikaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.
Di Amerika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar studi Islam itu dapat dilakukan dengan baik sehingga kedua tujuan tersebut tercapai?
Secara umum ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan studi Islam, yaitu pendekatan doktriner dan pendekatan ilmiah. Pendekatan doktriner dalam studi Islam adalah pendekatan dengan melihat Islam sebagai sebuah doktrin agama yang harus dipraktikkan secara ideal. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan normatif. Sedangkan pendekatan ilmiah adalah pendekatan dengan melihat Islam sebagai sebuah ilmu.
Beberapa dasawarsa terakhir ini pernah terjadi diskusi yang cukup menegangkan dan perdebatan yang sengit di antara akademisi, terutama di kalangan umat Islam terkait dengan pertanyaan mana yang harus dipilih antara kedua pendekatan tersebut. Umat Islam, pada umumnya lebih cenderung menggunakan pendekatan doktriner daripada ilmiah, sedangkan non-muslim, yang didominasi oleh para orientalis, sebaliknya. Mereka lebih cenderung menggunakan pendekatan ilmiah daripada doktriner. Menurut penulis, kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, sehingga menjawab pertanyaan di atas, sebagaimana yang dinyatakan A. Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami Agama Islam, kedua pendekatan tersebut harus digunakan. Dalam hal ini ia mengatakan: “…….mempelajari Islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja yaitu metode filosofis, ilmu-ilmu alam, historis dan sosiologis saja. Demikian juga memahami Islam dengan segala aspeknya itu tidak bisa hanya dengan jalan doktriner saja. Menurut pendapat saya, pendekatan ilmiah dan doktriner harus digunakan bersama”.[3]
Senada dengan itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa dalam studi Islam, yang diperlukan bukan hanya pendekatan doktriner, yang dalam hal ini ia mengistilahkannya dengan pendekatan teologis filosofis, tetapi juga pendekatan ilmiah yang menurutnya dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan linguistik-historis dan pendekatan sosiologis antropologis. Dalam hal ini ia berasumsi bahwa ilmu apapun, termasuk ilmu tentang Islam yang memiliki kompleksitasitasnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalan secara sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan berubah menjadi narrow-mindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikularitas displin keilmuan. Dari dasar pemikiran seperti inilah, ia pun menghadirkan paradigma integratif-interkonektif sebagai jawaban atas pertanyaan filosofis di atas.[4]
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pendekatan ilmiah dan tidak akan membahas tentang pendekatan doktriner atau normatif dalam studi Islam, karena hal itu sudah dilakukan oleh mayoritas umat Islam dari berbagai kalangan dan level pendidikan yang beragam. Dan agar pembahasan dalam makalah ini lebih terfokus dan terarah, maka penulis akan membatasinya pada pentingnya pendekatan sejarah  dalam studi Islam dan eksistensinya dalam sejarah Islam. Namun sebelum itu penulis akan menguraikan secara umum berbagai pendekatan ilmiah yang mungkin dilakukan dalam studi Islam, di antaranya adalah pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan fenomenologis dan pendekatan politis.

B.       Berbagai Pendekatan Ilmiah Dalam Studi Islam

Pada awalnya pendekatan ilmiah yang mungkin dilakukan dalam studi Islam terbatas pada pendekatan filosofis dan historis saja. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan, pendekatan yang mungkin dilakukan dalam studi Islam juga ikut berkembang. Selain kedua pendekatan filosofis dan historis, sedikitnya ada 5 (lima) pendekatan lain yang mungkin dilakukan, yaitu pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan fenomenologis dan pendekatan politis. Berikut ini ketujuh pendekatan tersebut:

1.      Pendekatan Filosofis

Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang beraati ilmu atau hikmah. Jadi, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
 Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Secara terminologi, filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dalam rangka mencari kebenaran, hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendekatan filosofis penting dilakukan sedikitnya karena beberapa sebab berikut:
a.       Agar seseorang dapat menggunakan pemikiran atau rasio seluas-luasnya sampai titik maksimal dari daya tangkapnya. Sehingga seseorang terlatih untuk terus berfikir dengan menggunakan kemampuan berfikirnya.
b.      Dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar mendapatkan hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama, agar dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
c.       Agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.

2.      Pendekatan Sejarah

Dalam bahasa Arab, sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti ketentuan waktu, dan secara istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada masa lampau/masa yang masih ada. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah merupakan terjemahan dari kata history yang secara harfiah diartikan the past experience of mankind, yakni pengalaman umat manusia di masa lampau.
Jadi sejarah adalah ilmu yang membahas berbagai masalah yang terjadi di masa lampau, baik yang berkaitan dengan masalah sosial, politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama dan sebagainya.
Pendekatan historis adalah salah satu upaya melakukan studi Islam dengan menumbuhkan perenungan untuk memperoleh hikmah dengan cara mempelajari sejarah nilai-nilai Islam yang berisikan kisah dan perumpamaan.

3.      Pendekatan Antropologis

Antropologi berasal dari Bahasa Yunani ”anthropos” artinya manusia/orang, dan ”logos” yang berarti wacana.
Secara terminplogi, antropologi adalah adalah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia terdiri dari aspek fisik dan non fisik dan berbagai pengetahuan tentang kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Pendekatan antropologis adalah salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini Islam tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.

4.      Pendekatan Sosiologis

Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku.
Pendekatan Sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak studi Islam dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari sosiologi.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya  perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Dari defenisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu itu suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Melalui pendekatan sosiologis, Islam dapat dipahami dengan mudah karena ia diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[5]

5.      Pendekatan Psikologis

Psikologi berasal dari Bahasa Yunani ”psych” yang berarti jiwa dan ”logis” yang berarti ilmu. Psikologi adalah ilmu  yang mempelajari jiwa. Dan jika pendekatan psikologi dilakukan dalam studi Islam maka hal itu mengandung arti paradigma atau  cara pandang dalam memahami Islam dengan mempelajari jiwa seseorang dengan cara melihat gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam Islam banyak sekali pengambaran batin. Seperti iman, taqwa kepada Allah. Perilaku seseorang dapat dilihat dari sesuatu yang dia yakini. Dengan pendekatan psikologis ini, maka akan diketahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan serta sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang.

6.      Pendekatan fenomenologis

Fenomenologi adalah sebuah studi Islam dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena.
Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Hussert dan Alfred Schulta, mereka mengungkapkan bahwa ”Diam merupakan tindakan untuk mengungkapkan pengertian sesuatu yang sedang diteliti, dengan diam akan mengetahui perilaku orang lebih lanjut”.
Tujuan fenomenologi:
1.      Menginterprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat-tepatnya.
2.      Merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno/menerangkan permasalahan suatu cerita dari mitos.
3.      Memahami struktur dan organisasi dari suatu kelompok masyarakat religius dengan kehidupan sekitar.

7. Pendekatan politis

Teori politik normatif adalah cara untuk membahas lembaga sosial, khususnya berhubungan dengan kekuasaan publik, dan tentang hubungan antar individu di dalam lembaga politik disebut juga sebagai moral/etika.
Perlawanan menghadapi penjajah merupakan pergerakan politik Islam yang kemudian menjadi pembentukan negara Indonesia.
Pendekatan politis dalam studi Islam adalah salah satu upaya memahami Islam dengan cara menanamkan nilai-nilai Islam pada lembaga sosial agar timbul motivasi/keinginan untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat.


C.      Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam

Istilah sejarah berasal dari kata berbahasa Arab syajarah yang berarti pohon. Dalam hal ini, Azyumardi Azra mengatakan:
“pengambilan istilah ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah –setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini- menyangkut tentang, antara lain, syajarat al-nasab, pohon genealogis yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut sejarah keluarga. Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajara juga punya arti to happen, to occur dan to develop. Namun selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan tarikh (Arab), istoria (Yunani), history atau geschicte (Jerman)”. [6]
Dalam penggunaannya, filosof Yunani memakai kata istoria untuk menjelaskan secara sistematis mengenai gejala alam. Dalam perkembangan selanjutnya, kata istoria dipergunakan untuk menjelaskan mengenai gejala-gejala terutama hal ikhwal manusia dalam urutan kronologis.
Secara terminologi, para sejarawan beragam dalam mendefinisikan sejarah. Ada yang sempit dan ada yang luas. Yang mendefinisikan sejarah secara sempit contohnya adalah Edward Freeman. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, Edward Freeman mendefinisikan sejarah dengan politik masa lampau. Adapun yang mendefinisikan sejarah secara luas, contohnya adalah Ernst Bernheim, yang menyatakan, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, sejarah adalah imu tentang perkembangan manusia dalam upaya-upaya mereka sebagai makhluk sosial.[7]
Secara leksikal, sejarah adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Secara terminologi sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia, baik yang berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi maupun gejala alam. Defenisi ini memberi pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa masa lampau manusia dengan segala dimensinya.
Yang jelas, sejarah adalah fakta yang benar-benar terjadi bukan yang seharusnya terjadi, ia adalah realitas bukan idealitas. Oleh karena itu, pendekatan sejarah amat dibutuhkan dalam upaya kita melakukan studi Islam, karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Maka lapangan sejarah adalah meliputi segala pengalaman manusia.
Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman perisriwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari peneliti sejarah. Dengan kata
lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Karena peristiwa sejarah adalah mengenai apa saja yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan dan dialami manusia, atau dalam bahasa metodologis bahwa lukisan sejarah itu merupakan pengungkapan fakta mengenai apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu telah terjadi, maka pendekatan sejarah atau dapat dikatakan sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu pengkajian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prossesnya, perubahan-perubahan dan aspek diakronisnya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa,  melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa.
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa sejarah bukan hanya sebagai masa lalu tapi juga ilmu, sejarah terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada penalaran yang bersandar pada fakta. Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan mengungkapkan sejarah secara objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah adanya kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta. Sejarah dengan demikian didefenisikan sebagai ilmu tentang manusia yang merekonstruksi masa lalu.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Seperti orang yang ingin memahami al Qur’an maka ia harus memahami ilmu Asbabun Nuzul (Ilmu tentang Turunnya Al-Qur’an) dengannya seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dan kekeliruan memahaminya. Begitu juga jika seseorang ingin memahami Hadis nabi Muhammad SAW, maka ia membutuhkan ilmu Asbabul Wurud (Ilmu tentang turunnya Hadis) yang dengan cara itu ia mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat Hadis tersebut disampaikan Nabi saw. Dalam hal ini, Fazlurrahman mengatakan, sebagaimana dikutip oleh yang dikutip Profesor Dr. H.M. Amin Syukur , MA dkk, dalam bukunya Metodologi Studi Islam: ” Bila seseorang menemukan Al-Qur’an di Kutub utara dan bermaksud memahamninya meskipun ia mengetahui bahasanya, dia tidak akan berhasil memahami Al-Qur’an tersebut secara utuh”.[8]
Dan jika studi Islam difokuskan pada masalah pendidikan, maka melalui pendekatan sejarah ditemukan berbagai keterangan yang terkait dengan pendidikan Islam sepanjang sejarah, seperti adanya perhatian yang sangat besar umat Islam terhadap pentingnya pendidikan dan menuntut ilmu sejak dini. Selain itu, juga akan didapat informasi yang sangat berharga terkait dengan para ulama Islam yang memiliki perhatian khusus terhadap dunia pendidikan Islam. Dan masih banyak lagi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan pendekatan ini, maka pertanyaan mengapa ayat tertentu diturunkan pada waktu tertentu dan Hadis dikeluarkan dari mulut Nabi Muhammad SAW akan mendapatkan jawabannya. Begitu juga dengan pertanyaan tentang bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu, akan terjawab.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendekatan sejarah dalam studi Islam bisa dikembangkan ke arah pendekatan multidisipliner di mana dalam pengungkapan berbagai hal di balik suatu kejadian bisa menggunakan teori-teori sosial, politik, antropologis dan psikologis.
Pentingnya penggunaan pendekatan interdisipliner ini semakin disadari melihat keterbatasan hasil-hasil penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan hermeneutik misalnya. Dan menurut penulis, perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi seiring dengan perkembangan jaman dan masyarakat yang semakin hari menjadi semakin kompleks.

D.      Tahapan pendekatan Sejarah dalam Studi Islam

Sebagai sebuah ilmu, sejarah membahas berbagai peristiwa dengan memerhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.[9] Dan tentunya pendekatan sejarah dalam studi Islam ini dilakukan melalui berbagai tahapan yang harus dilalui.
Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah tahapan akumulasi data. Dalam tahapan ini, sumber sejarah merupakan salah satu yang menentukan kualitas pendekatan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan dalam hal sumber sejarah ini adalah akurasi, dan otentisitasnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun jenis sumber sejarah itu sendiri antara lain :
a.       Sumber tertulis, seperti prasasti, arsip, segala dokumen, kitab-kitab, serat,  babad, hikayat, buku, majalah, dan sebagainya. Semuanya dapat dikumpulkan faktanya melalui telaah teks atau library research.
b.      Sumber visual, dan audio visual, yaitu foto, film, video, kaset, laser disk, CD ROM, dan sebagainya. Sumber semacam ini ditela’ah melalui pengamatan.
c.       Benda-benda sejarah yang dapat memberikan dan menjadi bukti sejarah.
d.      Sumber lisan, yaitu penuturan lisan dari pelaku sejarah dan atau penyaksi adanya peristiwa sejarah. Pengumpulan data terhadap sumber tersebut dapat dilakukan dengan metode wawancara.
Sumber-sumber di atas, dalam proses pengumpulannya perlu dipertimbangkan apakah ia termasuk sumber primer, yaitu sumber langsung asli sebagai jejak-jejak sejarah, ataukah ia termasuk sumber sekunder, ialah sumber tidak langsung yang memberikan informasi adanya peristiwa sejarah.
Sumber sejarah tertulis dapat dicari di banyak tempat, terutama pusat arsip dan perpustakaan-perpustakaan. Kesulitan pencarian sumber biasanya terjadi karena permasalahan sejarah yang diteliti merupakan peristiwa yang sudah terlalu lama, misalnya dalam sejarah Islam sumber-sumber tertulis masa Nabi hingga abad pertengahan sudah sangat langka. Adapun sumber lisan, seyogyanya adalah manusia pelaku/penyaksi sejarah, keberadaannya perlu dicari dan berpacu pada usianya. Penggunaan sumber lisan ini akan lebih kredibel bagi penelitian sejarah kontemporer.
Untuk mengurangi kesulitan di dalam menghadapi berbagai sumber sejarah, dan dalam rangka menghemat waktu serta ketepatan sumber, maka diperlukan seleksi sumber sejarah berdasarkan relevansinya terhadap penulisan yang akan dikerjakan. Bagi sumber-sumber yang relevan (benar-benar mendukung dan berhubungan) dengan penulisan sejarah agama diambil, sedangkan sumber yang tidak relevan lebih baik diabaikan. Sumber-sumber yang benar-benar memiliki nilai relevan itu, kemudian dikaji ulang secara teliti dengan menggunakan metode kritik yang berlaku dalam metode sejarah.
Tahapan yang kedua adalah pemilihan data. Pemilihan data ini dilakukan dengan cara menyeleksi sumber sejarah melalui kritik sejarah. Kritik sejarah ini dilakukan terhadap dua hal, yaitu kritik terhadap sisi eksternal sumber dan kritik terhadap sisi internal sumber.
Kritik eksternal, yaitu kritik terhadap sisi fisik sumber. Apakah bahan yang dipakai itu asli, apakah tulisan tintanya juga asli dan sebagainya. Intinya di sini mempertanyakan keaslian (otentisitas) sumber sejarah.
Kritik internal, yaitu kritik terhadap isi sumber. Apakah isi dari pernyataan sumber itu dapat dipercaya? Caranya dengan membandingkan beberapa sumber yang sama. Apabila isi dari sumber itu sama benar, maka sumber itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya.
Tahapan yang ketiga adalah tahapan interpretasi data. Tahapan ini merupakan proses pendekatan sejarah yang tidak terpisahkan dari langkah berikutnya, yaitu penulisan sejarah. Yang dimaksud interpretasi dalam hal ini adalah proses analisis terhadap fakta-fakta sejarah, atau bahkan proses penyusunan fakta-fakta sejarah itu sendiri. Seperti dikemukakan di depan, bahwa fakta sejarah haruslah objektif, tetapi tidaklah berarti peneliti tidak ada peluang untuk menerangkan fakta itu atas dukungan teori yang dimilikinya. Oleh karena itu proses interpretasi sejarah juga dimungkinkan masuk unsur-unsur subjektif peneliti, terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang dikembangkannya.
Tahapan yang terakhir adalah tahapan penulisan data. Dalam pendekatan sejarah, penulisan sejarah merupakan proses rekonstruksi sejarah. Dalam hal ini kerangka penulisan yang sudah dipersiapkan menjadi patokan, dan pola penulisan dimaksud tergantung kepada penulis, apakah penyusunannya berdasarkan pola yang dikembangkan secara urut waktu atau periodesasi ataukah didasarkan kepada tema-tema unik sesuai peristiwa sejarah. Demikian pula model pemaparan atas fakta-fakta sejarah dapat ditempuh secara deduktif  maupun induktif. Suatu hal yang penting dicatat, bahwa penulisan sejarah biasa dikembangkan secara kualitatif, sehingga antara deskripsi fakta dan analisisnya merupakan satu kesatuan di dalam pemaparan sejarah. Dalam hal ini, Badri Yatim dalam salah satu kesimpulannya tentang penulisan sejarah, mengatakan bahwa pengerjaan ilmu sejarah tidak saja menuntut kemampuan teknis dan wawasan teori, tetapi juga integritas yang tinggi. Karena itu, dalam melakukan studi sejarah, sejarawan sering harus meninjau kecenderungan pribadinya.[10]

E.       Pendekatan Sejarah dalam Wujud Historiografi Islam

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hasil dari penulisan sejarah disebut sebagai historiografi. Dan jika sejarah yang ditulis adalah sejarah Islam, maka disebut historiografi Islam. Dalam sejarah, historiografi Islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern.  
Pada periode klasik, Dalam bukunya Historiografi Islam, Badri Yatim mengikuti pembagian Husein Nashar yang historiografi Islam Awal menjadi tiga aliran, yaitu aliran Madinah, aliran Iraq dan aliran Yaman. Pada aliran Madinah, penulisan sejarah bertolak dari gaya penulisan ahli hadits, lalu kemudian mulai berkembang penelitian khusus tentang kisah peperangan Rasul (al-Maraghi). Orang pertama yang menyusun al-Maraghi dan kemudian disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkajian al-Maraghi, ialah Aban Ibnu Usman Ibn Affan (w.105 H/723 M) dan yang paling terkenal sebagai penulis al-Maraghi adalah Muhammad Ibn Muslim al-Zuhri (w.124 H/742 M), dari penulisan al-Maraghi kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan penulisan Sirah Nabawiyah (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW).[11]
Pada aliran Iraq, pengungkapan kisah al-ayyam di masa sebelum Islam, kemudian karena panatisme politik kekabilahan yang diakibatkan oleh adanya persaingan antara kabilah untuk mencapai kekuasaan, disini dikembangkan model penulisan silsilah. Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Iraq adalah pembukuan tradisi lisan. Ini pertama kali di lakukan oleh Ubaidillah Ibn Abi Rafi’ dengan menulis buku yang berisikan nama para sahabat yang bersama Amir al-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) ikut dalam perang Jamal, Siffin dan Nahrawan oleh karena itu, dia dipandang sebagai sejarawan pertama dalam aliran Iraq ini.[12]
Pada aliran Yaman, yang difokuskan adalah penulisan sejarah pra-Islam. Di daerah ini jauh sebelum Islam datang telah berkembang budaya penulisan peristiwa, isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan, sehingga berita-berita israiliyat masuk dan mempengaruhi historiografi Islam. Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya yang terpenting di antaranya adalah Ka’ab al-Ahbar Wahb Ibn Munabbih dan ‘Ubayd ibn Syariyah.[13]
Periode pertengahan merupakan periode kemunduran peradaban Islam, di mana secara politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan umat Islam berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terutama setelah penyerangan Hulagu Khan dari Mongol yang membumihanguskan kekuatan khilafahan Bani Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1258 M. Kemunduran peradaban Islam ini disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Badri Yatim, kelemahan khalifah merupakan salah satu faktor kemunduran peradaban Islam pada periode ini. Selain itu, menurut Guru Besar Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, ada beberapa faktor yang yang saling berkaitan satu sama lain, di antaranya adalah adanya persaingan antarbangsa Arab dan Persia, telah terjadinya kemerosotan di bidang ekonomi, adanya konflik keagamaan yang berkembang di kalangan penganut aliran Sunnah dan Syi’ah dan adanya ancaman dari pihak luar, baik akibat perang Salib maupun serangan Mongol.[14]
Pada periode ini pendekatan sejarah dalam studi agama secara umum tidak dilakukan lagi oleh umat Islam. Hal itu disebabkan karena stagnasi ilmu pengetahuan Islam yang ditandai dengan minimnya karya ilmiah baru di berbagai bidang, termasuk sejarah.  Sementara itu, di negera-negara Eropa dan Amerika yang non-muslim, masa pertengahan dalam periode sejarah Islam ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuannya, suatu hal yang menjadikan studi agama di kalangan mereka berkembang pesat pada abad ke-19 dan 20 M. Perhatian ini ditandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Introduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amerika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Keadaan inilah yang membuat para ilmuwan Barat ini mampu mengembangkan pendekatan mereka dalam studi agama ke pendekatan sejarah, seperti yang diwujudkan dalam karya-karya mereka di bidang sejarah pada periode modern yang akan diuraikan selanjutnya dalam makalah ini.
Namun hal ini bukan berarti tidak ada seorang ilmuwan muslim pun yang menghasilkan karya ilmiah baru pada periode ini. Bukti yang paling nyata adanya historiografi Islam pada masa ini adalah karya fenomenal Ibn Khaldun yang berjudul Kitabul’Ibar Wa Diwanul Mubtadai Walkhabar Fi Ayyamil’arab Wal’ajami Walbarbar Waman ‘Asharahum Min Dzawis Sulthanil Akbar.
Yang sangat disayangkan terkait dengan pendekatan sejarah dalam studi Islam pada periode ini adalah bahwa hal itu berhenti pada sosok Ibn Khaldun tanpa ada lagi ilmuwan berikutnya yang mengikuti jejaknya sampai memasuki periode modern. Ironisnya lagi, di dunia Islam buku al-Muqaddimah ini sendiri baru diterbitkan di Kairo pada tahun 1855.
Sejak runtuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah pada 1258 M., yang menandai kemunduran peradaban Islam hingga periode modern, bahkan sekarang, kepedulian umat Islam masih sangat rendah terhadap sejarah. Disiplin ilmu sejarah bagi umat Islam merupakan ilmu yang tertinggal dibanding ilmu yang lain, seperti ilmu kalam, fiqih dan tasawuf. Setelah Al-Muqaddimah, karya Ibn Khaldun, karya ilmiah tentang sejarah di dunia Islam yang menjadi referensi utama umat Islam hingga kini belum ada yang menandinginya, padahal dalam Islam, manusia memiliki peran sentral dalam sejarah. Muhammad Iqbal dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, mengatakan bahwa manusialah yang memiliki kekuatan penggerak sejarah yang berupa kesadaran yang berakar dalam sifat dan fitrahnya. [15]
Senada dengan hal itu, Muhammad Baqir Shardar, dalam bukunya mengatakan bahwa manusia dengan jiwa, pikiran dan semangat yang dimilikinya merupakan dinamo yang menggerakkan sejarah.[16]
Pada periode modern, di akhir abad ke-18 awal abad ke-19, muncul seorang sejarawan yang disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali Arab Islam yang bernama Abdurrahman al-Jabarti (w.124 H/1825 M) dengan menggunakan dan mengembangkan corak penulisan sejarah melalui metode hawliyat ditambah dengan metode Maudu’iyat (tematik). Baru pada abad 20 para sejarawan Islam terutama setelah adanya kontak budaya dan ilmu pengetahuan antara Timur dengan Barat mulai mengembangkan historiografi Islam dengan metode kajian terhadap sejarah secara menyeluruh, total atau global, tidak hanya satu aspek sosial saja dengan mencontoh metode dan pendekatan yang berkembang di dunia Barat.

F.       Pendekatan periodisasi Sejarah dalam Studi Islam

Dalam pendekatan ini, sejarah Islam dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik (650-1250M), pertengahan (1250-1800M), dan periode modern (1800 sampai sekarang). Pendekatan ini dilakukan diterapkan oleh banyak penulis sejarah, di antaranya oleh Harun Nasution dalam bukunya Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Dalam buku tersebut Harun Nasution membagi periode klasik kedalam dua fase:
a.       Masa Kemajuan Islam I (650-1000M)
Pada fase ini daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai Spanyol di barat,dan melalui Persia sampai keIndia timur. Pada masa ini pula berkembang dan memuncaknya Ilmu pengetahuan baik dalam ilmu agama maupun non agama dan kebudayaan Islam. Dalam aspek hukum Islam, lahir banyak ulama besar seperti Imam Malik (93H), Imam Abu Hanifah (80H), Imam Syafi`i dan Imam Ahmad Bin Hanbal (164H).
Dalam bidang teologi (Ilmu Kalam) muncul Imam al Asy`ari, Imam al-Maturidi, Pemuka pemuka Mu`tazilah seperti Wasil Bin Atho`,Abu al Hudzail. Al Nazzam, dan al-Jubba`i.  Dalam bidang tasawuf/mistisme, seperti Dzul al Nun al Misri, Abu Yazid al Bustami dan al Hallaj. Dalam bidang filsafat ditemukan al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina,al Ghazali, Ibnu Rusdy dan Ibn Maskawaih. Dalam bidang Ilmu pengetahuan (sains) Ibnu Hayyan, Ibnu Haytam, al Khawarizmi, al Mas`udi al Razi. Dan bidang bidang lainnnya yang tidak kami sebutkan secara rinci di dalam pembahasan ini. Dengan demikian periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang, sungguhpun tidak secara langsung.[17]
b.             Fase Disintegrasi (1000-1250)
Fase disintegrasi ini sebenarnya telah didahului oleh fase pradisintegrasi, yaitu suatu fase di mana kemajuan Islam masih berlangsung, yaitu daerah daerahnya mulai terdapat usaha memisahkan diri dari khalifah pusat di Damaskus atau Baghdad Misalnya:
Disebelah Timur Baghdad, timbul Dinasti Tahiri, yang berkuasa di Khurasan (820-872M), Dinasti Samani (874) melepaskan diri dari Baghdad, dan Dinasti Saffari pada tahun 908M
Adapun fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain. Sepeti Dinasti Buwaihi menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076M)
Di zaman disintegrasi ini, ajaran ajaran sufi timbul pada zaman kemajuan Islam, mengambil bentuk terikat, sehingga mutunya mulai menurun.[18]
Kemudian periode pertengahan. Periode ini juga dibagi menjadi dua fase:
a.       Masa kemunduran I (1250-1500M). Pada masa ini desentralisasi dan disisntegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi`ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Pada masa itu pula umat Isalm di Spanyol di paksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.
b.      Fase tiga kerajaan besar (1500-1700M) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700M), kemudian masa kemunduran II (1700-1800M). Tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Usmaniah di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.

Selanjutnya periode Modern (1800 sampai sekarang). Periode ini merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir pada Tahun 1801 M yang mengakibatkan jatuhnya Mesir ke tangan Barat, itu membuka mata dunia Islam terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam dibanding dengan kemajuan dan kekuatan Barat.[19]

G.      Penutup


Studi Islam adalah sebuah disiplin yang sangat tua seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Karena Islam sebagai sebuah agama memiliki banyak aspek, maka objek studi Islam pun beragam tergantung aspek mana yang ingin dilakukan oleh sang pengkaji maupun peneliti, baik itu dilakukan oleh umat Islam maupun kalangan non muslim. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai pendekatan.
Diawali hanya dengan satu pendekatan saja, yaitu pendekatan doktriner atau normatif teologis, pendekatan dalam studi Islam kemudian berkembang seiring dengan perkembangan jaman menjadi banyak pendekatan, di antaranya pendekatan historis, pendekatan sosiologis, pendekatan antropologis, pendekatan psikologis dan pendekatan fenomenologis. Semua pendekatan ini memiliki tujuannya masing-masing yang secara umum adalah untuk menghasilkan pemahaman yang tepat dan komprehensif tentang segala permasalahan Islam yang menjadi objek pengkajian maupun penelitian.
Sebagai sumber utama studi Islam, Al-Qur’an dan Hadis perlu difahami dengan baik. Salah satu cara memahaminya adalah dengan menggunakan pendekatan linguistik, yaitu pemahaman Al-qur’an dan Hadis dari makna asalnya dalam bahasa Arab yang kita kenal dengan pemahaman secara tekstual. Cara seperti ini tidak cukup, bahkan bukan tidak mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yang parsial dan tidak utuh. Di sinilah pentingya pendekatan sejarah dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian dikenal dengan pemahaman kontekstual.
Kalau pentingnya pendekatan sejarah ini bisa diterapkan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis, maka ia juga dapat diterapkan pada segala aspek dalam Islam. Dan jika ditelusuri perkembangan studi Islam sepanjang sejarahnya, maka akan ditemukan fakta-fakta dan realita yang meyakinkan tentang penggunaan pendekatan ini oleh umat Islam, yang dengannya umat Islam pernah menjadi mercusuar peradaban dunia.















DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Penelitian Non Normatif Tentang Islam: Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disipin Ilmu Nuansa dan Pusjarlit, Cet. Pertama, 1998.

Basrin Melamba, Historiografi Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya Dari Masa Klasik Hingga Modern, dalam jurnal Thaqafiyyat, vol. 2, no. 11, Juli-Deember 2010.

Dr. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Modernisme, Pustaka Pelajar, Cet. Pertama, Januari 1995.

Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pelajar, Cet. I, Februari 2006.

Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam, PT RajaGrafindo Persada, cet. Ke-16, April, 2004.

Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M. Ag, Ilmu Studi Agama, CV Pustaka Setia, Cet. Pertama, 2005.

Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama, 1997.

H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, PT Bulan Bintang, Cet. 1, 1991.

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, UI Press, Cet. Kelima, 1985.






Moh. Ali, Kontekstualisasi Alquran: Studi atas Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah melalui Pendekatan Historis dan Fenomenologis dalam Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.1, April 2010.

Muhammad Baqir Shardar, Manusia Masa Kini dan Problem Sosial, Mizan, Bandung, t.t.

Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Kitab Bahuan, New Delhi, India, 1981.

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010

Prof. Dr. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, PT Tiara WacanaYogya, Edisi kedua, Agustus 2003.

Prof. Dr. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yayasan Bentang Budaya, cet. Keempat, November, 2001

Profesor Dr. H.M. Amin Syukur , MA dkk, Metodologi Studi Islam, Gunungjati Semarang dan IAIN Walisongo Press, t.t.

Soeryono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Press, cet. Kesembilan, Juni1988.

Sukarman, Studi Sejarah dan Pendekatan Sejarah Islam, dalam jurnal Sintesa, vol. 8, no. 1, Januari 2008.

Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987.














TENTANG PENULIS
Aip Aly Arfan, MA, adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Indonesia Jakarta dalam bidang ilmu Sejarah dan Peradaban Islam yang kini menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Dilahirkan di Jakarta, pada 24 Januari 1975, memperoleh gelar Magister dalam bidang Peradaban Islam di Universitas Zaitunah, Tunis Tunisia pada tahun 2003. Sejak tahun 2005 menjadi Dosen di Institut Agama Islam Al-Aqidah (IAIA) Jakarta dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktur Pascasarjan IAIA Jakarta pada tahun 2007-2008. Tulisan-tulisannya: Pemikiran Fikih Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, dalam junal Dirasat, vol. 1, no. (2006), Islam Modern di Tunisia: Studi Tentang Pemikiran Pembaharuan Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur dalam jurnal Dirasat, vol.02, no.1 (2007), Rekonstruksi Peradaban Islam: Pandangan Ziauddin Sardar, dalam jurnal Kordinat, vol. X, no. 2 (2009), Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik, Diktat Fakultas Tarbiyah IAIA (2011), Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam (PPMDI), Buku Ajar STAI Indonesia Jakarta (2012).



[1] Makalah ini disampaikan pada diskusi keempat Lecturer’s Study Club (LSC) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Indonesia Jakarta pada hari Rabu, 15 Januari 2013.
[2] Data ini diambil dari hasil penelitian The Pew Forum on Religion & Public Life pada tahun 2010, di mana umat Islam Indonesia mencapai 205 juta jiwa atau 88,1 persen dari jumlah penduduk. Lihat selengkapnya hasil penelitian ini pada http://www.anashir.com/2012/05/102159/46553/10-negara-dengan-jumlah-penduduk-muslim-terbesar-di-dunia
3 H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (PT Bulan Bintang, Cet. 1, 1991), hal.32.
4 Untuk lebih jelas tentang paradima ini, lihat karya Amin Abdullah yang berjudul Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Pelajar, Cet. I, Februari 2006). hal. Iii.
7 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), h. 35-36.

[6] Azyumardi Azra, Penelitian Non Normatif Tentang Islam: Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disipin Ilmu (Nuansa dan Pusjarlit, Cet. Pertama, 1998), hal. 119.
[7] Azyumardi Azra, Penelitian Non Normatif Tentang Islam: Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab, 119.
[8] Profesor Dr. H.M. Amin Syukur , MA dkk, Metodologi Studi Islam, (Gunungjati Semarang dan IAIN Walisongo Press), t.t., hal 51.
[9] Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987), h. 105.
[10] Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, (Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama, 1997), hal. 4.
[11] Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, hal. 54.
[12] Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, hal. 69.
[13] Selengkapnya tentang ketiga sejarawan muslim tersebut, lihat Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, (Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama, 1997), hal. 50-54.
[14] Lihat selengkapnya terkait faktor kemunduran peradaban Islam pada masa bani Abbasiyah ini dalam buku Sejarah Peradaban Islam, karangan Dr. Badri Yatim, MA, (PT RajaGrafindo Persada, cet. Ke-16, April, 2004), hal 80-84.

[15] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Kitab Bahuan, New Delhi, India, 198)1, hal 97.
[16] Muhammad Baqir Shardar, Manusia Masa Kini dan Problem Sosial, (Mizan, Bandung, t.t.)  hal 115-126.
[17] Lihat selengkapnya dalam Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I,(UI Press, Cet. Kelima, 1985), hal.56-74.
[18] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I,  hal.75-88.
[19] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I,  hal.88.