Filsafat Haji

FILSAFAT HAJI

Oleh: Aip Ali Arfan
Ibadah haji dalam rukun Islam merupakan yang kelima setelah zakat atau puasa. Ibadah ini dilakukan pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah dengan urutan amalan-amalan tertentu. Setiap pelaku haji melakukan amalan-amalan tersebut pada tempat-tempat yang tertentu pula. Diantaranya adalah Makkah, tempat para pelaku haji –selanjutnya disebut hujjaj– melakukan thawaf, sa’i dan tahallul. Kemudian Arafah, suatu padang tandus tempat para hujjaj melakukan perenungan dan berdo’a sebanyak-banyaknya. Lalu Mina, tempat para hujjaj melontar tiga macam jumroh.

Lalu, pertanyaannya adalah apa rahasia yang terdapat dalam pelaksanaan ibadah haji itu? Apakah ia hanya sekadar ibadah ritual belaka, atau ada sesuatu dibalik itu semua?.

Pada pembahasannya kali ini, penulis mencoba untuk menguraikan secara sederhana dengan gamblang dan jelas beberapa arti penting dan hikmah dari pelaksanaan ibadah haji yang dinamakannya ‘’filsafat haji’’.

Mengapa Mekah?
Agama Islam yang mensyari’atkan ibadah haji bagi pemeluknya tiada lain adalah agama nabi Ibrahim juga. Selain disebut sebagai bapaknya para nabi, nabi Ibrahim as pun telah mengikrarkan dirinya sebagai muslim. Adapun yang ingin penulis ketengahkan di sini adalah bahwa antara agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim dan agama yang turun pada nabi Muhammad Saw terdapat suatu korelasi yang menghubungkan keduanya.

Maka Islam tidak membedakan antara nabi-nabi yang diutus Allah Swt dari Adam as sampai Muhammad (‘alaihimusshalatu wassalam) yang kesemuanya menyeru kepada tauhid (pengesaan Tuhan). Akan halnya agama Islam yang dibawa Muhammad tiada lain adalah sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya.

Oleh karena itu pilihan Mekah sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji didasarkan kepada

hubungan yang erat dan kuat antara nabi Muhammad Saw dengan nabi Ibrahim. Dengan kata lain pilihan Mekah tersebut menunjukkan isyarat satunya Islam.

Mari kita buka dan lihat kembali kisah nabi Ibrahim as. Di sana akan kita dapati amalan-amalan yang dilakukan dalam ibadah haji mengacu kepada perjalanan nabi Ibrahim dan anaknya Isma’il (‘alaihimassalam). Maka sa’i (Berlari-lari kecil antara Safa dan Marwa) adalah refleksi dari usaha Siti Hajar –isteri nabi Ibrahim– dalam mencarikan air untuk anaknya, Isma’il yang sedang kehausan. Begitu pula melontar jumroh –simbol peperangan antara yang hak dan yang bathil– tiada lain adalah refleksi dari marahnya nabi Ibrahim kepada setan yang berusaha membujuknya agar ia mengurungkan niatnya memenuhi janjinya kepada Allah Swt.

Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia
Allah Swt, jauh-jauh hari, yaitu kurang lebih 14 abad yang lalu telah menetapkan bahwa Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Bahwa tidak ada perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, antara satu suku dengan suku lainnya kecuali ketakwaannya (Q.S 49:13) dan sabda nabi Muhammad Saw yang tidak membedakan antara orang Arab dan bukan Arab, antara kulit hitam dan kulit putih kecuali ketakwaannya adalah salah satu karakteristik Islam yang lahir dari pernyataan bahwa semua manusia adalah sama dalam pandangan Allah Swt. Dan nilai etika yang tinggi ini diimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah haji, dimana semua umat Islam dari berbagai belahan di dunia (Benua Asia, Afrika, Amerika, Eropa, Australia dan Antartika) dengan perbedaan warna kulit, bahasa dan teritorial datang ke Mekah dengan memakai pakaian yang sama putihnya dan melakukan amalan-amalan yang sama pula. Dan semuanya tunduk serta patuh merendahkan dirinya masing-masing dihadapan Sang Maha Agung, Allah Swt. Subhanallah ...!

Islam adalah agama yang benar
Pernyataan ini di dasarkan atas realita sejarah dimana Nabi Muhammad Saw menyampaikan pidato perpisahannya di padang Arafah pada haji wada’, yaitu haji terakhir yang dilakukannya pada tahun kesebelas hijriah yang pada waktu itu turun ayat ke 3 dari surat Al Maidah yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang diridhai Allah. Ayat ini tiada lain adalah sebagai lanjutan firman Allah yang menyatakan bahwa orang yang mengambil agama selain Islam, maka tidak akan diterima dan ia termasuk orang-orang yang merugi.(Q.S.3:85).

Mutiara haji
Di antara mutiara-mutiara haji yang akan disebutkan penulis di sini antaralain adalah :

1. Ibadah haji diwajibkan hanya bagi yang mampu.
Tidak semua umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah ini diperuntukkan hanya bagi mereka yang memiliki sifat mampu, yang dalam fikih Islam pengertiannya adalah kesiapan seseorang akan biaya pelaksanaan haji dari awal keberangkatan sampai kembali ke tempat di mana ia bertolak, ditambah biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkannya. Dan kewajiban ini hanya sekali saja seumur hidup.

Kewajiban haji yang khusus untuk mereka yang mampu mengandung arti bahwa seorang muslim yang ‘’berada’’ sedang diuji keimanannya dengan hartanya. Sebagaimana telah diketahui, melaksanakan ibadah haji berarti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit tanpa ada sepeserpun yang didapat setelah itu.

2. Belajar sabar dari haji.
Ungkapan orang sabar disayang Tuhan banyak sekali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga pribahasa berakit-rakit ke hulu berenanang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Namun pada kenyataannya, menjadi orang sabar itu tak semudah menyebutnya.

Dalam Islam kita kenal nabi Ayyub as, profil dalam bidang ini. Maka untuk menjadi seperti beliau sangatlah sulit. Perjalanan haji yang dipenuhi dengan berbagai macam cobaan (sesaknya thawaf, sa’i dan melontar jumrah, teriknya matahari, tidak leluasanya bergerak dalam keadaan ihram dengan pakaian tak berjahit dan lain-lain) adalah pelajaran yang sangat berharga untuk mencapai tingkat ‘’bersama’’ Allah Swt. Apakah kita tidak senang jika Dia ada bersama kita?

3. Siti Hajar sebagai tauladan wanita muslimah.
Siti Hajar adalah isteri kedua Nabi Ibrahim setelah Siti Sarah. Dia adalah seorang budak hitam berkebangsaan Habasyah (Ethiopia, sekarang) yang tunduk dan patuh kepada suaminya, Nabi Ibrahim yang –ketika telah sampai di Mekah yang tandus– harus kembali ke Palestina memenuhi perintah Allah. Maka tinggallah ia dan anaknya Isma’il di tempat yang tidak ada sebuah tanaman pun tumbuh di sekitarnya sampai terjadinya peristiwa yang menakjubkan yaitu berupa terpancarnya air di bawah kaki si kecil yang kemudian membesar menjadi sumur yang airnya tidak pernah kering sampai hari kiamat.

Maka sosok Siti Hajar sebagaimana telah disebutkan di atas adalah ibarat cermin bagi para wanita muslimah lainnya yang menginginkan kebahagiaan dalam hidup dan kehidupannya.

4. Haji adalah syukur total
Bersyukur, dalam pandangan Islam dilakukan dengan tiga hal: pertama, dengan lisan (menyebut Alhamdulillah). kedua, dengan hati (hati kita merasakan nikmat Tuhan). Dan ketiga, dengan perbuatan (melaksanakan syari’at Islam, diantaranya: rukun Islam, berakhlak mulia dll).

Dalam menunaikan ibadah haji, seorang muslim selain dituntut kesabaran sebagaimana terdapat dalam ibadah puasa juga gerakan-gerakan dan amalan-amalan seperti dalam ibadah shalat, ia dituntut pula untuk merelakan hartanya sebagaimana dalam ibadah zakat.

Dari hal tersebut di atas bisa dikatakan bahwa ibadah haji yang mencakup semua jenis ibadah ini adalah syukur total. Maka berbahagialah orang-orang yang telah menunaikan ibadah hajinya dengan sebaik-baiknya (haji yang mabrur).

5. Isyarat ilmu pengerahuan dan Tekhnologi
Sekurang-kurangnya di sini ada tiga bidang yang disentuh haji. Yang pertama yaitu bidang transportasi dan perhubungan. Kemudian yang kedua adalah bidang administrasi dan manajemen. Dan yang ketiga yaitu bidang komunikasi dan informasi.

Tak syak lagi, bahwa untuk mencapai baitullah diperlukan sarana transportasi dan perhubungan bagi orang-orang Islam yang tempat tinggalnya jauh dari Mekah. Semakin maju zaman dan peradaban manusia dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad, maka semakin modern dan canggih pulalah kedua sarana ini diciptakan. Begitu pula untuk bidang administrasi dan manajemen dimana untuk memenage jutaan orang dibutuhkan sarana dan alat yang dapat membantu memperlancar urusan administrasi. Sebagaimana pentingnya komunikasi dan informasi yang cepat antara negara tempat pelaksanaan ibadah haji –dalam hal ini Saudi Arabia– dan negara-negara pelaku haji lainnya tidak dapat dipungkiri lagi.

Dari uraian panjang di atas, dapat penulis simpulkan, bahwa ibadah haji yang merupakan terakhir dalam deretan rukun Islam ini, tiada lain adalah sebagai penyempurna bangunan Islam. Maka ia ibarat atap yang melindunginya dari siraman hujan dan sengatan matahari. Sebagaimana dapat ditarik kesimpulan pula, bahwa Islam adalah agama 14 abad yang lalu dan agama abad 20 kini, sebagaimana ia juga agama abad-abad yang akan datang yang akan terus langgeng sampai akhir dunia karena ia merupakan agama yang sesuai dan fithrah dan tabiat manusia yang menitikberatkan pada keseimbangan antara mencapai akhirat dengan tidak melupakan dunia untuk juga diraih.

Penulis adalah mahasiswa ISCI Universitas Ez-Zitounah Tunis, Tunisia. Tulisan ini diterbitkan di buletin Ikrar PPI Tunisia dengan alamat: http://ppitunisia.150m.com/artikel/Filsafat%20Haji.htm

Mengenal Sisi Peradaban Kota-kota di Irak

MENGENAL SISI PERADABAN KOTA-KOTA DI IRAK

Oleh: Aip Ali Arfan
Sejak 20 Maret 2003 yang lalu, Irak menjadi sasaran serangan Amerika Serikat dan sekutunya karena telah dianggap melanggar materi Resolusi DK PBB No 687 (1991) dan 1441 (November 2002), meskipun ketua tim inspeksi senjata PBB (UNMOVIC) Hans Blix dan Sekjen IAEA Muhammad El-Baradei menyatakan tidak menemukan senjata pemusnah massal di Irak sebagaimana dituduhkan Washington.

Sejak itu pula semua media massa, cetak maupun elektronik, tidak melewatkan berita perang di Irak, bahkan meletakkannya di halaman pertama, laporan utama serta, laporan khusus. Sejak jatuhnya kota Baghdad pada 9 April lalu, sebagian bangsa Arab yang menginginkan kebebasan dari cengkaraman kediktatoran Saddam Husein bersenang-senang dan riang gembira. Sedangkan sebagian yang lain menangis karena Baghdad dan kota-kota lainnya di Irak yang menyimpan nilai tak terhingga sejarah peradaban manusia jatuh ke tangan-tangan biadab yang seolah tidak mengenal arti penting peradaban. Maka untuk mengenal kota-kota bersejarah di Irak, IKRAR memuat kajian historis tentang kota-kota tersebut.

Secara sederhana, untuk mengenal sejarah perdaban di Irak dapat ditelusuri dari dua era peradaban yang dicapai Irak dalam perjalanan sejarahnya: era klasik dan era Islam.

Peradaban Irak Era Klasik

Irak, yang dulu bernama Arika, adalah salah satu peradaban tertua manusia.

Nebukadnezar, adalah seorang raja terkenal yang berkuasa di Irak pada masa Kildania tahun 606-539 SM. Pada masa ini, ditemukan hitungan jam sehingga kemudiaan ditetapkan bahwa dalam sehari-semalam terdiri dari 24 Jam dan dalam satu jam terdiri dari 60 menit.

Lebih dahulu lagi, antara abad 18-13 SM, Dinasti Babylonia menguasai Irak, menempati kawasan sekitar 90 km bagian selatan Baghdad dan 810 km ke arah utara. Dinasti ini mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan raja Kildania ke VI, Hammurabi. Ia kemudian menoreh sejarah dengan menetapkan hukum yang hingga kini dikenal dengan nama Hukum Hammurabi dan menggagas perlunya irigasi dalam dunia pertanian.

Bahkan jauh sebelum itu, sekitar abad 48-23 SM, Irak sudah terkenal dengan peradaban Sumeria yang terutama maju dalam bidang pertanian dengan Rajanya yang terkenal waktu itu adalah Sardun II.

Peradaban Irak Era Islam

Peradaban yang dibangun Irak pada era Islam dapat dilihat dari terbentuknya pemerintahan Abbasiyah (Daulat Abbasiyah) pada abad ke 7-8 M, yang kemudian meluas ke Andalusia. Pada abad ini, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan di Irak mencapai puncaknya, terutama pada masa Harun Ar-Rasyid dengan didirikannya Bait Al-Hikmah sebagai pusat ilmu pengetahuan. Pada zaman inilah berbagai macam disiplin ilmu seperti; teknik, arsitektur, matematika, astronomi, kedokteran, kesusasteraan, ilmu optik, filsafat dan sebagainya dikembangkan.

Peradaban tersebut melahirkan ulama-ulama besar di berbagai bidang. Dalam bidang fikih muncul antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, di mana empat madzhab fikih (termasyhur) ini diikuti oleh banyak ummat Islam di seluruh pelosok dunia hingga sekarang. Dalam bidang teologi, muncul ulama-ulama terkenal seperti, Abu Hasan Al-Asy’ari, Abu Al-Juba’i, Abu Mansur bin Muhammad al-Maturidi, Wasil Bin Atha’ dan sebagainya. Dalam bidang tasawuf lahir ulama-ulama kenamaan seperti, Al-Ghazali, Al-Hallaj dan lain-lain. Dalam bidang filsafat muncul ulama-ulama sekaliber Ya’kub bin Ishak al-Kindi yang selain ahli filsafat ia juga menguasai bidang-bidang lain seperti optik, musik dan matematika. Kemudian Abu Bakar Ar-Razi, yang selain mumpuni di bidang filsafat juga mahir di bidang kedokteran. Begitu juga Abu Nasir Al-Farabi, Abu Ali Al-Husein Ibn Sina, Ibn Rushd dan lain-lain.

Peradaban yang begitu besar ini akhirnya mengalami kehancurannya pada tahun 1258 M. setelah adanya serangan yang dilakukan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan yang melakukan pembantaian di kota Baghdad dan menghancurkan Baitul Hikmah dan perpustakaan-perpustakaan lainnya yang menjadi simbol ilmu pengetahuan dan peradaban manusia sejak dahulu kala itu.

Beberapa kota besar di Irak semisal Baghdad Nijaf, Kufah dan Basrah merupakan monumen hidup sejarah sebagi pusat peradaban dunia selama masa kejayaan Kekhalifahan.

Baghdad

Kota ini didirikan oleh Abu Ja’far Al Mansur sebagai ibukota Negara Abbasiyah (Daulah Abbasiyah) pada tahun 133 H. dengan luas wilayah 613 km² dan dikenal dengan beberapa nama seperti Madinatus Salam kota perdamaian, Madinatul Mansur kota yang dimenangkan. Kota ini juga disebut sebagai kotanya para wali, karena disinilah dimakamkannya dua orang wali terkenal: Syekh Abdul Kodir Jailani dan kuburan Syekh Syahrawardi. Pada masa Harun Ar-Rasyid (abad ke-8), Baghdad menjadi ibukota dunia Islam, bahkan dunia secara keseluruhan, terkenal dengan kekuatan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan dengan jumlah penduduknya yang waktu itu mencapai lebih dari 2 juta jiwa. Kemegahan kota ini hancur setelah adanya serangan bangsa Tartar pada tahun 1258 M.

Sekarang Baghdad yang luasnya mencapai 660 km² dipisahkan oleh sungai Dejlah, yaitu Al-Kurkh di barat dan Ar-Rasafah di timur. Di kota ini terdapat beberapa kelompok etnis: Kurdi, Persia, Turki dan Yahudi. Baghdad juga diistimewakan dengan masjid dan bangunan-bangunannya yang sangat kuno.

Nijaf

Kota Nijaf terletak sekitar ± 186 Km arah tenggara Baghdad berada pada dataran tinggi, sejak pendiriannya yang pertama pada zaman Nabi Ibrahim. Mengapa tempat ini dinamakan Nijaf? Menurut riwayat yang ada, Nijaf atau Wadissalam, sesuai dengan artinya al-manjuf pada zaman itu adalah nama sebuah gunung yang akan dijadikan tempat perlindungan anak Nabi Nuh sebagaimana disebutkan dalam al-Quran yang artinya: "saya ingin naik ke gunung yang akan melindungi diri saya". Setelah Nabi Nuh diselamatkan, gunung tersebut menjadi gurun batu, sedangkan airnya (yang membawa kapal Nabi Nuh yang dinamakan Ni) kering, dan dalam bahasa Arab, kering diungkapkan dengan jâf. jadilah tempat itu Nijaf hingga sekarang.

Nijaf yang memiliki banyak nama, antara lain ar-Rabwah, al-Masyhad, al-Jûdi ini, dibangun kembali oleh Harun al-Rasyid pada tahun 791 M, untuk menjaga peninggalan turâts sejarahnya dan menjadikannya sebagai pusat agama. Kota ini juga dikenal dengan nama al-Asyraf (yang paling mulia) dan al-Atabat al-Muqadda-sah (pintu-pintu suci), karena di sinilah dikuburkannya Imam Ali bin Abi Thalib, putrinya yang bernama Khadijah dan seorang sahabat Nabi, Muslim bin Aqil bin Abi Thalib, begitu juga nabi-nabi seperti Nabi Hud, Nabi Sholeh.

Selain itu, kota Nijaf memiliki nilai sejarah yang sangat penting bagi kaum Muslimin, karena di tempat ini pada tahun 661 M terjadi perang Shiffin antara pengikut Muawiyah dan pengikut Ali bin Abi Thalib yang dimenangkan oleh orang-orang Muawiyah. Mereka yang tetap setia kepada Ali, yang disebut kaum Syi’ah, kemudian membai’at Hasan bin Ali dan Husein bin Ali, kedua anak Ali bin Abi Thalib, agar tetap mempertahankan kekhalifahan. Husain bin Ali kemudian terbunuh ditangan orang-orang Muawiyah pada perang Karbala, pada tanggal 10 Muharam (10 Oktober 680 M). Imam Husain dan sahabat Amru bin Abdullah dan Abbas dimakamkan di kota ini. (Karbala dalam bahasa Persia berarti dekat dengan Tuhan, terletak tak jauh dari kota Nijaf.)

Hingga saat ini, pengunjung kota Nijaf akan terkagum-kagum memandang sya’ir-sya’ir yang digantung di atas toko-toko di pasar-pasar Nijaf dengan kain hitam bertuliskan huruf yang indah, bercerita tentang segala kejadian yang dialami kota Nijaf, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan.

Kufah

Kota ini didirikan pada tahun 638 M. oleh Sahabat Sa’ad Bin Abi Waqash yang menjadikannya titik tolak penyebaran Islam, terutama ke daerah-daerah timur dekat.

Kota ini tidak jauh dari Nijaf. Di kota inilah Imam Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang Khawarij. Khawarij adalah kaum pengikut Ali yang kemudian berpaling darinya karena tidak menerima keputusan Ali berdamai dengan Muawiyah. Mereka menuntut agar Ali tetap dalam kekhalifahannya dan berpendapat bahwa khalifah harus berada dalam tangan ahlulbait (keturunan Rasul).

Kufah juga adalah tempat didirikannya Daulat Umawiyah oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Daulat Abasiyah oleh Abu Al Abbas yang lalu memindahkan Ibukotanya ke Baghdad.

Kepanasan politik yang dialami Kufah sejak terbunuhnya Imam Ali tidak menjadikannya gagal dalam membangun ilmu pengetahuan. Di kota inilah lahir para pemikir Arab dan ilmu nahwu (tata bahasa) serta kaligrafi Arab dengan tulisan Khufinya yang sangat indah.

Bashrah

Kota ini didirikan pada abad 7 M (637 M) oleh sahabat ‘Utbah bin Ghazwan, terletak ± 500 km tenggara Baghdad. Ketika Khalifah Umar bin Khattab berkuasa, ia menjadikan kota ini sebagai pangkalan militer. Kota ini mengalami masa kemajuan di zaman Abbasyiah pada akhir abad 8 M hingga menjadi salah satu metropol dunia dengan jumlah penduduk mencapai 300.000 jiwa. Saat ini, Basrah berpenduduk sekitar 1.200.000 jiwa.

Kota ini menjadi terkenal berkat kekayaannya yang melimpah dan perdagangannya serta kormanya yang mencapai 500 macam. Menurut Louis Mattinioun, islamolog dari Prancis: "Basrah adalah tempat dimana kebudayaan Islam mengambil bentuknya".

Di kota Sinbad ini tumbuh nahwu, begitu juga kehidupan sufi. Bahkan Al-Husain bin Mansour Al-Hallaj, penggagas doktrin pantheisme yang karenanya dibunuh (abad 10 m), pernah berkunjung ke kota ini. Al-Karamithat pernah merampas kota ini pada 923 M. kemudian jatuh ke tangan bangsa Mongol dan menghancurkannya dan membakar perpustakaan yang ada di sana pada pertengahan abad 13 M. Kota ini mencapai kebesarannya kembali pada masa Kesultanan Utsmaniyah yang membuka hubungan perdagangan internasional dengan Inggris, Belanda, dan Portugal.

Pada tahun 1764, di Basrah dibuka konsulat Inggris pertama, dengan mengambil tempat di antara dua sungai, dan di tempat ini pada abad 19 telah menjadi pusat perdagangan yang besar di bawah kesultanan Utsmaniyah. Dan Pada perang dunia pertama, Inggris mendapat kesempatan untuk mengembangkan kekuasaannya atas daerah utara Teluk.

Pada 14 April 1915 Jendral John Nixon melakukan pengusiran orang-orang Turki yang tinggal di Basrah dan menjadikan kota ini sebagai salah satu titik tolak penyebaran kekuatan Inggris.

Pada perang dunia kedua, Basrah bisa dikatakan selamat dari ancaman perang, namun pada perang Teluk Pertama antara Irak dan Iran pada tahun 1980-1988, kota ini harus membayar mahal dengan gugurnya 300-400 ribu orang sehingga kota ini disebut Ummu As-syuhada. Setelah menghirup udara segar beberapa tahun, Bashrah telah kembali menjadi sasaran serangan tentara sekutu pimpinan AS dalam rangka pembebasan Kuwait dari serangan Irak pada tahun 1991. Perang waktu itu telah menewaskan puluhan ribu orang Syiah, dan pada 20 Maret 2003 kota Basrah kembali diserang oleh AS dengan dalih membebaskan Irak dari Saddam Husein yang dianggap membahayakan negaranya sendiri dan negara-negara tetangganya dengan adanya senjata biologi, pemusnah masal dll, meski hingga kini belum ada bukti bahwa Irak memiliki senjata tersebut.

Banyak peristiwa tragis telah menghancurkan monumen-monumen peradaban kota-kota di Irak. Sungguhpun demikian, hal ini tidak akan menutup sejarah keindahan dan keemasan yang telah dicapainya. Kehancuran suatu peradaban adalah wajar, karena sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun, peradaban itu seperti manusia; tumbuh, berkembang, tua, hingga akhirnya mati. (Diambil dari berbagai sumber) Tulisan ini diterbitkan pada buletin Ikrar PPI Tunisia dengan alamat: http://ppitunisia.150m.com/artikel/Mengenal%20Sisi%20Peradaban%20Kota-kota%20di%20Iraq.htm