Peradaban Islam Pada Masa Rasul dan Khulafaurrasyidin Sebagai Pondasi Mercusuar Peradaban Dunia



PERADABAN ISLAM PADA MASA RASUL DAN KHULAFAURRASYIDIN
SEBAGAI PONDASI MERCUSUAR PERADABAN DUNIA[1]
Oleh:
Aip Aly Arfan[2]

A.    Pendahuluan

Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab Asy-Syajarah, yang berarti pohon. Tidak diketahui secara pasti alasan dipilihnya istilah ini, tetapi  setidaknya sebagaimana yang dikatakan Azyumardi Azra, istilah ini digunakan karena berkaitan dengan syajaratun nasab atau pohon genealogis yang saat ini disebut sebagai sejarah keluarga.[3] Penggunaan istilah sejarah juga bisa karena syajara dalam bahasa Arab juga bisa berarti to happen, to occur dan to develop. Masih dengan Azra, pada perkembangan selanjutnya sejarah memiliki arti yang sama dengan tarikh dalam bahasa Arab, history dari bahasa Inggris dan geschichte dari bahasa Jerman yang berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam.[4]
Dari sini bisa disimpulkan bahwa secara sederhana, sejarah adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang dialami manusia pada masa lampau. Pertanyaannya adalah apakah kejadian-kejadian masa lampau itu berguna bagi kita manusia, atau secara lebih spesifik sebagai umat Islam?
Tentunya manusia tidak akan belajar sejarah jika tidak ada gunanya. Dan jika membahas tentang sejarah, maka kita akan mendapatkan banyak  manfaat dari sejarah. Dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu perlu dan berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah sebagai pengetahuan berguna sebagai Ilmu, sebagai  cara mengetahui masa lampau, sebagai pernyataan pendapat dan sebagai profesi.[5] Sedangkan secara ekstrinsik, sejarah memiliki manfaat sebagai media pendidikan, yaitu pendidikan moral, pendidikan penalaran, pendidikan politik, pendidikan kebijakan, pendidikan perubahan, pendidikan masa depan, pendidikan keindahan dan sebagai ilmu bantu.[6]
Bagi kita umat Islam, sebagaimana kita ketahui, bahwa sebagian besar isi dalam kitab suci Al-Quran atau 1/3 nya berbicara tentang sejarah yang dikenal dengan kisah. Ini berarti secara tidak langsung, Allah SWT seakan mengatakan bahwa sejarah itu penting dan berguna untuk umat Islam, meskipun kita juga tidak dapat mengatakan bahwa Al-quran adalah buku sejarah.
Salah satu sejarah yang penting dipelajari, terutama oleh umat Islam adalah sejarah peradaban Islam masa klasik yang terkenal dengan masa keemasan dan puncak peradaban Islam. Bak primadona dan idola umat Islam, masa klasik sejarah Islam selalu dikagumi dan dipuja umat Islam dari berbagai kalangan, dari kelompok Islam tradisionalis maupun Islam modern dengan berbagai variannya. Alasan utamanya adalah karena masa klasik merupakan masa di mana umat Islam meraih kesuksesan yang luar biasa di berbagai bidang kehidupannya. Dalam konteks peradaban, masa klasik sejarah Islam merupakan masa di mana tidak ada satu peradaban pun di dunia yang meraih kemajuan seperti yang dicapai peradaban Islam. Bahkan, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa peradaban Islam pada masa klasik merupakan satu-satunya referensi bagi peradaban Barat yang hingga kini masih menjadi pemeran utama dalam film peradaban dunia. Peradaban Islam pada masa klasik adalah bintang yang menerangi dunia dari kegelapan peradaban. Ia adalah mercusuar peradaban dunia.
Banyak sekali pertanyaan yang muncul terkait dengan pernyataan bahwa peradaban Islam masa klasik merupakan mercusuar peradaban dunia. Di antaranya adalah bagaimana gambaran peradaban Islam masa klasik ini? Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi kecemerlangan peradaban Islam masa klasik? Apa saja monumen-monumen penting peradaban Islam yang menjadi mercusuar peradaban dunia ini? Dan seberapa besar peradaban Islam memberikan pengaruhnya terhadap kemajuan peradaban Barat yang sampai detik ini masih menjadi penguasa peradaban dunia?
Namun, pembahasan gambaran peradaban Islam masa klasik secara keseluruhan dari masa Rasul hingga masa Bani Abbasiyah, memerlukan uraian yang sangat panjang. Oleh karena itu, makalah ini hanya akan membahas salah satu fase yang sangat penting dalam masa klasik, yaitu masa Rasul dan Khulafaurrasyidin. Sebagai fase awal, fase ini memiliki tingkat urgensinya yang tinggi dan posisi yang sangat strategis karena ia merupakan dasar dan pondasi bagi perkembangan dan kemajuan peradaban yang dicapai kemudian pada fase-fase selanjutnya, yaitu fase bani Umayah dan Bani Abbasiyah,
Dari pembatasan pembahasan di atas, maka pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah ini adalah bagaimana gambaran peradaban Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin sebagai pondasi mercusuar peradaban dunia?

B.    Peradaban Islam Masa Rasul dan Khulafaurrasyidin

1. Penyebaran Dakwah Islam

Pada masa permulaan Islam, nabi Muhammad Saw melancarkan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal ini, selain karena belum adanya perintah untuk berdakwah secara terang-terangan, juga karena lingkungan yang secara politis belum kondusif. Pada masa ini, yang menerima dakwah Nabi untuk memeluk Islam adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat seperti isterinya sendiri, Khadijah dan keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan para tokoh masyarakat Quraisy, seperti Abu Bakar As-Shiddiq yang kemudian diikuti oleh kelima orang lainnya, yaitu Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqasy, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah. Setelah itu, para tokoh Quraisy lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Al Arqam bin Abi Al Arqam yang dilanjutkan dengan orang-orang dari kalangan hamba sahaya dan fakir miskin. Mereka inilah yang disebut dengan kelompok As-Sabiqun al awwalun[7].
Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, turun perintah Allah Swt kepada Nabi agar melakukan dakwah secara terang-terangan. Tentunya, selain karena perintah Allah di atas, keadaan politik Islam waktu itu sudah menguat, meskipun masih sangat terbatas. Oleh karena itu, Nabi pun dengan keberaniannya yang luar biasa dan gaya bahasa yang meyakinkan mengatakan kepada keluarga Abdul Muthalib pada suatu undangan makan yang dipersiapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau berkata: “Wahai Bani Abdul Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah mendapatkan seorang Arab pun yang datang kepada kaumnya dengan membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Sesungguhnya saya datang membawa kebaikan untuk kalian di dunia dan akhirat” [8].
Namun, hal ini bukan berarti dakwah Nabi berjalan tanpa hambatan. Bahkan sejak diproklamirkannya dakwah Islam secara terang-terangan, kaum Quraisy yang sebelumnya kurang memberikan respon negatif, berubah secara drastis menjadi memusuhi Nabi dan menentang dakwah yang dijalankannya itu. Secara keagamaan, mungkin pengaruh yang ditimbulkan oleh dakwah secara terang-terangan ini tidak sebesar pada aspek politik, selain tentu saja materi. Kaum Quraisy merasa khawatir jika dakwah Islam semakin diterima oleh masyarakat Arab akan berpengaruh pada kehancuran agama mereka yang diwariskan secara turun temurun dan juga keuntungan materi yang didapat sebagai imbalan dari posisi penjaga dan pengaman Ka’bah. Oleh karena itu, segala daya dan upaya dilancarkan oleh kaum Quraisy untuk membendung dakwah Nabi, dari hanya sekadar mengejek hingga menyiksa sahabat-sahabat beliau.
Keadaan seperti ini tentu sangat memukul hati dan kejiwaan Nabi dan para sahabat beliau yang lain. Untung saja ada Abu Thalib, paman beliau yang selalu menolong dan melindungi dakwahnya. Keberadaan Abu Thalib di sisi Nabi sangat mempengaruhi dakwah Islam karena kedudukannya secara politis di mata kaum Quraisy sangat tinggi sehingga bagaimanapun sepak terjang Nabi yang membuat geram kaum Quraisy dapat terlaksana tanpa adanya hambatan dan dakwah Islam pun terus berjalan.

2. Hijrah ke Habasyah

Kalau sepak terjang nabi Muhammad Saw dalam dakwah Islam berjalan tanpa hambatan berarti, lain halnya yang terjadi dengan para sahabat beliau. Para kafir Quraisy melancarkan penolakannya terhadap dakwah Islam dengan menyiksa para sahabat Nabi seperti Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya yang dijemur di tengah teriknya sinar matahari dan Bilal bin Rabah yang selain muka dan punggungnya ditimpakan ke pasir panas di terik matahari, juga dadanya dibebani batu besar.
Melihat keadaan para sahabatnya yang memprihatinkan itu, Nabi pun menyarankan mereka untuk melakukan hijrah ke Habasyah. Sebenarnya banyak tempat yang bisa jadi alternatif lokasi hijrah, namun setelah dipertimbangkan dengan matang, akhirnya pilihan jatuh kepada Habasyah. Dan pilihan Habasyah sebagai tujuan hijrah dilakukan karena alasan politis karena rajanya pada waktu itu, Negus, adalah seorang yang terkenal adil dan bijaksana meskipun beragama Nasrani sehingga diharapkan dapat melindungi para sahabatnya dari gangguan kaum Quraisy. Adapun kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah untuk mendapatkan perlindungan politik ini pada awalnya berjumlah 14 orang, 10 laki-laki dan 4 perempuan. Kemudian bertambah menjadi 83 laki-laki dan 19 perempuan di luar anak-anak yang keseluruhannya berasal dari kaum Quraisy. Di antara mereka terdapat Utsman bin Affan dan isterinya Ruqyyah binti Rasulillah, Zubair bin Al Awwam, Abdullah bin Auf, Ja’far bin Abi Thalib beserta isterinya dan ‘Amr bin Sa’id bin Al ‘Ash bersama saudaranya Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash[9].
Sebagaimana yang diperkirakan oleh Nabi, pilihan politik Habasyah sebagai tempat hijrah adalah pilihan yang sangat tepat. Karena, meskipun kaum kafir Quraisy berusaha mempengaruhi Negus, raja Habasyah dengan mendatanginya dan menjelek-jelekan kaum muslimin yang melakukan hijrah tersebut agar melakukan pengusiran terhadap mereka, hal ini sia-sia saja. Mereka pun pulang dengan tangan hampa dan rasa kecewa yang mendalam[10].

3. Hijrah ke Yatsrib

Yatsrib adalah suatu tempat yang dihuni oleh orang-orang Yahudi yang datang dari Palestina ketika mereka terusir pada peristiwa invasi Hadrian dan orang-orang Aus dan Khazraj yang berasal dari salah satu suku Arab Selatan. Di antara mereka terjalin hubungan yang kuat di mana pemikiran-pemikiran keagamaan yang dibawa oleh orang-orang Yahudi tidak mendapatkan penolakan sebagaimana yang terjadi di Mekah pada saat orang-orang Quraisy menolak kehadiran Islam, meskipun mereka tidak serta merta memeluk agama Yahudi.
Pada tahun kesepuluh dari usia kenabian, Rasulullah dihadapkan pada kenyataan pahit yang harus diterimanya, yaitu meninggalnya Abu Thalib, pamannya dan Khadijah, isterinya, dua orang yang selalu membantunya dalam mengemban misi dakwah Islam. Karena dengan wafatnya kedua orang tersebut, berbagai derita datang silih berganti dari orang-orang musyrik Quraisy, terutama Abu Lahab bin Abdul Muthalib, Al Hakam bin al ’Ash dan ‘Uqbah bin Abu Mu’ith bin Abu ‘Amr bin Umayyah. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, hal ini terjadi karena rumah mereka yang berdekatan dengan rumah Nabi, sehingga dengan sangat berani mereka melemparkan kotoran saat beliau sedang shalat dan menaruhnya pada makanan beliau.[11]
Kondisi yang dialami nabi Muhammad Saw di atas membuat beliau berpikiran untuk mencari alternatif lain demi menunjang tugas dakwah yang diembannya, sampai akhirnya keputusan untuk hijrah pun diambil. Kota Thaif pada awalnya menjadi lokasi hijrah tersebut. Tapi ketika mendapatkan penolakan dari penduduk setempat yang melempari beliau dengan batu, akhirnya beliau memutuskan untuk menjadikan kota Yatsrib sebagai pilihan hijrah berikutnya.
Kali ini keputusan yang diambil oleh Nabi sangat tepat karena sambutan yang diberikan penduduk Yatsrib terhadap dakwah beliau sangat hangat. Mereka ternyata telah mengetahui pertentangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir Mekah melalui orang-orang Aus yang datang ke Mekah pada tahun kesepuluh kenabian untuk menjalin persekutuan dengan orang-orang Quraisy guna menghadapi orang-orang Khazraj yang pada waktu itu antara orang-orang Aus dan orang-orang Khazraj sedang dalam pertikaian di mana perang untuk memperebutkan kursi kepemimpinan di Yatsrib di antara mereka kerap terjadi, dan yang terakhir adalah perang Bu’ats yang dimenangkan oleh orang-orang Aus. Pada waktu itu, ada yang menerima Islam dan ada juga yang menolaknya.
Sementara itu, orang-orang Khazraj pun mengirim utusannya ke Mekah untuk berhaji. Di sana, keenam dari mereka bertemu dengan Nabi dan mendengarkan dakwah beliau yang akhirnya menerimanya karena melihat  kesesuaian ajaran-ajarannya dengan ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari orang-orang Yahudi di Yatsrib. Sesampainya di Yatsrib, mereka pun menceritakan tentang Rasulullah Saw kepada penduduk Yatsrib dan mereka pun menerimanya dengan penuh gairah dan semangat untuk menerima dakwah Islam.
Kondisi politik yang sangat kondusif ini diakhiri dengan hijrahnya nabi Muhammad Saw beserta sahabatnya ke Yatsrib. Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa sebelum keputusan hijrah ke Yatsrib ini diambil, pada tahun ketigabelas kenabian, beliau diundang oleh 73 (tujuh puluh tiga) orang Yatsrib agar Nabi berhijrah ke sana dengan maksud hendak membai’at beliau dan menjadikannya sebagai pemimpin mereka.[12]
Mengenai pertemuan nabi Muhammad Saw dengan delegasi dari Yatsrib ini, A. Hasjmy yang menyebut jumlahnya 72 (tujuh puluh dua) orang dengan selisih 1 (satu) orang dengan yang dikatakan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa pertemuan tersebut melahirkan suatu ikrar yang disebut dengan “Ikrar Aqabah” yang berbunyi sebagai berikut:
              Demi Allah, kami akan membela Engkau ya Rasul, seperti halnya kami membela isteri dan anak-anak kami sendiri. Sesungguhnya kami adalah putra-putra pahlawan yang selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar kami, ya Junjungan”.[13]                             

4. Pendirian Negara Madinah

Kota Yatsrib setelah hijrahnya nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya dari Mekah pada tahun 622 M. diganti menjadi Kota Nabi atau Madinatunnabi yang lebih dikenal dengan nama Madinah. Komposisi penduduk Madinah setelah hijrah pun berubah menjadi tiga kelompok, kaum Muhajirin, yaitu orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, kaum Anshar, yaitu penduduk Madinah yang telah masuk Islam dan kaum Yahudi, yaitu penduduk Madinah yang tetap berada dalam agama mereka.
Dalam komposisi yang seperti disebutkan di atas, tentunya diperlukan suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi yang tumbuh dari masyarakat Madinah yang bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam. Oleh karena itulah, seperti ingin mendeklarasikan berdirinya negara Madinah, nabi Muhammad Saw membuat suatu piagam yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Sebagaimana dijelaskan oleh Akram Dhiyauddin Umari, Piagam Madinah terdiri dari dua teks, yang pertama adalah dokumen perjanjian dengan Yahudi dan yang kedua adalah dokumen perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan kalimat lain, isi Piagam Madinah merupakan keputusan politik nabi Muhammad Saw dalam mengatur hubungan sosial kemasyarakatan, baik antara sesama muslim maupun dengan masyarakat non-muslim dalam suatu institusi politik yang disebut dengan Negara Madinah.[14]
Mengenai penyebutan Madinah sebagai Negara Madinah, Jaih Mubarok melihat adanya keselarasan antara unsur-unsur yang ada dalam suatu negara dalam Konvensi Montevideo tahun 1993 dengan unsur-unsur yang ada di Madinah sehingga layak disebut Negara Madinah di mana ada penduduk yang menetap, yaitu penduduk Yatsrib yang terdiri dari Muhajirin, Ashar dan Yahudi. Kemudian ada wilayahnya, yaitu Yatsrib atau Madinah. Ada pemerintahannya, yaitu Nabi sebagai kepala pemerintahannya dengan masjid sebagai pusat pemerintahannya. Dan ada hubungan dengan negara-negara lain, yaitu hubungan dengan Habasyah (Etiopia, Mekah, dan hubungan lain baik hubungan damai maupun perang).[15]

5. Pentingnya Nilai-nilai Syura

            Jika demokrasi adalah sistem politik Barat yang kini digunakan oleh sebagian besar negara di dunia, maka sebenarnya prinsip-prinsip yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada di syura—untuk tidak dikatakan sama.
            Dalam Islam, syura adalah suatu sistem politik yang digunakan untuk mengatasi problema dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Pada masa Rasul, syura ini dilakukan baik dalam lingkungan keluarga sebagai komunitas masyarakat paling kecil hingga negara di mana Muhammad Saw kerap bermusyawarah dengan para sahabatnya, terutama yang berkenaan dengan masalah muamalah.
            Pada masa Khulafaurrasyidin, syura juga terus dilakukan oleh para khulafaurrasyidin, baik dalam menetapkan solusi atas permasalahan-permasalahan sehari-hari maupun yang secara khusus berhubungan dengan masalah politik dan kepemerintahan. Untuk yang terakhir ini dapat kita lihat pada pemilihan mereka sebagai khalifah sepeninggal Rasul. Tentunya, sebagai pengecualian, pembai’atan Ali yang tidak melalui syura karena kondisi waktu itu yang mulai menampakkan perebutan kekuasaan dengan cara-cara yang kurang bijaksana.
            Ketika nabi Muhammad Saw meninggal dunia pada tahun 632 M., beliau tidak menunjuk salah seorang dari sahabat pun untuk menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu para sahabat pun melakukan syura untuk menentukan pemimpin umat Islam setelah Rasul wafat. Meskipun syura yang dilaksanakan umat Islam terutama oleh golongan Muhajirin dan Anshar cukup alot akhirnya dipilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.[16]
            Setelah memimpin umat Islam selama 2 (dua) tahun, Abu Bakar meninggal dunia pada 634 M. Namun sebelumnya, ketika sakit menjelang ajal tiba, ia juga melakukan syura dengan para sahabatnya dengan menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya sebagai khlaifah yang langsung diterima oleh kaum muslimin. Dalam hal ini, Hasan Ibrahim Hasan menulis bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya bermusyawarah dengan para sahabat, di antara mereka adalah Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin ‘Affan, Asid bin Khudhair dan Sa’id bin Zaid.[17]
            Menjelang kematiannya karena dibunuh setelah memegang jabatan sebagai khalifah selama sepuluh tahun sejak 634-644 M, Umar juga melakukan syura. Namun berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menunjuk seorang sahabat sebagai penggantinya tapi ia membentuk semacam wakil umat Islam sebanyak enam orang sahabat dan meminta mereka memilih seorang sebagai khalifah penggantinya. Keenam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqasy dan Abdurrahman bin Auf. Melalui syura ini, Usman terpilih menjadi khalifah ketiga setelah bersaing ketat dengan Ali.[18]           

6. Kepolisian

            Konsep keamanan negara dan pemerintahan telah menjadi perhatian peradaban Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin. Konsep ini menjadi lebih sistemik dengan didirikannya sistem kepolisian pada masa Umar bin Khattab  khalifah dengan menjalankan sistem jaga malam. Pada masa Ali bin Abi Thalib, kepolisian menjadi lebih berkembang dengan didirikannya struktur kepolisian di mana ada seorang kepala kepolisian yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara.[19]

7. Peradilan

            Pada masa Rasul belum ada lembaga yang kita sebut sekarang dengan nama Peradilan, meskipun beliau telah mengijinkan para sahabatnya untuk memutuskan perkara-perkara atau memutuskan hukum dalam masyarakat berdasarkan Al-Quran, Al Hadits dan ijtihad. Di antara para hakim yang terkenal pada masa Rasul, sebagaimana dikatakan Hasan Ibrahim Hasan, adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas.[20] Begitu juga dengan masa Abu Bakar.
            Lembaga peradilan baru ada pada masa Khulafaurrasyidin yang didirikan oleh Umar bin Khattab setelah Islam tersebar luas. Ia lah yang pertama kali mengangkat hakim di wilayah-wilayah Islam. Selain mengangkat para hakim, Umar juga telah membuat undang-undang untuk para hakim yang harus dilaksanakan dalam menetapkan hukum. Di antaranya adalah bahwa seorang hakim harus berlaku adil dan berpegang teguh kepada kebenaran. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa peradilan  pada masa Khulafaurrasyidin bersifat independen dan sangat berwibawa dan para hakim yang diangkat adalah orang-orang yang selain luas ilmunya, juga memiliki sifat taqwa, wara’ dan adil.[21]

8. Ekonomi Islam

            Pada umumnya keadaan ekonomi Islam pada masa Rasul ini tidak berbeda dengan keadaan ekonomi pada masa Pra Islam di mana perekonomian didominasi oleh bidang perdagangan. Karena situasi dan kondisi pada waktu itu yang kerap dipenuhi dengan peperangan antara kaum muslimin dengan non-muslim, maka aktivitas perdagangan ini tidak sehebat pada masa pra Islam. Ibn Hisyam, Sejarawan muslim abad ke-3 Hijriyah, mencatat tidak kurang dari 20 perang telah terjadi antara kaum muslimin dan non-muslim selama pemerintahan Islam di Madinah[22].
Namun hal ini tidak berarti ekonomi Islam tidak memiliki nilai tambah jika dibandingkan dengan peradaban Arab pra Islam. Karena Rasulullah, setelah tiba di Madinah dan menjadi pemimpin pemerintahan di sana telah melakukan langkah-langkah strategis dan pintar dengan meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara berdasarkan prinsip dan nilai-nilai yang digariskan dalam Al-Quran sebagai sumber nilai dalam kehidupan masyarakat Islam, termasuk dalam bidang ekonomi ini. 
Prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam yang menjadi dasar penerapan ekonomi dan keuangan yang diterapkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya secara umum ada dua yaitu:
  1. Manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani atau materiil dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, umat Islam tidak diperintahkan untuk memikirkan sisi akhirat saja dengan mengesampingkan  sisi dunianya atau hanya mementingkan kehidupan dunia saja tanpa memiliki orientasi ke kehidupan akhirat. Dengan kalimat lain, umat Islam mempunyai hak penuh untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi  di samping kenikmatan dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya:
Dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan di akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kebahagiaan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.[23]
  1. Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen, umat Islam tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang membawa kerusakan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sebagai konsumen, umat Islam dilarang mengonsumsi makanan yang haram seperti bangkai, darah dan daging babi dan sebagai produsen, mereka dilarang melakukan upaya-upaya mengumpulkan harta dan memperkaya diri dengan jalan-jalan pintas seperti perjudian, pencurian, penyelundupan, penggelapan uang, korupsi dan lain-lain. Singkatnya, aktivitas ekonomi dilakukan demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Berkenaan dengan prinsip kemaslahatan dalam bidang ekonomi ini, Allah SWT banyak memberikan petunjuk dan arahan kepada umat Islam dalam Al-Quran. Di antara petunjuk dan arahan-Nya, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengutuk para pedagang yang curang dengan mengancamnya dengan neraka, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, mengancam para penimbun harta dengan neraka dan lain-lain.
Inilah yang membedakan antara ekonomi Arab masa Islam dengan masa Pra Islam. Selain itu, yang menjadi perbedaan antara ekonomi Arab masa Islam dan pra Islam adalah bahwa pada masa Islam, institusi ekonomi baru dilahirkan. Institusi ini disebut dengan Baitul Mal. Pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, Baitul Mal yang berfungsi untuk mengumpulkan keuangan Negara untuk kepentingan masyarakat ini berlokasi di mesjid. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal sudah merupakan bangunan tersendiri yang dibangun di Madinah sebagai pusat negara dan di provinsi-provinsi lainnya sebagai cabangnya.
Adapun sumber keuangannya ada yang berasal dari zakat, baik  zakat fithrah maupun zakat harta. Zakat fithrah ini berupa makanan-makanan pokok yang dikeluarkan oleh setiap muslim sebelum menunaikan shalat idul fithri. Sedangkan zakat harta adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum muslimin jika harta mereka telah sampai pada nishab, yaitu jumlah minimal harta yang diwajibkan pada seorang muslim untuk membayar zakat. Hasil pengumpulan zakat ini diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam Islam, terdapat 7 (tujuh) golongan yang berhak menerima zakat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang-orang yang berhutang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang yang berada dalam perjalanan. [24]
Selain dari zakat, sumber keuangan Baitul Mal berasal dari ghanimah atau nafl (hasil rampasan perang yang didapat dengan cara paksa setelah menang perang). Ghanimah atau nafl ini 4/5 (empatperlima) nya dibagikan kepada kaum muslimin yang ikut berperang. Sedangkan 1/5 (seperlima) nya lagi diberikan untuk Rasul beserta keluarganya dan kepentingan kaum muslimin, untuk kaum kerabat, untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Mirip dengan ghanimah, sumber keuangan lain Baitul Mal adalah Fay’ (harta yang diperoleh setelah perang dengan cara damai). Fay’ ini diserahkan langsung kepada Rasul yang digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Ada pula sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu yang disebut dengan kharaj (pajak tanah) dan jizyah (upeti) yang diambil dari non-muslim dan ahlul kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta, kebebasan menjalankan ibadah dan pengecualian dari wajib militer. Pada masa Rasul, pajak tanah ini dipungut ketika wilayah Khaibar ditaklukkan di mana pemilik tanah yang mengelola tanahnya diwajibkan memberikan 50 % dari hasil produksinya. Sedangkan besarnya upeti adalah satu dinar pertahun bagi setiap orang laki-laki yang sanggup membayarnya. Namun, perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa atau sakit lainnya dibebaskan dari kewajiban ini. [25]
Sumber keuangan Baitul Mal juga berasal dari hasil tebusan para tawanan perang yang memiliki banyak harta. Adiwarman Azwar Karim menulis bahwa Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan untuk setiap orang pada perang Badar sebesar 4.000 dirham.[26]
Selain itu semua, ada juga sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu harta karun, harta yang ditinggalkan oleh kaum muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, harta wakaf, sedekah, denda-denda dan pajak khusus bagi orang Islam yang kaya untuk menutupi kekurangan keuangan  negara. Untuk yang terakhir ini, Adiwarman mengatakan bahwa Rasulullah pernah menjalankannya pada saat terjadinya perang Tabuk.[27]
Dalam hal pendistribusian harta dari Baitul Mal, pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, konsepnya masih sederhana yaitu bahwa setiap orang Islam harus mendapatkan haknya yang sama dan adil sehingga kemiskinan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Maka dari itu, harta dari Baitul Mal selalu habis karena langsung didistribusikan kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Pada masa Umar bin Khattab, karena semakin luasnya wilayah ekspansi Islam dan pendapatan negara mengalami peningkatan yang signifikan, harta Baitul Mal tidak langsung dihabiskan tetapi sebagiannya disimpan baik untuk pembayaran gaji pegawai, untuk keadaan darurat maupun kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Oleh karena itu, Umar pun menunjuk Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid  Al Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[28]
Selain membentuk bendahara negara, untuk menertibkan pendistribusian harta dari Baitul Mal, Umar juga telah membentuk departemen-departemen yang diperlukan pada masa itu. Adiwarman menyebutkan 4 (empat) departemen yang didirikan Umar, yaitu Departemen Pelayanan Militer, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan, Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang bertanggungjawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif, Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang mendistribusikan dana bagi para penyebar dan pengembang ajaran Islam seperti juru dakwah dan keluarganya dan Departemen Jaminan Sosial, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan seperti orang yang fakir,  miskin dan menderita.[29]
Dalam rangka menjalankan salah satu fungsi negara dalam bentuk jaminan sosial, Umar membentuk suatu komite yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya dari keluarga-keluarga Nabi, kerabatnya, para sahabat, para pejuang, wanita, anak-anak hingga budak untuk diberikan tunjangan sosial. Jumlah tunjangan yang diberikan setiap tahun ini tidak sama antara satu golongan dengan yang lainnya. Berkenaan dengan tunjangan sosial ini Adiwarman menulis:
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pension berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam jumlah yang tetap”.[30]
            Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan keadaan ekonomi Islam tidak mengalami perubahan yang signifikan dan sebagaimana khalifah sebelumnya, ia tetap memperhatikan sistem pemberian bantuan dan santunan kepada masyarakat. Namun, banyak kebijakan Usman yang menguntungkan keluarganya sehingga menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin yang mengakibatkan timbulnya kekacauan politik dan berakhir dengan terbunuhnya Usman.
            Ali bin Abi Thalib, sebagai kkhalifah terakhir, meskipun negara berada dalam suasana politik yang tidak menentu, tetap berusaha menerapkan ekonomi Islam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat Islam. Dalam suatu riwayat, sebagaimana ditulis Adiwarman, Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Ia juga pernah memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya melakukan tindak pidana korupsi.[31]
            Namun, karena pertentangan politik yang begitu tajam antara pengikut Ali dan Muawiyah, Ali menetapkan untuk menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut, terutama yang berada di sepanjang garis pantai Syria, Palestina dan Mesir karena wilayah-wilayah ini berada dalam kekuasaan Muawiyah yang menolak kepemimpinan Ali. [32]

9. Ilmu Pengetahuan Islam

Dalam Islam, Al Quran selain sebagai sumber ajaran-ajaran agama Islam, juga merupakan referensi pertama dan utama ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Hal ini karena Al-Quran berisi segala macam pengetahuan, baik berupa pengetahuan tentang alam ghaib, seperti tentang keberadaan Allah sebagai pencipta alam, kisah-kisah nabi-nabi dan umat-umat terdahulu, maupun berupa ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan sosial politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, selain perintah untuk mengenal Tuhannya dan melakukan ibadah kepada-Nya, dalam Al-Quran juga terdapat perintah kepada manusia, para hambanya untuk menggunakan akal pikirannya dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Setelah Al-Quran, Hadis menempati posisi berikutnya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Yusuf Qardhawi menguraikan dengan sangat detail posisi Hadis yang sama dengan Al-Quran, yaitu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang meliputi ilmu agama dan ilmu-ilmu kemanusiaan serta alam seperti  ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu fisika, ilmu lingkungan dan lain-lain[33].
Melihat peran penting ilmu pengetahuan bagi manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai pengelola alam (Khalifatullah fil ardl), nabi Muhammad Saw sejak permulaan Islam telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk membaca, yaitu ketika wahyu Al-Quran yang pertama kali turun kepadanya yang dilanjutkan dengan surat Al-Qalam (Pena) yang mengisyaratkan perintah kepada hamba-Nya untuk menulis.
Dan untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya berdasarkan wahyu yang turun kepadanya dan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari, nabi Muhammad Saw lalu membuka lembaga pendidikan pertama dalam sejarah Islam, di rumah salah seorang sahabatnya yang disebut dengan Darul Arqam. Dari sinilah kegiatan ilmu pengetahuan Islam disebarluaskan di kalangan para sahabat beliau. Musyrfiah Sunanto mengatakan bahwa Rasul pada waktu itu selain mengajarkan tentang keimanan, mengajarkan bacaan-bacaan Al-Quran dan penghayatannya, beliau juga telah mengajarkan kepandaian seperti tulis-menulis dengan menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk membuat huruf dengan mengambil contoh dari huruf bangsa Himyar.[34]
Aktivitas keilmuan pada masa Rasul begitu intens. Setiap kesempatan yang ada selalu digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada saat kemenangan umat Islam dalam perang Badar yang dipimpin Rasulullah pada bulan Ramadlan tahun kedua Hijriyah, para tawanan yang berjumlah 70 orang, di antara mereka yang pandai menulis dapat menjadi bebas dengan syarat mengajar anak-anak umat Islam kepandaian menulis. Yusuf Qardhawi menulis, bahwa 1 orang tawanan mengajar 10 orang anak-anak umat Islam di Madinah sebagai syarat pembebasan mereka. [35]
Selain kepandaian membaca dan menulis, Rasulullah Saw juga menanamkan kepandaian bahasa bagi para sahabatnya. Berkenaan dengan hal ini, Zaid dan Nabighah bin Tsabit diminta Nabi untuk mempelajari bahasa Suryani untuk dijadikan sebagai penerjemah.[36]
Selanjutnya, berkenaan dengan aktivitas keilmuan ini, masjid selain sebagai tempat beribadah, juga menjadi tempat umat Islam pada jaman Nabi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Dari sinilah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam terkemuka seperti Umar bin Khattab sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Ali bin Abi Thalib sebagai budayawan, Abdullah bin Umar sebagai ahli hadis, Abdullah bin Abbas sebagai ahli tafsir dan sejarah dan Aisyah sebagai ahli hadis. Pada masa ini, Nabi membangun dua masjid, yang pertama adalah  Masjid Quba’ yang dibangun ketika beliau tiba di Madinah, yaitu pada tahun 622 M./ 1 H. Masjid ini, meskipun tidak begitu besar, namun arsitekturnya menjadi model pada pembangunan masjid-masjid selanjutnya. Yang kedua adalah Masjid Madinah yang dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Kedua masjid ini hingga sekarang masih ada bahkan diperbesar dan diperindah sebagai penghargaan kepada nilai-nilai historis dan peradaban yang terkandung di dalamnya.

C.    Penutup

Dari uraian-uraian di atas, dapat dilihat penting dan strategisnya posisi fase Rasul dan Khulafaurrasyidin dalam era panjang masa klasik sebagai mercusuar peradaban dunia. Selain itu hal penting yang bisa dijadikan kesimpulan adalah bahwa unsur-unsur yang diperlukan dalam membangun peradaban Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin, di antaranya adalah politik, ekonomi dan pendidikan. Tanpa ketiga hal tersebut, maka kembalinya kejayaan peradaban Islam tidak akan pernah diraih.
Yang juga menjadi kesimpulan penulis di sini adalah bahwa peradaban Islam masa Rasul dan Khulafaurrasyidin tidak terbentuk tanpa adanya interaksi dengan lingkungan sosial, politik dan peradaban-peradaban lain yang lahir dan hidup sebelum dan pada saat kehadiran Islam di muka bumi.
Jika sejarah itu penting dan sangat berguna bagi umat Islam, maka belajar dari sejarah peradaban Islam masa klasik, sebagai sebuah rekomendasi, penulis merekomendasikan untuk seluruh umat Islam, terutama umat  Islam di Indonesia agar memiliki penguasaan dan kompetensi dalam ketiga bidang ini jika umat Islam pada masa kini menginginkan kembalinya kejayaan peradaban Islam di masa mendatang. Wallahu a’lam bisshawab.





                                                                                                                                    


[1] Makalah ini disampaikan pada diskusi Lecturer’s Study Club (LSC) Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO) Jakarta pada tanggal 22 April 2014.
[2] Penulis adalah Dosen Sejarah dan Peradaban Islam dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO) Jakarta.
[3] Azyumardi Azra, Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandun, Penerbit Nuansa, Cet. Pertama: 1998): 119.
[4] Azyumardi Azra, Penelitian Non-Normatif tentang Islam: 119.
[5] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Cet. Ke-4: 2001: 20)
[6] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah: 26.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid I,(Jakarta: Kalam Mulia): 149.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 150.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 164.
[10] Lihat kisah provokasi kaum Kafir Quraisy kepada Negus dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1, h. 165-167.
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 169.
[12] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 179.
[13] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-5, tahun 1995): 49.
[14] Lihat untuk lebih jelasnya, Akram Dhiyauddin Umari dalam bukunya Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, (Terj.) Cet. ke 1, GIP, tahun 1999.:122-133
[15] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraiys, cet. ke-1, 2004: 32.
[16] Lihat kisah pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama selengkapnya dalam tulisan Ibn Hisyam, As sirah an nabawiyyah, jilid VI, Darul jil, Cet. ke 1, 1991, : 77-78
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II : 408.
[18] Kisah syura ini secara lengkap dapat dilihat dalam tulisan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II: 483-488.
[19] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2: 329.
[20] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2: 371.
[21] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2: 375.
[22] Di antara perang-perang ini adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Dzaturriqa’, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, dan Perang Bani Musthalaq.
[23] Q.S. Al Qashas [28]: 77.
[24] Q.S. At Taubah: 60.
[25] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, 2004: 43-44.
[26] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 41.
[27] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 48.
[28] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 60. Bandingkan dengan yang ditulis oleh Hasan Ibrahim Hasan Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II: 306.
[29] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 62
[30] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 63-64.
[31] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 83.
[32] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 84.
[33] Untuk lebih jelas tentang Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan Islam, lihat buku Yusuf Qardhawi yang berjudul Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.), Danakarya, Surabaya, Cet. Ke 1, 1997: 103-253.
[34] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet. ke 1, Kencana, 2003): 18.
[35] Yusuf Qardlawi, Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, (Surabaya : Dunia Ilmu): 235.
[36] Yusuf Qardlawi Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan: 236.