ELEMEN EKONOMI DALAM PERADABAN ISLAM MASA KLASIK

 

ELEMEN EKONOMI DALAM PERADABAN ISLAM MASA KLASIK

SEBAGAI PEMBELAJARAN PENTING

UNTUK MEMBANGUN PERADABAN ISLAM MASA DEPAN

Oleh:

H. Aip Aly Arfan, MA[1]

Abstrack: History is a very important thing in human life, both as individuals and groups.The histroy is very important thing also in changing human being for better personal life and in building his religious civilization. Starting from here, studying Islamic history is very important in our efforts to reconstruct our future civilization.This paper focuses its discussion on economic issues because the economy is one of the most important elements in building Islamic civilization. And why in classical times? That's because this period is the heyday of Islamic civilization in the past. The aim is that we as Muslims can take wisdom and lessons from it so that we can manifest it in the present in the context of reconstructing Islamic civilization in the future.

 

Keywords:Islamic civilization, history, Islamic economy, classical period, prophetic period, Omayad period, Abbasiyah period, Classical Islam , Islamic modern.

A. PENDAHULUAN

Sejarah bukan hanya masa lalu yang perlu diketahui manusia.Ia juga bukan hanya kumpulan peristiwa masa lalu yang ditulis sejarawan untuk memenuhi perpustakaan dan toko-toko buku. Tapi sejarah juga merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi manusia yang mau belajar dan mengambil hikmah darinya.Dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo, mengatakan bahwa sejarah merupakan ilmu yang mempunyai makna sosial yang peniting bagi perkembangan dan perubahan masyarakat.[2]Dengan mengambil hikmah dan pelajaran dari sejarah, seseorang maupun kelompok manusia bisa merubah keadaan dirinya ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.

Sebagai umat Islam, salah satu sejarah yang sangat penting adalah sejarah peradaban Islam masa klasik, yang oleh Azyumardi Azra berlangsung sejak abad I Hijriyah atau 7 Masehi sampai pertengahan abad ke-13 M. Pentingnya sejarah peradaban Islam masa klasik karena pada masa inilah peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya, terutama pada masa Bani Abbasiyah. Pertanyaannya adalah, bagaimana Rasulullah Saw membangun pondasi peradaban Islam bersama para sahabatnya?Bagaimana dinamika ekonomi umat Islam pada waktu itu?Apa yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dalam membangun peradaban Islam masa depan?

B. EKONOMI ISLAM MASA KLASIK

1. Ekonomi Islam Masa Rasul dan Khulafaurrasyidin

Ekonomi Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan memiliki perhatian yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan dengan kegiatan perekonomian yang meliputi perdagangan dan kegiatan lainnya seperti bertani, beternak dan berkebun.Kegiatan ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, di mana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam, Rasulullah mendirikan Al-Hisbah sebagai institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (market controller).Rasulullah, setelah tiba di Madinah dan menjadi pemimpin pemerintahan di sana telah melakukan langkah-langkah strategis dan pintar dengan meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara berdasarkan prinsip dan nilai-nilai yang digariskan dalam Al-Quran sebagai sumber nilai dalam kehidupan masyarakat Islam. 

Prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam yang menjadi dasar penerapan ekonomi dan keuangan yang diterapkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya secara umum ada dua yaitu:

  1. Manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani atau materiil dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Makadari itu, umat Islamtidak diperintahkan untuk memikirkan sisi akhirat saja dengan mengesampingkan  sisi dunianya atau hanya mementingkan kehidupan dunia saja tanpa memiliki orientasi ke kehidupan akhirat. Dengan kalimat lain, umat Islam mempunyai hak penuh untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi  di samping kenikmatan dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam hal ini Allah Swt berfirman yang artinya:

Dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan di akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kebahagiaan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.[3]

  1. Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen, umat Islam tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang membawa kerusakan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sebagai konsumen, umat Islam dilarang mengonsumsi makanan yang haram seperti bangkai, darah dan daging babi dan sebagai produsen, mereka dilarang melakukan upaya-upaya mengumpulkan harta dan memperkaya diri dengan jalan-jalan pintas seperti perjudian, pencurian, penyelundupan, penggelapan uang, korupsi dan lain-lain. Singkatnya, aktivitas ekonomi dilakukan demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Berkenaan dengan prinsip kemaslahatan dalam bidang ekonomi ini, Allah Swt banyak memberikan petunjuk dan arahan kepada umat Islam dalam Al-Quran. Di antara petunjuk dan arahan-Nya, Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengutuk para pedagang yang curang dengan mengancamnya dengan neraka, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, mengancam para penimbun harta dengan neraka dan lain-lain.

Pada awalnya, Rasulullah Saw. membangunkotaMadinah tanpa sumber keuangan yang pasti, sementara distribusi kekayaan pada saat itu sangat timpang. Kaum Muhajirin tidak memiliki kekayaan karena mereka meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah.Oleh karena itu Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar sehingga dengan sendirinya terjadi resdistribusi kekayaan.Rasulullah juga membentuk Baitul Mal, sebuah institusi yang bertindak sebagai pengelola keuangan Negara.Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam menentukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian, Rasulullah mendorong kerjasama di antara anggota masyarakat (misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah dan lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan Negara juga meningkatdengan Baitul Mal. Pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, Baitul Mal yang berfungsi untuk mengumpulkan keuangan Negara untuk kepentingan masyarakat ini berlokasi di mesjid. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal sudah merupakan bangunan tersendiri yang dibangun di Madinah sebagai pusat negara dan di provinsi-provinsi lainnya sebagai cabangnya.

Adapun sumber keuangan Baitul Mal ada yang berasal dari zakat, baik  zakat fithrah maupun zakat harta. Zakat fithrah ini berupa makanan-makanan pokok yang dikeluarkan oleh setiap muslim sebelum menunaikan shalat idul fithri. Sedangkan zakat harta adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum muslimin jika harta mereka telah sampai pada nishab, yaitu jumlah minimal harta yang diwajibkan pada seorang muslim untuk membayar zakat. Hasil pengumpulan zakat ini diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam Islam, terdapat 7 (tujuh) golongan yang berhak menerima zakat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang-orang yang berhutang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang yang berada dalam perjalanan.[4]

Selain dari zakat, sumber keuangan Baitul Mal berasal dari ghanimah atau nafl (hasil rampasan perang yang didapat dengan cara paksa setelah menang perang). Ghanimah atau nafl ini 4/5 (empatperlima) nya dibagikan kepada kaum muslimin yang ikut berperang.Sedangkan 1/5 (seperlima) nya lagi diberikan untuk Rasul beserta keluarganya dan kepentingan kaum muslimin, untuk kaum kerabat, untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Mirip dengan ghanimah, sumber keuangan lain Baitul MaladalahFay’ (harta yang diperoleh setelah perang dengan cara damai). Fay’ ini diserahkan langsung kepada Rasul yang digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat Islam secara keseluruhan.

Ada pula sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu yang disebut dengan kharaj (pajak tanah) dan jizyah (upeti) yang diambil dari non-muslim dan ahlul kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta, kebebasan menjalankan ibadah dan pengecualian dari wajib militer. Pada masa Rasul, pajak tanah ini dipungut ketika wilayah Khaibar ditaklukkan di mana pemilik tanah yang mengelola tanahnya diwajibkan memberikan 50 % dari hasil produksinya.Sedangkan besarnya upeti adalah satu dinar pertahun bagi setiap orang laki-laki yang sanggup membayarnya.Namun, perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa atau sakit lainnya dibebaskan dari kewajiban ini.[5]

Sumber keuangan Baitul Mal juga berasal dari hasil tebusan para tawanan perang yang memiliki banyak harta. Adiwarman Azwar Karim menulis bahwa Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan untuk setiap orang pada perang Badar sebesar 4.000 dirham.[6]

Selain itu semua, ada juga sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu harta karun, harta yang ditinggalkan oleh kaum muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, harta wakaf, sedekah, denda-denda dan pajak khusus bagi orang Islam yang kaya untuk menutupi kekurangan keuangan  negara. Untuk yang terakhir ini, Adiwarman mengatakan bahwa Rasulullah pernah menjalankannya pada saat terjadinya perang Tabuk.[7]

Dalam hal pendistribusian harta dari Baitul Mal, pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, konsepnya masih sederhana yaitu bahwa setiap orang Islam harus mendapatkan haknya yang sama dan adil sehingga kemiskinan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Maka dari itu, harta dari Baitul Mal selalu habis karena langsung didistribusikan kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Pada masa Umar bin Khattab, karena semakin luasnya wilayah ekspansi Islam dan pendapatan negara mengalami peningkatan yang signifikan, harta Baitul Mal tidak langsung dihabiskan tetapi sebagiannya disimpan baik untuk pembayaran gaji pegawai, untuk keadaan darurat maupun kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Oleh karena itu, Umar pun menunjuk Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid  Al Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[8]

Selain membentuk bendahara negara, untuk menertibkan pendistribusian harta dari Baitul Mal, Umar juga telah membentuk departemen-departemen yang diperlukan pada masa itu. Adiwarman menyebutkan 4 (empat) departemen yang didirikan Umar, yaitu Departemen Pelayanan Militer, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan, Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang bertanggungjawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif, Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang mendistribusikan dana bagi para penyebar dan pengembang ajaran Islam seperti juru dakwah dan keluarganya dan Departemen Jaminan Sosial, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan seperti orang yang fakir,  miskin dan menderita.[9]

Dalam rangka menjalankan salah satu fungsi negara dalam bentuk jaminan sosial, Umar membentuk suatu komite yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya dari keluarga-keluarga Nabi, kerabatnya, para sahabat, para pejuang, wanita, anak-anak hingga budak untuk diberikan tunjangan sosial. Jumlah tunjangan yang diberikan setiap tahun ini tidak sama antara satu golongan dengan yang lainnya. Berkenaan dengan tunjangan sosial ini Adiwarman menulis:

Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pension berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam jumlah yang tetap”.[10]

            Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan keadaan ekonomi Islam tidak mengalami perubahan yang signifikan dan sebagaimana khalifah sebelumnya, ia tetap memperhatikan sistem pemberian bantuan dan santunan kepada masyarakat. Namun, banyak kebijakan Usman yang menguntungkan keluarganya sehingga menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin yang mengakibatkan timbulnya kekacauan politik dan berakhir dengan terbunuhnya Usman.

Ali bin Abi Thalib, sebagai kkhalifah terakhir, meskipun negara berada dalam suasana politik yang tidak menentu, tetap berusaha menerapkan ekonomi Islam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat Islam. Dalam suatu riwayat, sebagaimana ditulis Adiwarman, Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Ia juga pernah memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya melakukan tindak pidana korupsi.[11]

Namun, karena pertentangan politik yang begitu tajam antara pengikut Ali dan Muawiyah, Ali menetapkan untuk menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut, terutama yang berada di sepanjang garis pantai Syria, Palestina dan Mesir karena wilayah-wilayah ini berada dalam kekuasaan Muawiyah yang menolak kepemimpinan Ali. [12]

2. Ekonomi Islam Masa Bani Umayah

Peradaban Islam masa Bani Umayah dimulai sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib oleh kaum Khawarij yang tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terakhir dari Khulafaurrasyidin yang melakukan perdamaian (tahkim/arbitrase) dalam perang Shiffin dengan pihak Muawiyah yang kemudian menjadi khalifah pertama bani Umayah pada 661 M./41 H.

Peradaban Islam pada masa bani Umayah, tulis Hasan Ibrahim Hasan, berjalan selama kurang lebih 90 tahun dengan 14 orang khalifah. Mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Al Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Al Walid bin Muhammad, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik, Al Walid bin Muhammad, Yazid bin Muhammad, Ibrahim bin Muhammad dan Marwan bin Muhammad. [13] Namun dari keempat belas khalifah di atas, hanya lima saja yang merupakan khalifah-khalifah besar menurut Harun Nasution. Mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680M.), Abdul Malik bin Marwan (685-705M.), Al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz (717-720M.), dan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M.).[14]      

            Dengan latar belakang politik yang berlangsung selama berabad-abad, tidak banyak dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam peradaban Islam khususnya dalam bidang ekonomi Islam pada masa bani Umayah. Namun, jika dibandingkan dengan ekonomi pada masa Khulafaurrasyidin, pada masa ini terjadi peningkatan pemasukan keuangan seiring dengan meluasnya ekspansi Islam di berbagai belahan dunia pada waktu itu.

            Baitul Mal yang telah didirikan pada masa Umar bin Khattab, pada masa bani Umayah juga merupakan lembaga penting yang menentukan keuangan pemerintahan, sehingga keberadaannya menjadi kebutuhan yang sangat penting, terutama setelah mencapai tingkat ekonomi yang lebih maju dibanding dengan masa sebelumnya.

            Dari bidang pajak, terutama sebelum masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, pemasukan Baitul Mal yang diperoleh mencapai 186.000.000 dirham. Jumlah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan berasal dari Irak sebanyak 130.000.000 dirham, dari Mesir 36.000.000 dirham dan Syam 20.000.000 dirham.[15]

            Jika dibandingkan dengan hasil pajak pada jaman khulafaurrasyidin, pada masa bani Umayah lebih tinggi yang disebabkan terutama oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pajak. Berkenaan dengan hal ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Muawiyah menyuruh Wardan, Gubernurnya di Mesir untuk menaikkan pajak bagi setiap orang Qibthi sebesar satu qirat dan pada masa Abdul Malik bin Marwan pajak bagi setiap individu ini dinaikkan tiga kali lipat menjadi 3 dinar.[16]

            Pada masa Umar bin Abdul Aziz, tarif pajak yang telah dinaikkan sejak masa Muawiyah diturunkan kembali dan setiap individu hanya harus membayar lebih kurang 14 Qirat saja sebagaimana yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab.[17]

3. Ekonomi Islam Masa Bani Abbasiyah

Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, kegiatan perekonomian bertambah maju seiring dengan perkembangan jaman sehingga kekayaan negara bertambah banyak, meskipun pada umumnya tidak berbeda dengan kegiatan perekonomian yang dilakukan bani Umayah. Badri Yatim menulis bahwa pada masa Al Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.[18]

Kemudian di sektor industri di mana banyak berdiri kota-kota industri, seperti Bashrah yang terkenal dengan industri sabun dan gelasnya, Kufah dengan industri suteranya, Mesir dengan industri tekstilnya, Andalusia dengan industri kapal, kulit dan senjatanya dan Baghdad tentunya sebagai ibukota dengan berbagai industri yang digelutinya. Berkenaan dengan industri di Baghdad ini, A. Hasjmi menulis, bahwa Baghdad mempunyai 400 buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000 kilang keramik.[19]

Selain sektor pertanian dan industri di atas, masa pemerintahan bani Abbasiyah juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam bidang perdagangan. Pada masa ini usaha-usaha untuk memajukan perdagangan dilakukan dengan membangun sumur-sumur dan tempat peristirahatan para pedagang, membangun armada-armada dagang dan membangun armada-armada lalut untuk melindungi para pedagang dari ancaman serangan bajak laut. A. Hasjmi mengatakan bahwa Baghdad merupakan Kota Perdagangan terbesar di dunia pada waktu itu yang dilanjutkan dengan Damaskus sebagai kota keduanya di  samping kota-kota perdagangan lainnya di dunia Islam seperti Bashrah, Kufah, Madinah, Kairo, Kairawan, dan kota-kota di tanah Persia.[20]

Kemajuan ekonomi yang sangat signifikan ini diawali oleh khalifah Al Manshur yang piawai dalam bidang ekonomi dengan meletakkan fondasi-fondasinya dengan kuat selama 22 tahun yang dilanjutkan dengan khalifah-khalifah lainnya, terutama Harun Ar Rasyid. Sepeninggal Al Manshur,--sebagaimana ditulis oleh A. Hasjmi—kas negara masih tersisa sebanyak 810.000 dirham dan ketika khalifah Harun Ar Rasyid meninggal, ia meninggalkan kekayaan negara kurang lebih 900.000.000 dirham.[21]

Perbedaan-perbedaan dalam bidang ekonomi yang ada antara masa bani Umayah dan bani Abbasiyah ini di antaranya adalah pada penerapan konsep kepemilikan atas tanah di mana pada jaman bani Abbasiyah, konsep tanah adalah hak penuh negara lebih tegas dikemukakan, sementara pada masa bani Umayah, tanah adalah milik umat Islam yang diwakili oleh Khalifah. Perbedaan yang lain adalah pada penerapan pajak di mana diperoleh cara yang mempermudah dan memperlancar penarikan pajak dengan adanya sistem penjamin yang pada waktu itu disebut dengan Dhaman atau Qibalat.[22]

Selain itu, sikap bani pemerintahan bani Abbasiyah kepada para petani lebih baik jika dibandingkan dengan sikap bani Umayah yang kurang mendukung sektor pertanian, terutama di masa-masa awal pemerintahan. A. Hasjmi menulis bahwa tindakan-tindakan yang mendukung sektor pertanian seperti memberikan jaminan kepada para petani, memperluas areal pertanian, membangun bendungan-bendungan untuk keperluan irigasi hingga mengambil tindakan keras kepada para pejabat yang berlaku kejam terhadap petani menjadikan sektor pertanian pada masa Abbasiyah maju sekali sehingga tidak satu pun daerah yang tidak mempunyai lahan pertanian.[23]

Namun, kemajuan di bidang ekonomi ini bukan terjadi selama pemerintahan bani Abbasiyah, tapi hanya pada periode pertamanya di mana kekuasaan politik masih sangat kuat dan secara ekonomi sangat kaya. Setelah terjadinya disintegrasi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pendapatan pemerintah pun menurun. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh makin menyempitnya daerah kekuasaan, banyaknya kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan adanya dinasti-dinasti kecil yang tidak lagi membayar upeti, sedangkan pengeluaran membengkak. Badri Yatim menulis, pembengkakan pengeluaran ini antara lain karena kehidupan para khalifah dan pejabat yang semakin mewah, jenis pengeluaran yang semakin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[24]

 

D. MEMBANGUN PERADABAN ISLAM MASA DEPAN MELALUI EKONOMI

a. Selintas Perkembangan Ekonomi Islam di Dunia

Perkembangan Ekonomi Islam atau yang dikenal dengan Ekonomi Syariah di dunia ini dalam tiga Dekade terakhir semakin berkembang secara perlahan seiring dengan banyaknya bank-bank yang menggunakan sistem syariah (bagi hasil) dalam sistem perbankannya. Berkembangnya Ekonomi Islam di dunia ini banyak menjadi solusi di beberapa negara yang menganggap bahwa bunga (Riba) bukanlah solusi terbaik dalam perbankan.  

Aplikasi keuangan Islam di dunia dimulai dari pendirian bank Islam pertama di Mesir pada tahun 1963 yaitu Mit Ghamr Local Saving Bank yang merupakan tonggak sejarah dalam sejarah perkembangan sistem perbankan seperti simpanan, pinjaman, penyertaan modal, investasi langsung dll. Mit Ghamr Local Saving Bank ini didirikan oleh Dr Ahmad Elnaggar pada tahun 1963 yang mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis bagi hasil di Kota Mit Ghamr, Mesir. Eksperimen ini dilakukan sampai tahun 1967, dan saat itu sudah ada 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Pengenalan sistem perbankan yang berdasarkan Islam yang dilakukan Mit Ghamr mendapat sambutan yang  hangat dari penduduk setempat. Hal ini terbukti dari jumlah nasabah yang pada akhir tahun  buku 1963/1964 tercatat sebanyak 17.560 menjadi  251.152 pada akhir tahun buku 1966/1967. Salah satu yang menyebabkan peningkatan adalah adanya rasa saling memiliki diantara masyarakat tentang sistem ini dan inilah yang menjadikan Mit Ghamr Local Saving Bank bank yang paling sukses dan inovatif di masa modern. Keberhasilan ini menjadi inspirasi bagi umat Muslim di seluruh dunia dan menumbuhkan kesadaran bahwa dalam bisnis modern prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diaplikasikan.

Kemunculan Ekonomi Islam modern di panggung international dimulai pada tahun 1970-an yang ditandai dengan adanya pakar ekonomi kontemporer seperti Kursyid Ahmad, An-Naqvi, M. Umer Chapra, dll. Sejalan dengan itu kemudian terbentuklah Islamic Development Bank (1974) yang dididirikan oleh negara-negara yang tergabung dalam konferensi islam. Walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya dan IDB sendiri menyediakan jasa pinjaman berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam. Berdirinya Islamic Development Bank telah menjadi inspirasi dan motivasi bagi-bagi negara-negara muslim untuk mendirikan lembaga keuangan berbasis islam. IDB banyak menerima permintaan bantuan untuk menyiapkan dan mendirikan lembaga-lembaga tersebut.Dan pada era 1970-an Pendirian bank islam dilakukan di berbagai negara seperti Nasir Social Bank (1971), Dubai Islamic Bank (1975) Kuwait Finance House (1977),  Bahrain Islamic Bank (1979)

Bahkan di Eropa sudah ada bank yang didirikan tahun 1983 yaitu The Islamic Bank International of Denmark. Sementara negara-negara seperti Pakistan, Iran, dan Sudan, berinisiatif menerapkan sistem keuangan Islam secara total, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga. Sistem ekonomi Islam menjadi alternatif pilihan karena karena sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Tujuan ekonomi Islam bukan semata-mata pada materi saja, tetapi mencakup berbagai aspek seperti kesejahteraan, kehidupan yang lebih baik, memberikan nilai yang sangat tinggi bagi persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi, dan menuntut suatu kepuasan yang seimbang, baik dalam kebutuhan materi maupun rohani bagi seluruh ummat manusia. Bahkan saat ini sudah banyak negara yang sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka dan didukung oleh gerakan ekonomi syariah yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umar Chapra dalam bukunya The Future of Economics.

Penerapan prinsip syariah pada sektor di luar industri perbankan dimulai pada industri asuransi (Takaful). Asuransi yang pertama kali didirikan adalah Asuransi Takaful di Sudan pada tahun 1979, yang dikelola oleh Dar al-Mal al-Islami Group. Dar al-Mal melebarkan sayap bisnisnya ke negara-negara Eropa dan Asia lainnya. Setidaknya ada empat asuransi takaful dan retakaful pada tahun 1983, yang berpusat di Luxembourg, Inggris dll. Menurut dataGlobal Research pada tahun 2008 terdapat sekitar 300 institusi keuangan Islam yang tersebar di 70 negara dengan total aset US$ 500-800 miliar, sedangkan pertumbuhan rata-rata pertahunnya mencapai 15%. Diproyeksikan pada tahun 2010, industri keuangan Islam akan memiliki aset hingga US$ 4 triliun. Sedangkan, dalam 8-10 tahun kedepan 40%-50% dari total dana simpanan umat muslim yang berjumlah 1.3 miliar, diproyeksikan berada pada institusi keuangan Islam global. Dari sisi infrastruktur, lembaga-lembaga yang diharapkan menjadi akselerator sistem keuangan Islam global juga telah didirikan, seperti Accounting and Auditing Organization for Islamic Institution (AAOIFI).

b. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia Modern

Di Indonesia, perkembangan ekonomi yang cukup signifikan terjadi pada saat munculnya perbankan Islam yang pada awal periode 1980-an, sudah sering menjadi tema diskusi-diskusi di kalangan akademisi dan tokoh-tokoh Islam. Kalau pada masa kemerdekaan ada HOS Tjokroaminoto. tokoh-tokoh yang terlibat dalam diskusi-diskusi tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis.[25]Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.[26]

Perkembangan ekonomi Islam ini mendapatkan momentumnya yang paling signifikan pada saat didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Sejak saat itu, ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk kelembagaan seperti perbankan, BPRS, Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syari’ah, dengan instrumen obligasi dan reksadana syariah, dana pensiun syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, maupun lembaga keuangan publik Islam seperti lembaga pengelola zakat dan lembaga pengelola wakaf.

Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI).

Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah, juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Sistem syariah ini telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR), saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah dan Bank Mu’amalat Indonesia (BMI). Besar kemungkinan lembaga-lembaga perokonomian syari’ah ini akan terus berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di waktu yang akan datang. 

Selain dalam bentuk pendirian bank-bank syariah, pada saat yang bersamaan juga muncul lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam, walaupun pada jumlah yang sangat terbatas, antara lain STIE Syariah di Yogyakarta , IAIN-SU di Medan, STEI SEBI , STIE Tazkia, dan PSTTI UI yang membuka konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Islam, pada tahun 2001.

Pada awal abad 21 Masehi, universitas-universitas Islam, baik negeri maupun swasta membuka jurusan dan program studi yang terkait dengan ekonomi Islam. Seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan STAI Indonesia Jakarta yang berdiri pada tahun 2015 yang lalu.

c. Gerakan Ekonomi Untuk Peradaban Islam Masa Depan

Kalau munculnya Bank Muamalat pada tahun 1992 sebagai momen sejarah yang paling penting dalam perkembangan ekonomi Islam pada abad ke-20, maka Aksi Bela Islam (ABI) 212 pada akhir Desember 2016 yang lalu bisa dikatakan sebagai momentum kebangkitan ekonomi Islam pada abad ke-21.

Dalam hal ini, pada akhir tahun 2016 dan awal 2017 muncul gerakan hijrah dari berbelanja ke minimarket non-muslim ke warung-warung dan minimarket-minimarket muslim dengan hadirnya Koperasi Syariah 212 yang diilhami oleh spirit 212. Gerakan ini jugadisambut positif umat Islam dengan didirikannya minimarket-minimarket muslim dengan seperti 212 Mart, Kita Mart, Halal Mart, Shadaqo dan lain-lain yang sampai saat ini sudah lebih dari 100-an jumlahnya dan akan terus meningkat jumlahnya di seluruh wilayah Indonesia. Abdussalam, Manager Operasional Koperasi Syariah 212, dalam salah satu wawancaranya dengan CNNIndonesia pada tanggal 14 Maret 2018, mengatakan bahwa  saat ini sudah ada sekitar 105 cabang di seluruh Indonesia.[27]

Tentunya momentum 212 ini harus dimanfaatkan oleh seluruh umat Islam Indonesia agar kebangkitan Islam yang selama ini dinantikan dapat terwujud. Dan dalam hal ini, Indonesia, menurut penulis perlu mengambil Turki sebagai referensi, tentu bukan karena Turki adalah negara dengan jumlah umat Islam yang cukup besar atau karena Turki pernah menjadi pemimpin negara-negara muslim di masa lalu, tapi karena kemajuan ekonomi dan kemakmuran yang dirasakan oleh rakyatnya saat ini ketika dipimpin oleh Racip Tayyib Erdogan.Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Turki bisa menjadi contoh Negara dengan perkembangan ekonomi yang sangat signifikan di mana berdasarkan data Badan Statistik Turki TurkStat, tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Turki meningkat hingga 8,9%.[28]

Dalam hal ini, seorang alumni Universitas Oxford, Adeel Malik mengimbau negara-negara Muslim berkembang untuk mengambil pelajaran dari kemajuan Turki., dia mengatakan bahwa Turki memberikan pelajaran penting terkait konsep kedaulatan politik dalam negeri yang terkait dengan kemerdekaan ekonomi.[29]

Setelah Edogan menjadi Presiden, Turki berhasil mengerek angka pertumbuhan ekonominya dari 3 persen di kuartal VI 2014 menjadi 4,8 persen di kuartal I 2016.[30] Inilah yang membawa Turki menjadi negara maju sehingga mampu meminjami IMF sebesar 5000 US Dolar.[31] Pada tahun 2017 kuartal pertamanya, Turki mencapai peringkat ketiga di antara negara-negara G 20 dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 5%.[32]

Terkait dengan perbankan syariah, Turki yang sudah memulainya pada tahun 1983[33] ini juga sangat intens mengembangkannya. Dalam berita yang dilansir Republika dikatakan bahwa pertumbuhan keuangan Islami di negara Turki, meski pangsa pasarnya baru lima persen, namun pertumbuhannya sangat cepat. Bahkan pertumbuhannya melebihi keuangan konvensional.[34]Salah satu lembaga pembiayaan asal Turki yang baru saja memperluas portofolio syariah adalah Halic Leasing. Halic membangun portofolio aset sewaan dan menargetkan bisnis baru sebesar 25 juta dolar AS sampai akhir 2017. Selain itu, perusahaan tersebut juga ingin menarik investasi lebih lanjut melalui reksa dana syariah dan memperluas bisnis ke sektor konstruksi.[35]

 

E. PENUTUP

Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sejarah peradaban Islam masa klasik merupakan salah satu sejarah yang sangat penting untuk dipelajari karena hikmah yang terkandung di dalamnya.

Salah satu hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil dari sejarah peradaban Islam masa klasik adalah bahwa elemen ekonomi sangat berperan dalam pembangunan peradaban Islam masa itu. Oleh karena itu, jika kita menginginkan kejayaan peradaban Islam masa kini dan depan, maka salah satu elemen yang harus kita miliki adalah ekonomi.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 43-44.

Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam., jilid 1, Kalam Mulia, Jakarta, Cet. ke1, h. 1.

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, Cet. Ke 5, UI Press, 1985, h. 61.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet. ke 16, 2004.

h. 52.

A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Cet, ke-5, tahun 1995, h. 241.

Abdul Mun’im Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997., h. 27.

http://ilmu-iqtishoduna.blogspot.co.id/2015/07/sejarah-perkembangan-ekonomi-islam-di.html, diakses tanggal 15 Oktober 2019.

http://ilmu-iqtishoduna.blogspot.co.id/2015/07/sejarah-perkembangan-ekonomi-islam-di.html, diakses tanggal 15 Oktober 2019.

http://www.dw.com/id/booming-ekonomi-di-turki/a-15100047, diakses tanggal 16 Oktober 2019.

http://www.bareksa.com/id/text/2016/07/25/erdogan-vs-jokowi-ini-perbandingan-data-ekonomi-turki-dan-indonesia/13664/news, diakses tanggal 16 Oktober 2019.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/17/02/09/ol303l383-turki-gencar-mengembangkan-pembiayaan-syariah, diakses tanggal 16 Oktober 2019.

http://www.lensaislam.com/turki-peringkat-ketiga-dalam-pertumbuhan-ekonomi-di-antara-negara-g-20/, diakses tanggal 16 Oktober 2019.

http://www.mirajnews.com/2015/11/ekonom-turki-mampu-terapkan-ekonomi-syariah-secara-total.html/90683, diakses tanggal 16 Oktober 2019.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/14/10/17/ndjz3u-bank-syariah-mulai-diterapkan-di-negara-sekuler-turki, diakses tanggal 16 Oktober 2019.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/17/02/09/ol303l383-turki-gencar-mengembangkan-pembiayaan-syariah, diakses tanggal 16 Oktober 2019.

https://www.islampos.com/cara-erdogan-bangkitkan-kembali-kejayaan-islam-turki-3454/,  diakses tanggal 15 Oktober 2019.

https://www.facebook.com/sulthonerdogan/photos/a.751519444982561.1073741827.751516868316152/753007908167048/?type=1&theater diakses tanggal 15 Oktober 2019.

https://www.islampos.com/cara-erdogan-bangkitkan-kembali-kejayaan-islam-turki-3454/ diakses tanggal 15 Oktober 2019.

http://www.portal-islam.id/2017/04/allahu-akbar-hasil-referendum-turki.html, dikases tanggal 15 Oktober 2019.

http://www.voa-islam.com/read/opini/2015/05/29/37273/dibawah-erdogan-turki-akan-menjadi-imperium-islam-dan-khilafah/#sthash.sZB9xiBx.dpbs, diakses tanggal 15 Oktober 2019

https://beritaturki.com/akdemisi-oxford-turki-jadi-model-kemajuan-ekonomi-bagi-negara-negara-muslim/diakses tanggal 25 November 2019.

 



[1]Penulis adalah dosen Sejarah dan Peradaban Islam di STAI Indonesia Jakarta.

[2]Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Pustaka, April 2005.

[3] Q.S. Al Qashas [28]: 77.

[4]Q.S. At Taubah: 60.

[5] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 43-44.

[6]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h.41.

[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,  h.48.

[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 60. Bandingkan dengan yang ditulis oleh Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,  h. 306.

[9] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 62

[10] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 63-64.

[11]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,h. 83.

[12]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,  h. 84.

[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam., jilid 1, Kalam Mulia, Jakarta, Cet. ke1, h. 1.

[14] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, Cet. Ke 5, UI Press, 1985, h. 61.

[15] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 341.

[16] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 351.

[17] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 353.

[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet. ke 16, 2004.

h. 52.

[19] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Cet, ke-5, tahun 1995, h. 241.

[20] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 242.

[21] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 238.

[22] Abdul Mun’im Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka. Bandung. Cet. ke 1.1997., h. 27.

[23] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 240.

[24] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 82.

[27]https://m.cnnindonesia.com, diakses tanggal 25 November 2019.