PEMIKIRAN MODERN KH. AHMAD DAHLAN DI INDONESIA
Oleh:
Aip Aly Arfan
Abstrak: Muhammadiyah movement is a social organization in Indonesia
that was born in the early of 20th century. At the age of 108 nowadays,
Muhammadiyah, which is currently not only in Yogyakarta, where 23 leaders
of Muhammadiyah's special branches spread across the world, one of them
in Taiwan, Australia, England and America, recorded a significant development
as a charity. In the field of education, Muhammadiyah up to now has more than
10,000 units. Data reported until 2015 Muhammadiyah owned educational
institutions totaled 10,381 units consisting of 4623 TK or PTQ, 2,604 SD / MI,
1772 SMP / MTS, SMA / SMK / MA 1143, Ponpes 67, and universities. 172.
In the field of health services and community welfare, Muhammadiyah has 457
hospitals, 318 orphanages, 54 nursing homes, and 82 disability rehabilitation.
In the field of religious facilities, Muhammadiyah has 11,198 mosques and musalla.
These data show how the Muhammadiyah organization has played a very big role
in building Islamic civilization in Indonesia. This paper does not intend to discuss
the development of this organization from time to time, nor does it want to examine
its current charities. This paper focuses its discussion on the KH Ahmad figure as
the founder. Who is KH. That Ahmad Dahlan? and what are his modern thoughts
that can provide extraordinary spirit for his followers until now.
Katakunci: Muhammadiyah,
Gerakan Modern, Modernisasi, Islam Modern, Modernisme Islam.
A.
Pendahuluan
Pada tanggal 18 November 2020 yang lalu organisasi Muhammadiyah memperingati hari ulang tahunnya yang ke 108 secara daring karena kondisi negara Indonesia yang sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang juga dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Meskipun dilaksanakan secara daring, namun kemeriahan acara tersebut tidak dapat disangsikan dengan tampilan-tampilan yang sangat memukau dan dihadiri oleh banyak tokoh dan pejabat negara hingga presiden yang memberikan apresiasi dan ungkapan terima kasih atas kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa Indonesia hingga saat ini. [1]
Seorang antropolog dari
Arizona State University AS, Mark R Woodward bahkan membuat tulisan bertajuk,
"Holidays in the Plague Year: Lesson from the Indonesian Muhammadiyah
Movement." Dia menilai Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19
telah mengajarkan praktik baik cara beragama yang tekun, taat, dan
rasional. Menurut dia, Muhammadiyah sigap
mempromosikan praktik keagamaan yang adaptatif dalam menghambat penyebaran Covid-19. Peneliti 'Islam Jawa'
tersebut berharap Muhammadiyah menjadi teladan global dalam menghadapi pandemi,
bukan hanya bagi komunitas muslim di Asia Tenggara, India dan Timur Tengah,
tapi juga untuk komunitas Protestan Amerika.[2]
Di usianya yang ke-108 ini, Muhammadiyah, yang saat ini tidak hanya berada di Yogyakarta saja di
mana 23 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah yang tersebar di dunia salah
satunya di Taiwan, Australia, Inggris dan Amerika, mencatat perkembangan yang signifikan sebagai
amal usahanya. Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah sampai saat ini telah
memiliki lebih dari 10.000 buah. Data yang dilansir di laman republika, sampai
tahun 2015 lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah berjumlah 10.381 buah
yang terdiri dari TK atau
PTQ berjumlah 4623, SD/MI 2.604, SMP/MTS
1772, SMA/sMK/MA 1143, Ponpes 67, dan perguruan tinggi 172.[3] Di bidang pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,
Muhammadiyah telah memiliki 457 rumah sakit, 318 panti asuhan, 54 panti jompo,
dan 82 rehabilitasi cacat. Di bidang sarana ibadah, Muhammadiyah telah memiliki
11.198 masjid dan musalla.[4]
Data-data ini menunjukkan betapa organisasi Muhammadiyah telah memainkan
perannya yang sangat besar dalam membangun peradaban Islam di Indonesia.
Tentunya keberhasilan Muhammadiyah
ini tidak terlepas dari pemikiran dan spirit pendiri organisasi modern yang
lahir pada awal abad ke-20 ini, yaitu KH. Ahmad Dahlan. Pertanyaannya adalah
siapa KH. Ahmad Dahlan? Dan apa sajakah pemikiran modernnya sehingga bisa
menjadi spirit yang luar biasa kepada para anggotanya dari awal pendiriannya
hingga saat ini?
B.
Riwayat Hidup
KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir pada 1869, dengan nama Muhammad
Darwis dalam keluarga yang taat beragama di Kauman Jogjakarta. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan
khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah,
keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa. Seperti
layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada
pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar
membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran
dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia
delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran.
Seiring dengan
perkembangan usia yang semakin bertambah, Muhammad Darwis yang sudah tumbuh remaja
mulai belajar ilmu agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekadar membaca Quran, ia belajar Fikih dari K.H. Muhammad Saleh dan
belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga
adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut
dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur. Muhammad Darwis
yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari
guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan
ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh
Khayat[5], belajar ilmu qiraah
kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada KH. Dahlan Semarang dan ia juga
pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang.[6]
Pada 1890, Muhammad Darwis melanjutkan pendidikannya ke Mekah belajar kepada Sayyid Santa sambil menunaikan ibadah haji. Di saat itulah ia mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Kegiatan ini dilanjutkannya pada 1903 di mana ia belajar berbagai ilmu pengetahuan dari gurunya Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama besar dari Minangkabau yang juga guru Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU). Di sini, ia berkesempatan bertemu dengan Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh dan mempelajari karyanya yang terkenal, yaitu Tafsir Al Manar. Dari aktivitas haji yang kedua kalinya inilah Ahmad Dahlan mulai berpikir secara lebih mendalam tentang ide-ide modernnya dalam Islam.
Sekembalinya dari Mekah dan menunaikan ibadah hajinya yang kedua pada
tahun 1904, ia memulai transformasi ide-ide modernnya,
baik sebagai guru pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah, maupun di
organisasi-organisasi. Selain itu ia
juga bersosialisasi dengan ulama-ulama dan masyarakat umum untuk menyebarkan
ide-ide modernnya. Tidak hanya itu, ia juga beberapa kali melakukan debat
dengan para pendeta Kristen seperti Van Lass, Van Dress dan Domein Beiker dan
juga dengan para ulama Kristiani seperti Dr. Kremer dan Dr. Vast hingga
Penasehat Pemerintah Belanda, Profesor Kreimer dan berhasil memberikan
argumen-argumen yang rasional terkait kekurangan-kekurangan yang ada di agama
Kristen.[7]
Yunus Salam menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan selain sebagai pedagang,
juga aktif di organisasi kebangsaan Budi Utomo sebagai salah satu pemimpinnya
dan organisasi sosial Syarekat Dagang Islam (SDI) sebagai penasehat.[8]
Pada tahun 1910 Ahmad Dahlan
juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam
bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di
dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan
orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama
yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model
sekolah yang kesemuanya ini berkontribusi dalam modernisasi yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa
selanjutnya. Dan karena
dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh melalui muridnya Rasyid Ridha dan
tafsirnya, ide-ide moderen Ahmad Dahlan yang termanifestasikan dalam organisasi
Muhammadiyah yang ia dirikan, tidak jauh berbeda dengan ide-ide pembaruan
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Ia dalam bidang keagamaan sangat mengecam
praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai
Islam.
Aip Aly Arfan dalam Thesisnya Perkembangan Gerakan Muhammadiyah 1912-1942,
mengutip tulisan Yunus Salam dalam bukunya KH Ahmad
Dahlan, Amal dan Perjuangannya bahwa Ahmad Dahlan sebelum mendirikan
organisasi Muhammadiyah, ia adalah seorang guru yang mengajar di banyak tempat,
di antaranya adalah di Sekolah Diniyah Khusus dalam matapelajaran pendidikan
Islam, di Kweekschool, sekolah Belanda yang mencetak para guru di Yogyakarta
dan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren, sekolah Belanda yang mencetak para pegawai
pemerintah di Magelang.[9]
Pada tanggal 12 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan sekolah modernnya
yang pertama di Kauman yang kemudian ditetapkan sebagai tanggal didirikannya
organisasi Muhammadiyah secara resmi. Adapun nama Muhammadiyah, diusulkan oleh
adiknya Muhammad Sangidu dengan filosofi bahwa anggota Muhammadiyah adalah para
pengikut nabi Muhammad Saw dengan mengambil dasar dari al-Quran surat Ali Imran
ayat 104 tentang amar ma’ruf dan nahi munkar.[10]
Pada saat
mensosialisasikan ide-ide modernnya, pada awalnya KH. Ahmad Dahlan mendapatkan penentangan
dari sebagian masyarakat di Yogyakarta. Ada yang mengatakan bahwa Ahmad Dahlan
bukanlah seorang kiyai karena mengikuti Belanda dalam penyelenggaraan
pendidikannya. Di antara mereka bahkan ada yang menuduhnya menyebarkan agama
baru, hingga ingin membunuhnya.[11]
Namun dengan kesabaran dan kelapangan hatinya, segala rintangan tersebut dapat
dilewatinya dan organisasi Muhammadiyah tetap berdiri hingga saat ini dengan
segala kekurangan dan kemajuan yang dicapainya.
C.
Tiga Aspek
Pemikiran Modern KH. Ahmad Dahlan
Banyak aspek yang disentuh KH Ahmad Dahlan dalam
pemikiran modernnya, di antara yang terpenting ada di empat aspek, yaitu aspek
keagamaan, aspek pemikiran, aspek sosial dan aspek pendidikan.
1.
Aspek
Keagamaan
Pada aspek ini, KH. Ahmad Dahlan
dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya berupaya untuk mensucikan
Islam dari apa yang dikenal dengan istilah pemberantasan TBC (Takhayul, bid’ah
dan khurafat) seperti pengagungan terhadap arwah leluhur, kepercayaan terhadap
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan, seperti keris, cincin dll. Selain
itu, Ia juga menolak tradisi-tradisi
yang mengarah kepada kemusyrikan seperti perayaan nujuh bulanan, 40
harian yang disertai dengan tahlilan yang dianggapnya sebagai salah bid’ah yang
sesat yang harus dijauhi. Ia juga menolak tawassul dan permintaan berkah dari orang
yang sudah meninggal dunia yang dianggapnya sebagai salah satu bentuk
kemusyrikan yang dilarang oleh ajaran Islam.
Pemikiran modern KH. Ahmad Dahlan
dalam aspek keagamaan juga tampak pada perhatiannya kepada masalah ibadah,
seperti pada masalah khutbah Jumat. Dalam hal ini, ketika umat Islam pada
umumnya melaksanakan khutbah Jumat dalam bahasa Arab, KH. Ahmad Dahlan melihat
perlunya khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa yang dipahami oleh umat Islam,
dan tidak harus berbahasa Arab yang menurutnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam itu sendiri. Pada masalah penetapan awal puasa Ramadan dan
Idul Fitri, KH. Ahmad Dahlan lebih memilih menggunakan hisab dibanding ru’yatul
hilal sebagaimana diambil oleh sebagian besar umat Islam kala itu.[12]
Selain itu, pada masalah salat Idul Fitri, KH. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa
pelaksanaannya di lapangan tidak menyalahi aturan agama Islam. Hal ini
diperkuat dengan keputusan Muktamar Muhammadiyah di Surabaya yang ke-15 pada
tahun 1926 yang mengeluarkan keputusan tentang pelaksanaan salat Idul Fitri di
lapangan. Meskipun hal ini harus dilakukan dengan permintaan izin kepada
Pemerintah Belanda yang saat itu menjajah Indonesia.[13]
Masih pada aspek keagamaan, KH. Ahmad [14]Dahlan
juga sangat memerhatikan masalah kiblat umat Islam. Oleh karena itu, Ia juga
memperbaiki arah kiblat umat Islam menuju Ka’bah yang pada saat itu masih
mengarah ke Barat, padahal seharusnya agak condong ke Utara sedikit. Langkah
yang diambil oleh KH. Ahmad Dahlan ini pada akhirnya diikuti oleh umat Islam
lainnya.[15]
2.
Aspek
Pemikiran
Melihat krisis pemikiran yang melanda
umat Islam pada saat itu yang ditandai dengan ditutupnya pintu ijtihad,
pemikiran modern KH. Ahmad Dahlan dalam aspek pemikiran tergambar pada dua hal,
yaitu konfirmasi pentingnya akal dalam memahami teks keagamaan dan dibukanya
kembali pintu ijtihad.
a.
Konfirmasi
pentingnya akal dalam memahami teks keagamaan
Sebelum hadirnya organisasi Muhammadiyah mayoritas
umat Islam, khususnya di Indonesia merasa cukup dengan hadirnya 4 (empat) ulama
fiqh dan tidak memerlukan lagi pemikiran baru, bahkan jika berani
mempermasalahkannya dianggap sebagai dosa besar yang tidak terampuni. Di sini
KH. Ahmad Dahlan melihat cahaya Islam yang redup setelah sebelumnya bersinar
terang di mana umat Islam pada umumnya hanya menerapkan Islam secara harfiyah
tanpa menggunakan akal sebagaimana mestinya. Maka dari itu, KH. Ahmad Dahlan
mengonfirmasi pentingnya akal dalam memahami teks keagamaan.[16]
Dalam hal ini, KH. Ahmad Dahlan memahami makna tauhid bukan hanya yang dipahami
mayoritas umat Islam kala itu, di mana tauhid itu berarti Allah SWT itu maha
esa dan tidak ada yang menyekutukannya, tidak beranak dan tidak pula
dilahirkan. Tauhid dalam pemikiran modern KH. Ahmad Dahlan setidaknya dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu persaudaraan berdasarkan kesatuan aqidah dan
persaudaraan berdasarkan kesatuan manusia.[17]
Tauhid dengan makna yang pertama
itulah yang dikenal dengan persaudaraan Islam yang bertujuan menghapus konflik
yang telah terjadi dan mungkin terjadi di antara umat Islam. Tauhid dengan arti
ini merupakan spirit yang menggerakkan selurah aktivitas dan kegiatan umat
Islam secara dinamis. Ini merupakan jaminan penghormatan sesama umat Islam
dalam pemahaman mereka terhadap syariat Islam sampai terwujudnya persatuan
mereka yang hakiki.[18]
Tauhid dengan makna kedua diarahkan untuk semua
orang Indonesia khususnya dan umat manusia di seluruh dunia pada umumnya.
Inilah yang berarti toleransi antar pemeluk agama untuk meraih kemaslahatan
umum dan kepentingan bangsa Indonesia secara khusus. Logika yang digunakan oleh
KH. Ahmad Dahlan dalam pentingnya memahami tauhid dengan bentuk kedua ini
adalah karena nabi Adam adalah Bapaknya manusia secara keseluruhan dan yang
tetap di dunia ini adalah perubahan, bukan adat dan tradisi nenek moyang.[19]
Tujuan tauhid dengan makna kedua ini adalah untuk membangkitkan perasaan
sebagai kesatuan tanah air dan bangsa -di mana Indonesia pada saat itu masih
dalam penjajahan Belanda- dengan mendahulukan kepentingan bangsa dibanding
kepentingan pribadi atau kelompok. [20]
b.
Pandangan
bahwa ijtihad itu masih terbuka
Sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa ijtihad
merupakan salah satu solusi yang diambil oleh umat Islam sejak masanya yang
sangat dini hingga mencapai puncak kejayaannya dalam sejarah peradaban manusia.
Sebaliknya, tanpa ijtihad, keadaan umat Islam pun menjadi terpuruk. Maka
benarlah pernyataan Muhammad Iqbal, Penyair modern Islam di India yang
menyatakan bahwa ijtihad itu akarnya pergerakan.[21]
Dalam hal ini KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, melihat bahwa ijtihad
para ulama itu bersifaf relatif, dan tidak ada yang kebenarannya mutlak,
termasuk ijtihad para Imam Mazhab yang empat.
Pandangan
tentang pentingnya ijtihad ini dikonfirmasikan oleh Muhammadiyah dengan
didirikannya majelis tarjih pada tahun 1927 oleh para ulama Muhammadiyah atas
usulan KH. Mas Mansur yang pada masa-masa selanjutnya menjadi lembaga khusus
yang menangani masalah ijtihad dalam organisasi Muhammadiyah.[22]
3.
Aspek
Pendidikan
Pada masa berdirinya Muhammadiyah,
bahkan sejak abad ke-19 M pendidikan di Indonesia terdapat dikotomi. Pendidikan
agama atau pendidikan Islam dan pendidikan umum. Pendidikan Islam tradisional mencakup
pendidikan yang ada di langgar (surau) dan masjid serta pendidikan pesantren
yang dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia. Sedangkan pendidikan umum
merupakan pendidikan yang dilaksanakan pemerintah Belanda di Indonesia sebagai
negara jajahannya yang sifatnya sekuler dengan hanya mempelajari ilmu-ilmu umum
saja tanpa ilmu agama dengan dikeluarkannya keputusan pada tahun 1817. [23]
Selain penerapan sekularisme dalam
pendidikannya Belanda juga melakukan diskriminasi dengan adanya pendidikan
kelas I dan pendidikan kelas II yang kemudian ditentang oleh berbagai pihak,
yaitu orang-orang kelas menengah Eropa, orang-orang Indonesia yang terdidik di
sekolah-sekolah Belanda dan Umat Islam Indonesia yang dipelopori oleh
Muhammadiyah. Penentangan ini dilakukan dengan mendirikan lembaga pendidikan
yang modern dengan mengadopsi teknologi Barat, namun di sisi lain menolak
pemikiran-pemikirannya. Jadi di satu sisi, orang-orang Indonesia mendapatkan
pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain memandang negatif terhadap
ilmu-ilmu agama.[24]
Dalam kondisi dikotomi ini, KH. Ahmad Dahlan melihat pentingnya kedua sisi ini. Oleh karena itu, ia memandang perlunya ilmu pengetahuan umum dipelajari umat Islam agar mengejar ketertinggalannya dari Barat. Menurutnya, ilmu pengetahuan umum yang berasal dari Barat sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan agama. Oleh karena itu, ia pun mendirikan sekolah-sekolah yang di dalamnya terdapat perpaduan antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan dunia di samping melengkapi sekolah-sekolah pemerintah yang hanya mempelajari ilmu pengetahuan sekular dengan ilmu pengetahuan agama.[25]
Selain menekankan pentingnya ilmu pengetahuan Barat, Ahmad Dahlan juga menerima sistem pendidikan Barat. Hal ini bisa dilihat dari sekolah-sekolah yang ia dirikan di mana tidak lagi merupakan sekolah-sekolah tradisional seperti pesantren yang dilakukan di dalam masjid atau surau. Sekolah-sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan adalah sekolah-sekolah moderen karena sudah merupakan bangunan tersendiri yang terdiri dari kelas-kelas sebagaimana yang diterapkan terlebih dahulu oleh pemerintah Belanda dalam sekolah-sekolahnya.
Sistem pendidikan Barat yang diadopsi Ahmad Dahlan, selain itu adalah jelasnya waktu belajar di sekolah. Berbeda dengan pesantren tradisional di mana waktunya yang tidak terikat, di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, telah diketahui dengan jelas kapan tahun ajaran baru dimulai dan kapan berakhir.
Masalah hubungan antara guru dan murid juga menjadi salah satu sistem pendidikan yang diadopsi oleh Ahmad Dahlan. Ia, dalam sekolah-sekolahnya menekankan bahwa hubungan antara guru dan murid bukan hubungan antara raja dan rakyatnya di mana guru merupakan kata akhir yang tidak dapat dikritisi apalagi dibantah perkataannya.[26]
4.
Aspek Sosial
Dalam bidang sosial, pemikiran pembaharuan Ahmad Dahlan
terwujud dalam sikapnya mengangkat martabat wanita dengan mendirikan organisasi
khusus wanita, yaitu Aisiyah lima tahun setelah berdirinya Muhammadiyah. Ia
berpendapat bahwa kedudukan laki-laki sama dengan perempuan. Oleh karena itu,
wanita juga dapat berperan dalam masyarakat dan tidak terbatas pada perannya
sebagai ibu rumah tangga.
Selain itu, Ahmad Dahlan pun merubah praktek sebagian umat Islam dalam pengelolaan zakat yang mengangap bahwa kyai mapun pejabat pemerintahan berhak menerima zakat karena hal ini bertentangan dengan Al Quran tentang para penerima zakat. Pembaharuan dalam pengelolaaan dana zakat dengan menjalankan manajemen yang moderen dikatakan oleh Mitsuo Nakamura dimulai sejak 1920.[27]
Pembaharuan Ahmad Dahlan dalam bidang sosial ini
tercermin juga dalam sikapnya yang sangat peduli pada anak yatim yang ia
demonstrasikan kepada para muridnya dalam memberikan pelajaran tafsir
D.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat diambil simpulan
bahwa KH. Ahmad Dahlan mendapatkan ide-ide modernismenya setelah berinteraksi
dengan berbagai pihak, di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, pengaruh
pemerintah Belanda terhadap ide modernisme KH. Ahmad Dahlan cukup besar,
khususnya dalam pembangunan sekolah-sekolah bercorak modern. Dari luar negeri,
pengaruh modernisme Islam di Timur Tengah cukup kental terhadap pemikiran modern
KH. Ahmad Dahlan yang kemudian dimanifestasikannya dalam organisasi
Muhammadiyah yang didirikannya pada tahun 1912.
Selain itu, dalam mendirikan
organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan tidak berjalan mulus. Banyak hambatan
dan rintangan yang dilalui. Begitulah yang terjadi dalam setiap ide-ide dan
pemikiran modern di dunia Islam, bahkan di dunia dalam peradaban manusia. Namun
setelah rintangan dan hambatan itu bisa diatasi, maka dampaknya sangat positif.
Ide-ide itu pun menyebar dan menular sehingga menjadi referensi bagi mereka
yang berpikir rasional dan menginginkan kemajuan. Hasilnya pun bisa kita lihat
saat ini, di mana organisasi Muhammadiyah menjadi yang terdepan dalam
pendidikan di Indonesia yang secara tidak langsung berperan besar dan berkontribusi
positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia sejak awal
berdirinya hingga sekarang. Saking majunya, keinginan sebagian anggotanya untuk
memiliki bank syariah sendiri semakin santer terdengar.
Namun, tentu saja organisasi Muhammadiyah tidak
sempurna. Oleh karena itu, bagi organisasi yang telah berusia lebih dari 1 abad
ini tetap diperlukan masukan-masukan konstruktif dari berbagai pihak agar dapat
bertahan lebih lama lagi dan tetap menjadi organisasi modern yang berkemajuan
dan berkontribusi positif dalam membangun Indonesia yang maju dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan SU, Menggugat Muhammadiyah, Fajar Pustaka
Baru, cetakan Pertama, Juli 2000.
Abdul Munir Mulkhan, Warisan Inteletual K.H. Ahmad Dahlan dan
Amal Muhammadiyah, Penerbit PT Percetakan Persatuan Yogyakarta, cetakan pertama
tahun 1990.
Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung
Muhammadiyah, Penerbit Tarawang, cetakan
pertama Januari 2000
Jainuri, Muhammadiyah: Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada
Awal Abad Keduapuluh, PT Bina Ilmu, cetakan II 1990.
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh:
Suatu Studi Perbandingan, Dissertasi Doktoral di IAIN , Penerbit Bulan Bintang,
cetakan pertama tahun 1993.
Deliar
Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan ketujuh, Jakarta,
1994.
Fathurrahman Djamil MA, Metode Ijtihad Majelis Tarjih
Muhammadiyah, Logos Publishing House, cetakan I 1995.
Hamka,Ayahku,Penerbit
Djajamurni Djakarta,Djetakan ketiga,tahun 1967.
Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya, Depot
Pengajaran Muhammadiyah, cetakan kedua tahun 1968.
Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari balik pohon
beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta, Gajah
Mada Universty Press, 1983.
Mohammad Damami, MA, Akar Gerakan Muhammadiyah, Penerbit
Fajar Pustaka Baru, cetakan pertama
tahun 2000.
MT. Arifin, Gagasan Pembaruan Muhammadiyah dalam Pendidikan,
Pustaka Jaya, cetakan I 1987.
M. Margono Poespo Suwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah,
Penerbit PT Percetakan Persatuan
Yogyakartam cetakan keempat tahun 1995.
M. Yunan Yusuf, Teologi Muhammadiyah, cita tajdid dan
realitas sosial, IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, cetakan pertama tahun 1995.
M. Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan
Kepemimpinannya, cetakan I, Yogyakarta, tahun 1983.
Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam: Dalam persepektif Historis dan Ideologis, Pustaka
Pelajar Offset, cetakan pertama tahun 2000.
Musthafa Kamal dan
Chusnan Yusuf, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, Penerbit Persatuan Yogyakarta, cetakan
ketujuh tahun 1992.
Musthafa Kamal,
Chusnan Yusuf dan A. Rosyad
Sholeh, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Penerbit Persatuan Yogyakarta,
cetakan ketujuh tahun 1994.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah, cetakan III.
Solihin Salam, KH. Ahmad Dahlan: Reformer Islam Indonesia, Penerbit
Djajamurni, tahun 1963.
Umar Hasyim, Muhammadiyah jalan lurus dalam tajdid,
dakwah, kaderisasi dan pendidikan: Kritik dan terapinya, PT Bina
Ilmu, cetakan pertama tahun 1990.
The Center of Documentation and Publication, Malang
Muhammadiyah University, Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha,
Malang, 1990.
Abdul
Munir Mulkhan, Pemikiran Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam
Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta,
1990.
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/muhammadiyah/11/02/02/162111-muhammadiyah-miliki-155-perguruan-tinggi-di-indonesia, diakses tanggal 24 November 2020.
https://muktamar48.id/sejarah-muhammadiyah/ diakses tanggal 24 November 2020.
https://core.ac.uk/reader/326037070, diakses tanggal 24 November 2020.
https://kumparan.com/kumparannews/milad-ke-106-muhammadiyah-sudah-bangun-5-777-sekolah-dan-117-kampus-1542539703175560497 diakses tanggal 24 November 2020.
https://ibtimes.id/kiai-dahlan-ulama-puritan-modernis-yang-inklusif/, diakses tanggal 24 November 2020.
https://m.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/muhammadiyah-organisasi-islam-terkaya-di-dunia.htm?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+eramuslim%2Foke+%28Eramuslim%29, diakses tanggal 24 November 2020.
https://muhammadiyah.or.id/sejarah-muhammadiyah/, diakses tanggal 24 November 2020.
https://muhammadiyah.or.id/mendidik-nusantara-khusus-108-tahun-muhammadiyah/, diakses tanggal 24 November 2020.
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/11/18/muhammadiyah-satu-abad-delapan-tahun-puisi-taufik-ismail/, diakses tanggal 24 November 2020.
https://www.youtube.com/watch?v=M3n9I5zc0-8, diakses tanggal 24 November 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyah, diakses tanggal 24 November 2020.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/08/02/nsgkgj361-jumlah-lembaga-pendidikan-muhammadiyah-lebih-dari-10-ribu, diakses tanggal 24 November 2020.
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/241873/107-tahun-muhammadiyah-kini, diakses tanggal 24 November 2020.
[1] Selain Presiden Joko
Widodo, yang hadir secara virtual dan mengapresiasi Muhammadiyah yang ke-108
ini di antaranya Gubernur DKI, Anies Baswedan, Menko PMK Muhadjir Effendi.
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, dan Dubes Paletina untuk Indonesia, Zuhair
al-Shun.
[2] https://www.republika.id/posts/11771/108-tahun-muhammadiyah-mengabdi, diakses tanggal 24 November 2020.
[3]https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/08/02/nsgkgj361-jumlah-lembaga-pendidikan-muhammadiyah-lebih-dari-10-ribu, diakses tanggal 24 November 2020.
[4] https://www.timesindonesia.co.id/read/news/241873/107-tahun-muhammadiyah-kini, diakses tanggal 24 November 2020.
[5] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah 1912-1942,
thesis, Tunisia, 2004, 15.
[6] https://muhammadiyah.or.id/sejarah-berdirinya-muhammadiyah/, diakses tanggal 24 November 2020.
[7] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah 1912-1942,
thesis, Tunisia, 2004, 15.
[8] Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, 10. Bandingkan dengan website Muhammadiyah di mana di sana dikatakan bahwa
Ahmad Dahlan juga pernah menjadi salah seorang komisaris Budi Utomo, lihat https://muhammadiyah.or.id/sejarah-berdirinya-muhammadiyah/
[9] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah 1912-1942,
thesis, Tunisia, 2004, 16.
[10] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah 1912-1942,
thesis, Tunisia, 2004, 16.
[11] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah 1912-1942,
thesis, Tunisia, 2004, 17.
[12] Ahmad Jainuri, Muhammadiyah: Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad
Kedua puluh, PT Bina Ilmu,
cetakan II 1990, 62.
[13] Ahmad Jainuri, Muhammadiyah: Gerakan Reformasi Islam di
Jawa pada Awal Abad Kedua Puluh, 63.
[14] MT. Arifin, Gagasan Pembaruan Muhammadiyah dalam Pendidikan, Pustaka Jaya, cetakan I 1987, 86
[15] Pada awalnya Sultan
Jogyakarta menolak ide ini hingga merobohkan surau KH. Ahmad Dahlan yang pada
akhirnya menyetujuinya.
[16] M. Yunan Yusuf, Teologi Muhammadiyah: Cita Tajdid dan
Realitas Sosial, Cet. Ke-1. Jakarta, 1995. 37.
[17] Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, Penerbit Fajar Pustaka Baru, cetakan pertama tahun 2000, 97.
[18] Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, 98.
[19] Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, 98.
[20] Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, 99.
[21] Muhammad Iqbal, Tajdid al-fikr ad-dini fil Islam, (Terj.
Abbas Mahmud), Mathba’ah Lajnatut Ta’lif wat Tarjamah, Cairo, 1995, 170.
[22] Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih, Logos Publishing House, Jakarta, Cet. Ke-1, 1995, 64.
[23] MT Arifin, Gagasan
Pembaruan Muhammadiyah dalam Pendidikan, Pustaka
Jaya, cetakan I, 1987, 193.
[24] MT Arifin, Gagasan
Pembaruan Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan, 203.
[25] Lihat Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, 68-70 tentang pembaruan gerakan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
[26] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, 70-72.
[27] Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Gajah Mada University Press, 1983.
[28] Lihat Muhammad Yunan Yusuf dalam Teologi Muhammadiyah : Cita Tajdid dan Realitas Sosial, 38-39, Mohammad Damami dalam Akar Gerakan Muhammadiyah, 93-94 dan Muhammad Yunan Asrofi dalam Kiyai Haji Ahmad Dahlan: Pemikirannya dan Kepemimpinannya, 50.