Pemikiran Pembaruan Pra-modern
Oleh:
H. Aip Aly Arfan, MA
Dalam sejarah Islam, pemikiran pembaharuan telah hadir
jauh sebelum masa moderen, sebagai usaha-usaha para pembaharu Islam untuk
membangkitkan kembali ajaran-ajaran Islam yang mengalami degradasi sehingga
umat Islam dapat terus berperan aktif sebagai hamba dan sekaligus khalifah
Allah di bumi untuk membangun peradabannya dalam sejarah. Para ahli sejarah,
pemikiran dan peradaban Islam bahkan telah menyimpulkan bahwa sejarah Islam
adalah sejarah pemikiran pembaharuan sejalan dengan hadis nabi Muhammad Saw
yang mengatakan bahwa dalam perjalanan waktu satu abad akan ada seseorang yang
memperbaharui agama. Sebagaimana ditulis Zainal Abidin Ahmad, Sayyid Waliyullah
Syah dan Abul A’la Al Maududi, sebagai contoh, menyebutkan nama-nama pembaharu
sejak abad 7 hingga abad 19 M. Mereka, lanjut Zainal Abidin, sama-sama menyebut
khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai pembaharu Islam pada abad 7 M.[1]
Sedangkan Zainal Abidin Ahmad sendiri menyebutkan bahwa
Shalahuddin Al Ayyubi (1137-1193 M.) adalah pembaharu Islam yang pertama karena
usahanya dalam perang Salib dilanjutkan dengan Imam Ibn Taimiyah (1263-1328 M.)
dalam bidang agama, Ibn Khaldun (1332-1406 M.) dalam bidang ilmu dan
kebudayaan, Sultan Muhammad II El Fatih (1429-1481 M.) dalam bidang politik dan
Sultan Sulaiman Al Qanuni dan Sultan Salim I dalam bidang pemerintahan.[2]
Kalau Zainal Abidin Ahmad tidak memulai pemikiran
pembaharuan sejak abad 7, tapi abad 12 di atas, hal itu karena ia membedakan
antara mujaddid (modernis) dan mushlih (reformer), di mana yang
pertama hanya pada bidang agama dan syaratnya lebih berat dari yang kedua.
Dalam hal ini, ia merujuk hadis nabi yang mengatakan bahwa Islam akan menjadi
asing, oleh karenanya bergembiralah orang yang saat itu asing. Orang asing yang
dimaksud di sini adalah para muslihun (reformer/pembaharu).[3]
Berbeda dengan Zainal Abidin Ahmad, pembahasan pemikiran
pembaharuan dalam Islam periode
pertengahan ini penulis mulai sejak Ibn Taimiyah (1263-1328) dengan
mempertimbangkan bahwa masa sebelumnya masih tercakup dalam masa kejayaan
peradaban Islam yang sebagaimana kita ketahui baru hancur setelah serangan
Hulagu pada 1258 di mana khilafah sebagai lambang kesatuan politik Islam ikut
turut sirna.
1. Ibn Taymiyah
Ibn Taimiyah lahir di Harran pada tahun
1263 M. lima tahun setelah kehancuran Baghdad dalam agama dan intelektual yang
sangat kuat di Syria. Ayahnya, Syihabuddin, adalah Ahli ilmu Hadis terkenal dan
Khatib di Masjid Agung di Damaskus, sedangkan pamannya, Fakhruddin adalah
cendikiawan dan penulis terkenal. Pada tahun 1269 ia bersama keluarganya
terpaksa mengungsi ke Damaskus karena serbuan tentara Mongol yang hendak
menguasai Syria Selatan.[4]
Karena latar belakang yang sangat relijius dan ilmiah ini, maka Ibn
Taimiyah mendapatkan kesempatan baik dalam memperoleh pendidikan. Ia memulai
pendidikannya langsung pada ayah dan keluarganya dengan mempelajari berbagai
ilmu umum di samping tentunya ilmu-ilmu agama seperti ilmu Hadis dan Fiqih di
mana ayahnya sebagai tokoh Fikih mazhab Hambali yang berpengaruh. Selain itu ia
juga belajar dari para ulama terkemuka di Damaskus. Perlu diketahui, bahwa masa
Ibn Taimiyah adalah masa di mana perdebatan-perdebatan yang cukup serius antara
para pengikut Asy’ariyah dan Mu’tazilah serta Murjiah terjadi hingga taraf yang
mengkhawatirkan hingga di antara mereka saling mengkafirkan antara satu dengan
yang lainnya. Dalam masalah fiqih, para ulama pada masanya sedang berada dalam
kondisi yang juga ironis di mana mereka didominasi oleh fanatisme yang
berlebihan terhadap mazhab mereka dan merebaknya sikap taqlid sehingga
tak banyak dihasilkan karya-karya ilmiah dan inovatif dalam bidang ini. Di
samping itu, pemahaman para ulama juga banyak melenceng dari nilai-nilai
kebenaran Islam, sehingga banyak terjadi bid’ah dan ajaran-ajaran tarekat yang
bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.
Sebagai orang yang cerdas, Ibn Taimiyah mempelajari segala hal yang terjadi
di sekitarnya, terutama yang berkaitan dengan konflik internal umat Islam yang
membuatnya semakin antusias dalam melahap ilmu-illmu pengetahuan yang berkaitan
dengan hal itu untuk kemudian berusaha mengatasinya. Ia pun mempelajari ilmu
mantiq, filsafat, paham Asy’ariyah, Mu’tazilah, Murji’ah dan menguasai
filsafat-filsafat mereka termasuk filsafat Imam Al Ghazali.[5]
Setahun setelah ayahnya meninggal dunia pada 1283 M dan karena kapasitas
keilmuannya yang sudah cukup memadai, terutama dalam bidang Hadis, ia pun
menggantikan ayahnya mengajar di berbagai sekolah di Damaskus dan menjadi
Khatib di Masjid Agung di Damaskus dan dalam jangka waktu singkat ia menjadi
terkenal, bahkan popularitasnya melebihi para ahli Hadis lain sebelumnya
seperti Ibn Daqiq Al I’id, Kamaluddin Al Zimlikani dan Syamsuddin Adz Zahabi.
Masa-masa ini adalah masa-masa awal Ibn Taimiyah menyebarkan ide-ide pembaharuannya
dalam berbagai fatwanya yang dilanjutkan pada masa-masa berikutnya hingga
wafat.[6]
Ide-ide pembaharuan Ibn Taimiyah terfokus pada masalah fikih dan teologi di
mana ia menemukan kesalahan sebagian umat Islam dalam melakukan interpretasi terhadap
fikih atau hukum Islam sehingga yang benar menjadi salah dan begitu juga
sebaliknya. Selain itu ia juga melihat bahwa perkembangan Islam di berbagai
bidang, terutama fikih, teologi, politik dan tasawuf mengalami ketidaktentuan
sehingga tidak terkontrol dan berkembanglah neo-fikih, neo-kalam, dll.[7] Karena itulah menurut Ibn
Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Fazlurrahman, diperlukan suatu langkah untuk
kembali kepada Al Quran dan Hadis karena banyak dari kebenaran telah
ditinggalkan sedangkan kesalahan banyak diambil sehingga kebenaran dan
kesalahan tercampur.[8] Selain itu juga diperlukan
ijtihad karena para ahli fikih tidak lagi melakukan karya ilmiyah setelah
adanya imam mazhab yang empat dan fikih pun menjadi bentuk opini yang memburuk
di tangan orang-orang yang setengah tahu.[9]
Pada usia
kurang dari 20 tahun, diundang ke Mesir untuk memberikan fatwa. Karena
fatwa-fatwanya yang dianggap radikal dalam memberantas khurafat, ia kurang
disenangi yang menyebabkannya dijebloskan ke penjara.
Karena
mendapat penolakan terhadap fatwa-fatwanya di Mesir, pada 1313 M. Ibn Taimiyah
kembali ke Syira dan meneruskan ide-ide pembaharuaannya tersebut hingga
meninggal pada 1328 M. Zainal Abidin Ahmad menyebutkan bahwa Ibn Taimiyah
selama 16 tahun hingga wafatnya pekerjaannya adalah keluar masuk penjara.[10]
2. Ibn Khaldun
Ibn Khaldun lahir pada 1332 M./732 H.[11]., empat
tahun setelah Ibn Taimiyah wafat, di Tunisia dari keturunan keluarga muslim
Hadlramaut yang melakukan imigrasi dari Spanyol karena terpaksa jika tidak
ingin berpindah agama dari Islam ke Kristen. Pada 1348 ia mendapatkan musibah
yang sangat besar, yaitu kehilangan orang-orang yang dihormatinya, yaitu para
gurunya termasuk orangtuanya dalam merebaknya wabah penyakit pes yang melanda
sebagian besar dunia Timur dan Barat.[12]
Pendidikan
Ibn Khaldun pada masa kecilnya adalah di Tunis dengan mempelajari berbagai
ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadis, fikih, bahasa Arab, ilmu qira’at dan
lain sebagainya termasuk sejarah, sy’air-syai’r dari para ulama-ulama Tunisia
dan Andalusia.
Sejak 1351 hingga 1380 Ibn Khaldun memasuki dunia karir
dan politik praktis di Tunisia, Maroko
dan Spanyol baik sebagai pengawal Sultan, Sekretaris, Duta Sultan hingga Hajib (setingkat dengan Perdana Menteri) di samping mengajarkan
ilmunya kepada masyarakat luas. Karir politik terakhirnya adalah ketika ia
ditugaskan oleh Sultan Abu Hammu di Tilimsan, Spanyol untuk mendatangi
kabilah-kabilah agar tunduk kepada
pemerintahannya pada 1374 di mana ia berjanji untuk mengakhiri kehidupan
politiknya dan ingin mewarnainya dengan kehidupan yang penuh dengan
kontemplasi, pemikiran dan kreasi intelektual. Sejak saat itu hingga 1378
karyanya Kitabul ‘Ibar yang mencakup Al Muqaddimah ditulis dalam sebuah rumah
di dekat Benteng Ibn Salamah ditemani keluarganya dalam kehidupan yang tenang.
Pada 1380 ia pulang ke kampung halamannya di Tunisia dan
tinggal di sana selama 4 tahun sambil merevisi buku sejarah karangannya
tersebut. Setelah rampung ia menghadiahkan bukunya itu kepada Sultan Abul
Abbas, penguasa Tunisia waktu itu pada 1384 di mana pada pertengahan bulan
Sya’ban ia meninggalkan Tunisia menuju Mesir.[13]
Sejak tahun
1384 Ibn Khaldun menghabiskan masa hidupnya di Mesir hingga meninggal pada
1406. Selama di Mesir, Ibn Khaldun menghabiskan waktunya untuk mengajar di
berbagai perguruan tinggi termasuk di universitas Al Azhar dan menjadi Hakim
Mazhab Maliki. Ia juga menambahkan beberapa pasal dalam buku sejarahnya,
khususnya yang berkenaan dengan sejarah negara-negara Islam di Timur, negara
Kristen dan negara luar Arab dan juga melaksanakan ibadah haji pada tahun 1389.[14]
Selain itu,
Ibn Khaldun juga mengalami peristiwa yang sangat bersejarah yaitu pertemuannya
dengan Timur Lenk, seorang penakluk dunia dari Mongol selama 35 hari pada 1401
di luar dinding kota Damaskus ketika ia diminta oleh Sultan untuk ikut dalam
ekspedisi Mesir ke Syria di mana Timur Lengk bersama pasukannya yang telah
menduduki Damaskus.
Ide-ide
pembaharuan Ibn Khaldun terdapat dalam manifestasi Al Muqaddimah,
karyanya yang sangat besar yang lahir justeru pada saat dunia Islam belum lama mengalami masa
kemundurannya. Sebagaimana telah diketahui, bahwa karya Ibn Khaldun ini
merupakan karya tulis yang sangat ensiklopedis karena menyajikan ilmu
pengetahuan yang sangat luas meliputi sejarah, filsafat, geografi, pendidikan,
matematika, ekonomi, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Selain itu, ia juga
mengatakan berkenaan dengan khilafah bahwa seorang khalifah itu tidak harus
dari suku Quraisy, kapan dan di mana saja kekhalifahan itu berada, berbeda dengan
kebanyakan umat Islam pada masanya dan sebelumnya yang berpendapat bahwa
khalifah itu harus berasal dari suku Quraisy berdasarkan hadis Nabi. Di sini
nampak bahwa Ibn Khaldun adalah termasuk dalam jajaran ilmuwan muslim yang
rasional dalam memahami doktrin-doktrin Islam sebagaimana para pembaharu
lainnya yang datang kemudian hingga kini.
3. Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad
bin Abdul Wahab lahir dan dibesarkan di Uyainah, Najed, pada 1703. Ia dua kali
datang ke Mekah untuk belajar kepada para ulama waktu itu dan mengajar di
berbagai madrasah. Ia pindah ke Bashrah dan memulai menyebarkan ide-ide
pembahruannya, namun karena tidak mendapatkan tanggapan yang positif, ia
kembali ke Najed dan terus ke ‘Uyainah, negeri asalnya.
Pada
1157 H, ketika ia pindah dari ‘Uyainah ke Dar’iyyah di Saudi Aabia, gerakan
Muhammad bin Abdul Wahab didukung oleh pemerintahan kerajaan Saudi Arabia.
Usahanya mengembalikan umat Islam kepada ajaran-ajaran Islam yang pertama
sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi, Sahabat dan para pengikutnya ini dapat
dikatakan berhasil karena mendapat sokongan penuh dari kerajaan dari masa
Muhammad Ibn Su’ud, yang dilanjutkan dengan puteranya Abdul Aziz –lengkapnya
Abdul ‘aziz bin ‘Abdurrahman al Fayshal as Su’udi-- hingga ke cucunya, Su’ud.[15] di mana
pada tahun 1924 Mekkah berhasil ditaklukkan sementara Madinah dan Jeddah pada
1925. Setelah itu didirikanlah kerajaan Saudi Arabia (almamlakah al
arabiyyah as su’udiyyah) yang kita kenal hingga hari ini.
Adapun
pembaharuan yang lahir bukan karena pengaruh kemajuan Barat, tetapi sebagai
reaksi atas rusaknya akidah Islam (tauhid) dikenal dengan purifikasi (pemurnian)
ini jika dikaji lebih seksama akan nampak bahwa ia sebenarnya adalah kelanjutan
dari pembaharuan Ibn Taimiyah dengan ide Salafiyahnya. Oleh Fazlurrahman,
gerakan reformasi Wahabiah ini disebut juga dengan Revivalis pra-modernis yang
menurutnya denyut pertama kehidupan dalam Islam setelah kemerosotannya yang
pesat dalam beberapa abad sebelumya.[16]
Ide-ide reformasi gerakan Wahabiah ini terfokus pada
usaha pemurnian (purifikasi) ajaran-ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh
di luar Islam seperti bid’ah, takhayul dan khurafat yang melanda sebagian besar
umat Islam di seluruh dunia Islam, seperti loyalitas yang berlebihan kepada
para wali dan syekh-syekh tarekat, meminta rezeki melalui kuburan para wali
saleh dan lain sebagainya. Gerakan ini menganggap bahwa kegiatan-kegiatan
seperti tersebut di atas termasuk dalam kategori bid’ah bahkan syirik sehingga
harus dihilangkan dari ajaran-ajaran Islam yang murni yang dipraktekkan oleh
Nabi dan para sahabatnya.
Selain itu, pembaruan gerakan Wahabiyah juga terwujud
dalam kecamannnya pada fanatisme mazhab (taqlid) dan menyerukan kepada
umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Hadis dan dibukanya pintu ijtihad
sebagaimana yang dikumandangkan pula oleh pendahulunya, Ibn Taiymiyah.
Dalam perkembangannya kemudian, gerakan reformasi
Wahabiah ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pemikiran-pemikiran
pembaharuan di dunia Islam selanjutnya pada masa moderen sampai sekarang,
termasuk gerakan pembaharuan di Indonesia, dari gerakan kaum muda, para ulama
Minangkabau pada abad ke-19 hingga gerakan Muhammadiyah pada abad ke-20. Yang terakhir ini akan
diuraikan pembahasannya pada bab IV dalam Buku Ajar ini.
[1] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah
Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet.
ke 1, 1979, h.232.
[2] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah
Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet.
ke 1, 1979, h.240.
[3] Tentang perbedaan antara mujaddid dan muslih ini lihat Zainal
Abidin Ahmad dalam bukunya Sejarah Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari
Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet. ke 1, 1979, h.233-237.
[4] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Penerbit
PUSTAKA, cet. ke-1, 1903, h. 11.
[5] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Penerbit
PUSTAKA, cet. ke-1, 1903, h. 16.
[6] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Penerbit
PUSTAKA, cet. ke-1, 1903, h. 20.
[7] Fazlurrahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke -1, Agustus
2000., h. 186.
[8] Fazlurrahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke -1, Agustus
2000., h. 187.
[9] Fazlurrahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke -1, Agustus
2000., h. 192-193.
[10] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah
Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet.
ke 1, 1979, h.245.
[11] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah,
Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis,
1991, h. 19.
[12] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah,
Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis,
1991, h. 65.
[13] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah,
Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis,
1991, h. 234.
[14] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah,
Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis,
1991, h. 258.
[15] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya, Bulan Bintang, cet.
ke-1, 1979, h. 271.
[16] Fazlurrahman, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam di Tengah
Tantangan Dewasa Ini, dalam Perkembangan Moderen Dalam Islam, Harun
Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting) , Edisi pertama, Yayasan Obor
Indonesia, Desember 1985, h. 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar