DINAMIKA POLITIK, EKONOMI
DAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh:
Aip Aly
Arfan, MA[1]
Abstrak: Islamic civilization in
the history of world civilization were taken into account. He became a teacher and reference for advanced Western
civilization today. He was also a torch for
civilizations that are present in modern times. The civilization that was once a beacon of civilization the world is not built
only on the elements of aqidah and fiqh alone. Moreover, it is also built on the
elements of politics, economics and sciences. This paper focuses the discussion on the elements of the latter Omayyed dynasty period. The goal is to see the extent to which
development and progress in building a civilization of Islam, especially during
the Omayyed.
Katakunci : Sejarah Islam, Politik Islam, Ekonomi Islam, Ilmu
Pengetahuan Islam, Peradaban Islam, Bani Umayah.
A. Pendahuluan
Peradaban Islam adalah peradaban yang
dibangun bukan hanya dengan teologi dan ibadah-ibadah ritual formal serta akhlak,
tetapi juga dengan unsur-unsur lain seperti politik, ekonomi dan ilmu
pengetahuan. Ketiga unsur ini selalu ada di setiap periode dalam sejarah
peradaban Islam sejak masa Rasul hingga kini. Salah satu masa yang cukup
penting dan memiliki posisi yang strategis dalam perkembangan dan kemajuan
peradaban Islam pada masa selanjutnya, yaitu masa bani Abbasiyah sebagai puncak
kejayaan peradaban Islam adalah masa bani Umayyah. Bagaimana perkembangan
politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan peradaban Islam pada masa bani Umayyah
ini? Berikut ini uraiannya:
B. Awal Mula Kepemimpinan bani Umayyah
Peradaban Islam masa Bani
Umayah dimulai sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib oleh kaum Khawarij yang
tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terakhir dari
Khulafaurrasyidin yang melakukan perdamaian (tahkim/arbitrase) dalam
perang Shiffin dengan pihak Muawiyah yang kemudian menjadi khalifah pertama
bani Umayah pada 661 M./41 H. Muawiyah sendiri adalah seorang yang memiliki
latar belakang politik dan pemerintahan yang kuat di mana ia, sebagaimana yang
dikatakan oleh Syamruddin Nasution, pernah menjabat sebagai gubernur di era
kekhalifahan Umar bin Khattab dan sekaligus era kekhalifahan Utsman bin Affan.[2]
Sebenarnya para pendukung
Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan kepemimpinan Mu’awiyah yang menurut
mereka telah merampasnya dari tangan Ali, namun karena Hasan, putra Ali telah
mengambil jalan damai dengan Mu’awiyah, dengan berbagai pertimbangan dan
persyaratan, maka mau tak mau mereka pun harus merelakannya. Adapun alasan
Hasan menerima perdamaian dengan pihak Mu’awiyah, sebagaimana yang dikutip
Syamruddin Nasution dari buku M. Jalaluddin Surur dalam bukunya Al-hayat al-Siyasiyah fi al-Daulah al-Arabiyah
al-Islamiyyah adalah bahwa Hasan tidak ingin menyaksikan umat Islam saling
bunuh di antara mereka dalam memperebutkan kekuasaan.[3]
C. Para Khalifah Bani Umayyah
Peradaban
Islam pada masa bani Umayah, tulis Hasan Ibrahim Hasan, berjalan selama kurang
lebih 90 tahun dengan 14 orang khalifah. Mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan,
Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Al Hakam, Abdul Malik bin
Marwan, Al Walid bin Muhammad, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz,
Yazid bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik, Al Walid bin Muhammad, Yazid bin
Muhammad, Ibrahim bin Muhammad dan Marwan bin Muhammad.[4]
Jika
diklasikfikasikan, maka pemerintahan bani Umayyah ini dapat dibagi menjadi 3
periode, yaitu periode pertumbuhan yang berlangsung selama 19 tahun dari era
Mu’awiyah yang menjabat dari tahun 661-680 M sampai masa Marwan bin Hakam yang menjabat
dari tahun 684-685 M., periode perkembangan yang berlangsung selama 30 tahun
sejak Abdul Malik bin Marwan menjabat dari tahun 685-705 M. dan dilanjutkan
oleh putranya Walid bin Abdil Malik dari tahun 705-715 M. dan periode
kemunduran yang berlangsung sejak Sulaiman bin Abdil Malik yang menjabat pada
715-717 M dilanjutkan dengan tujuh orang khalifah setelahnya sampai masa Marwan
bin Muhammad yang menjabat dari tahun 744-750 M.
Namun
dari keempat belas khalifah di atas, hanya lima saja yang merupakan
khalifah-khalifah besar menurut Harun Nasution. Mereka adalah Muawiyah bin Abu
Sufyan (661-680M.), Abdul Malik bin Marwan (685-705M.), Al Walid bin Abdul
Malik, Umar bin Abdul Aziz (717-720M.), dan Hisyam bin Abdul Malik (724-743
M.).[5]
D. POLITIK, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN ISLAM
1. Dari Sistem
Syura ke Sistem Kerajaan
Dari kacamata politik, terutama pada
penetapan kepala pemerintahan, Peradaban Islam bani Umayyah ditandai dengan
adanya perubahan mendasar yang membedakannya dari peradaban Islam masa Rasul
dan Khulafaurrasyidin, yaitu perubahan sistem pemerintahan dari sistem syura ke
sistem kerajaan di mana sang khalifah sebelum meninggal dunia berhak menentukan
siapa yang akan menjadi penggantinya kelak tanpa ada seorang pun yang berhak
menghalanginya. Jadi, meskipun sang kepala negara tetap menggunakan istilah
khalifah, namun artinya sudah berbeda dengan istilah khalifah pada masa
Khulafaurrasyidin di mana seorang khalifah tidak memiliki otoritas penuh
terhadap penentuan pemimpin pemerintahan yang akan menggantinya.
Pewarisan kekhilafahan ini dimulai
sejak khalifah bani Umayah yang pertama yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan yang
telah mengangkat anaknya sendiri, Yazid sebagai putera mahkota berdasarkan
saran yang dilontarkan oleh Al Mughirah bin Syu’bah, Gubernur Kufah. Menurut
Hasan Ibrahim Hasan, Al Mughirah bin Syu’bah menyarankan kepada Muawiyah agar
mewariskan kekhalifahan ini ke Yazid setelah mendengar berita bahwa ia akan
dipecat dan jabatannya sebagai Gubernur pada tahun 49 H. dan digantikan oleh
Sa’id bin Al Ash yang diterima oleh Muawiyah dan penobatan Yazid sebagai putera
mahkota pun dilakukan meskipun masyarakat di Madinah secara mayoritas tidak
menyetujui hal ini.[6]
Menurut
penulis, meskipun pewarisan kekhalifahan ini atas saran dari Al Mughirah bin
Syu’bah, namun sejatinya telah menjadi keinginan kuat Muawiyah sebagai seorang
politikus ulung. Hal ini bisa dilihat dari begitu kuatnya ia mempertahankan keputusannya tersebut meskipun
tidak mendapat persetujuan dari mayoritas penduduk Madinah. Bahkan, Muawiyah
pun mengancam akan membunuh Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Al
Husain bin Ali sebagai para pemuka masyarakat Madinah jika mereka menolak keputusannya.[7]
2. Perluasan
Wilayah Kekuasaan
Pada masa bani Umayah, ekspansi Islam
yang terhenti pada masa Usman dan Ali karena konflik internal, dilanjutkan.
Diawali dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (661-680 M.) sebagai khalifah
pertama, di bagian Barat, Tunisia dapat
ditaklukkannya dengan mengirim Uqbah Ibn Nafi’ sebagai panglima tentaranya.
Sedangkan di bagian Timur, sebagaimana disimpulkan oleh Badri Yatim, ia
menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke
Kabul.[8]
Pada masa Abdul Malik Ibn Marwan (685-705 M.), ekspansi ke Timur di
bawah pimpinan Al Hajjaj Ibn Yusuf dilanjutkan dengan menguasai Balkh, Bukhara,
Khawariz, Ferghana dan Samarqand melalui sungai Oxus yang dilanjutkan dengan menaklukkan Balukhistan, Sind dan
Punjab dan Multan. Sedangkan ke Barat, ekspansi secara besar-besaran dilakukan
oleh al Walid Ibn Abdul Malik (705-715 M.) dengan mengirim Musa Ibn Nushair
sebagai pimpinan tentaranya yang dimulai dari Afrika Utara dengan menaklukkan
Al Jazair dan Maroko hingga hingga ke Spanyol di Barat Daya benua Eropa dengan
pengiriman Thariq bin Ziyad sebagai panglima perang melalui selat Gibraltar (jabal
Thariq) sehingga kota Toledo sebagai ibukota Spanyol pun dapat dikuasai.
Begitu juga kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoba yang kemudian menjadi
ibukota Spanyol Islam. Ekspansi Islam di Spanyol ini dilanjutkan oleh Musa Ibn
Nushair yang sebelumnya telah menguasai Al Jazair dan Maroko. [9]
Sebenarnya perluasan wilayah kekuasaan
Islam pada masa bani Umayah telah sampai ke Perancis melalui pegunungan Piranee
yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi pada jaman Umar bin
Abdul Aziz (717-720 M.). Namun ekspansi ini gagal dan Al Ghafiqi pun terbunuh.
Wilayah-wilayah
kekuasaan Islam pada masa bani Umayah ini, tulis Harun, telah membuat Islam
menjadi negara yang sangat besar. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena
wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa ini telah meliputi Spanyol, Afrika
Utara, Syria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil,
Persia, Afghanistan, Daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek
dan Kirgis (di Asia Tengah).[10]
3. Tumbuhnya Gerakan Politik dan Keagamaan
Pada masa Utsman dan Ali pertumbuhan
gerakan politik maupun keagamaan masih terbatas pada individu-individu tertentu,
pada masa bani Umayah gerakan-gerakan ini berkembang menjadi kelompok-kelompok.
Berkenaan dengan hal ini dapat
dijelaskan di sini bahwa sebelum dinasti Umayah berdiri, yaitu pada masa
kekhalifahan Utsman bin Affan, karena kebijakan-kebijakannya yang banyak
menguntungkan pihak keluarganya saja, sebagian umat Islam kecewa dengan
kepemimpinan Utsman. Kekecewaan ini berakhir dengan terbunuhnya Utsman dan
berpindahnya kekhalifahan ke tangan Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib pun
akhirnya dibunuh oleh para pengikutnya sendiri karena kecewa atas keputusannya
menerima arbitrase yang diajukan Muawiyah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Kekecewaan-kekecewaan inilah yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan
pemberontakan menentang pemerintah di masa Utsman dengan munculnya oposisi Abu Dzar Al ghiffari dan Ibn Abi Hudzaifah
dan oposisi Thalhah, Az Zubair dan Aisyah di masa Ali yang mengakibatkan
terjadinya perang Jamal dilanjutkan dengan mengkristalnya gerakan-gerakan
politik dan keagamaan pada masa bani Umayah. [11]
Adapun gerakan-gerakan politik dan
keagamaan yang berkembang pada masa bani Umayah adalah sebagai berikut:
1.
Syi’ah,
Syi’ah adalah kelompok pendukung Ali bin Thalib sebagai khalifah
keempat yang menggantikan Utsman bin Affan. Kelompok yang sejatinya telah
muncul sejak masa Rasul ini semakin menguat terutama karena pihak Muawiyah dan
para pengikutnya menolak untuk membaiat Ali sebagai khalifah. Pihak Muawiyah
sendiri menganggap Ali terlibat dalam pembunuh Utsman yang membuatnya berkeras
untuk memeranginya jika tidak segera menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman.
Akibatnya perang Shiffin pun terjadi antara Syi’ah yang dipimpin oleh Ali dan
pihak Muawiyah pada 37 H. yang diakhiri dengan penobatan Muawiyah sebagai
khalifah pengganti Ali setelah diadakan tahkim di Daumatul Jandal di mana pada
tahkim tersebut Muawiyah mengirim Amr bin Ash, seorang ahli politik Arab dan
Ali mengutus Abu Musa yang sebenarnya tidak disukainya. Dalam tahkim tersebut,
baik Abu Musa maupun Amr bin Ash sepakat untuk mengganti khalifah Ali, namun
mereka berbeda tentang siapa penggantinya. Abu Musa memilih Abdullah bin Umar
sedangkan Amr bin Ash belum menyebutkan siapa-siapa dan dengan kecerdikannya ia
pun mengukuhkan Muawiyah sebagai pengganti Ali.[12]
Pada masa bani Umayah, kaum Syi’ah
meningkat rasa kebenciannya kepada pemerintahan bani Umayah, sejak masa
Muawiyah yang telah memerintahkan Al Mughirah bin Syu’bah sebagai Gubernur
Kufah untuk mengutuk Ali pada setiap khutbahnya, pemberontakan-pemberontakan,
hingga masa-masa kehancuran bani Umayah.
2. Khawarij
Khawarij adalah kelompok penentang Ali yang sebelumnya menjadi
pengikutnya yang setia. Mereka memisahkan diri dan keluar dari barisan
pendukung Ali karena tidak setuju dengan kebijakan Ali yang bersedia melakukan
tahkim dengan pihak Muawiyah yang mereka anggap pembangkang dan harus dibunuh.
Kelompok ini dianggap musuh oleh kalangan Syi’ah maupun Muawiyah karena telah
menganggap keduanya telah keluar dari Islam dan halal darahnya. Sebaliknya kaum
Khawarij, sebagaimana dijelaskan oleh Hasan Ibrahim Hasan, lebih membenci
kelompok Muawiyah dari kelompok Ali karena menurut keyakinan mereka, Muawiyah
adalah orang yang menghambur-hamburkan harta kekayaan kaum muslimin di samping
statusnya sebagai khalifah yang bukan berdasarkan konsensus dan kerelaan kaum
muslimin.[13]
3. Kelompok Ibn Zubair
Sebelumnya telah disebutkan bahwa kelompok ini telah muncul pada
masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dan pada masa bani Umayah, meskipun
selama jangka waktu yang cukup lama
dalam pemerintahan Muawiyah nampak hilang dari peredaran, setelah penobatan
Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota, Abdullah bin Zubair pun bangkit
kembali dan menentang langkah yang ditempuh Muawiyah dan berusaha untuk
menggagalkan ketetapan penobatan tersebut yang didukung sebagian kaum muslimin.
Menurut Hasan Ibrahim Hasan, dukungan kaum muslimin kepada Abdullah bin Zubair
ini disebabkan oleh empat faktor, yaitu perpindahan kekhilafahan dari sistem
syura ke sistem pewarisan, terbunuhnya Husein bin Ali, kejamnya para pejabat pemerintahan
terhadap penduduk wilayah pemerintahan bani Umayah dan kesalehan serta
ketakwaan Abdullah bin Zubair dalam beragama.[14]
Abdullah bin Zubair pun akhirnya menetapkan dirinya sebagai
khalifah dan menjadikan Hijaz sebagai pusat pemerintahannya. Namun, gerakan
politik yang dilakukan kelompok Ibn Zubair ini berhasil ditumpas dan ia pun
mati terbunuh dalam suatu serangan pada masa Abdul Malik bin Marwan pada 73 H.
4. Murjiah
Murjiah adalah suatu kelompok yang lahir di Damaskus, ibukota
pemerintahan bani Umayah. Mereka adalah kelompok yang menangguhkan hukuman atas
dosa yang dilakukan oleh umat Islam. Berbanding terbalik dari pandangan
Khawarij, kelompok ini tidak mengkafirkan siapa pun dan mereka menyerahkan
ketentuan hukum yang bersangkutan kepada Allah Swt. Secara politis, mereka
adalah kelompok yang menerima pemerintahan bani Umayah. Oleh karena itu,
menurut Hasan Ibrahim Hasan, cahaya kelompok ini pun redup bersamaan dengan
runtuhnya kekhilafahan bani Umayah.[15]
5. Mu’tazilah
Mu’tazilah
adalah suatu kelompok keagamaan yang banyak menggunakan akal. Pada
perkembangannya kemudian, kelompok ini juga terlibat dalam pembicaraan tentang
politik. Dalam bidang terakhir ini, kelompok ini nampak sebagai pendukung Ali
bin Thalib (Syi’ah) yang mereka sebut sebagai Imam Pertama Mereka. Tapi
sebenarnya antara Syi’ah dan Mu’tazilah terdapat perbedaan-perbedaan yang
sangat mendasar, terutama terutama yang berkaitan dengan teori syi’ah yang
menyatakan bahwa seorang Imam itu terpelihara dari dosa.
4. Diwan
Perkataan diwan, sebagaimana ditulis
Ibn Khaldun, berasal dari bahasa Persia “diwanah” yang berarti catatan
atau daftar. Nama ini kemudian berkembang menjadi untuk digunakan sebagai
tempat di mana diwan disimpan. Agar lebih praktis, nama ini disingkat menjadi
diwan.[16]
Diwan ini, di kalangan orang Arab didirikan pertama kali didirikan oleh Umar
bin Khattab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pada masa bani
Umayah, menurut Hasan Ibrahim Hasan, diwan yang didirikan terbatas pada empat
diwan penting, yaitu Diwan Pajak, Diwan Persuratan, Diwan Penerimaan dan Diwan
Stempel di samping ada juga diwan lain yang posisinya berada di bawah keempat
di atas seperti diwan yang mengatur keperluan polisi dan tentara.[17]
5. Barid
Karena luasnya wilayah kekuasaan Islam
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pada masa bani Umayah sejak
khalifah Mu’awiyah telah dibentuk suatu badan atau lembaga yang pada masa
sekarang dikenal dengan nama Kantor Pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat
maupun dokumentasi penting lainnya ke suatu wilayah, terutama dalam
pemerintahan Islam. Lembaga ini disebut dengan Barid yang telah dijalankan oleh para kaisar Persia dan
Romawi pada waktu itu. Oleh karena itu, mengenai sebutan Barid ini ada yang
mengatakan bahwa ia berasal dari bahasa Persia, baridah yang berarti
yang dipotong ekornya, karena orang-orang Persia biasa memotong ekor kuda yang
dipergunakan sebagai barid agar bisa dibedakan dengan hewan tunggangan lainnya.
Dalam bahasa Arab sendiri, barid mengandung arti jarak yang ditempuh
sejauh 12 mil yang kemudian berkembang dan dipergunakan untuk nama utusan.[18]
Abdul Malik bin
Marwan, khalifah ketiga bani Umayah (685-705 M.), karena pentingnya Barid ini
dalam jalannya roda pemerintahan, berpesan agar tidak menahan petugas Barid
yang datang untuk menemuinya baik siang maupun malam, karena jika hal itu
terjadi, berarti pekerjaan suatu wilayah telah hancur selama satu tahun
lamanya.[19]
5. Kepolisian
Pada masa Bani umayah kepolisian
mengalami perkembangan. Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa ini terutama
pada pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (102-125H.) ketika dimasukkan seorang
kepala yang berwewenang meneliti tindakan-tindakan militer dan dianggap sebagai
penengah antara wewenang kepala polisi dan komandan militer.[20]
Pada
masa ini markas kepolisian bertambah menjadi
dua setelah Shalih bin Ali Al Abbasi mendirikan Darussyurthah Al
‘Ulya, suatu markas kepolisian yang berlokasi di Al Mu’askar pada 132 H.
setelah sebelumnya telah didirikan pula Darussyurthah As Sufla, yang
berlokasi di Fusthat.[21]
6. Angkatan Perang
Dalam masalah angkatan perang, bani
Umayah melanjutkan apa yang telah dilakukan Umar bin Khattab yang telah
membentuk Diwan Tentara yang bertugas megidentifikasi nama-nama, sifat-sifat,
gaji dan pekerjaan mereka dan mengembangkannya dengan mengadopsi sistem Ta’biah
dari orang-orang Persia, yaitu membagi para tentara menjadi lima kesatuan. Lima
kesatuan ini, sebagaimana diuraikan Hasan Ibrahim Hasan terdiri dari Jantung
Tentara karena berada di bagian tengah kesatuan, Kesatuan Kanan karena di sebelah kanan, Kesatuan Kiri karena posisinya
di sebelah kiri, Kesatuan Pendahuluan, yaitu para penunggang kuda yang berada
di depan dan Kesatuan Pengiring yang berada di belakang kesatuan.[22]
Salah
satu perkembangan dalam bidang angkatan perang ini adalah dibuatnya pabrik
kapal laut pada tahun 54 H. setelah serangan yang dilancarkan oleh tentara
Romawi yang menyebabkan banyak kaum muslimin yang gugur. Berkenaan dengan
angkatan laut Islam ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa bangsa Arab dalam
cara berperang di laut pada mulanya meniru bangsa Byzantium. Namun, pada
perkembangannya kemudian merekalah yang menjadi guru bangsa Eropa dalam bidang
ini. Kenyataan ini seperti ditunjukkan dalam istilah-istilah kelautan yang
berasal dari bahasa Arab dan masih dipergunakan hingga sekarang.[23]
7. Peradilan
Pada masa bani Umayah, sebagaimana
sebelumnya, para hakim yang diangkat adalah orang-orang pilihan yang sangat
takut kepada Allah Swt dan adil dalam menetapkan suatu keputusan. Perkembangan
yang terjadi adalah bahwa pada masa ini keputusan-keputusan hakim sudah mulai
dicatat. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa Salim bin Anas adalah hakim
pertama pada masa bani Umayah yang melakukan pencatatan ketetapan hukum.[24]
Selain itu, peradilan pada masa bani
Umayah dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Al Qadla’, yaitu peradilan
yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama, Al Hisbah,
yang mengurus masalah-masalah pidana dan Al Mazhalim, yaitu lembaga
tertinggi yang mengadili para pejabat tinggi dan hakim-hakim. Yang terakhir ini
juga dipergunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang belum tuntaspada
pengadilan Al Qadla’ dan Al Hisbah (pengajuan banding).
Pengadilan pada Al Mazhalim ini memiliki tingkat kepentingan yang sangat tinggi
sehingga, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, setiap persidangan pada Al
Mazhalim harus dihadiri oleh lima kelompok persidangan, mereka adalah para
pembela dan pembantunya, para hakim penasehat, para ahli fikih, para sekretaris
dan para saksi.[25]
E. Ekonomi Islam
Tidak banyak dinamika dan perkembangan
yang terjadi dalam peradaban Islam khususnya dalam bidang ekonomi Islam pada
masa bani Umayah. Namun, jika dibandingkan dengan ekonomi pada masa
Khulafaurrasyidin, pada masa ini terjadi peningkatan pemasukan keuangan seiring
dengan meluasnya ekspansi Islam di berbagai belahan dunia pada waktu itu.
Baitul Mal yang telah didirikan pada
masa Umar bin Khattab, pada masa bani Umayah juga merupakan lembaga penting
yang menentukan keuangan pemerintahan, sehingga keberadaannya menjadi kebutuhan
yang sangat penting, terutama setelah mencapai tingkat ekonomi yang lebih maju
dibanding dengan masa sebelumnya.
Dari bidang pajak, terutama sebelum
masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, pemasukan Baitul Mal yang diperoleh
mencapai 186.000.000 dirham. Jumlah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan berasal
dari Irak sebanyak 130.000.000 dirham, dari Mesir 36.000.000 dirham dan Syam
20.000.000 dirham.[26]
Jika dibandingkan dengan hasil pajak
pada jaman khulafaurrasyidin, pada masa bani Umayah lebih tinggi yang
disebabkan terutama oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pajak.
Berkenaan dengan hal ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Muawiyah
menyuruh Wardan, Gubernurnya di Mesir untuk menaikkan pajak bagi setiap orang
Qibthi sebesar satu qirat dan pada masa Abdul Malik bin Marwan pajak bagi
setiap individu ini dinaikkan tiga kali lipat menjadi 3 dinar.[27]
Pada masa Umar bin Abdul Aziz, tarif
pajak yang telah dinaikkan sejak masa Muawiyah diturunkan kembali dan setiap individu
hanya harus membayar lebih kurang 14 Qirat saja sebagaimana yang ditetapkan
oleh Umar bin Khattab.[28]
Ini membuktikan bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin umat Islam
yang berhasil dalam melindungi dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam. Ia
juga pemimpin yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan. Dr. Euis
Amalia dalam bukunya Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam menulis bahwa
khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah membelanjakan seluruh kekayaan Baitul Mal
di Irak untuk membayar kerugian orang-orang yang diperlakukan semena-mena oleh
penguasa sebelumnya.[29]
Terkait dengan perkembangan ekonomi
pada masa bani Umayah ini, kebijakan otonomi daerah yang di Indonesia
diterapkan pada masa reformasi, ternyata sudah pernah dilakukan oleh khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Dr. Euis Amalia menyatakan bahwa khalifah Umar bin Abdul
Aziz dalam pemerintahannya menerapkan kebijakan otonomi daerah di mana setiap
wilayah Islam memiliki kewenangan untuk mengelola zakatnya sendiri-sendiri
sendiri dan tidak diharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat. [30]
F. Ilmu Pengetahuan Islam
Dengan kacamata filsafat ilmu, perkembangan ilmu pengetahuan Islam
pada masa bani Umayah ini sudah lebih ilmiah dibandingkan dengan masa
sebelumnya dengan dituliskannya suatu ilmu berdasarkan sistematika dan
metodologinya masing-masing. Kemajuan yang dicapai pada masa bani Umayah ini
terkait erat dengan perkembangan yang terjadi di mana terjadi interaksi antara
peradaban Islam dengan peradaban lainnya yang telah hadir sebelum kehadiran
Islam di daerah kekuasaannya seperti peradaban Yunani di Mesir dan lain-lain.
Interaksi dengan peradaban Yunani
nampak pada adanya usaha penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani oleh
sarjana-sarjana muslim atas perintah sang Khalifah. Musyrifah Sunanto menjelaskan
bahwa Khalid bin Yazid, cucu Muawiyah pada masa kekhilafahannya, karena
tertarik dengan ilmu kimia dan kedokteran menyediakan sejumlah dana untuk
penerjemahan buku-buku tersebut kedalam bahasa Arab.[31]
Sedangkan dengan peradaban Kristen,
interaksi ini terjadi ketika ilmuwan-ilmuwan Kristen di antara mereka ada yang
menjadi pejabat di pemerintahan Islam seperti Yahya ad Dimasyqi pada masa
kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan yang teguh mempertahankan agamanya.
Sebagaimana ditulis Musyrifah, keteguhan sikap ini mendorong umat Islam untuk
mempelajari logika agar dapat mempertahankan aqidah Islam sekaligus mematahkan
hujjah mereka.[32]
Selain karena interaksi di atas,
keilmuan Islam pada masa ini mengalami kemajuan karena luasnya daerah kekuasaan
Islam di mana umat Islam banyak yang berbahasa selain Arab dan tidak
memahaminya. Ditemukannya titik dalam bahasa Arab pada masa Hajjaj Ibn Yusuf
Ats Tsaqafi oleh Abul Aswad Ad Duwali
adalah contoh yang dapat dikemukan pada kasus ini.
Perkembangan bahasa Arab selanjutnya adalah pada aspek tata bahasa
Arab yang terjadi pada masa khalifah Harun Ar Rasyid oleh Al Khalil Ibn Ahmad yang mengarang kitab
Al ‘Ain sebagai kamus bahasa Arab pertama dan Sibawaih. Tokoh terakhir
ini menulis bukunya yang sangat terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Sibawaih,
suatu karya yang sangat baik sehingga menjadi acuan bagi para ahli bahasa Arab
yang sesudahnya seperti Al Kisa’I, Al ‘Ashmu’I, Al Akhfas Ash-shagir dan Az
Zujazi.
Selain karena perluasan wilayah kekuasaan Islam, kefanatikan bani
Umayah terhadap bangsa Arab, juga menjadi faktor kemajuan bahasa Arab, terutama
dalam bidang sya’ir.. Oleh karena itu sya’ir-sya’ir Jahili pada masa ini pun
tumbuh dengan pesat, sehingga muncullah para ahli dalam bidang ini, seperti
Umar bin Abi Rabi’ah (w.719 M.), Jamil Al ‘Udhri (w. 701 M.), Qays bin Al
Mulawwah (w. 699 M.). Al Farazdaq (w.
732 M.), Jarir (w. 792 M.) dan Al Akhtal (w. 710 M.).[33]
Keilmuan Islam pada masa bani Umayah juga terjadi secara alami
karena perkembangan jaman di mana ilmu-ilmu yang telah dipelajari berdasarkan
Al-Quran dan Hadis perlu dibukukan sehingga memudahkan umat Islam untuk
mempelajari agamanya melalui buku-buku tersebut. Ilmu-ilmu agama tumbuh
berkembang, seperti ilmu Tafsir, ilmu Hadits, Ilmu Qiraat, Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam dan sebagainya,
sehingga muncullah para ahli di bidang ini, seperti Ibn Jarir At-Thabari, Hasan
Al Bahshri, Ibn Syihab Az Zuhri dan Washil bin ‘Atha’ dengan tulisan-tulisan
mereka. Begitu juga dengan ilmu sejarah yang berkembang dengan munculnya para
penulis sejarah seperti Musa bin ‘Uqbah (w.131 H.) , Ibn Syihab Az Zuhri (w.
124 H.) dan Ibn Ishaq (w.151 H.),
meskipun menurut Hasan Ibrahim Hasan
kegiatan penulisan sejarah ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah karena
para khalifah bani Umayah lebih menyukai membaca Al-Quran daripada membaca
sejarah.[34]
Faktor ekonomi juga mempengaruhi perkembangan ilmu Islam pada masa ini.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa wilayah kekuasaan pada masa ini
sudah sangat luas sehingga tingkat perekonomian Islam pun meningkat. Ketika
perekonomian meningkat timbullah kebutuhan akan seni yang diwujudkan dalam
usaha menghiasi pembangunan kota-kota berikut gedung-gedungnya, baik gedung
pemerintahan maupun masjid di mana setiap pembangunan masjid maupun gedung
pemerintahan dengan seni kaligrafi dan arsitektur. Adapun kota-kota yang
dibangun pada masa bani Umayah, di antaranya adalah kota Kairawan di Afrika
Utara yang dibangun oleh Uqbah bin Nafi’ ketika menjadi gubernur. Kota ini dibangun dengan gaya arsitektur Islam yang
dilengkapi dengan gedung-gedung indah, taman-taman, masjid dan benteng.
Selain membangun kota,
pada masa bani Umayah juga banyak dilakukan renovasi kota. Di antara kota yang
direnovasi pada masa ini adalah kota Damaskus yang sebelumnya merupakan ibukota
negara Romawi. Siti Maryam dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam dari Masa
Klasik Hingga Modern mengatakan bahwa kota Damaskus dibangun dengan cara
memadukan unsure-unsur Romawi, Persia dan Arab.[35]
Pada masa bani Umayah ini telah banyak tulisan-tulisan kaligrafi yang menghiasi gedung-gedung dengan
arsitekturnya yang indah, seperti yang terdapat di Qashr ‘Umrah, yaitu suatu
istana kecil tempat berburu yang terletak sekitar 50 mil dari kota Amman yang
dibangun pada masa Al Walid bin Abdul Malik.[36]
G. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peradaban
Islam masa bani Umayah merupakan kontinuitas dari peradaban Islam masa-masa
sebelumnya, yaitu masa Rasul dan masa Khulafaurrasyidin yang menjadi pondasinya
di mana perkembangannya cukup signifikan ditandai dengan meluasnya wilayah
pemerintahan Islam ke luar jazirah Arabia hingga mencapai Afrika Utara, bahkan
Eropa.
Pada masa ini bani Umayah juga berhasil mengembangkan
kekuatan politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang luar biasa dengan
dibangunnya pemerintahan yang kuat, pertumbuhan ekonomi yang meroket dan maraknya
produk-produk ilmu pengetahuan yang baru, baik berupa penerjemahan karya-karya
ilmiah Yunani maupun inovasi-inovasi para ulama kaum muslimin sendiri meskipun
masih didominasi oleh ilmu-ilmu agama.
Bagaimana pun,
keberhasilan masa bani Umayyah ini tidak melebihi masa selanjutnya dalam
sejarah peradaban Islam, yaitu masa bani Abbasiyah yang merupakan puncak
peradaban Islam dan menjadi referensi bagi peradaban Barat modern. Wallahu
a’lam bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi,
Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian
Sejarah pada Fakultas Adab, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:
Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung, Penerbit Nuansa, Cet. Pertama:
1998)
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta,
Yayasan Bentang Budaya, Cet. Ke-4: 2001).
Ibrahim Hasan, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
jilid I,(Jakarta: Kalam Mulia, Cet. Ke-1).
Hasjmy, A, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. ke-5, tahun 1995).
Dhiyauddin Umari, Akram, Masyarakat Madani: Tinjauan
Historis Kehidupan Zaman Nabi, (Terj.) (GIP, Cet. ke 1:1999.
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Pustaka Bani
Quraiys, cet. ke-1: 2004).
Ibn Hisyam, As sirah an Nabawiyyah, jilid VI, (Darul
jil, Cet. ke 1, 1991).
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
edisi ketiga, (PT RajaGrafindo Persada: 2004).
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, (Kencana, cet. ke 1: 2003).
Qardlawi, Yusuf, Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahuan, (Surabaya: Dunia Ilmu).
Fuad Pasya, Ahmad, At Turats al ‘Ilmi lil hadlarah al
Islamiyyah wa makanatuha fi tarikhil ‘ilmi wal hadlarah, (Darul Ma’arif,
Shan’a’, Cet. ke 2: 1997).
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, cet. IX
tahun 1997.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Raja Grafindo Persada. (Jakarta. Cet. ke 16: 2004).
Ibn Hisyam, As
Sirah an nabawiyyah, jilid 1, 2 dan 3, (Darul Jil, Beirut, Cet. ke 1: 1991.
Al Syarqawi,
Iffat. Fi falsafat al hadlarah al islamiyyah. Darunnahdlah al arabiyyah.
(Beirut. Cet. ke
4:1985).
Ibn Khaldun. Al
Muqaddimah. (Darul Ma’arif, Tunis. Cet. ke
1:1991).
Nasution, Syamruddin, Sejarah Peradaban Islam, (Yayasan
Pustaka Riau, cet. Ke-3: 2013)
Maryam, Siti, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga
Modern, (Yogyakarta: LESFI, cet. Ke-3:2003).
TENTANG PENULIS
Aip Aly Arfan,
MA, adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Indonesia Jakarta dalam
bidang ilmu Sejarah dan Peradaban Islam yang kini menjabat sebagai Ketua
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Dilahirkan di Jakarta, pada 24
Januari 1975, memperoleh gelar Magister dalam bidang Peradaban Islam di
Universitas Zaitunah, Tunis Tunisia pada tahun 2003. Sejak tahun 2005 menjadi
Dosen di Institut Agama Islam Al-Aqidah (IAIA) Jakarta dan pernah menjabat
sebagai Sekretaris Direktur Pascasarjan IAIA Jakarta pada tahun 2007-2008.
Tulisan-tulisannya: Pemikiran Fikih
Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, dalam junal Dirasat, vol. 1, no.
(2006), Islam Modern di Tunisia: Studi
Tentang Pemikiran Pembaharuan Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur dalam
jurnal Dirasat, vol.02, no.1 (2007), Rekonstruksi
Peradaban Islam: Pandangan Ziauddin Sardar, dalam jurnal Kordinat, vol. X,
no. 2 (2009), Perkembangan Pemikiran
Modern dalam Islam (PPMDI), Buku Ajar STAI Indonesia Jakarta (2012). Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam dalam jurnal Kordinat, vol.
XIII No.1 (2013), Peradaban Islam Pada Masa Rasul Dan
Khulafaurrasyidin Sebagai Pondasi Mercusuar Peradaban Dunia dalam jurnal Dirasat, vol. 09, no. 02 (2014),
[1]Penulis adalah dosen sejarah dan peradaban Islam dan
Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam
Indonesia (STAIINDO) Jakarta.
[2] Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam, (Yayasan
Pustaka Riau, cet. Ke-3, 2013), h. 121.
[3] Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam,
h. 121.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam.,
jilid 1, (Kalam Mulia, Jakarta, Cet. ke1), h. 1.
[5] Harun Nasution, Islam
ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, (UI Press, Cet. Ke 5, 1985), h.
61.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam., h. 12.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam h. 14.
[8] Badri Yatim, Sejarah dan Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada. (Jakarta. Cet. ke 16, 2004) h. 43.
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, h. 62.
[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, h. 62.
[11] Lihat cerita oposisi Abu Dzar dan Ibn Abi Hudzaifah
selengkapnya dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam karangan Hasan Ibrahim
Hasan, jilid 2. h. 153-158.
[12] Lihat kisah ini selengkapnya dalam buku Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, h. 175-180.
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, h.
190.
[14] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
h.247
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
h. .259.
[16] Ibn Khaldun, Al
Muqaddimah, (Darul Ma’arif, Tunisi,
Cet. ke-1, 1991), h. 134.
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
h. 311-312.
[18] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
h. 328.
[19] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
h. 329.
[20] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 330.
[21] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 330.
[22] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 364.
[23] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 369.
[24] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 377.
[25] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 382.
[26] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 341.
[27] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
h. 351.
[28] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 353.
[29] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Gramata
Publishing, 2010), h. 103.
[30] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
h. 103.
[31] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik:
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Kencana,
Cet. Ke-1, 2003) h. 39.
[32] Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, (Kencana, Cet. Ke-1,
2003), h. 40.
[33] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya., h. 63.
[34] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam.,
h. 418.
[35] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam dari
Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta, LESFI, Cet. Ke-3: 2003), h. 75.
[36] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
h. 421.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar