PERADABAN ISLAM PADA MASA RASUL
DAN KHULAFAURRASYIDIN
SEBAGAI PONDASI MERCUSUAR PERADABAN DUNIA
Oleh:
Aip
Aly Arfan[1]
Abstrak:
If we talk about the civilization, classical period of Islamic history is a era
which no one else civilization in the world that achieved such progress
achieved by Islamic civilization. In fact, it is no exaggeration to say that the Islamic civilization
in the classical period
was the only reference to the Western civilization which is still a major player in world civilization film. In other words we can say that the Islamic
civilization in the classical period is the star that illuminates the world
from the darkness civilization. This article will not discuss all of classical
period of Islamic civilization, because it would required a very long
description. Therefore, this article will only focus the
discussion on the period of the
Prophet and Khulafaurrasyidin as the initial
phase which has a
very important position as basis
for the development and progress of Islamic civilization in the subsequent phases namely period of Bani Umayyad dan Bani Abbasid.
Katakunci: Islam, sejarah
Islam, peradaban Islam, masa klasik Islam, masa Khulafaurrasyidin.
A. Pendahuluan
Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab Asy-Syajarah,
yang berarti pohon. Tidak diketahui secara pasti alasan dipilihnya
istilah ini, tetapi setidaknya
sebagaimana yang dikatakan Azyumardi Azra, istilah ini digunakan karena
berkaitan dengan syajaratun nasab atau pohon genealogis yang saat ini
disebut sebagai sejarah keluarga.[2]
Penggunaan istilah sejarah juga bisa karena syajara dalam bahasa Arab
juga bisa berarti to happen, to occur dan to develop. Masih
dengan Azra, pada perkembangan selanjutnya sejarah memiliki arti yang sama
dengan tarikh dalam bahasa Arab, history dari bahasa Inggris dan geschichte dari bahasa Jerman
yang berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam.[3]
Dari sini bisa disimpulkan bahwa secara
sederhana, sejarah adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang dialami manusia
pada masa lampau. Pertanyaannya adalah apakah kejadian-kejadian masa lampau itu
berguna bagi kita manusia, atau secara lebih spesifik sebagai umat Islam?
Tentunya manusia tidak akan belajar sejarah
jika tidak ada gunanya. Dan jika membahas tentang sejarah, maka kita akan
mendapatkan banyak manfaat dari sejarah.
Dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo mengatakan
bahwa sejarah itu perlu dan berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara
intrinsik, sejarah sebagai pengetahuan berguna sebagai Ilmu, sebagai cara mengetahui masa lampau, sebagai
pernyataan pendapat dan sebagai profesi.[4]
Sedangkan secara ekstrinsik, sejarah memiliki manfaat sebagai media pendidikan,
yaitu pendidikan moral, pendidikan penalaran, pendidikan politik, pendidikan
kebijakan, pendidikan perubahan, pendidikan masa depan, pendidikan keindahan
dan sebagai ilmu bantu.[5]
Bagi kita umat Islam, sebagaimana kita
ketahui, bahwa sebagian besar isi dalam kitab suci Al-Quran atau 1/3 nya
berbicara tentang sejarah yang dikenal dengan kisah. Ini berarti secara tidak
langsung, Allah SWT seakan mengatakan bahwa sejarah itu penting dan berguna
untuk umat Islam, meskipun kita juga tidak dapat mengatakan bahwa Al-quran
adalah buku sejarah.
Salah satu sejarah yang penting dipelajari,
terutama oleh umat Islam adalah sejarah peradaban Islam masa klasik yang
terkenal dengan masa keemasan dan puncak peradaban Islam. Bak primadona dan
idola umat Islam, masa klasik sejarah Islam selalu dikagumi dan dipuja umat
Islam dari berbagai kalangan, dari kelompok Islam tradisionalis maupun Islam
modern dengan berbagai variannya. Alasan utamanya adalah karena masa klasik
merupakan masa di mana umat Islam meraih kesuksesan yang luar biasa di berbagai
bidang kehidupannya. Dalam konteks peradaban, masa klasik sejarah Islam
merupakan masa di mana tidak ada satu peradaban pun di dunia yang meraih
kemajuan seperti yang dicapai peradaban Islam. Bahkan, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa peradaban Islam pada masa klasik merupakan satu-satunya
referensi bagi peradaban Barat yang hingga kini masih menjadi pemeran utama
dalam film peradaban dunia. Peradaban Islam pada masa klasik adalah bintang
yang menerangi dunia dari kegelapan peradaban. Ia adalah mercusuar peradaban
dunia.
Banyak sekali pertanyaan yang muncul terkait
dengan pernyataan bahwa peradaban Islam masa klasik merupakan mercusuar
peradaban dunia. Di antaranya adalah bagaimana gambaran peradaban Islam masa
klasik ini? Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi kecemerlangan
peradaban Islam masa klasik? Apa saja monumen-monumen penting peradaban Islam yang
menjadi mercusuar peradaban dunia ini? Dan seberapa besar peradaban Islam
memberikan pengaruhnya terhadap kemajuan peradaban Barat yang sampai detik ini
masih menjadi penguasa peradaban dunia?
Namun, pembahasan gambaran peradaban Islam
masa klasik secara keseluruhan dari masa Rasul hingga masa Bani Abbasiyah,
memerlukan uraian yang sangat panjang. Oleh karena itu, makalah ini hanya akan
membahas salah satu fase yang sangat penting dalam masa klasik, yaitu masa
Rasul dan Khulafaurrasyidin. Sebagai fase awal, fase ini memiliki tingkat
urgensinya yang tinggi dan posisi yang sangat strategis karena ia merupakan
dasar dan pondasi bagi perkembangan dan kemajuan peradaban yang dicapai
kemudian pada fase-fase selanjutnya, yaitu fase bani Umayah dan Bani Abbasiyah,
Dari pembatasan pembahasan di atas, maka
pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah ini adalah bagaimana gambaran
peradaban Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin sebagai pondasi mercusuar
peradaban dunia?
B. Peradaban Islam Masa Rasul dan Khulafaurrasyidin
1. Penyebaran Dakwah Islam
Pada masa permulaan Islam, nabi Muhammad Saw
melancarkan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal ini, selain karena belum
adanya perintah untuk berdakwah secara terang-terangan, juga karena lingkungan
yang secara politis belum kondusif. Pada masa ini, yang menerima dakwah Nabi
untuk memeluk Islam adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat seperti
isterinya sendiri, Khadijah dan keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Kemudian
dilanjutkan dengan para tokoh masyarakat Quraisy, seperti Abu Bakar As-Shiddiq
yang kemudian diikuti oleh kelima orang lainnya, yaitu Utsman bin Affan, Zubair
bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqasy, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin
Ubaidillah. Setelah itu, para tokoh Quraisy lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Al
Jarrah dan Al Arqam bin Abi Al Arqam yang dilanjutkan dengan orang-orang dari
kalangan hamba sahaya dan fakir miskin. Mereka inilah yang disebut dengan
kelompok As-Sabiqun al awwalun[6].
Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun berdakwah
secara sembunyi-sembunyi, turun perintah Allah Swt kepada Nabi agar melakukan
dakwah secara terang-terangan. Tentunya, selain karena perintah Allah di atas,
keadaan politik Islam waktu itu sudah menguat, meskipun masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, Nabi pun dengan keberaniannya yang luar biasa dan gaya bahasa
yang meyakinkan mengatakan kepada keluarga Abdul Muthalib pada suatu undangan
makan yang dipersiapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau berkata: “Wahai Bani Abdul
Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah mendapatkan seorang Arab
pun yang datang kepada kaumnya dengan membawa sesuatu yang lebih baik dari apa
yang saya bawa kepada kalian. Sesungguhnya saya datang membawa kebaikan untuk
kalian di dunia dan akhirat” [7].
Namun, hal ini bukan berarti dakwah Nabi
berjalan tanpa hambatan. Bahkan sejak diproklamirkannya dakwah Islam secara
terang-terangan, kaum Quraisy yang sebelumnya kurang memberikan respon negatif,
berubah secara drastis menjadi memusuhi Nabi dan menentang dakwah yang
dijalankannya itu. Secara keagamaan, mungkin pengaruh yang ditimbulkan oleh
dakwah secara terang-terangan ini tidak sebesar pada aspek politik, selain
tentu saja materi. Kaum Quraisy merasa khawatir jika dakwah Islam semakin
diterima oleh masyarakat Arab akan berpengaruh pada kehancuran agama mereka
yang diwariskan secara turun temurun dan juga keuntungan materi yang didapat
sebagai imbalan dari posisi penjaga dan pengaman Ka’bah. Oleh karena itu,
segala daya dan upaya dilancarkan oleh kaum Quraisy untuk membendung dakwah
Nabi, dari hanya sekadar mengejek hingga menyiksa sahabat-sahabat beliau.
Keadaan seperti ini
tentu sangat memukul hati dan kejiwaan Nabi dan para sahabat beliau yang lain. Untung saja ada Abu Thalib, paman beliau yang
selalu menolong dan melindungi dakwahnya. Keberadaan Abu Thalib di sisi Nabi
sangat mempengaruhi dakwah Islam karena kedudukannya secara politis di mata
kaum Quraisy sangat tinggi sehingga bagaimanapun sepak terjang Nabi yang
membuat geram kaum Quraisy dapat terlaksana tanpa adanya hambatan dan dakwah
Islam pun terus berjalan.
2. Hijrah ke Habasyah
Kalau sepak terjang nabi Muhammad Saw dalam
dakwah Islam berjalan tanpa hambatan berarti, lain halnya yang terjadi dengan
para sahabat beliau. Para kafir Quraisy melancarkan penolakannya terhadap
dakwah Islam dengan menyiksa para sahabat Nabi seperti Ammar bin Yasir dan
kedua orang tuanya yang dijemur di tengah teriknya sinar matahari dan Bilal bin
Rabah yang selain muka dan punggungnya ditimpakan ke pasir panas di terik matahari,
juga dadanya dibebani batu besar.
Melihat keadaan para sahabatnya yang
memprihatinkan itu, Nabi pun menyarankan mereka untuk melakukan hijrah ke
Habasyah. Sebenarnya banyak tempat yang bisa jadi alternatif lokasi hijrah,
namun setelah dipertimbangkan dengan matang, akhirnya pilihan jatuh kepada
Habasyah. Dan pilihan Habasyah sebagai tujuan hijrah dilakukan karena alasan
politis karena rajanya pada waktu itu, Negus, adalah seorang yang terkenal adil
dan bijaksana meskipun beragama Nasrani sehingga diharapkan dapat melindungi
para sahabatnya dari gangguan kaum Quraisy. Adapun kaum muslimin yang berhijrah
ke Habasyah untuk mendapatkan perlindungan politik ini pada awalnya berjumlah
14 orang, 10 laki-laki dan 4 perempuan. Kemudian bertambah menjadi 83 laki-laki
dan 19 perempuan di luar anak-anak yang keseluruhannya berasal dari kaum
Quraisy. Di antara mereka terdapat Utsman bin Affan dan isterinya Ruqyyah binti
Rasulillah, Zubair bin Al Awwam, Abdullah bin Auf, Ja’far bin Abi Thalib
beserta isterinya dan ‘Amr bin Sa’id bin Al ‘Ash bersama saudaranya Khalid bin
Sa’id bin Al ‘Ash[8].
Sebagaimana yang diperkirakan oleh Nabi,
pilihan politik Habasyah sebagai tempat hijrah adalah pilihan yang sangat
tepat. Karena, meskipun kaum kafir Quraisy berusaha mempengaruhi Negus, raja
Habasyah dengan mendatanginya dan menjelek-jelekan kaum muslimin yang melakukan
hijrah tersebut agar melakukan pengusiran terhadap mereka, hal ini sia-sia
saja. Mereka pun pulang dengan tangan hampa dan rasa kecewa yang mendalam[9].
3. Hijrah ke Yatsrib
Yatsrib adalah suatu tempat yang dihuni oleh
orang-orang Yahudi yang datang dari Palestina ketika mereka terusir pada
peristiwa invasi Hadrian dan orang-orang Aus dan Khazraj yang berasal dari
salah satu suku Arab Selatan. Di antara mereka terjalin hubungan yang kuat di
mana pemikiran-pemikiran keagamaan yang dibawa oleh orang-orang Yahudi tidak
mendapatkan penolakan sebagaimana yang terjadi di Mekah pada saat orang-orang
Quraisy menolak kehadiran Islam, meskipun mereka tidak serta merta memeluk
agama Yahudi.
Pada tahun kesepuluh dari usia kenabian,
Rasulullah dihadapkan pada kenyataan pahit yang harus diterimanya, yaitu
meninggalnya Abu Thalib, pamannya dan Khadijah, isterinya, dua orang yang
selalu membantunya dalam mengemban misi dakwah Islam. Karena dengan wafatnya
kedua orang tersebut, berbagai derita datang silih berganti dari orang-orang
musyrik Quraisy, terutama Abu Lahab bin Abdul Muthalib, Al Hakam bin al ’Ash
dan ‘Uqbah bin Abu Mu’ith bin Abu ‘Amr bin Umayyah. Menurut Hasan Ibrahim
Hasan, hal ini terjadi karena rumah mereka yang berdekatan dengan rumah Nabi,
sehingga dengan sangat berani mereka melemparkan kotoran saat beliau sedang
shalat dan menaruhnya pada makanan beliau.[10]
Kondisi yang dialami nabi Muhammad Saw di
atas membuat beliau berpikiran untuk mencari alternatif lain demi menunjang
tugas dakwah yang diembannya, sampai akhirnya keputusan untuk hijrah pun
diambil. Kota Thaif pada awalnya menjadi lokasi hijrah tersebut. Tapi ketika
mendapatkan penolakan dari penduduk setempat yang melempari beliau dengan batu,
akhirnya beliau memutuskan untuk menjadikan kota Yatsrib sebagai pilihan hijrah
berikutnya.
Kali ini keputusan yang diambil oleh Nabi
sangat tepat karena sambutan yang diberikan penduduk Yatsrib terhadap dakwah
beliau sangat hangat. Mereka ternyata telah mengetahui pertentangan yang
terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir Mekah melalui orang-orang
Aus yang datang ke Mekah pada tahun kesepuluh kenabian untuk menjalin
persekutuan dengan orang-orang Quraisy guna menghadapi orang-orang Khazraj yang
pada waktu itu antara orang-orang Aus dan orang-orang Khazraj sedang dalam
pertikaian di mana perang untuk memperebutkan kursi kepemimpinan di Yatsrib di
antara mereka kerap terjadi, dan yang terakhir adalah perang Bu’ats yang
dimenangkan oleh orang-orang Aus. Pada waktu itu, ada yang menerima Islam dan
ada juga yang menolaknya.
Sementara itu, orang-orang Khazraj pun
mengirim utusannya ke Mekah untuk berhaji. Di sana, keenam dari mereka bertemu
dengan Nabi dan mendengarkan dakwah beliau yang akhirnya menerimanya karena
melihat kesesuaian ajaran-ajarannya
dengan ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari orang-orang Yahudi di Yatsrib.
Sesampainya di Yatsrib, mereka pun menceritakan tentang Rasulullah Saw kepada
penduduk Yatsrib dan mereka pun menerimanya dengan penuh gairah dan semangat
untuk menerima dakwah Islam.
Kondisi politik yang sangat kondusif ini
diakhiri dengan hijrahnya nabi Muhammad Saw beserta sahabatnya ke Yatsrib.
Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa sebelum keputusan hijrah ke Yatsrib ini
diambil, pada tahun ketigabelas kenabian, beliau diundang oleh 73 (tujuh puluh
tiga) orang Yatsrib agar Nabi berhijrah ke sana dengan maksud hendak membai’at
beliau dan menjadikannya sebagai pemimpin mereka.[11]
Mengenai pertemuan nabi Muhammad Saw dengan
delegasi dari Yatsrib ini, A. Hasjmy yang menyebut jumlahnya 72 (tujuh puluh
dua) orang dengan selisih 1 (satu) orang dengan yang dikatakan oleh Hasan
Ibrahim Hasan, bahwa pertemuan tersebut melahirkan suatu ikrar yang disebut
dengan “Ikrar Aqabah” yang berbunyi sebagai berikut:
Demi
Allah, kami akan membela Engkau ya Rasul, seperti halnya kami membela isteri
dan anak-anak kami sendiri. Sesungguhnya kami adalah putra-putra pahlawan yang
selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar kami, ya Junjungan”.[12]
4. Pendirian Negara Madinah
Kota Yatsrib setelah hijrahnya nabi Muhammad
Saw dan para sahabatnya dari Mekah pada tahun 622 M. diganti menjadi Kota Nabi
atau Madinatunnabi yang lebih dikenal dengan nama Madinah. Komposisi penduduk
Madinah setelah hijrah pun berubah menjadi tiga kelompok, kaum Muhajirin, yaitu
orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, kaum Anshar, yaitu penduduk
Madinah yang telah masuk Islam dan kaum Yahudi, yaitu penduduk Madinah yang
tetap berada dalam agama mereka.
Dalam komposisi yang seperti disebutkan di
atas, tentunya diperlukan suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi yang
tumbuh dari masyarakat Madinah yang bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam.
Oleh karena itulah, seperti ingin mendeklarasikan berdirinya negara Madinah,
nabi Muhammad Saw membuat suatu piagam yang kemudian disebut dengan Piagam
Madinah. Sebagaimana dijelaskan oleh Akram Dhiyauddin Umari, Piagam Madinah
terdiri dari dua teks, yang pertama adalah dokumen perjanjian dengan Yahudi dan
yang kedua adalah dokumen perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan
kalimat lain, isi Piagam Madinah merupakan keputusan politik nabi Muhammad Saw
dalam mengatur hubungan sosial kemasyarakatan, baik antara sesama muslim maupun
dengan masyarakat non-muslim dalam suatu institusi politik yang disebut dengan
Negara Madinah.[13]
Mengenai penyebutan Madinah sebagai Negara
Madinah, Jaih Mubarok melihat adanya keselarasan antara unsur-unsur yang ada
dalam suatu negara dalam Konvensi Montevideo tahun 1993 dengan unsur-unsur yang
ada di Madinah sehingga layak disebut Negara Madinah di mana ada penduduk yang
menetap, yaitu penduduk Yatsrib yang terdiri dari Muhajirin, Ashar dan Yahudi.
Kemudian ada wilayahnya, yaitu Yatsrib atau Madinah. Ada pemerintahannya, yaitu
Nabi sebagai kepala pemerintahannya dengan masjid sebagai pusat
pemerintahannya. Dan ada hubungan dengan negara-negara lain, yaitu hubungan
dengan Habasyah (Etiopia, Mekah, dan hubungan lain baik hubungan damai maupun
perang).[14]
5. Pentingnya Nilai-nilai Syura
Jika demokrasi adalah sistem politik
Barat yang kini digunakan oleh sebagian besar negara di dunia, maka sebenarnya
prinsip-prinsip yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip
yang ada di syura—untuk tidak dikatakan sama.
Dalam Islam, syura adalah suatu
sistem politik yang digunakan untuk mengatasi problema dan permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat Islam. Pada masa Rasul, syura ini dilakukan baik dalam
lingkungan keluarga sebagai komunitas masyarakat paling kecil hingga negara di
mana Muhammad Saw kerap bermusyawarah dengan para sahabatnya, terutama yang
berkenaan dengan masalah muamalah.
Pada masa Khulafaurrasyidin, syura
juga terus dilakukan oleh para khulafaurrasyidin, baik dalam menetapkan solusi
atas permasalahan-permasalahan sehari-hari maupun yang secara khusus
berhubungan dengan masalah politik dan kepemerintahan. Untuk yang terakhir ini
dapat kita lihat pada pemilihan mereka sebagai khalifah sepeninggal Rasul.
Tentunya, sebagai pengecualian, pembai’atan Ali yang tidak melalui syura karena
kondisi waktu itu yang mulai menampakkan perebutan kekuasaan dengan cara-cara
yang kurang bijaksana.
Ketika nabi Muhammad Saw meninggal
dunia pada tahun 632 M., beliau tidak menunjuk salah seorang dari sahabat pun
untuk menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu para
sahabat pun melakukan syura untuk menentukan pemimpin umat Islam setelah Rasul
wafat. Meskipun syura yang dilaksanakan umat Islam terutama oleh golongan
Muhajirin dan Anshar cukup alot akhirnya dipilihlah Abu Bakar sebagai khalifah
pertama.[15]
Setelah memimpin umat Islam selama 2
(dua) tahun, Abu Bakar meninggal dunia pada 634 M. Namun sebelumnya, ketika
sakit menjelang ajal tiba, ia juga melakukan syura dengan para sahabatnya
dengan menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya sebagai khlaifah yang
langsung diterima oleh kaum muslimin. Dalam hal ini, Hasan Ibrahim Hasan
menulis bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya
bermusyawarah dengan para sahabat, di antara mereka adalah Abdurrahman bin
‘Auf, Utsman bin ‘Affan, Asid bin Khudhair dan Sa’id bin Zaid.[16]
Menjelang kematiannya karena dibunuh
setelah memegang jabatan sebagai khalifah selama sepuluh tahun sejak 634-644 M,
Umar juga melakukan syura. Namun berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menunjuk
seorang sahabat sebagai penggantinya tapi ia membentuk semacam wakil umat Islam
sebanyak enam orang sahabat dan meminta mereka memilih seorang sebagai khalifah
penggantinya. Keenam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad
bin Abi Waqqasy dan Abdurrahman bin Auf. Melalui syura ini, Usman terpilih
menjadi khalifah ketiga setelah bersaing ketat dengan Ali.[17]
6. Kepolisian
Konsep keamanan negara dan
pemerintahan telah menjadi perhatian peradaban Islam pada masa Rasul dan
Khulafaurrasyidin. Konsep ini menjadi lebih sistemik dengan didirikannya sistem
kepolisian pada masa Umar bin Khattab
khalifah dengan menjalankan sistem jaga malam. Pada masa Ali bin Abi
Thalib, kepolisian menjadi lebih berkembang dengan didirikannya struktur
kepolisian di mana ada seorang kepala kepolisian yang bertanggungjawab terhadap
keamanan negara.[18]
7. Peradilan
Pada masa Rasul belum ada lembaga
yang kita sebut sekarang dengan nama Peradilan, meskipun beliau telah
mengijinkan para sahabatnya untuk memutuskan perkara-perkara atau memutuskan
hukum dalam masyarakat berdasarkan Al-Quran, Al Hadits dan ijtihad. Di antara
para hakim yang terkenal pada masa Rasul, sebagaimana dikatakan Hasan Ibrahim
Hasan, adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin
Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas.[19]
Begitu juga dengan masa Abu Bakar.
Lembaga peradilan baru ada pada masa
Khulafaurrasyidin yang didirikan oleh Umar bin Khattab setelah Islam tersebar
luas. Ia lah yang pertama kali mengangkat hakim di wilayah-wilayah Islam.
Selain mengangkat para hakim, Umar juga telah membuat undang-undang untuk para
hakim yang harus dilaksanakan dalam menetapkan hukum. Di antaranya adalah bahwa
seorang hakim harus berlaku adil dan berpegang teguh kepada kebenaran. Hasan
Ibrahim Hasan mengatakan bahwa peradilan
pada masa Khulafaurrasyidin bersifat independen dan sangat berwibawa dan
para hakim yang diangkat adalah orang-orang yang selain luas ilmunya, juga
memiliki sifat taqwa, wara’ dan adil.[20]
8. Ekonomi Islam
Pada umumnya keadaan ekonomi Islam
pada masa Rasul ini tidak berbeda dengan keadaan ekonomi pada masa Pra Islam di
mana perekonomian didominasi oleh bidang perdagangan. Karena situasi dan
kondisi pada waktu itu yang kerap dipenuhi dengan peperangan antara kaum
muslimin dengan non-muslim, maka aktivitas perdagangan ini tidak sehebat pada
masa pra Islam. Ibn Hisyam, Sejarawan muslim abad ke-3 Hijriyah, mencatat tidak
kurang dari 20 perang telah terjadi antara kaum muslimin dan non-muslim selama
pemerintahan Islam di Madinah[21].
Namun hal ini tidak berarti ekonomi Islam
tidak memiliki nilai tambah jika dibandingkan dengan peradaban Arab pra Islam.
Karena Rasulullah, setelah tiba di Madinah dan menjadi pemimpin pemerintahan di
sana telah melakukan langkah-langkah strategis dan pintar dengan meletakkan
dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara berdasarkan prinsip dan nilai-nilai
yang digariskan dalam Al-Quran sebagai sumber nilai dalam kehidupan masyarakat
Islam, termasuk dalam bidang ekonomi ini.
Prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam yang
menjadi dasar penerapan ekonomi dan keuangan yang diterapkan Rasulullah Saw dan
para sahabatnya secara umum ada dua yaitu:
- Manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani atau materiil dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, umat Islam tidak diperintahkan untuk memikirkan sisi akhirat saja dengan mengesampingkan sisi dunianya atau hanya mementingkan kehidupan dunia saja tanpa memiliki orientasi ke kehidupan akhirat. Dengan kalimat lain, umat Islam mempunyai hak penuh untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi di samping kenikmatan dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya:
Dan carilah
pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan di akhirat dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari kebahagiaan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu.[22]
- Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen, umat Islam tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang membawa kerusakan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sebagai konsumen, umat Islam dilarang mengonsumsi makanan yang haram seperti bangkai, darah dan daging babi dan sebagai produsen, mereka dilarang melakukan upaya-upaya mengumpulkan harta dan memperkaya diri dengan jalan-jalan pintas seperti perjudian, pencurian, penyelundupan, penggelapan uang, korupsi dan lain-lain. Singkatnya, aktivitas ekonomi dilakukan demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Berkenaan dengan prinsip kemaslahatan dalam bidang ekonomi ini, Allah SWT banyak memberikan petunjuk dan arahan kepada umat Islam dalam Al-Quran. Di antara petunjuk dan arahan-Nya, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengutuk para pedagang yang curang dengan mengancamnya dengan neraka, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, mengancam para penimbun harta dengan neraka dan lain-lain.
Inilah yang membedakan antara ekonomi Arab
masa Islam dengan masa Pra Islam. Selain itu, yang menjadi perbedaan antara
ekonomi Arab masa Islam dan pra Islam adalah bahwa pada masa Islam, institusi
ekonomi baru dilahirkan. Institusi ini disebut dengan Baitul Mal. Pada masa
Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, Baitul Mal yang
berfungsi untuk mengumpulkan keuangan Negara untuk kepentingan masyarakat ini
berlokasi di mesjid. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal sudah
merupakan bangunan tersendiri yang dibangun di Madinah sebagai pusat negara dan
di provinsi-provinsi lainnya sebagai cabangnya.
Adapun sumber keuangannya ada yang berasal
dari zakat, baik zakat fithrah maupun
zakat harta. Zakat fithrah ini berupa makanan-makanan pokok yang dikeluarkan
oleh setiap muslim sebelum menunaikan shalat idul fithri. Sedangkan zakat harta
adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum muslimin jika harta mereka telah sampai
pada nishab, yaitu jumlah minimal harta yang diwajibkan pada seorang
muslim untuk membayar zakat. Hasil pengumpulan zakat ini diberikan kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam Islam, terdapat 7 (tujuh) golongan
yang berhak menerima zakat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin,
para pengurus zakat, para muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang-orang
yang berhutang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang yang
berada dalam perjalanan. [23]
Selain dari zakat, sumber keuangan Baitul Mal
berasal dari ghanimah atau nafl (hasil rampasan perang yang
didapat dengan cara paksa setelah menang perang). Ghanimah atau nafl
ini 4/5 (empatperlima) nya dibagikan kepada kaum muslimin yang ikut berperang.
Sedangkan 1/5 (seperlima) nya lagi diberikan untuk Rasul beserta keluarganya
dan kepentingan kaum muslimin, untuk kaum kerabat, untuk anak-anak yatim dan
orang-orang miskin.
Mirip dengan ghanimah, sumber keuangan
lain Baitul Mal adalah Fay’ (harta yang diperoleh setelah perang dengan
cara damai). Fay’ ini diserahkan langsung kepada Rasul yang digunakan
untuk kepentingan negara dan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Ada pula sumber keuangan Baitul Mal yang
lain, yaitu yang disebut dengan kharaj (pajak tanah) dan jizyah
(upeti) yang diambil dari non-muslim dan ahlul kitab sebagai jaminan
perlindungan jiwa, harta, kebebasan menjalankan ibadah dan pengecualian dari
wajib militer. Pada masa Rasul, pajak tanah ini dipungut ketika wilayah Khaibar
ditaklukkan di mana pemilik tanah yang mengelola tanahnya diwajibkan memberikan
50 % dari hasil produksinya. Sedangkan besarnya upeti adalah satu dinar
pertahun bagi setiap orang laki-laki yang sanggup membayarnya. Namun,
perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa atau
sakit lainnya dibebaskan dari kewajiban ini. [24]
Sumber keuangan Baitul Mal juga berasal dari
hasil tebusan para tawanan perang yang memiliki banyak harta. Adiwarman Azwar
Karim menulis bahwa Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan untuk setiap orang
pada perang Badar sebesar 4.000 dirham.[25]
Selain itu semua, ada juga sumber keuangan
Baitul Mal yang lain, yaitu harta karun, harta yang ditinggalkan oleh kaum
muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, harta wakaf, sedekah,
denda-denda dan pajak khusus bagi orang Islam yang kaya untuk menutupi
kekurangan keuangan negara. Untuk yang
terakhir ini, Adiwarman mengatakan bahwa Rasulullah pernah menjalankannya pada
saat terjadinya perang Tabuk.[26]
Dalam hal pendistribusian harta dari Baitul
Mal, pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, konsepnya
masih sederhana yaitu bahwa setiap orang Islam harus mendapatkan haknya yang
sama dan adil sehingga kemiskinan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Maka
dari itu, harta dari Baitul Mal selalu habis karena langsung didistribusikan
kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Pada masa Umar bin Khattab, karena semakin
luasnya wilayah ekspansi Islam dan pendapatan negara mengalami peningkatan yang
signifikan, harta Baitul Mal tidak langsung dihabiskan tetapi sebagiannya
disimpan baik untuk pembayaran gaji pegawai, untuk keadaan darurat maupun
kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Oleh karena itu, Umar pun menunjuk
Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid Al Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[27]
Selain membentuk bendahara negara, untuk
menertibkan pendistribusian harta dari Baitul Mal, Umar juga telah membentuk
departemen-departemen yang diperlukan pada masa itu. Adiwarman menyebutkan 4
(empat) departemen yang didirikan Umar, yaitu Departemen Pelayanan Militer,
yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang
terlibat dalam peperangan, Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang
bertanggungjawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif,
Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang mendistribusikan dana bagi
para penyebar dan pengembang ajaran Islam seperti juru dakwah dan keluarganya
dan Departemen Jaminan Sosial, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana
bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan seperti orang yang fakir, miskin dan menderita.[28]
Dalam rangka menjalankan salah satu fungsi negara
dalam bentuk jaminan sosial, Umar membentuk suatu komite yang terdiri dari Aqil
bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk membuat laporan
sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya dari
keluarga-keluarga Nabi, kerabatnya, para sahabat, para pejuang, wanita,
anak-anak hingga budak untuk diberikan tunjangan sosial. Jumlah tunjangan yang
diberikan setiap tahun ini tidak sama antara satu golongan dengan yang lainnya.
Berkenaan dengan tunjangan sosial ini Adiwarman menulis:
Orang-orang
Mekah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga
Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak
memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru
lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping
itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pension berupa gandum, minyak, madu dan
cuka dalam jumlah yang tetap”.[29]
Pada masa pemerintahan Utsman bin
Affan keadaan ekonomi Islam tidak mengalami perubahan yang signifikan dan
sebagaimana khalifah sebelumnya, ia tetap memperhatikan sistem pemberian
bantuan dan santunan kepada masyarakat. Namun, banyak kebijakan Usman yang
menguntungkan keluarganya sehingga menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam
pada sebagian besar kaum muslimin yang mengakibatkan timbulnya kekacauan
politik dan berakhir dengan terbunuhnya Usman.
Ali bin Abi Thalib, sebagai
kkhalifah terakhir, meskipun negara berada dalam suasana politik yang tidak
menentu, tetap berusaha menerapkan ekonomi Islam dengan sebaik-baiknya demi
kesejahteraan umat Islam. Dalam suatu riwayat, sebagaimana ditulis Adiwarman,
Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Ia juga pernah
memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya melakukan tindak pidana korupsi.[30]
Namun, karena pertentangan politik
yang begitu tajam antara pengikut Ali dan Muawiyah, Ali menetapkan untuk
menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut, terutama yang berada di
sepanjang garis pantai Syria, Palestina dan Mesir karena wilayah-wilayah ini berada
dalam kekuasaan Muawiyah yang menolak kepemimpinan Ali. [31]
9. Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam Islam, Al Quran selain sebagai sumber
ajaran-ajaran agama Islam, juga merupakan referensi pertama dan utama ilmu
pengetahuan bagi umat Islam. Hal ini karena Al-Quran berisi segala macam
pengetahuan, baik berupa pengetahuan tentang alam ghaib, seperti tentang
keberadaan Allah sebagai pencipta alam, kisah-kisah nabi-nabi dan umat-umat
terdahulu, maupun berupa ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan
sosial politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
selain perintah untuk mengenal Tuhannya dan melakukan ibadah kepada-Nya, dalam
Al-Quran juga terdapat perintah kepada manusia, para hambanya untuk menggunakan
akal pikirannya dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Setelah Al-Quran, Hadis menempati posisi
berikutnya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih
Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Yusuf Qardhawi
menguraikan dengan sangat detail posisi Hadis yang sama dengan Al-Quran, yaitu
sebagai sumber ilmu pengetahuan yang meliputi ilmu agama dan ilmu-ilmu
kemanusiaan serta alam seperti ilmu
pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu fisika, ilmu lingkungan dan
lain-lain[32].
Melihat peran penting ilmu pengetahuan bagi
manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai pengelola alam (Khalifatullah
fil ardl), nabi Muhammad Saw sejak permulaan Islam telah diperintahkan oleh
Allah SWT untuk membaca, yaitu ketika wahyu Al-Quran yang pertama kali turun
kepadanya yang dilanjutkan dengan surat Al-Qalam (Pena) yang mengisyaratkan
perintah kepada hamba-Nya untuk menulis.
Dan untuk mengembangkan pengetahuan yang
dimilikinya berdasarkan wahyu yang turun kepadanya dan pengalamannya dalam
kehidupan sehari-hari, nabi Muhammad Saw lalu membuka lembaga pendidikan
pertama dalam sejarah Islam, di rumah salah seorang sahabatnya yang disebut
dengan Darul Arqam. Dari sinilah kegiatan ilmu pengetahuan Islam disebarluaskan di kalangan
para sahabat beliau. Musyrfiah Sunanto mengatakan bahwa Rasul pada waktu itu
selain mengajarkan tentang keimanan, mengajarkan bacaan-bacaan Al-Quran dan
penghayatannya, beliau juga telah mengajarkan kepandaian seperti tulis-menulis
dengan menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk membuat huruf dengan mengambil
contoh dari huruf bangsa Himyar.[33]
Aktivitas keilmuan pada
masa Rasul begitu intens. Setiap kesempatan yang ada selalu digunakan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada saat kemenangan umat Islam dalam perang
Badar yang dipimpin Rasulullah pada bulan Ramadlan tahun kedua Hijriyah, para
tawanan yang berjumlah 70 orang, di antara mereka yang pandai menulis dapat
menjadi bebas dengan syarat mengajar anak-anak umat Islam kepandaian menulis.
Yusuf Qardhawi menulis, bahwa 1 orang tawanan mengajar 10 orang anak-anak umat
Islam di Madinah sebagai syarat pembebasan mereka. [34]
Selain kepandaian
membaca dan menulis, Rasulullah Saw juga menanamkan kepandaian bahasa bagi para
sahabatnya. Berkenaan dengan hal ini, Zaid dan Nabighah bin Tsabit diminta Nabi
untuk mempelajari bahasa Suryani untuk dijadikan sebagai penerjemah.[35]
Selanjutnya,
berkenaan dengan aktivitas keilmuan ini, masjid selain sebagai tempat
beribadah, juga menjadi tempat umat Islam pada jaman Nabi untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan Islam. Dari sinilah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam terkemuka
seperti Umar bin Khattab sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Ali bin Abi
Thalib sebagai budayawan, Abdullah bin Umar sebagai ahli hadis, Abdullah bin
Abbas sebagai ahli tafsir dan sejarah dan Aisyah sebagai ahli hadis. Pada masa
ini, Nabi membangun dua masjid, yang pertama adalah Masjid Quba’ yang dibangun ketika beliau tiba
di Madinah, yaitu pada tahun 622 M./ 1 H. Masjid ini, meskipun tidak begitu
besar, namun arsitekturnya menjadi model pada pembangunan masjid-masjid
selanjutnya. Yang kedua adalah Masjid Madinah
yang dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Kedua masjid ini hingga sekarang masih
ada bahkan diperbesar dan diperindah sebagai penghargaan kepada nilai-nilai
historis dan peradaban yang terkandung di dalamnya.
C. Penutup
Dari
uraian-uraian di atas, dapat dilihat penting dan strategisnya posisi fase Rasul
dan Khulafaurrasyidin dalam era panjang masa klasik sebagai mercusuar peradaban
dunia. Selain itu hal penting yang bisa dijadikan kesimpulan adalah bahwa
unsur-unsur yang diperlukan dalam membangun peradaban Islam pada masa Rasul dan
Khulafaurrasyidin, di antaranya adalah politik, ekonomi dan pendidikan. Tanpa
ketiga hal tersebut, maka kembalinya kejayaan peradaban Islam tidak akan pernah
diraih.
Yang juga
menjadi kesimpulan penulis di sini adalah bahwa peradaban Islam masa Rasul dan
Khulafaurrasyidin tidak terbentuk tanpa adanya interaksi dengan lingkungan
sosial, politik dan peradaban-peradaban lain yang lahir dan hidup sebelum dan
pada saat kehadiran Islam di muka bumi.
Jika sejarah itu penting dan sangat berguna bagi umat Islam, maka
belajar dari sejarah peradaban Islam masa klasik, sebagai sebuah rekomendasi,
penulis merekomendasikan untuk seluruh umat Islam, terutama umat Islam di Indonesia agar memiliki penguasaan
dan kompetensi dalam ketiga bidang ini jika umat Islam pada masa kini
menginginkan kembalinya kejayaan peradaban Islam di masa mendatang. Wallahu
a’lam bisshawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasjmy,
A. Sejarah Kebudayaan Islam. Bulan Bintang. Jakarta. Cet. kelima. 1995.
Umari, Akram Dhiyauddin. Masyarakat Madani: Tinjauan Historis
Kehidupan Zaman Nabi (Terj.).
GIP. Jakarta. Cet. ke 1. 1999.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.
Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet. ke 16.
2004.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. Kalam Mulia. Jakarta. Cet. ke
1. 2002.
Ibn
Hisyam, As Sirah an nabawiyyah, jilid 1, 2 dan 3, Darul Jil, Beirut,
Cet. ke 1, 1991.
Al Syarqawi, Iffat. Fi falsafat al hadlarah al islamiyyah.
Darunnahdlah al arabiyyah. Beirut. Cet. ke 4. 1985.
Mubarok,
Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Pustaka Bani Quraisy. Bandung. Cet. ke 1.
2004.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah
Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Prenada Media. Jakarta. Cet. ke 1. 2003.
Majid, Abdul Mun’im. Sejarah Kebudayaan Islam (Terj.).
Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997.
Ibn Khaldun. Al Muqaddimah. Darul Ma’arif. Tunis. Cet. ke 1.
1991.
Qardlawi, Yusuf. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan (Terj.). Danakarya. Surabaya. Cet. ke 1. 1997.
Pasya, Ahmad Fuad. At-Turats al ‘Ilmi lil Hadlarah al Islamiyyah
wa makanatuha fi tarikhil ‘ilmi wal hadlarah. Darul Ma’arif. Shan’a’. Cet.
ke 2. 1984.
Farrukh, Umar. ‘Abqariyyatul ‘arab fil ‘ilmi wal falsafah.
Mansyurat al Maktabah al ‘ashriyyah. Beirut. Cet. ke 4. 1985.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan
Islam.Cet. IX . 1997.
TENTANG
PENULIS
Aip Aly Arfan, MA, adalah Dosen Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI) Indonesia Jakarta dalam bidang ilmu Sejarah dan Peradaban
Islam yang kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam
(PAI). Dilahirkan di Jakarta, pada 24 Januari 1975, memperoleh gelar Magister
dalam bidang Peradaban Islam di Universitas Zaitunah, Tunis, Tunisia pada tahun
2003. Sejak tahun 2005 menjadi Dosen di Institut Agama Islam Al-Aqidah (IAIA)
Jakarta dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktur Pascasarjana IAIA
Jakarta pada tahun 2007-2008. Tulisan-tulisannya antara lain: Pemikiran
Fiqih Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, dalam Jurnal Dirasat, vol. 1,
(2006), Islam Modern di Tunisia: Studi Tentang Pemikiran Pembaharuan Syaikh
Thahir bin ‘Asyur dalam Jurnal
Dirasat, vol. 2 (2007), Rekonstruksi Peradaban Islam: Pandangan Ziauddin
Sardar, dalam Jurnal Kordinat, vol. X, no. 2 (2009), Pemikiran Modern
Dalam Islam (PPMDI), Buku Ajar STAI Indonesia (2012), Pendekatan Sejarah
dalam Studi Islam: Studi Tentang Urgensi dan Eksistensinya dalam Sejarah Islam,
dalam Jurnal Kordinat, vol. XIII, no. 1 (2013).
[1]
Penulis adalah Dosen Sejarah dan Peradaban Islam dan Ketua Program Studi
Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO)
Jakarta.
[2]
Azyumardi Azra, Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal
tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab, dalam Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandun, Penerbit Nuansa,
Cet. Pertama: 1998): 119.
[3]
Azyumardi Azra, Penelitian Non-Normatif tentang Islam: 119.
[4]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, Cet. Ke-4: 2001: 20)
[5]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah: 26.
[6]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid I,(Jakarta: Kalam
Mulia): 149.
[7]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 150.
[8]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 164.
[9]
Lihat kisah provokasi kaum Kafir Quraisy kepada Negus dalam Sejarah dan
Kebudayaan Islam, jilid 1, h. 165-167.
[10]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 169.
[11]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 179.
[12]
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-5, tahun
1995): 49.
[13]
Lihat untuk lebih jelasnya, Akram Dhiyauddin Umari dalam bukunya Masyarakat
Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, (Terj.) Cet. ke 1, GIP,
tahun 1999.:122-133
[14]
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraiys, cet. ke-1,
2004: 32.
[15]
Lihat kisah pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama selengkapnya dalam
tulisan Ibn Hisyam, As sirah an nabawiyyah, jilid VI, Darul jil, Cet. ke
1, 1991, : 77-78
[16]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II : 408.
[17]
Kisah syura ini secara lengkap dapat dilihat dalam tulisan Hasan Ibrahim Hasan,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II: 483-488.
[18]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2: 329.
[19]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2: 371.
[20]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2: 375.
[21]
Di antara perang-perang ini adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang
Dzaturriqa’, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, dan Perang Bani Musthalaq.
[22]
Q.S. Al Qashas [28]: 77.
[23]
Q.S. At Taubah: 60.
[24]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, PT
RajaGrafindo Persada, 2004: 43-44.
[25]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 41.
[26]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 48.
[27]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 60. Bandingkan
dengan yang ditulis oleh Hasan Ibrahim Hasan Sejarah dan Kebudayaan Islam,
jilid II: 306.
[28]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 62
[29]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 63-64.
[32] Untuk lebih jelas tentang Sunnah sebagai
sumber ilmu pengetahuan Islam, lihat buku Yusuf Qardhawi yang berjudul Fiqih
Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.), Danakarya, Surabaya,
Cet. Ke 1, 1997: 103-253.
[33] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet. ke 1, Kencana, 2003):
18.
[34] Yusuf Qardlawi, Fiqih Peradaban:
Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, (Surabaya : Dunia Ilmu): 235.
[35]
Yusuf Qardlawi Fiqih Peradaban:
Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan: 236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar