Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik

Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.
KATA PENGANTAR
            Sejarah Peradaban Islam adalah sebuah sejarah yang sangat panjang yang telah berlangsung selama kurang lebih 14 (empat belas) abad lamanya. Dan untuk menyusun perjalanan panjang umat Islam dalam sebuah tulisan memerlukan tidak hanya referensi yang bermacam-macam, tetapi juga waktu yang sangat panjang.
            Namun, hal itu tidak berarti bahwa upaya penyusunan sejarah peradaban Islam ini menjadi hal yang mustahil dilakukan. Pada kenyataannya pun, upaya ke arah itu telah dilakukan, baik oleh akademisi dalam maupun luar negeri, terutama mereka yang menggeluti bidang ini.
            Diktat ini dibuat bukan untuk memberikan gambaran peradaban Islam sepanjang sejarah secara utuh, lengkap dan terperinci. Karena selain masih banyak aspek-aspek peradaban yang kurang tergali, diktat ini pun hanya memfokuskan pembahasannya pada sejarah peradaban Islam periode klasiknya, yaitu sejak jaman nabi Muhammad Saw hingga periode pertama kekhilafahan bani Abbasiyah yang dapat dikatakan sebagai masa keemasan peradaban Islam.
            Dengan segala kekurangannya, alhamdulillah penulisan diktat ini telah selesai dengan sebaik-baiknya dan kepada segala pihak yang telah membantu penyelesaiannya penulis sampaikan ucapan terima kasih, semoga segala kebaikannya mendapat ganjaran kebaikan dari Allah Swt.
Penulis berharap diktat ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi para pembaca yang menaruh perhatian lebih kepada sejarah Islam, terutama para mahasiswa yang menekuni bidang sejarah peradaban Islam.
            Agar penyusunan sejarah peradaban Islam dalam bentuk diktat ini dapat menjadi lebih baik sehingga dapat dikembangkan menjadi Buku Ajar, penulis memohon segala masukan baik berupa kritik maupun saran dari pembaca semua.

Jakarta, 16 Desember 2006

Penulis.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..      i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ii
BAB I: PENDAHULUAN ……………………………………………………      1         
  1. Dari SKI ke SPI …………………………………………….................  1
  2. Kebudayaan Islam dan Peradaban Islam ……………………………...  1
  3. Isi Matakuliah Sejarah Peradaban Islam ………………………………  2
D.    Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik ………………………………..   2
BAB II : Peradaban Arab Sebelum Islam ………………………………….  3
  1. Letak Geografis Negeri Arab …………………………………………. 3
  2. Keadaan Sosial, Politik dan Pemerintahan Jazirah Arab ……………… 4
  3. Keadaan Ekonomi Masyarakat Arab ………………………………….  10
D.    Keadaan Ilmu Pengetahuan Arab ……………………………………... 13
BAB III: Peradaban Islam Masa Rasul dan Khulafaurrasyidin …………   15
  1. Politik, Sosial dan Pemerintahan Islam ……………………………….   15
  2. Ekonomi Islam ………………………………………………………..   24
C.     Ilmu Pengetahuan Islam ………………………………………………  29
BAB IV: Peradaban Islam Masa Bani Umayah …………………………..   33
  1. Politik, Sosial dan Pemerintahan Islam ……………………………….   33
  2. Ekonomi Islam ………………………………………………………..   42 
C.     Ilmu Pengetahun Islam ……………………………………………….   43 
BAB V: Peradaban Islam Masa Bani Abbasiyah …………………………   46
  1. Politik, Sosial dan Pemerintahan Islam ……………………………….   46
  2. Ekonomi Islam ………………………………………………………..   53
  3. Ilmu Pengetahun Islam ……………………………………………….   56
BAB VI: PENUTUP ………………………………………………………… 64
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 65
LAMPIRAN …………………………………………………………………   66


BAB I

PENDAHULUAN

A. DARI SKI KE SPI

Salah satu matakuliah yang diajarkan secara formal di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia adalah Sejarah Islam atau Sejarah Umat Islam. Seiring dengan perkembangan jaman, matakuliah yang sebelumnya dikenal dengan nama SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) ini dirubah menjadi SPI  (Sejarah Peradaban Islam). Menurut Dr. H. Jaih Mubarok, M. Ag., perubahan ini disebabkan oleh adanya “kegelisahan” di antara para pemikir Islam mengenai istilah teknis kebudayaan dan peradaban[1].
Kegelisahan ini, tidak terlepas dari Ilmu Antropologi dan Sosiologi yang pada perkembangannya telah membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan telah didefinisikan sebagai suatu tradisi historis yang mencerminkan keimanan dan nilai-nilai keruhanian yang mendalam dan transedental. Sedangkan peradaban didefinisikan sebagai tradisi pengetahuan praktis yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam menaklukkan alam[2].Jadi, kebudayaan adalah wujud ideal manusia, sedangkan peradaban adalah manifestasi fisik perkembangan akal manusia berupa ilmu pengetahuan, sistim ekonomi, sosial politik dan perkembangan teknologi.           

B. KEBUDAYAAN ISLAM DAN PERADABAN ISLAM

Jika kebudayaan didefinisikan sebagai nilai-nilai keruhanian yang mendalam, maka kebudayaan Islam adalah nilai-nilai keruhanian transedental yang dimiliki oleh umat Islam yang terefleksikan dalam aqidah Islam, hukum Islam, moral Islam, pengetahuan Islam dan seni Islam.
Dan jika peradaban adalah manifestasi fisik perkembangan akal manusia dalam bidang ilmu pengetahuan, sistim ekonomi, politik dan perkembangan teknologi, -sebagaimana disebutkan di atas- maka peradaban Islam adalah manifestasi fisik perkembangan akal umat Islam berupa ilmu pengetahuan Islam, sistim ekonomi Islam, sistim sosial politik dan kenegaraan Islam dan teknologi Islam.

C. ISI MATAKULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

Berdasarkan definisi di atas, dapat diuraikan di sini bahwa dalam matakuliah Sejarah Peradaban Islam yang dipelajari adalah sejarah Islam yang berkaitan dengan iptek Islam, institusi-institusi sosial politik dan ekonomi Islam sejak jaman Nabi Muhammad Saw dengan segala dinamika yang terjadi di dalamnya.

D. SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA KLASIK

Yang dimaksud dengan sejarah peradaban Islam masa klasik di sini adalah sejarah peradaban Islam yang dimulai sejak transformasi nilai-nilai Islam oleh Muhammad Rasulullah Saw sebagai fondasi peradaban Islam dilanjutkan dengan masa pembangunan peradaban Islam yang dimulai pada masa Bani Umayah dan disempurnakan sebagai bangunan peradaban yang megah dan kokoh pada jaman Bani Abbasiyah.
Oleh karena itu tulisan ini akan membahas sejarah peradaban Islam sejak agama Islam lahir melalui perantara Muhammad Saw pada tahun 612 M. hingga masa kejayaan peradaban Islam pada jaman Bani Abbasiyah dengan membahas terlebih dahulu peradaban Arab pra-Islam sebagai konsekuensi logis yang harus dilakukan karena peradaban Islam lahir dan tumbuh di negeri Arab dan agar dapat dijadikan bahan perbandingan, juga untuk melihat sejauh mana peradaban Arab mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh Islam dan peradabannya.

BAB II

PERADABAN ARAB SEBELUM ISLAM

A. Letak Geografis Negeri Arab

Negeri Arab yang dinamakan Jazirah Arab oleh bangsa mereka sendiri, secara geografis terletak di barat daya Asia yang merupakan semenanjung yang dikelilingi laut dari tiga arah, yaitu Laut Merah, Samudera India (Indonesia) dan Teluk Persia.
Berdasarkan pada tingkat kesuburannya, negeri ini pada umumnya adalah padang pasir (sahara/desert) yang tidak ditumbuhi tanaman dan tidak berair. Jika dilihat pada karakter permukaannya, sahara ini, sebagiannya ada yang berupa padang pasir berdebu dan pasir halus, ada juga yang berupa pegunungan dan perbukitan dan ada juga yang berupa dataran rendah dan tinggi.
 Sahara-sahara yang merupakan bagian terbesar Jazirah Arab ini menempati kawasan-kawasan yang terletak di wilayah pesisir barat, barat daya Sahara Syam dan wilayah Sahara Syam (Syria sekarang) itu sendiri dan wilayah tengah. Sedangkan daerah yang bertanah subur dan hijau disebut dengan Arabia Fellix  yang membentang sepanjang pesisir Semenanjung Jazirah Arab; pada bagian tenggara terletak negeri Yaman. Di lokasi inilah peradaban Arab sebelum Islam yang dimanifestasikan oleh Kerajaan Saba’ dan Ma’in tumbuh dan berdiri. Di bagian selatan terletak Hadlramaut, penghasil kayu gaharu yang kini menjadi Ibu kota Negara Yaman. Di bagian timur terletak negeri Al Ahsa’ yang subur yang terletak di Teluk Persia dan di sebelah utara Yaman terletak negeri Hijaz, lokasi kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah dan sebagai tempat hijrahnya nabi Muhammad Saw.
Dari kondisi alam negeri Arab di atas, para ahli Geografi Arab –sebagaimana  diringkaskan oleh Hasan Ibrahim Hasan—membagi jazirah Arab ini menjadi lima wilayah besar:
1.                               Tihamah, yaitu wilayah yang membentang sejajar dengan pantai Laut Merah mulai dari Yanbu’ sampai Najran di Yaman. Dinamakan Tihamah, karena udaranya yang sangat panas dan anginnya yang tenang.
2.                               Hijaz, yaitu wilayah yang terletak di sebelah utara Yaman dan sebelah timur Tihamah. Wilayah ini memiliki banyak lembah yang membentang dari Syam sampai Najran.
3.                               Najed, yaitu wilayah yang membentang di antara Yaman di sebelah selatan dan sahara As Samarah di sebelah utara, lalu dengan wilayah Al ‘Arudl dan dengan perbatasan Iraq. Dinamai Najed karena permukaan tanahnya yang tinggi.
4.                               Yaman, yaitu wilayah yang membentang dari Najed sampai ke Samudera Indonesia di sebelah selatan dan Laut Merah di sebelah barat. Kemudian bersambung dengan Hadlramaut, As Syahr dan Oman dari sebelah timur.
5.                               Al ‘Arudl, yaitu wilayah yang meliputi Al Yamamah, Oman dan Bahrain. Dinamai Al ‘Arudl karena wilayah tersebut melebar antara Yaman, Najed dan Iraq[3].
B. Keadaan Sosial, Politik dan Pemerintahan Jazirah Arab
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Arab terbagi menjadi dua, yaitu mereka yang hidupnya nomaden, atau selalu berpindah-pindah tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan mereka yang hidupnya sudah menetap dengan mata pencahariannya secara mayoritas sebagai petani atau pedagang. Tapi, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya yang sama, yaitu budaya kesukuan. Hubungan politik yang terjadi di antara mereka sangat menekankan rasa kesukuan ini, di mana loyalitas dan solidaritas kepada suatu suku merupakan sumber kekuatan bagi suku tersebut. Oleh karena itu di antara mereka kerap terjadi peperangan.
Perang-perang ini sering terjadi karena adanya perselisihan dalam memperebutkan kepemimpinan dan persaingan dalam memperebutkan sumber mata air dan rumput untuk binatang gembalaan. Di antara sekian banyak perang, Hasan Ibrahim Hasan menyebut 3 (tiga) perang yang menurutnya sangat terkenal, yaitu perang Al Basus, perang Dahis dan Ghubara’, dan perang Fijar[4].
Peperangan yang terjadi terus menerus ini secara tidak langsung berakibat pada rendahnya kualitas kebudayaan dan peradaban mereka di mana mereka tidak mengenal budaya tulis menulis yang pada akhirnya peristiwa-peristiwa sejarah yang mereka alami pun tidak banyak diketahui.
Berkaitan dengan hal ini, Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa kurang dikenalnya sejarah kuno bangsa Arab disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor politik dan faktor budaya. Pada faktor sosial politik, sifat masyarakat Arab yang secara mayoritasnya adalah nomaden ini pada umumnya tidak memiliki kesatuan politik. Mereka hidup berpisah antara kabilah yang satu dengan yang lainnya dan di antara mereka kerap terjadi permusuhan dan tidak mempunyai raja yang kuat. Pada faktor budaya, mayoritas mereka tidak mengenal budaya tulis menulis, sehingga peristiwa-peristiwa yang mereka alami tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan[5].
Dalam kondisi politik seperti disebutkan di atas, bangsa Arab tidak memiliki sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang ini, terutama dalam bidang yudikatif dan pertahanan dan keamanan (hankam). Dalam bidang yudikatif, mereka tidak memiliki peradilan, tempat memperoleh kepastian hukum tentang suatu kasus atau memvonis suatu pelanggaran. Dalam tatanan masyarakat Arab kuno, orang yang teraniaya secara langsung melakukan pembalasan kepada orang yang menganiayanya dan kabilahnya jika tindakan penganiayaan itu dianggap membahayakan, atau jika yang berbuat aniaya telah membayar ganti rugi dengan kesepakatan kedua suku, pihak teraniaya tidak berhak menuntut pembalasan atas tindakan aniasya yang diterimanya. Sedangkan dalam bidang hankam, mereka tidak mengenal sebutan polisi seperti yang kita kenal sekarang sebagai pelindung masyarakat dan penjaga keamanan negeri dari bahaya dari luar. Kondisi ini, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, tidak berbeda dengan yang terjadi di lingkungan masyarakat Jerman pada abad pertengahan[6]
Namun, hal ini tidak berarti bahwa bangsa Arab kuno sepanjang sejarahnya tidak memiliki peradaban yang tinggi. Karena, selain keadaan politik yang telah diuraikan di atas jazirah Arab juga mengalami masa-masa kejayaannya sebelum kehadiran Islam. Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan besar di jazirah Arab seperti kerajaan Saba’, kerajaan Himyar, kerajaan Ghassan dan lain-lain. Oleh karena itu, berbicara tentang keadaan politik jazirah Arab terasa tidak lengkap tanpa deskripsi tentang kerajaan-kerajan bersejarah di atas.
Dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Islam versi Indonesia, Hasan Ibrahim Hasan menguraikan 6 kerajaan yang ada pada masa Arab pra Islam. Uraian singkat tentang kerajaan-kerajaan ini adalah sebagai berikut:
1.                      Kerajaan Ma’in
2.                      Kerajaan Saba’
3.                      Kerajaan Himyar
4.                      Kerajaan Hirah
5.                      Kerajaan Ghassan
6.                      Kerajaan Hijaz (Mekah)
1.      Kerajaan Ma’in
Berdasarkan petunjuk yang dikemukakan dalam prasasti dan Taurat serta berita yang ditulis oleh sebagian sejarawan Yunani, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, kerajaan Ma’in berdiri antara tahun 1200-600 SM yang merupakan kerajaan yang kuat dan sangat kaya melebihi kerajaan Saba’ yang kisahnya lebih terkenal dalam sejarah. Para rajanya berasal dari Irak yang mencari tempat subur untuk dijadikan tempat tinggal di Yaman[7].
Kerajaan ini berlokasi di wilayah yang disebut Al Jauf, sebelah tenggara Shan’a’, Yaman Selatan, di antara Najran dan Hadlramaut. Ibukotanya adalah Al Qarni yang kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah Quthban, Hadlramaut dan Melukh hingga bagian utara Jazirah Arab. Ahmad Fuad Pasya menulis bahwa kerajaan ini melakukan hubungan dagang dengan Mesir dengan mengekspor kemenyan dan wewangian yang digunakan dalam rumah-rumah peribadatan.[8]
2.      Kerajaan Saba’
Kerajaan Saba’ berdiri di antara masa kerajaan Ma’in dan Quthban yang mulai tampak kekuasaannya di akhir masa kerajaan Ma’in, ditandai dengan berpindahnya kekuasaan kerajaan tersebut kepada penguasa Saba’. Wilayah kekuasaannya meliputi pantai Teluk Persia di sebelah timur sampai ke Laut Merah di sebelah barat. Dengan berpindahnya kekuasaan kepada penguasa Saba’, maka secara otomatis wilayah bagian selatan Jazirah Arab yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasan Ma’in menjadi wilayah kekuasan Saba’. Usia kerajan ini diperkirakan mencapai 835 tahun sejak 950-115 SM[9].
Kerajaan Saba’ berakhir ditandai dengan jebolnya bendungan Ma’rib yang menjadi tumpuan utama ekonomi pertanian masyarakat Saba’ dan sumbangan terbesar kemajuan bangsanya. Peristiwa bobolnya bendungan Ma’rib ini bagi para sejarawan, khususnya sejarawan Arab merupakan faktor utama penyebab runtuhnya kerajaan Saba’. Sedangkan menurut sebagian orientalis, sebagaimana dikutip Hasan Ibrahim Hasan, bobolnya bendungan Ma’rib justeru merupakan akibat dari kelalaian suatu bangsa yang sedang mengalami kemunduran. Tidak masuk di akal suatu peradaban yang begitu besar akan lenyap dalam seketika hanya karena bobolnya suatu bendungan[10].
Berkenaan dengan bobolnya bendungan Ma’rib yang merupakan peristiwa bersejarah yang terjadi pada kerajaan Saba’ ini, Al Quran mendeskripsikannya sebagai siksa yang diturunkan Allah Swt kepada penduduk Saba’[11].
3.      Kerajaan Himyar
Kerajaan Himyar berdiri sekitar tahun 115 SM tepat pada saat runtuhnya kerajaan Saba’ yang pada awalnya hanya menguasai wilayah Quthban yang terletak di antara kerajaan Saba’ dan Laut Merah. Namun setelah itu, kerajaan ini memperlebar wilayah kekuasaannya dengan menduduki wilayah kekuasaan kerajaan Saba’. Dengan demikian, maka kerajaan Himyar menjadi pewaris peradaban bangsa Saba’ dan Ma’in yang hadir sebelumnya[12].
Ahmad Fuad Pasya mengatakan bahwa tentara kerajaan Himyar ini mencapai wilayah  Cina di bagian timur dan Qanstantinopel dan Roma di bagian barat. [13]
4.      Kerajaan Hirah
Kerajaan Hirah terletak pada jarak tiga mil dari kota Koufah, di tepi danau Najef, sebagai pusat kaum Syi’ah sampai hari ini. Daerah ini merupakan tempat yang subur karena dialiri oleh anak sungai Euphrat. Penduduknya sejak abad ketiga Masehi terdiri dari tiga bangsa, yaitu bangsa Tanukh yang mendiami wilayah barat sungai Euphrat, bangsa Ibad yang mendiami wilayah kota dan bangsa Ahlaf yang merupakan bangsa pendatang dan bukan dari bangsa Tanukh maupun Ibad[14].
Kerajaan ini mengalami kemunduran setelah dilanda beragam bencana dan setelah para kaisar dari keluarga Sasanid, penguasa imperium Persia juga mengalami kemunduran. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah terbunuhnya raja Al Munzir bin Maussama Al Lakhami yang disusul dengan kematian puteranya  di tangan Al Harits bin Abu Syamr Al Ghassani dalam perang Murj Halimah pada tahu 570 M. Selain itu goncangan yang terjadi dalam tubuh keluarga kerajaan yang memperebutkan kursi dan mahkota kerajaan juga ikut menjadi faktor runtuhnya kerajaan Himyar[15].
5.      Kerajaan Ghassan
Sejarah kerajaan Ghassan dimulai ketika orang-orang Azad meninggalkan Yaman setelah bendungan Ma’arib bobol, di mana di antara mereka ada yang menuju Syam (Siria sekarang). Mereka menetap di sebuah daerah dekat mata air yang bernama Ghassan, oleh karenanya mereka pun dipanggil dengan sebutan Uzd Ghassan. Ketika orang-orang Adh Dhaja’ah sebagai penduduk asli setempat dalam keadaan lemah, maka Uzd Ghassan pun berhasil menancapkan kekuasaannya dengan mendirikan kerajaan yang dikenal dengan kerajaan Ghassan[16].
Setelah berkuasa selama 85 tahun, akhirnya kerajaan ini berakhir setelah diserang oleh kerajaan Persia sebagai musuh besarnya pada tahun 613 M (waktu nabi Muhammad telah mendirikan negara Madinah) dan tidak dibiarkannya Bani jafnah sebagai pemilik kekuasaan kerajaan Ghassan untuk bertahan pada wilayah yang selama ini berada di bawah kendali kekuasaannya[17].
6. Kerajaan Hijaz (Mekah)
Dalam sejarah, negeri Hijaz adalah suatu negeri yang bebas dari penaklukan dan penjajahan bangsa asing, meskipun banyak raja, baik dari kerajaan Persia maupun pada masa Iskandar Zulkarnaen yang berhasrat untuk menaklukkannya. Sifat kemerdekaan dari bangsa asing ini oleh Sidillot yang dikutip oleh Hasan Ibrahim Hasan menjadikan negeri Hijaz memiliki karakteristiknya sendiri yaitu darah keturunan yang murni, nenek moyang yang mulia dan tanah air yang suci[18].
 Kaum Amaliq adalah orang-orang yang pertama menetap di Mekah, disusul dengan kabilah Jurhum pada generasi keduanya. Pada masa Jurhum inilah ka’bah (Baitullah) berada di bawah kekuasaan nabi Ismail yang tinggal bersama ibunya Sarah dan menjalin hubungan kekeluargaan dengan mereka. Sepeninggalnya,  Baitullah berada di bawah kekuasaan Tsabit putera sulungnya. Pengawasan terhadap Baitullah berpindah ke tangan para pemimpin Jurhum sepeninggal Tsabit dan berlanjut hingga tahun 307 M. Namun karena kerusakan yang dibuat oleh para pemimpin Jurhum setelah kekuasaannya meluas, kabilah Khuza’ah yang datang dari Yaman setelah peristiwa banjir ‘Arim mengambil alih kekuasaan dan mengusir kabilah Jurhum dari Mekah dengan dibantu anak cucu Kinanah.
Setelah berkuasa selama kurang lebih 300 tahun, kekuasaan pun berpindah ke tangan kabilah Quraisy di bawah kepemimpinan Qushay bin Kilab yang perlahan-lahan menguat dan berhasil menguasai Mekah pada tahun 440 M sehingga jabatan As-Siqayah, Al Hijabah, Ar Rifadah dan Al Liwa menjadi wilayah kekuasaanya, padahal sebelumnya tidak pernah satu orang pun penguasa Mekah yang menghimpun seluruh jabatan tersebut seorang diri. Sepeninggal Qushay kepemimpinan terus bergulir di antara kabilah Quraisy hingga Abdul Muthalib, kakek nabi Muhammad sebagai penggali sumur Zamzam agar kembali berfungsi. Pada masanya Allah Swt telah menghinakan Abrahah Al Asyram dari Habasyah (Ethiopia sekarang) ketika hendak menghancurkan Ka’bah [19].
C. Keadaan Ekonomi Masyarakat Arab.
Bangsa Arab kuno sebelum kelahiran Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan di bidang ekonomi yang didominasi oleh perdagangan. Pada waktu itu penduduk Saba’ di bawah kendali kerajaan Saba’ dikenal sebagai orang-orang sukses dalam meraih materi dan harta kekayaan duniawi berkat keahlian mereka dalam berdagang, terutama dari hasil berdagang wangi-wangian seperti kayu gaharu yang banyak dipergunakan di tempat peribadatan di Mesir dan Habsyi serta di negeri-negeri lainnya. Kafilah dagang kaum Saba’ membawa kayu gaharu dan hasil-hasil bumi Yaman lainnya ke bagian utara Jazirah Arab. Selain Saba’, Yaman di bawah kendali kerajaan Himyar juga merupakan daerah transit untuk perdagangan yang menghubungkan satu negeri dengan yang lainnya.
Namun, setelah negeri Yaman dijajah oleh bangsa Habasyah dan kemudian oleh bangsa Persia, maka kaum penjajah itu dapat menguasai perdagangan di laut. Akan tetapi, perdagangan dalam jazirah Arab berpindah tangan ke penduduk Mekah karena kaum penjajah itu tidak dapat menguasai bahagian dalam jazirah Arab.
Maka dari itu, berbicara tentang perdagangan pada masa ini, selain Yaman –sebagaimana telah disebutkan di atas--  salah satu kota penting yang dapat disebut di sini adalah Mekah, yaitu suatu kota yang dilalui jalur perdagangan ramai yang menghubungkan antara Yaman di Selatan dan Syria di Utara terutama pada bulan-bulan Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram. Kota Mekah menjadi pusat perdagangan antara Yaman dengan Syam dan Habasyah. Ketika tanah Mekah hanya merupakan tanah gersang berbatu dan tidak berair dan tidak ditumbuhi oleh tanaman, penduduknya dikaruniai kelebihan dibanding bangsa lain yaitu aktivitasnya dalam bidang perdagangan. Di samping itu, masyarakat Mekah disenangi atau memiliki tempat khusus di hati bangsa Arab lainnya mengingat kedudukannya sebagai pemelihara dan penjaga Ka’bah. Ditambah lagi dengan letak Mekah yang strategis dari sisi geografis yaitu di tengah-tengah antara Yaman di selatan dan Syam di utara.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada faktor lain yang menjadikan Mekah memegang kendali peranan dalam perdagangan. Faktor tersebut adalah banyaknya orang-orang Yaman yang telah berpindah ke Mekah, sedang mereka memiliki pengalaman luas di bidang perdagangan.
Dari penduduk Arab, kafilah dagang yang paling terkenal adalah kafilah dagang Quraisy. Mengenai kafilah ini, Hasan Ibrahim Hasan menulis:
Kafilah dagang Mekah dapat menjelajahi berbagai penjuru jazirah Arab seperti Bangsa Yaman. Mereka berhasil membawa barang dagangannya sampai ke Ghaza, Baitul Maqdis, Damaskus bahkan sampai menyeberangi Laut Merah menuju Habasyah. Pelabuhan Jeddah yang berjarak 40 mil dari Mekah merupakan jembatan penghubung antara Mekah dan Habasyah. Selanjutnya barang dagangan dari Mekah ini diperdagangkan pula melalui pelabuhan Jeddah ke Al Qhatif di Bahrain dan sekembalinya dari sana perahu-perahu niaga mereka dipergunakan untuk membawa permata yang ditambang di sekitar Teluk Persia sampai ke muara sungai Euphra Kafilah-kafilah dagang Quraisy ini membawa barang dagangan dari pasar-pasar di Shan’a’ dan dari pelabuhan Oman serta Yaman berupa minyak wangi dan kayu gaharu yang banyak dipergunakan di rumah-rumah peribadatan, gereja-gereja dan istana-istana di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut Putih (Laut Tengah). Mereka juga membawa barang-barang seperti kain sutera, kulit, senjata, logam mulia yang dibeli di pelabuhan-pelabuhan Yaman sebagai barang yang berasal dari China, India dan negeri-negeri Timur lainnya. Kemudian kafilah-kafilah tersebut dari pasar Bushra dan Damaskus membawa gandum, benda-benda hasil kerajinan tangan, minyak zaitun, biji-bijian, kayu dan barang-barang yang terbuat dari kaca. Sedang dari Habasyah, kafilah-kafilah ini membawa rempah-rempah. Sedangkan dari Mesir mereka membawa kain tenun yang sangat terkenal yaitu kain tenun Qibthi. .[20]
Dengan kalimat-kalimat yang berbeda, A. Syalabi, tentang  perdagangan yang dilakukan kafilah dagang Arab ini menulis:
Dari San’a’ kota-kota pelabuhan di Oman dan Yaman, kafilah-kafilah bangsa Arab membawa minyak wangi, kemenyan, kain sutera,barang logam, kulit, senjata dan rempah-rempah. Barang-barang perniagaan yang disebutkan ini ada yang dihasilkan di Yaman dan ada pula yang didatangkan ke kota-kota pelabuhan itu dari Indonesia, India dan Tiongkok. Oleh kafilah-kafilah itu barang-barang ini dibawa ke pasar-pasar di Syam. Minyak wangi dan kemenyan amat diperlukan di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut Tengah, dipakai di candi-candi, gereja-gereja, istana-istana raja dan rumah orang-orang kaya. Di waktu kembali, kafilah-kafilah itu membawa gandum, minyak zaitun, beras, jagung dan tekstil dari Mesir dan Syam.” [21]

Secara teratur kafilah dagang Arab ini mengadakan perjalanan dagang dua kali dalam setahun, yaitu perjalanan di musim dingin ke Yaman dan di musim panas ke Syam. Keempat anak Abdu Manaf dengan aktif melakukan perjalanan niaga ke berbagai negeri; Hasyim selalu berdagang ke Syam; Abd Syams ke Habasyah; Abdul muthalib ke Yaman dan Naufal ke Persia. Para pedagang Quraisy di bawah lindungan keempat anak Abd Manaf ikut aktif mengikuti jejak mereka dan berkat lindungan tersebut mereka tidak ada yang berani mengganggu. Tentang aktivitas perdagangan ini, Allah Swt mengabadikannya dalam Al Quran.[22]
Berkat aktivitas dagang ini, banyak masyarakat Quraisy yang menjadi orang-orang kaya, mereka di antaranya adalah Abu Sufyan, Walid ibn al mughirah dan Abdullah ibn Jud’an. Yang terakhir ini, saking kayanya telah mempersenjatai seratus tentara Quraisy secara lengkap dalam perang Al fijar[23].
D. Keadaan Ilmu Pengetahuan Arab

Aktivitas perdagangan yang dilakukan bangsa Arab, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya berimbas ke aspek lain yang berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya nonmaterial, seperti aspek kerohanian kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Hubungannya dengan Syam, Habasyah, Persia, Romawi sebagai pemilik peradaban tinggi pada waktu itu telah membantu mereka menjadi orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan dan wawasan tentang hal ihwal bangsa-bangsa dalam aspek politik, sosial dan kesusasteraan yang sangat berpengaruh dalam mencerdaskan akal pikiran dan kemajuan bagi mereka. Kehidupan Intelektual Arab pun cukup tinggi ditandai dengan adanya ilmu-ilmu seperti Ilmu Bintang, Ilmu Iklim dan Ilmu kedokteran meskipun masih dalam taraf yang sederhana.
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab dapat dikatakan sebagai bangsa yang sangat maju. Mereka memiliki bahasa yang indah dan kaya. Berkenaan dengan kepandaian berbahasa bangsa Arab ini, A. Hasjmi mengatakan:
Telah menjadi kelaziman dari orang-orang Arab Jahiliyah, yaitu mengadakan majlis atau nadwah (klub) di tempat mana mereka mendeklamasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya. Terkenallah dalam kalangan mereka “Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di samping Ka’bah.
Di samping itu, mereka mengadakan Aswaq (Pekan) pada waktu tertentu, di beberapa tempat dalam negeri Arab. Tiap-tiap ada sauq berkumpullah ke sana para saudagar dengan barang dagangannya, penyair dengan sajak-sajaknya, ahli pidato dengan khutbah-khutbahnya, dan sebagainya”.[24]


EVALUASI
    1. Uraikanlah letak geografis negeri Jazirah Arab!
    2. Bagaimana keadaan politik, sosial dan pemerintahan Arab pra Islam?
    3. Bagaimana pula keadaan ekonominya?
    4. Apakah ilmu pengetahuan Arab telah berkembang?

BAB III

PERADABAN ISLAM

MASA RASUL  DAN KHULAFAURRASYIDIN


Islam hadir di tengah masyarakat Arab pada saat usia Muhammad 40 tahun ketika beliau menerima wahyu Allah Swt untuk pertama kalinya dengan perantara malaikat Jibril sebagai tanda kerasulannya yang disusul kemudian oleh wahyu kedua yang menjadi awal aktivitas dakwah beliau sebagai nabi dan rasul[25]. Pada saat itulah, secara tidak langsung, keadaan sosial dan politik masyarakat Arab mulai berubah.
A. POLITIK, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN ISLAM
1. Dakwah Islam dan politik
Pada masa permulaan Islam, nabi Muhammad Saw melancarkan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal ini, selain karena belum adanya perintah untuk berdakwah secara terang-terangan, juga karena lingkungan yang secara politis belum kondusif. Pada masa ini, yang menerima dakwah Nabi untuk memeluk Islam adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat seperti isterinya sendiri, Khadijah dan keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan para tokoh masyarakat Quraisy, seperti Abu Bakar As-Shiddiq yang kemudian diikuti oleh kelima orang lainnya, yaitu Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqasy, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah. Setelah itu, para tokoh Quraisy lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Al Arqam bin Abi Al Arqam yang dilanjutkan dengan orang-orang dari kalangan hamba sahaya dan fakir miskin. Mereka inilah yang disebut dengan kelompok As-Sabiqun al awwalun[26].
 
Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, turun perintah Allah Swt kepada Nabi agar melakukan dakwah secara terang-terangan. Tentunya, selain karena perintah Allah di atas, keadaan politik Islam waktu itu sudah menguat, meskipun masih sangat terbatas. Oleh karena itu, Nabi pun dengan keberaniannya yang luar biasa dan gaya bahasa yang meyakinkan mengatakan kepada keluarga Abdul Muthalib pada suatu undangan makan yang dipersiapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau berkata: “Wahai Bani Abdul Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah mendapatkan seorang Arab pun yang datang kepada kaumnya dengan membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Sesungguhnya saya datang membawa kebaikan untuk kalian di dunia dan akhirat” [1].
Namun, hal ini bukan berarti dakwah Nabi berjalan tanpa hambatan. Bahkan sejak diproklamirkannya dakwah Islam secara terang-terangan, kaum Quraisy yang sebelumnya kurang memberikan respon negatif, berubah secara drastis menjadi memusuhi Nabi dan menentang dakwah yang dijalankannya itu. Secara keagamaan, mungkin pengaruh yang ditimbulkan oleh dakwah secara terang-terangan ini tidak sebesar pada aspek politik, selain tentu saja materi. Kaum Quraisy merasa khawatir jika dakwah Islam semakin diterima oleh masyarakat Arab akan berpengaruh pada kehancuran agama mereka yang diwariskan secara turun temurun dan juga keuntungan materi yang didapat sebagai imbalan dari posisi penjaga dan pengaman Ka’bah. Oleh karena itu, segala daya dan upaya dilancarkan oleh kaum Quraisy untuk membendung dakwah Nabi, dari hanya sekadar mengejek hingga menyiksa sahabat-sahabat beliau.
Keadaan seperti ini tentu sangat memukul hati dan kejiwaan Nabi dan para sahabat beliau yang lain. Untung saja ada Abu Thalib, paman beliau yang selalu menolong dan melindungi dakwahnya. Keberadaan Abu Thalib di sisi Nabi sangat mempengaruhi dakwah Islam karena kedudukannya secara politis di mata kaum Quraisy sangat tinggi sehingga bagaimanapun sepak terjang Nabi yang membuat geram kaum Quraisy dapat terlaksana tanpa adanya hambatan dan dakwah Islam pun terus berjalan.
2. Hijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan Perlindungan Politik
Kalau sepak terjang nabi Muhammad Saw dalam dakwah Islam berjalan tanpa hambatan berarti, lain halnya yang terjadi dengan para sahabat beliau. Para kafir Quraisy melancarkan penolakannya terhadap dakwah Islam dengan menyiksa para sahabat Nabi seperti Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya yang dijemur di tengah teriknya sinar matahari dan Bilal bin Rabah yang selain muka dan punggungnya ditimpakan ke pasir panas di terik matahari, juga dadanya dibebani batu besar.
Melihat keadaan para sahabatnya yang memprihatinkan itu, Nabi pun menyarankan mereka untuk melakukan hijrah ke Habasyah. Sebenarnya banyak tempat yang bisa jadi alternatif lokasi hijrah, namun setelah dipertimbangkan dengan matang, akhirnya pilihan jatuh kepada Habasyah. Dan pilihan Habasyah sebagai tujuan hijrah dilakukan karena alasan politis karena rajanya pada waktu itu, Negus, adalah seorang yang terkenal adil dan bijaksana meskipun beragama Nasrani sehingga diharapkan dapat melindungi para sahabatnya dari gangguan kaum Quraisy. Adapun kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah untuk mendapatkan perlindungan politik ini pada awalnya berjumlah 14 orang, 10 laki-laki dan 4 perempuan. Kemudian bertambah menjadi 83 laki-laki dan 19 perempuan di luar anak-anak yang keseluruhannya berasal dari kaum Quraisy. Di antara mereka terdapat Utsman bin Affan dan isterinya Ruqyyah binti Rasulillah, Zubair bin Al Awwam, Abdullah bin Auf, Ja’far bin Abi Thalib beserta isterinya dan ‘Amr bin Sa’id bin Al ‘Ash bersama saudaranya Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash[2].
Sebagaimana yang diperkirakan oleh Nabi, pilihan politik Habasyah sebagai tempat hijrah adalah pilihan yang sangat tepat. Karena, meskipun kaum kafir Quraisy berusaha mempengaruhi Negus, raja Habasyah dengan mendatanginya dan menjelek-jelekan kaum muslimin yang melakukan hijrah tersebut agar melakukan pengusiran terhadap mereka, hal ini sia-sia saja. Mereka pun pulang dengan tangan hampa dan rasa kecewa yang mendalam[3].
3. Hijrah ke Yatsrib (Madinah) sebagai keputusan politik
Yatsrib adalah suatu tempat yang dihuni oleh orang-orang Yahudi yang datang dari Palestina ketika mereka terusir pada peristiwa invasi Hadrian dan orang-orang Aus dan Khazraj yang berasal dari salah satu suku Arab Selatan. Di antara mereka terjalin hubungan yang kuat di mana pemikiran-pemikiran keagamaan yang dibawa oleh orang-orang Yahudi tidak mendapatkan penolakan sebagaimana yang terjadi di Mekah pada saat orang-orang Quraisy menolak kehadiran Islam, meskipun mereka tidak serta merta memeluk agama Yahudi.
Pada tahun kesepuluh dari usia kenabian, Rasulullah dihadapkan pada kenyataan pahit yang harus diterimanya, yaitu meninggalnya Abu Thalib, pamannya dan Khadijah, isterinya, dua orang yang selalu membantunya dalam mengemban misi dakwah Islam. Karena dengan wafatnya kedua orang tersebut, berbagai derita datang silih berganti dari orang-orang musyrik Quraisy, terutama Abu Lahab bin Abdul Muthalib, Al Hakam bin al ’Ash dan ‘Uqbah bin Abu Mu’ith bin Abu ‘Amr bin Umayyah. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, hal ini terjadi karena rumah mereka yang berdekatan dengan rumah Nabi, sehingga dengan sangat berani mereka melemparkan kotoran saat beliau sedang shalat dan menaruhnya pada makanan beliau.[4]
Kondisi yang dialami nabi Muhammad Saw di atas membuat beliau berpikiran untuk mencari alternatif lain demi menunjang tugas dakwah yang diembannya, sampai akhirnya keputusan untuk hijrah pun diambil. Kota Thaif pada awalnya menjadi lokasi hijrah tersebut. Tapi ketika mendapatkan penolakan dari penduduk setempat yang melempari beliau dengan batu, akhirnya beliau memutuskan untuk menjadikan kota Yatsrib sebagai pilihan hijrah berikutnya.
Kali ini keputusan yang diambil oleh Nabi sangat tepat karena sambutan yang diberikan penduduk Yatsrib terhadap dakwah beliau sangat hangat. Mereka ternyata telah mengetahui pertentangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir Mekah melalui orang-orang Aus yang datang ke Mekah pada tahun kesepuluh kenabian untuk menjalin persekutuan dengan orang-orang Quraisy guna menghadapi orang-orang Khazraj yang pada waktu itu antara orang-orang Aus dan orang-orang Khazraj sedang dalam pertikaian di mana perang untuk memperebutkan kursi kepemimpinan di Yatsrib di antara mereka kerap terjadi, dan yang terakhir adalah perang Bu’ats yang dimenangkan oleh orang-orang Aus. Pada waktu itu, ada yang menerima Islam dan ada juga yang menolaknya.
Sementara itu, orang-orang Khazraj pun mengirim utusannya ke Mekah untuk berhaji. Di sana, keenam dari mereka bertemu dengan Nabi dan mendengarkan dakwah beliau yang akhirnya menerimanya karena melihat  kesesuaian ajaran-ajarannya dengan ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari orang-orang Yahudi di Yatsrib. Sesampainya di Yatsrib, mereka pun menceritakan tentang Rasulullah Saw kepada penduduk Yatsrib dan mereka pun menerimanya dengan penuh gairah dan semangat untuk menerima dakwah Islam.
Kondisi politik yang sangat kondusif ini diakhiri dengan hijrahnya nabi Muhammad Saw beserta sahabatnya ke Yatsrib. Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa sebelum keputusan hijrah ke Yatsrib ini diambil, pada tahun ketigabelas kenabian, beliau diundang oleh 73 (tujuh puluh tiga) orang Yatsrib agar Nabi berhijrah ke sana dengan maksud hendak membai’at beliau dan menjadikannya sebagai pemimpin mereka.[5]
Mengenai pertemuan nabi Muhammad Saw dengan delegasi dari Yatsrib ini, A. Hasjmy yang menyebut jumlahnya 72 (tujuh puluh dua) orang dengan selisih 1 (satu) orang dengan yang dikatakan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa pertemuan tersebut melahirkan suatu ikrar yang disebut dengan “Ikrar Aqabah” yang berbunyi sebagai berikut:
              Demi Allah, kami akan membela Engkau ya Rasul, seperti halnya kami membela isteri dan anak-anak kami sendiri. Sesungguhnya kami adalah putra-putra pahlawan yang selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar kami, ya Junjungan”.[6]                            
4. Negara Madinah sebagai institusi politik
Kota Yatsrib setelah hijrahnya nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya dari Mekah pada tahun 622 M. diganti menjadi Kota Nabi atau Madinatunnabi yang lebih dikenal dengan nama Madinah. Komposisi penduduk Madinah setelah hijrah pun berubah menjadi tiga kelompok, kaum Muhajirin, yaitu orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, kaum Anshar, yaitu penduduk Madinah yang telah masuk Islam dan kaum Yahudi, yaitu penduduk Madinah yang tetap berada dalam agama mereka.
Dalam komposisi yang seperti disebutkan di atas, tentunya diperlukan suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi yang tumbuh dari masyarakat Madinah yang bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam. Oleh karena itulah, seperti ingin mendeklarasikan berdirinya negara Madinah, nabi Muhammad Saw membuat suatu piagam yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Sebagaimana dijelaskan oleh Akram Dhiyauddin Umari, Piagam Madinah terdiri dari dua teks, yang pertama adalah dokumen perjanjian dengan Yahudi dan yang kedua adalah dokumen perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan kalimat lain, isi Piagam Madinah merupakan keputusan politik nabi Muhammad Saw dalam mengatur hubungan sosial kemasyarakatan, baik antara sesama muslim maupun dengan masyarakat non-muslim dalam suatu institusi politik yang disebut dengan Negara Madinah.[7]
Mengenai penyebutan Madinah sebagai Negara Madinah, Jaih Mubarok melihat adanya keselarasan antara unsur-unsur yang ada dalam suatu negara dalam Konvensi Montevideo tahun 1993 dengan unsur-unsur yang ada di Madinah sehingga layak disebut Negara Madinah di mana ada penduduk yang menetap, yaitu penduduk Yatsrib yang terdiri dari Muhajirin, Ashar dan Yahudi. Kemudian ada wilayahnya, yaitu Yatsrib atau Madinah. Ada pemerintahannya, yaitu Nabi sebagai kepala pemerintahannya dengan masjid sebagai pusat pemerintahannya. Dan ada hubungan dengan negara-negara lain, yaitu hubungan dengan Habasyah (Etiopia, Mekah, dan hubungan lain baik hubungan damai maupun perang).[8]
5. Syura Sebagai Sistem Politik
            Jika demokrasi adalah sistem politik Barat yang kini digunakan oleh sebagian besar negara di dunia, maka sebenarnya prinsip-prinsip yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada di syura—untuk tidak dikatakan sama.
            Dalam Islam, syura adalah suatu sistem politik yang digunakan untuk mengatasi problema dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Pada masa Rasul, syura ini dilakukan baik dalam lingkungan keluarga sebagai komunitas masyarakat paling kecil hingga negara di mana Muhammad Saw kerap bermusyawarah dengan para sahabatnya, terutama yang berkenaan dengan masalah muamalah.
            Pada masa Khulafaurrasyidin, syura juga terus dilakukan oleh para khulafaurrasyidin, baik dalam menetapkan solusi atas permasalahan-permasalahan sehari-hari maupun yang secara khusus berhubungan dengan masalah politik dan kepemerintahan. Untuk yang terakhir ini dapat kita lihat pada pemilihan mereka sebagai khalifah sepeninggal Rasul. Tentunya, sebagai pengecualian, pembai’atan Ali yang tidak melalui syura karena kondisi waktu itu yang mulai menampakkan perebutan kekuasaan dengan cara-cara yang kurang bijaksana.
            Ketika nabi Muhammad Saw meninggal dunia pada tahun 632 M., beliau tidak menunjuk salah seorang dari sahabat pun untuk menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu para sahabat pun melakukan syura untuk menentukan pemimpin umat Islam setelah Rasul wafat. Meskipun syura yang dilaksanakan umat Islam terutama oleh golongan Muhajirin dan Anshar cukup alot akhirnya dipilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.[9]
            Setelah memimpin umat Islam selama 2 (dua) tahun, Abu Bakar meninggal dunia pada 634 M. Namun sebelumnya, ketika sakit menjelang ajal tiba, ia juga melakukan syura dengan para sahabatnya dengan menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya sebagai khlaifah yang langsung diterima oleh kaum muslimin. Dalam hal ini, Hasan Ibrahim Hasan menulis bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya bermusyawarah dengan para sahabat, di antara mereka adalah Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin ‘Affan, Asid bin Khudhair dan Sa’id bin Zaid.[10]
            Menjelang kematiannya karena dibunuh setelah memegang jabatan sebagai khalifah selama sepuluh tahun sejak 634-644 M, Umar juga melakukan syura. Namun berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menunjuk seorang sahabat sebagai penggantinya tapi ia membentuk semacam wakil umat Islam sebanyak enam orang sahabat dan meminta mereka memilih seorang sebagai khalifah penggantinya. Keenam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqasy dan Abdurrahman bin Auf. Melalui syura ini, Usman terpilih menjadi khalifah ketiga setelah bersaing ketat dengan Ali.[11]  
6. Kepolisian
            Konsep keamanan negara dan pemerintahan telah menjadi perhatian peradaban Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin. Konsep ini menjadi lebih sistemik dengan didirikannya sistem kepolisian pada masa Umar bin Khattab  khalifah dengan menjalankan sistem jaga malam. Pada masa Ali bin Abi Thalib, kepolisian menjadi lebih berkembang dengan didirikannya struktur kepolisian di mana ada seorang kepala kepolisian yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara.[12]
7. Peradilan
            Pada masa Rasul belum ada lembaga yang kita sebut sekarang dengan nama Peradilan, meskipun beliau telah mengijinkan para sahabatnya untuk memutuskan perkara-perkara atau memutuskan hukum dalam masyarakat berdasarkan Al-Quran, Al Hadits dan ijtihad. Di antara para hakim yang terkenal pada masa Rasul, sebagaimana dikatakan Hasan Ibrahim Hasan, adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas.[13] Begitu juga dengan masa Abu Bakar.
            Lembaga peradilan baru ada pada masa Khulafaurrasyidin yang didirikan oleh Umar bin Khattab setelah Islam tersebar luas. Ia lah yang pertama kali mengangkat hakim di wilayah-wilayah Islam. Selain mengangkat para hakim, Umar juga telah membuat undang-undang untuk para hakim yang harus dilaksanakan dalam menetapkan hukum. Di antaranya adalah bahwa seorang hakim harus berlaku adil dan berpegang teguh kepada kebenaran. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa peradilan  pada masa Khulafaurrasyidin bersifat independen dan sangat berwibawa dan para hakim yang diangkat adalah orang-orang yang selain luas ilmunya, juga memiliki sifat taqwa, wara’ dan adil.[14]
B. EKONOMI ISLAM
            Pada umumnya keadaan ekonomi Islam pada masa Rasul ini tidak berbeda dengan keadaan ekonomi pada masa Pra Islam di mana perekonomian didominasi oleh bidang perdagangan. Karena situasi dan kondisi pada waktu itu yang kerap dipenuhi dengan peperangan antara kaum muslimin dengan non-muslim, maka aktivitas perdagangan ini tidak sehebat pada masa pra Islam. Ibn Hisyam, Sejarawan muslim abad ke-3 Hijriyah, mencatat tidak kurang dari 20 perang telah terjadi antara kaum muslimin dan non-muslim selama pemerintahan Islam di Madinah[15].
Namun hal ini tidak berarti ekonomi Islam tidak memiliki nilai tambah jika dibandingkan dengan peradaban Arab pra Islam. Karena Rasulullah, setelah tiba di Madinah dan menjadi pemimpin pemerintahan di sana telah melakukan langkah-langkah strategis dan pintar dengan meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara berdasarkan prinsip dan nilai-nilai yang digariskan dalam Al-Quran sebagai sumber nilai dalam kehidupan masyarakat Islam, termasuk dalam bidang ekonomi ini. 
Prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam yang menjadi dasar penerapan ekonomi dan keuangan yang diterapkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya secara umum ada dua yaitu:
  1. Manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani atau materiil dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, umat Islam tidak diperintahkan untuk memikirkan sisi akhirat saja dengan mengesampingkan  sisi dunianya atau hanya mementingkan kehidupan dunia saja tanpa memiliki orientasi ke kehidupan akhirat. Dengan kalimat lain, umat Islam mempunyai hak penuh untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi  di samping kenikmatan dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam hal ini Allah Swt berfirman yang artinya:
Dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan di akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kebahagiaan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.[16]
  1. Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen, umat Islam tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang membawa kerusakan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sebagai konsumen, umat Islam dilarang mengonsumsi makanan yang haram seperti bangkai, darah dan daging babi dan sebagai produsen, mereka dilarang melakukan upaya-upaya mengumpulkan harta dan memperkaya diri dengan jalan-jalan pintas seperti perjudian, pencurian, penyelundupan, penggelapan uang, korupsi dan lain-lain. Singkatnya, aktivitas ekonomi dilakukan demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Berkenaan dengan prinsip kemaslahatan dalam bidang ekonomi ini, Allah Swt banyak memberikan petunjuk dan arahan kepada umat Islam dalam Al-Quran. Di antara petunjuk dan arahan-Nya, Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengutuk para pedagang yang curang dengan mengancamnya dengan neraka, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, mengancam para penimbun harta dengan neraka dan lain-lain.
Inilah yang membedakan antara ekonomi Arab masa Islam dengan masa Pra Islam. Selain itu, yang menjadi perbedaan antara ekonomi Arab masa Islam dan pra Islam adalah bahwa pada masa Islam, institusi ekonomi baru dilahirkan. Institusi ini disebut dengan Baitul Mal. Pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, Baitul Mal yang berfungsi untuk mengumpulkan keuangan Negara untuk kepentingan masyarakat ini berlokasi di mesjid. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal sudah merupakan bangunan tersendiri yang dibangun di Madinah sebagai pusat negara dan di provinsi-provinsi lainnya sebagai cabangnya.
Adapun sumber keuangannya ada yang berasal dari zakat, baik  zakat fithrah maupun zakat harta. Zakat fithrah ini berupa makanan-makanan pokok yang dikeluarkan oleh setiap muslim sebelum menunaikan shalat idul fithri. Sedangkan zakat harta adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum muslimin jika harta mereka telah sampai pada nishab, yaitu jumlah minimal harta yang diwajibkan pada seorang muslim untuk membayar zakat. Hasil pengumpulan zakat ini diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam Islam, terdapat 7 (tujuh) golongan yang berhak menerima zakat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang-orang yang berhutang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang yang berada dalam perjalanan. [17]
Selain dari zakat, sumber keuangan Baitul Mal berasal dari ghanimah atau nafl (hasil rampasan perang yang didapat dengan cara paksa setelah menang perang). Ghanimah atau nafl ini 4/5 (empatperlima) nya dibagikan kepada kaum muslimin yang ikut berperang. Sedangkan 1/5 (seperlima) nya lagi diberikan untuk Rasul beserta keluarganya dan kepentingan kaum muslimin, untuk kaum kerabat, untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Mirip dengan ghanimah, sumber keuangan lain Baitul Mal adalah Fay’ (harta yang diperoleh setelah perang dengan cara damai). Fay’ ini diserahkan langsung kepada Rasul yang digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Ada pula sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu yang disebut dengan kharaj (pajak tanah) dan jizyah (upeti) yang diambil dari non-muslim dan ahlul kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta, kebebasan menjalankan ibadah dan pengecualian dari wajib militer. Pada masa Rasul, pajak tanah ini dipungut ketika wilayah Khaibar ditaklukkan di mana pemilik tanah yang mengelola tanahnya diwajibkan memberikan 50 % dari hasil produksinya. Sedangkan besarnya upeti adalah satu dinar pertahun bagi setiap orang laki-laki yang sanggup membayarnya. Namun, perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa atau sakit lainnya dibebaskan dari kewajiban ini. [18]
Sumber keuangan Baitul Mal juga berasal dari hasil tebusan para tawanan perang yang memiliki banyak harta. Adiwarman Azwar Karim menulis bahwa Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan untuk setiap orang pada perang Badar sebesar 4.000 dirham.[19]
Selain itu semua, ada juga sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu harta karun, harta yang ditinggalkan oleh kaum muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, harta wakaf, sedekah, denda-denda dan pajak khusus bagi orang Islam yang kaya untuk menutupi kekurangan keuangan  negara. Untuk yang terakhir ini, Adiwarman mengatakan bahwa Rasulullah pernah menjalankannya pada saat terjadinya perang Tabuk.[20]
Dalam hal pendistribusian harta dari Baitul Mal, pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, konsepnya masih sederhana yaitu bahwa setiap orang Islam harus mendapatkan haknya yang sama dan adil sehingga kemiskinan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Maka dari itu, harta dari Baitul Mal selalu habis karena langsung didistribusikan kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Pada masa Umar bin Khattab, karena semakin luasnya wilayah ekspansi Islam dan pendapatan negara mengalami peningkatan yang signifikan, harta Baitul Mal tidak langsung dihabiskan tetapi sebagiannya disimpan baik untuk pembayaran gaji pegawai, untuk keadaan darurat maupun kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Oleh karena itu, Umar pun menunjuk Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid  Al Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[21]
Selain membentuk bendahara negara, untuk menertibkan pendistribusian harta dari Baitul Mal, Umar juga telah membentuk departemen-departemen yang diperlukan pada masa itu. Adiwarman menyebutkan 4 (empat) departemen yang didirikan Umar, yaitu Departemen Pelayanan Militer, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan, Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang bertanggungjawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif, Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang mendistribusikan dana bagi para penyebar dan pengembang ajaran Islam seperti juru dakwah dan keluarganya dan Departemen Jaminan Sosial, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan seperti orang yang fakir,  miskin dan menderita.[22]
Dalam rangka menjalankan salah satu fungsi negara dalam bentuk jaminan sosial, Umar membentuk suatu komite yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya dari keluarga-keluarga Nabi, kerabatnya, para sahabat, para pejuang, wanita, anak-anak hingga budak untuk diberikan tunjangan sosial. Jumlah tunjangan yang diberikan setiap tahun ini tidak sama antara satu golongan dengan yang lainnya. Berkenaan dengan tunjangan sosial ini Adiwarman menulis:
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pension berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam jumlah yang tetap”.[23]
            Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan keadaan ekonomi Islam tidak mengalami perubahan yang signifikan dan sebagaimana khalifah sebelumnya, ia tetap memperhatikan sistem pemberian bantuan dan santunan kepada masyarakat. Namun, banyak kebijakan Usman yang menguntungkan keluarganya sehingga menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin yang mengakibatkan timbulnya kekacauan politik dan berakhir dengan terbunuhnya Usman.
            Ali bin Abi Thalib, sebagai kkhalifah terakhir, meskipun negara berada dalam suasana politik yang tidak menentu, tetap berusaha menerapkan ekonomi Islam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat Islam. Dalam suatu riwayat, sebagaimana ditulis Adiwarman, Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Ia juga pernah memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya melakukan tindak pidana korupsi.[24]
            Namun, karena pertentangan politik yang begitu tajam antara pengikut Ali dan Muawiyah, Ali menetapkan untuk menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut, terutama yang berada di sepanjang garis pantai Syria, Palestina dan Mesir karena wilayah-wilayah ini berada dalam kekuasaan Muawiyah yang menolak kepemimpinan Ali. [25]
C. ILMU PENGETAHUAN ISLAM
Dalam Islam, Al Quran selain sebagai sumber ajaran-ajaran agama Islam, juga merupakan referensi pertama dan utama ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Hal ini karena Al-Quran berisi segala macam pengetahuan, baik berupa pengetahuan tentang alam ghaib, seperti tentang keberadaan Allah sebagai pencipta alam, kisah-kisah nabi-nabi dan umat-umat terdahulu, maupun berupa ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan sosial politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, selain perintah untuk mengenal Tuhannya dan melakukan ibadah kepada-Nya, dalam Al-Quran juga terdapat perintah kepada manusia, para hambanya untuk menggunakan akal pikirannya dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Setelah Al-Quran, Hadits menempati posisi berikutnya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Yusuf Qardhawi menguraikan dengan sangat detail posisi Hadis yang sama dengan Al-Quran, yaitu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang meliputi ilmu agama dan ilmu-ilmu kemanusiaan serta alam seperti  ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu fisika, ilmu lingkungan dan lain-lain[26].
Melihat peran penting ilmu pengetahuan bagi manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai pengelola alam (Khalifatullah fil ardl), nabi Muhammad Saw sejak permulaan Islam telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk membaca, yaitu ketika wahyu Al-Quran yang pertama kali turun kepadanya yang dilanjutkan dengan surat Al-Qalam (Pena) yang mengisyaratkan perintah kepada hamba-Nya untuk menulis.
Dan untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya berdasarkan wahyu yang turun kepadanya dan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari, nabi Muhammad Saw lalu membuka lembaga pendidikan pertama dalam sejarah Islam, di rumah salah seorang sahabatnya yang disebut dengan Darul Arqam. Dari sinilah kegiatan ilmu pengetahuan Islam disebarluaskan di kalangan para sahabat beliau. Musyrfiah Sunanto mengatakan bahwa Rasul pada waktu itu selain mengajarkan tentang keimanan, mengajarkan bacaan-bacaan Al-Quran dan penghayatannya, beliau juga telah mengajarkan kepandaian seperti tulis-menulis dengan menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk membuat huruf dengan mengambil contoh dari huruf bangsa Himyar.[27]
Aktivitas keilmuan pada masa Rasul begitu intens. Setiap kesempatan yang ada selalu digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada saat kemenangan umat Islam dalam perang Badar yang dipimpin Rasulullah pada bulan Ramadlan tahun kedua Hijriyah, para tawanan yang berjumlah 70 orang, di antara mereka yang pandai menulis dapat menjadi bebas dengan syarat mengajar anak-anak umat Islam kepandaian menulis. Yusuf Qardhawai menulis, bahwa 1 orang tawanan mengajar 10 orang anak-anak umat Islam di Madinah sebagai syarat pembebasan mereka. [28]
Selain kepandaian membaca dan menulis, Rasulullah Saw juga menanamkan kepandaian bahasa bagi para sahabatnya. Berkenaan dengan hal ini, Zaid dan Nabighah bin Tsabit diminta Nabi untuk mempelajari bahasa Suryani untuk dijadikan sebagai penerjemah.[29]
Selanjutnya, berkenaan dengan aktivitas keilmuan ini, masjid selain sebagai tempat beribadah, juga menjadi tempat umat Islam pada jaman Nabi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Dari sinilah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam terkemuka seperti Umar bin Khattab sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Ali bin Abi Thalib sebagai budayawan, Abdullah bin Umar sebagai ahli hadis, Abdullah bin Abbas sebagai ahli tafsir dan sejarah dan Aisyah sebagai ahli hadis. Pada masa ini, Nabi membangun dua masjid, yang pertama adalah  Masjid Quba’ yang dibangun ketika beliau tiba di Madinah, yaitu pada tahun 622 M./ 1 H. Mesjid ini meskipun tidak begitu besar, namun arsitekturnya menjadi model pada pembangunan masjid-masjid selanjutnya. Yang kedua adalah Masjid Madinah yang dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Kedua masjid ini hingga sekarang masih ada bahkan diperbesar dan diperindah sebagai penghargaan kepada nilai-nilai historis dan peradaban yang terkandung di dalamnya.

EVALUASI

1.      Bagaimana gambaran politik, sosial dan pemerintahan Islam pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin?
2.      Apa yang membedakan antara perekonomian pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin dengan masa sebelumnya?
3.      Uraikan gerakan keilmuan Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin!
 

BAB IV

PERADABAN ISLAM MASA BANI UMAYAH

            Peradaban Islam masa Bani Umayah dimulai sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib oleh kaum Khawarij yang tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terakhir dari Khulafaurrasyidin yang melakukan perdamaian (tahkim/arbitrase) dalam perang Shiffin dengan pihak Muawiyah yang kemudian menjadi khalifah pertama bani Umayah pada 661 M./41 H.
            Peradaban Islam pada masa bani Umayah, tulis Hasan Ibrahim Hasan, berjalan selama kurang lebih 90 tahun dengan 14 orang khalifah. Mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Al Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Al Walid bin Muhammad, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik, Al Walid bin Muhammad, Yazid bin Muhammad, Ibrahim bin Muhammad dan Marwan bin Muhammad. [30] Namun dari keempat belas khalifah di atas, hanya lima saja yang merupakan khalifah-khalifah besar menurut Harun Nasution. Mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680M.), Abdul Malik bin Marwan (685-705M.), Al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz (717-720M.), dan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M.).[31]      

A. POLITIK, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN ISLAM

1. Dari Sistem Syura ke Sistem Kerajaan
            Dari kacamata politik, terutama pada penetapan kepala pemerintahan, Peradaban Islam bani Umayah ditandai dengan adanya perubahan mendasar yang membedakannya dari peradaban Islam masa Rasul dan Khulafaurrasyidin, yaitu perubahan sistem pemerintahan dari sistem syura ke sistem kerajaan di mana sang khalifah sebelum meninggal dunia berhak menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya kelak tanpa ada seorang pun yang berhak menghalanginya. Jadi, meskipun sang kepala negara tetap menggunakan istilah khalifah, namun artinya sudah berbeda dengan istilah khalifah pada masa Khulafaurrasyidin di mana seorang khalifah tidak memiliki otoritas penuh terhadap penentuan pemimpin pemerintahan yang akan menggantinya.
            Pewarisan kekhilafahan ini dimulai sejak khalifah bani Umayah yang pertama yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah mengangkat anaknya sendiri, Yazid sebagai putera mahkota berdasarkan saran yang dilontarkan oleh Al Mughirah bin Syu’bah, Gubernur Kufah. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, Al Mughirah bin Syu’bah menyarankan kepada Muawiyah agar mewariskan kekhalifahan ini ke Yazid setelah mendengar berita bahwa ia akan dipecat dan jabatannya sebagai Gubernur pada tahun 49 H. dan digantikan oleh Sa’id bin Al Ash yang diterima oleh Muawiyah dan penobatan Yazid sebagai putera mahkota pun dilakukan meskipun masyarakat di Madinah secara mayoritas tidak menyetujui hal ini.[32]
            Menurut penulis, meskipun pewarisan kekhalifahan ini atas saran dari Al Mughirah bin Syu’bah, namun sejatinya telah menjadi keinginan kuat Muawiyah sebagai seorang politikus ulung. Hal ini bisa dilihat dari begitu kuatnya ia  mempertahankan keputusannya tersebut meskipun tidak mendapat persetujuan dari mayoritas penduduk Madinah. Bahkan, Muawiyah pun mengancam akan membunuh Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Al Husain bin Ali sebagai para pemuka masyarakat Madinah jika mereka menolak keputusannya.[33]
2. Perluasan Wilayah Kekuasaan
            Pada masa bani Umayah, ekspansi Islam yang terhenti pada masa Usman dan Ali karena konflik internal, dilanjutkan. Diawali dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (661-680 M.) sebagai khalifah pertama,  di bagian Barat, Tunisia dapat ditaklukkannya dengan mengirim Uqbah Ibn Nafi’ sebagai panglima tentaranya. Sedangkan di bagian Timur, sebagaimana disimpulkan oleh Badri Yatim, ia menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul.[34]
Pada masa Abdul Malik Ibn Marwan (685-705 M.), ekspansi ke Timur di bawah pimpinan Al Hajjaj Ibn Yusuf dilanjutkan dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawariz, Ferghana dan Samarqand melalui sungai Oxus yang dilanjutkan  dengan menaklukkan Balukhistan, Sind dan Punjab dan Multan. Sedangkan ke Barat, ekspansi secara besar-besaran dilakukan oleh al Walid Ibn Abdul Malik (705-715 M.) dengan mengirim Musa Ibn Nushair sebagai pimpinan tentaranya yang dimulai dari Afrika Utara dengan menaklukkan Al Jazair dan Maroko hingga hingga ke Spanyol di Barat Daya benua Eropa dengan pengiriman Thariq bin Ziyad sebagai panglima perang melalui selat Gibraltar (jabal Thariq) sehingga kota Toledo sebagai ibukota Spanyol pun dapat dikuasai. Begitu juga kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoba yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam. Ekspansi Islam di Spanyol ini dilanjutkan oleh Musa Ibn Nushair yang sebelumnya telah menguasai Al Jazair dan Maroko. [35]
            Sebenarnya perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa bani Umayah telah sampai ke Perancis melalui pegunungan Piranee yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi pada jaman Umar bin Abdul Aziz (717-720 M.). Namun ekspansi ini gagal dan Al Ghafiqi pun terbunuh.
Wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa bani Umayah ini, tulis Harun, telah membuat Islam menjadi negara yang sangat besar. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa ini telah meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek dan Kirgis (di Asia Tengah).[36]
3. Tumbuhnya Gerakan Politik dan Keagamaan
            Pada masa Utsman dan Ali pertumbuhan gerakan politik maupun keagamaan masih terbatas pada individu-individu tertentu, pada masa bani Umayah gerakan-gerakan ini berkembang menjadi kelompok-kelompok.
            Berkenaan dengan hal ini dapat dijelaskan di sini bahwa sebelum dinasti Umayah berdiri, yaitu pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, karena kebijakan-kebijakannya yang banyak menguntungkan pihak keluarganya saja, sebagian umat Islam kecewa dengan kepemimpinan Utsman. Kekecewaan ini berakhir dengan terbunuhnya Utsman dan berpindahnya kekhalifahan ke tangan Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib pun akhirnya dibunuh oleh para pengikutnya sendiri karena kecewa atas keputusannya menerima arbitrase yang diajukan Muawiyah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kekecewaan-kekecewaan inilah yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan pemberontakan menentang pemerintah di masa Utsman dengan munculnya oposisi  Abu Dzar Al ghiffari dan Ibn Abi Hudzaifah dan oposisi Thalhah, Az Zubair dan Aisyah di masa Ali yang mengakibatkan terjadinya perang Jamal dilanjutkan dengan mengkristalnya gerakan-gerakan politik dan keagamaan pada masa bani Umayah. [37]
            Adapun gerakan-gerakan politik dan keagamaan yang berkembang pada masa bani Umayah adalah sebagai berikut:
1.      Syi’ah,
Syi’ah adalah kelompok pendukung Ali bin Thalib sebagai khalifah keempat yang menggantikan Utsman bin Affan. Kelompok yang sejatinya telah muncul sejak masa Rasul ini semakin menguat terutama karena pihak Muawiyah dan para pengikutnya menolak untuk membaiat Ali sebagai khalifah. Pihak Muawiyah sendiri menganggap Ali terlibat dalam pembunuh Utsman yang membuatnya berkeras untuk memeranginya jika tidak segera menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman. Akibatnya perang Shiffin pun terjadi antara Syi’ah yang dipimpin oleh Ali dan pihak Muawiyah pada 37 H. yang diakhiri dengan penobatan Muawiyah sebagai khalifah pengganti Ali setelah diadakan tahkim di Daumatul Jandal di mana pada tahkim tersebut Muawiyah mengirim Amr bin Ash, seorang ahli politik Arab dan Ali mengutus Abu Musa yang sebenarnya tidak disukainya. Dalam tahkim tersebut, baik Abu Musa maupun Amr bin Ash sepakat untuk mengganti khalifah Ali, namun mereka berbeda tentang siapa penggantinya. Abu Musa memilih Abdullah bin Umar sedangkan Amr bin Ash belum menyebutkan siapa-siapa dan dengan kecerdikannya ia pun mengukuhkan Muawiyah sebagai pengganti Ali.[38]
            Pada masa bani Umayah, kaum Syi’ah meningkat rasa kebenciannya kepada pemerintahan bani Umayah, sejak masa Muawiyah yang telah memerintahkan Al Mughirah bin Syu’bah sebagai Gubernur Kufah untuk mengutuk Ali pada setiap khutbahnya, pemberontakan-pemberontakan, hingga masa-masa kehancuran bani Umayah.
2. Khawarij
Khawarij adalah kelompok penentang Ali yang sebelumnya menjadi pengikutnya yang setia. Mereka memisahkan diri dan keluar dari barisan pendukung Ali karena tidak setuju dengan kebijakan Ali yang bersedia melakukan tahkim dengan pihak Muawiyah yang mereka anggap pembangkang dan harus dibunuh. Kelompok ini dianggap musuh oleh kalangan Syi’ah maupun Muawiyah karena telah menganggap keduanya telah keluar dari Islam dan halal darahnya. Sebaliknya kaum Khawarij, sebagaimana dijelaskan oleh Hasan Ibrahim Hasan, lebih membenci kelompok Muawiyah dari kelompok Ali karena menurut keyakinan mereka, Muawiyah adalah orang yang menghambur-hamburkan harta kekayaan kaum muslimin di samping statusnya sebagai khalifah yang bukan berdasarkan konsensus dan kerelaan kaum muslimin.[39]
3. Kelompok Ibn Zubair
Sebelumnya telah disebutkan bahwa kelompok ini telah muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dan pada masa bani Umayah, meskipun selama jangka waktu yang  cukup lama dalam pemerintahan Muawiyah nampak hilang dari peredaran, setelah penobatan Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota, Abdullah bin Zubair pun bangkit kembali dan menentang langkah yang ditempuh Muawiyah dan berusaha untuk menggagalkan ketetapan penobatan tersebut yang didukung sebagian kaum muslimin. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, dukungan kaum muslimin kepada Abdullah bin Zubair ini disebabkan oleh empat faktor, yaitu perpindahan kekhilafahan dari sistem syura ke sistem pewarisan, terbunuhnya Husein bin Ali, kejamnya para pejabat pemerintahan terhadap penduduk wilayah pemerintahan bani Umayah dan kesalehan serta ketakwaan Abdullah bin Zubair dalam beragama.[40]
Abdullah bin Zubair pun akhirnya menetapkan dirinya sebagai khalifah dan menjadikan Hijaz sebagai pusat pemerintahannya. Namun, gerakan politik yang dilakukan kelompok Ibn Zubair ini berhasil ditumpas dan ia pun mati terbunuh dalam suatu serangan pada masa Abdul Malik bin Marwan pada 73 H.
4. Murjiah
Murjiah adalah suatu kelompok yang lahir di Damaskus, ibukota pemerintahan bani Umayah. Mereka adalah kelompok yang menangguhkan hukuman atas dosa yang dilakukan oleh umat Islam. Berbanding terbalik dari pandangan Khawarij, kelompok ini tidak mengkafirkan siapa pun dan mereka menyerahkan ketentuan hukum yang bersangkutan kepada Allah Swt. Secara politis, mereka adalah kelompok yang menerima pemerintahan bani Umayah. Oleh karena itu, menurut Hasan Ibrahim Hasan, cahaya kelompok ini pun redup bersamaan dengan runtuhnya kekhilafahan bani Umayah.[41]
5. Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah suatu kelompok keagamaan yang banyak menggunakan akal. Pada perkembangannya kemudian, kelompok ini juga terlibat dalam pembicaraan tentang politik. Dalam bidang terakhir ini, kelompok ini nampak sebagai pendukung Ali bin Thalib (Syi’ah) yang mereka sebut sebagai Imam Pertama Mereka. Tapi sebenarnya antara Syi’ah dan Mu’tazilah terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, terutama terutama yang berkaitan dengan teori syi’ah yang menyatakan bahwa seorang Imam itu terpelihara dari dosa.
4.  Diwan
            Perkataan diwan, sebagaimana ditulis Ibn Khaldun, berasal dari bahasa Persia “diwanah” yang berarti catatan atau daftar. Nama ini kemudian berkembang menjadi untuk digunakan sebagai tempat di mana diwan disimpan. Agar lebih praktis, nama ini disingkat menjadi diwan.[42] Diwan ini, di kalangan orang Arab didirikan pertama kali didirikan oleh Umar bin Khattab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pada masa bani Umayah, menurut Hasan Ibrahim Hasan, diwan yang didirikan terbatas pada empat diwan penting, yaitu Diwan Pajak, Diwan Persuratan, Diwan Penerimaan dan Diwan Stempel di samping ada juga diwan lain yang posisinya berada di bawah keempat di atas seperti diwan yang mengatur keperluan polisi dan tentara.[43]
5.  Barid
            Karena luasnya wilayah kekuasaan Islam sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pada masa bani Umayah sejak khalifah Mu’awiyah telah dibentuk suatu badan atau lembaga yang pada masa sekarang dikenal dengan nama Kantor Pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat maupun dokumentasi penting lainnya ke suatu wilayah, terutama dalam pemerintahan Islam. Lembaga ini disebut dengan Barid yang  telah dijalankan oleh para kaisar Persia dan Romawi pada waktu itu. Oleh karena itu, mengenai sebutan Barid ini ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari bahasa Persia, baridah yang berarti yang dipotong ekornya, karena orang-orang Persia biasa memotong ekor kuda yang dipergunakan sebagai barid agar bisa dibedakan dengan hewan tunggangan lainnya. Dalam bahasa Arab sendiri, barid mengandung arti jarak yang ditempuh sejauh 12 mil yang kemudian berkembang dan dipergunakan untuk nama utusan.[44]
Abdul Malik bin Marwan, khalifah ketiga bani Umayah (685-705 M.), karena pentingnya Barid ini dalam jalannya roda pemerintahan, berpesan agar tidak menahan petugas Barid yang datang untuk menemuinya baik siang maupun malam, karena jika hal itu terjadi, berarti pekerjaan suatu wilayah telah hancur selama satu tahun lamanya.[45]
5.  Kepolisian
            Pada masa Bani umayah kepolisian mengalami perkembangan. Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa ini terutama pada pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (102-125H.) ketika dimasukkan seorang kepala yang berwewenang meneliti tindakan-tindakan militer dan dianggap sebagai penengah antara wewenang kepala polisi dan komandan militer.[46]
            Pada masa ini markas kepolisian bertambah menjadi  dua setelah Shalih bin Ali Al Abbasi mendirikan Darussyurthah Al ‘Ulya, suatu markas kepolisian yang berlokasi di Al Mu’askar pada 132 H. setelah sebelumnya telah didirikan pula Darussyurthah As Sufla, yang berlokasi di Fusthat.[47]
6. Angkatan Perang
            Dalam masalah angkatan perang, bani Umayah melanjutkan apa yang telah dilakukan Umar bin Khattab yang telah membentuk Diwan Tentara yang bertugas megidentifikasi nama-nama, sifat-sifat, gaji dan pekerjaan mereka dan mengembangkannya dengan mengadopsi sistem Ta’biah dari orang-orang Persia, yaitu membagi para tentara menjadi lima kesatuan. Lima kesatuan ini, sebagaimana diuraikan Hasan Ibrahim Hasan terdiri dari Jantung Tentara karena berada di bagian tengah kesatuan, Kesatuan Kanan karena di  sebelah kanan, Kesatuan Kiri karena posisinya di sebelah kiri, Kesatuan Pendahuluan, yaitu para penunggang kuda yang berada di depan dan Kesatuan Pengiring yang berada di belakang kesatuan.[48]
            Salah satu perkembangan dalam bidang angkatan perang ini adalah dibuatnya pabrik kapal laut pada tahun 54 H. setelah serangan yang dilancarkan oleh tentara Romawi yang menyebabkan banyak kaum muslimin yang gugur. Berkenaan dengan angkatan laut Islam ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa bangsa Arab dalam cara berperang di laut pada mulanya meniru bangsa Byzantium. Namun, pada perkembangannya kemudian merekalah yang menjadi guru bangsa Eropa dalam bidang ini. Kenyataan ini seperti ditunjukkan dalam istilah-istilah kelautan yang berasal dari bahasa Arab dan masih dipergunakan hingga sekarang.[49]
7. Peradilan
            Pada masa bani Umayah, sebagaimana sebelumnya, para hakim yang diangkat adalah orang-orang pilihan yang sangat takut kepada Allah Swt dan adil dalam menetapkan suatu keputusan. Perkembangan yang terjadi adalah bahwa pada masa ini keputusan-keputusan hakim sudah mulai dicatat. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa Salim bin Anas adalah hakim pertama pada masa bani Umayah yang melakukan pencatatan ketetapan hukum.[50]
            Selain itu, peradilan pada masa bani Umayah dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Al Qadla’, yaitu peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama, Al Hisbah, yang mengurus masalah-masalah pidana dan Al Mazhalim, yaitu lembaga tertinggi yang mengadili para pejabat tinggi dan hakim-hakim. Yang terakhir ini juga dipergunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang belum tuntaspada pengadilan Al Qadla’ dan Al Hisbah (pengajuan banding). Pengadilan pada Al Mazhalim ini memiliki tingkat kepentingan yang sangat tinggi sehingga, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, setiap persidangan pada Al Mazhalim harus dihadiri oleh lima kelompok persidangan, mereka adalah para pembela dan pembantunya, para hakim penasehat, para ahli fikih, para sekretaris dan para saksi.[51]

B. Ekonomi Islam

            Tidak banyak dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam peradaban Islam khususnya dalam bidang ekonomi Islam pada masa bani Umayah. Namun, jika dibandingkan dengan ekonomi pada masa Khulafaurrasyidin, pada masa ini terjadi peningkatan pemasukan keuangan seiring dengan meluasnya ekspansi Islam di berbagai belahan dunia pada waktu itu.
            Baitul Mal yang telah didirikan pada masa Umar bin Khattab, pada masa bani Umayah juga merupakan lembaga penting yang menentukan keuangan pemerintahan, sehingga keberadaannya menjadi kebutuhan yang sangat penting, terutama setelah mencapai tingkat ekonomi yang lebih maju dibanding dengan masa sebelumnya.
            Dari bidang pajak, terutama sebelum masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, pemasukan Baitul Mal yang diperoleh mencapai 186.000.000 dirham. Jumlah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan berasal dari Irak sebanyak 130.000.000 dirham, dari Mesir 36.000.000 dirham dan Syam 20.000.000 dirham.[52]
            Jika dibandingkan dengan hasil pajak pada jaman khulafaurrasyidin, pada masa bani Umayah lebih tinggi yang disebabkan terutama oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pajak. Berkenaan dengan hal ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Muawiyah menyuruh Wardan, Gubernurnya di Mesir untuk menaikkan pajak bagi setiap orang Qibthi sebesar satu qirat dan pada masa Abdul Malik bin Marwan pajak bagi setiap individu ini dinaikkan tiga kali lipat menjadi 3 dinar.[53]
            Pada masa Umar bin Abdul Aziz, tarif pajak yang telah dinaikkan sejak masa Muawiyah diturunkan kembali dan setiap individu hanya harus membayar lebih kurang 14 Qirat saja sebagaimana yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab.[54]

C. Ilmu Pengetahuan Islam

Dengan kacamata filsafat ilmu, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa bani Umayah ini sudah lebih ilmiah dibandingkan dengan masa sebelumnya dengan dituliskannya suatu ilmu berdasarkan sistematika dan metodologinya masing-masing. Kemajuan yang dicapai pada masa bani Umayah ini terkait erat dengan perkembangan yang terjadi di mana terjadi interaksi antara peradaban Islam dengan peradaban lainnya yang telah hadir sebelum kehadiran Islam di daerah kekuasaannya seperti peradaban Yunani di Mesir dan lain-lain.
            Interaksi dengan peradaban Yunani nampak pada adanya usaha penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani oleh sarjana-sarjana muslim atas perintah sang Khalifah. Musyrifah Sunanto menjelaskan bahwa Khalid bin Yazid, cucu Muawiyah pada masa kekhilafahannya, karena tertarik dengan ilmu kimia dan kedokteran menyediakan sejumlah dana untuk penerjemahan buku-buku tersebut kedalam bahasa Arab.[55]
            Sedangkan dengan peradaban Kristen, interaksi ini terjadi ketika ilmuwan-ilmuwan Kristen di antara mereka ada yang menjadi pejabat di pemerintahan Islam seperti Yahya ad Dimasyqi pada masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan yang teguh mempertahankan agamanya. Sebagaimana ditulis Musyrifah, keteguhan sikap ini mendorong umat Islam untuk mempelajari logika agar dapat mempertahankan aqidah Islam sekaligus mematahkan hujjah mereka.[56]
            Selain karena interaksi di atas, keilmuan Islam pada masa ini mengalami kemajuan karena luasnya daerah kekuasaan Islam di mana umat Islam banyak yang berbahasa selain Arab dan tidak memahaminya. Ditemukannya titik dalam bahasa Arab pada masa Hajjaj Ibn Yusuf Ats Tsaqafi oleh Abul  Aswad Ad Duwali adalah contoh yang dapat dikemukan pada kasus ini.
Perkembangan bahasa Arab selanjutnya adalah pada aspek tata bahasa Arab yang terjadi pada masa khalifah Harun Ar Rasyid  oleh Al Khalil Ibn Ahmad yang mengarang kitab Al ‘Ain sebagai kamus bahasa Arab pertama dan Sibawaih. Tokoh terakhir ini menulis bukunya yang sangat terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Sibawaih, suatu karya yang sangat baik sehingga menjadi acuan bagi para ahli bahasa Arab yang sesudahnya seperti Al Kisa’I, Al ‘Ashmu’I, Al Akhfas Ash-shagir dan Az Zujazi.
Selain karena perluasan wilayah kekuasaan Islam, kefanatikan bani Umayah terhadap bangsa Arab, juga menjadi faktor kemajuan bahasa Arab, terutama dalam bidang sya’ir.. Oleh karena itu sya’ir-sya’ir Jahili pada masa ini pun tumbuh dengan pesat, sehingga muncullah para ahli dalam bidang ini, seperti Umar bin Abi Rabi’ah (w.719 M.), Jamil Al ‘Udhri (w. 701 M.), Qays bin Al Mulawwah  (w. 699 M.). Al Farazdaq (w. 732 M.), Jarir (w. 792 M.) dan Al Akhtal (w. 710 M.).[57]
Keilmuan Islam pada masa bani Umayah juga terjadi secara alami karena perkembangan jaman di mana ilmu-ilmu yang telah dipelajari berdasarkan Al-Quran dan Hadis perlu dibukukan sehingga memudahkan umat Islam untuk mempelajari agamanya melalui buku-buku tersebut. Ilmu-ilmu agama tumbuh berkembang, seperti ilmu Tafsir, ilmu Hadits, Ilmu Qiraat,  Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam dan sebagainya, sehingga muncullah para ahli di bidang ini, seperti Ibn Jarir At-Thabari, Hasan Al Bahshri, Ibn Syihab Az Zuhri dan Washil bin ‘Atha’ dengan tulisan-tulisan mereka. Begitu juga dengan ilmu sejarah yang berkembang dengan munculnya para penulis sejarah seperti Musa bin ‘Uqbah (w.131 H.) , Ibn Syihab Az Zuhri (w. 124 H.) dan Ibn Ishaq  (w.151 H.), meskipun  menurut Hasan Ibrahim Hasan kegiatan penulisan sejarah ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah karena para khalifah bani Umayah lebih menyukai membaca Al-Quran daripada membaca sejarah.[58]
            Faktor ekonomi juga mempengaruhi perkembangan ilmu Islam pada masa ini. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa wilayah kekuasaan pada masa ini sudah sangat luas sehingga tingkat perekonomian Islam pun meningkat. Ketika perekonomian meningkat timbullah kebutuhan akan seni yang diwujudkan dalam usaha menghiasi pembangunan kota-kota berikut gedung-gedungnya, baik gedung pemerintahan maupun masjid di mana setiap pembangunan masjid maupun gedung pemerintahan dengan seni kaligrafi dan arsitektur.
Pada masa bani Umayah ini telah banyak tulisan-tulisan kaligrafi  yang menghiasi gedung-gedung dengan arsitekturnya yang indah, seperti yang terdapat di Qashr ‘Umrah, yaitu suatu istana kecil tempat berburu yang terletak sekitar 50 mil dari kota Amman yang dibangun pada masa Al Walid bin Abdul Malik.[59]

EVALUASI
  1. Apa perbedaan yang sangat mendasar antara peradaban Islam masa bani Umayah dengan peradaban Islam pada jaman Nabi dan Khulafaurrasyidin ?
  2. Masa bani Umayah dapat dikatakan sebagai masa perluasan wilayah kekuasaan Islam secara besar-besaran. Uraikan ekspansi terbesar dalam sejarah Islam ini !
  3. Jika masa bani Umayah disebut sebagai masa ekspansi Islam, bagaimanakah perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa ini ?
 

BAB V

PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH

            Dalam sejarah peradaban Islam, masa kekhilafahan bani Abbasiyah adalah masa keemasan Islam di mana setiap unsur-unsur yang menjadi bangunan peradaban Islam telah mencapai puncaknya.

A. Politik, Sosial dan pemerintahan Islam

1. Pola Pemerintahan Bani Abbasiyah

Kekhilafahan bani Abbasiyah didirikan oleh Abul ‘Abbas pada tahun 750 M. Tapi, menurut Harun Nasution, pembina sebenarnya adalah Al Mansur (754-775M.) yang memindahkan ibukota pemerintahannya dari Damaskus ke Baghdad pada 762 M.[60]
Kekuasaan bani Abbasiyah berlangsung sekitar 524 tahun dari 750 -1258 M. Dalam rentang waktu yang sangat panjang ini kekhilafahan bani Abbsiyah mengalami lima periode dilihat dari pola pemerintahan dan politik yang diterapkan oleh para khalifahnya. Kelima periode ini adalah sebagai berikut:
1.      Periode Persia I, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Persia.
2.      Periode Turki II, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Turki.
3.      Periode Persia II, di mana orang-orang Persia kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang sejatinya dikuasai oleh bani Buwaih.
4.      Periode Turki II, di mana orang-orang Turki kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang dikuasai oleh bani Seljuk.
5.      Periode Tanpa Pengaruh selain arab. Periode ini hanya efektif di Baghdad hingga masa kehancuran peradaban Islam.[61]
Pada periode Persia pertama yang berlangsung dari 750-847 M ini pengaruh kerajaan Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah nampak pada corak pemerintahannya yang otokratis dan gaya pemerintahannya yang seakan mewakili Allah di bumi di mana khalifah diterjemahkan bukan khalifah Rasulillah tapi khalifah Allah. Maka dari itu pada masa ini terdapat gelar-gelar baru yang pada masa bani Umayah belum ada dengan memakai kosakata « Allah ».  seperti Al Hakim bi amrillah dan Al Hafizh lidinillah. Menurut Abdul Mun’im Majid, tujuan pemakaian gelar ini adalah untuk menopang kekuasaan mereka.[62]
Selain itu, pengaruh Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah dapat dilihat diangkatnya pejabat pemerintahan dari orang-orang Persia. Harun Nasution menyebutkan bahwa Pengawal Al Mansur dan Wazir, jabatan pemerintahan baru yang membawahi depertemen-departemen dalam pemerintahan bani Abbasiyah adalah orang-orang Persia.[63]
Sebagai konsekuensi dari sikap condong kepada keturunan Persia, pemerintahan bani Abbasiyah berada dalam kondisi sulit di mana terjadi kemarahan orang-orang Arab, baik dari kalangan bani Umayah sendiri maupun dari kalangan bani Abbas sendiri terhadap pemerintahan dengan terjadinya pergerakan protes yang dilancarkan oleh Abdullah bin Ali, saudara khalifah Al Manshur sendiri. Selain itu, kemarahan juga timbul dari orang-orang Persia sendiri yang merasa berada di atas angin dan mendapatkan kesempatan baik untuk membangkitkan kembali keturunan Ali dengan gerakan perlawanannya yang dipimpin oleh Abu Muslim Al Khurasani. A. Hasjmi menulis, bahwa pada akhirnya gelombang kemarahan tersebut dapat ditangani oleh khalifah Al Manshur.[64]
Pada periode kedua, pemerintahan bani Abbasiyah, secara politis didominasi oleh bangsa Turki selama kurang lebih satu abad dari 847-945 M.
Pada periode ketiga, kekuasaan politik kembali didominasi oleh bangsa Persia selama 110 tahun hingga 1055 M. dan pada periode keempat kembali bangsa Turki yang menguasai politik di pemerintahan bani Abbasiyah selama kurang lebih satu setengah abad hingga 1194 M.
Sedangkan periode kelima sebagai periode terakhir masa pemerintahan bani Abbasiyah, pemerintahan mulai rapuh dan hanya efektif di sekitar kota Baghdad hingga akhirnya hancur pada 1258 M.

2. Gerakan-gerakan Politik Keagamaan

            Setelah mengatasi permasalahan kemarahan sebagian rakyat yang tidak mendukung sikap pemerintahan yang condong ke keturunan Persia, pemerintahan bani Abbasiyah dihadapkan pada permasalahan baru, yaitu timbulnya gerakan-gerakan keagamaan bertendensi politik selain gerakan-gerakan yang telah ada sejak jaman pemerintahan bani Umayah. Gerakan-gerakan ini adalah :
a.       Ar Rawandiyah, yaitu gerakan yang berasal dari keturunan Persia yang telah masuk Islam. A. Hasjmi mengatakan bahwa gerakan mereka bertujuan untuk memasukkan unsur-unsur agama mereka (Zoroaster, Manuwiyah, Mazdakiyah, Sabaiyah) ke dalam Islam untuk menghancurkan Islam.[65] Gerakan  ini berhasil ditumpas oleh khalifah Al Manshur.
b.      Al Muqannaiyah, yaitu gerakan yang timbul pada masa pemerintahan Al Mahdi dengan ajarannya bahwa Tuhan menjelma ke dalam diri manusia yang dimulai dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, Ali bin Abi Thalib, puter-putera Ali, Abu Muslim Al Khurasani hingga ke diri Al Muqanna. Gerakan ini ditumpas pada jaman Al Makmun yang mengirim pasukannya yang berjumlah 70000 orang.
c.       Al Khuramiyah, yaitu gerakan keagamaan dengan ajaran reinkarnasi yang bertujuan untuk menghancurkan pemerintahan Abbasiyah dan memindahkan kekhilafahan ke Persia. Gerakan ini ditumpas oleh khalifah Al Mu’tashim.
d.      Az Zanadiqah, yaitu gerakan zindiq yang keluar dari ajaran-ajaran Islam yang  dibangun oleh kaum mawali dari keturunan Persia. Gerakan ini memiliki sejarah yang panjang di mana para khalifah Abbasiyah hampir terus berhadapan dengan gerakan ini sepanjang pemerintahannya.
e.       Ahlussunnah, yaitu gerakan keagamaan yang lahir sebagai reaksi atas pemikiran-pemikiran Mu’tazilah yang dalam perkembangannya mendukung pemerintah bani Abbasiyah.
f.       Partai-partai pendukung Ali, yaitu gerakan-gerakan politik para pendukung Ali yang ikut membangun pemerintahan bani Abbasiyah dan bermaksud merebut kekuasaan dari tangan para pemimpin dari bani Abbas. Karena tujuan ini, mereka pun melakukan berbagai aksi kekerasan berupa pemberontakan-pemberontakan di berbagai kota. A. Hasjmi menulis bahwa mereka berkali-kali mempergunakan kekerasan bersenjata seperti pemberontakan Muhammad bin Abdullah di Hijaz, pemberontakan Ibrahim bin Abdullah di Irak, pemberontakan Husin bin Ali di Madinah dan pemberontakan Yahya bin Abdullah dan saudaranya Idris bin Abdullah di Maroko.[66]

3. Wizarah, Kitabah dan Diwan

            Pada jaman pemerintahan bani Abbasiyah terdapat dua macam Wizaarat, yaitu Wizaratut Tanfiz di mana Wazir bekerja atas nama khalifah dan Wizaratu Tafwidl di mana Wazir berwenang penuh dalam pemerintahan. Jabatan ini, sebagaimana ditulis oleh Badri Yatim belum ada pada masa bani Umayah sebagai salah satu perbedaan antara peradaban Islam masa bani Umayah dan masa bani Abbasiyah.[67]
            Untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan, dibentuk sekretariat negara yang disebut Diwanul Kitabah yang dipimpin oleh Sekretaris Negara dibantu oleh beberapa sekretaris. A. Hasjmi menulis ada lima sekretaris yang bekerja di bawah kendalai Sekretaris Negara yaitu Sekretaris bidang keuangan, sekretaris bidang persuratan, sekretaris bidang militer, sekretaris bidang kepolisian dan sekretaris bidang kehakiman.[68]
            Sedangkan Wazir, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para menteri yang membawahi departemen. Di antara departemen-departemen ini adalah departemen keuangan, departemen kehakiman, departemen Pengawasan urusan negara, depertemen kemiliteran, departemen tenaga kerja, departemen perhubungan, departemen pengawasan keuangan, departemen urusan arsip, departemen pembelaan rakyat tertindas, departemen keamanan dan kepolisian, departeman sosial, departemen urusan keluarga dan wanita dan departemen pekerjaan umum.

4. Tentara

            Tidak berbeda dengan pada masa bani Umayah, pada masa bani Abbasiyah tentara berada di bawah Diwanul Jundi yang terdiri dari dua angkatan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut. Namun pada masa bani Abbasiyah, pengaturan ketentaraan ini sudah lebih sempurna di mana kedua angkatan di atas terbagi atas empat bagian, yaitu Arif, yaitu komandan regu yang membawahi 10 orang prajurit, Naqib, komandan kompi yang membawahi 10 Arif (100 prajurit), Qaid, komandan batalion yang membawahi 10 Naqib (1000 prajurit) dan Amir, panglima divisi yang membawahi 10 Qaid (10.000 prajurit).
            Dalam banyak kesempatan, khalifah bani Abbasiyah, sebagaimana ditulis A. Hasjmi, menyerahkan pimpinan negara kepada panglima besar, terutama dalam keadaan darurat. Panglima besar yang diserahi pimpinan oleh Khalifah ini dikenal dengan sebutan Amirul Umara.[69]

5. Peradilan

            Jika pada masa Khulafaurrasyidin dilanjutkan dengan masa bani Umayah peradilan pada masa bani Abbasiyah telah banyak dipengaruhi oleh politik. Selain itu perkembangan yang terjadi pada masa bani Abbasiyah ini nampak dari diadakannya jabatan baru yaitu Jaksa Penuntut Umum dan dibentuknya Diwan Qadli al Qudlat atau Mahkamah Agung. Organisasi peradilan pun berubah menjadi sebagai berikut:
1.      Mahkamah Agung yang membawahi semua badan-badan pengadilan
2.      Pengadilan Tinggi Provinsi
3.      Pengadilan Negeri/Kota
4.      Kejaksaan.[70]
6.  Warga Negara Keturunan
            Sebenarnya warga negara keturunan telah ada sejak masa bani Umayah karena luasnya kekhilafahan yang terdiri dari berbagai bangsa dan etnik yang berbeda, seperti unsur Barbar di Afrika Utara, unsur Qibti di Mesir, Unsur Kurdi di Irak, unsur Persia di Iran dan lain-lain.
Namun pada masa bani Abbasiyah, perkawinan campuran antara pria Arab dan wanita non Arab nampak sangat menonjol di mana bukan masyarakat umum saja yang melakukan tetapi juga para khalifah, pejabat pemerintahan, panglima tentara, gubernur dan pembesar-pembesar lainnya. A. Hasjmi  mengatakan bahwa para khalifah yang berasal dari golongan taulid (warga negara keturunan) ini banyak di antaranya adalah Harun Ar Rasyid, Makmun dan Al Mu’tashim.[71]

7. Disintegrasi Politik

            Secara politis, kekuasaan politik bani Abbasiyah mengalami masa keemasannya hanya pada periode pertama sebelum berpindahnya dominasi kekuasaan politik ke tangan bangsa Turki pada periode kedua. Pada periode ini dan seterusnya, kekhilafahan bani Abbasiyah lebih didominasi oleh disintegrasi yang terwujud dalam bentuk pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat dan perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
Dalam hal pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat, penulis  melihat adanya dua alternatif, yang pertama adalah keinginan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan bani Abbasiyah untuk lebih berkuasa dan yang kedua karena para khalifah bani Abbasiyah lebih mementingkan pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban dibandingkan dengan kekuasaan politik. Para khalifah ini nampak merasa cukup dengan upeti-upeti yang diberikan daerah-daerah provinsi sebagai lambang kepatuhan kepada pemerintah pusat. Satu hal yang pasti, pemerintahan bani Abbasiyah sejak diangkatnya orang-orang Turki untuk menduduki jabatan sebagai tentara profesional, memudar yang diikuti oleh kemerdekaan daerah-daerah provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad.
            Berkenaan dengan pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat ini, Badri Yatim menyebutkan lebih dari 20 dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari pemerintahan bani Abbasiyah sejak 820 M. hingga keruntuhannya pada 1258 M., baik dari latar belakang kebangsaan seperti bangsa Arab, Persia, Turki dan Kurdi maupun dari latar belakang paham keagamaan seperti Syi’ah dan Sunni.[72]
            Sedangkan dalam hal perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, telah terjadi sejak pemerintahan bani Abbasiyah ini berdiri. Pada periode kedua, kekuasaan pemerintahan berhasil direbut oleh orang-orang Turki. Pada periode ketiga, pemerintahan pusat bani Abbasiyah berpindah ke tangan bani Buwaih yang berasal dari keluarga miskin di Dailam setelah ketiga orang putra Abu Syuja’ Buwaih, Ali Hasan dan Ahmad memasuki kancah kemiliteran yang dimulai dengan memasuki dinas militer.[73]
            Pada periode keempat kekuasaan pemerintah pusat dipegang oleh Bani Seljuk setelah kekuasaan bani Buwaih yang berjalan sekitar satu abad menurun yang terutama disebabkan oleh perebutan kekuasaan yang terjadi di antara keturunan bani Buwaih. Dinasti Seljuk sendiri adalah gabungan antara kabilah-kabilah kecil dari suku Ghuz di Turkistan yang pada abad kedua, ketiga dan keempat hijriah pergi ke Transoxiana dan Khurasan dan dipersatukan oleh Seljuk bin Tuqaq. Kekuasaan bani Seljuk ini berusia hampir satu setengah abad dengan wilayah kekuasaan yang sangat besar, terutama pada masa Malik Syah (1072-1092M.) yang meliputi Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan ahwaz, Seljuk Kirman, Sejuk Irak, Seljuk Syiria dan Seljuk Rum.[74]
            Pada periode kelima, kekuasaan bani Abbasiyah berada dalam genggaman Khawarizm Syah yang merupakan periode terakhir dari peradaban Islam masa bani Abbasiyah. Kekuasaan yang hanya berusia 64 tahun di bawah kepemimpinan khalifah Al Mu’tashim ini akhirnya dihancurkan oleh serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada 1258 M.

B. Ekonomi Islam

Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, kegiatan perekonomian bertambah maju seiring dengan perkembangan jaman sehingga kekayaan negara bertambah banyak, meskipun pada umumnya tidak berbeda dengan kegiatan perekonomian yang dilakukan bani Umayah. Badri Yatim menulis bahwa pada masa Al Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.[75]
Kemudian di sektor industri di mana banyak berdiri kota-kota industri, seperti Bashrah yang terkenal dengan industri sabun dan gelasnya, Kufah dengan industri suteranya, Mesir dengan industri tekstilnya, Andalusia dengan industri kapal, kulit dan senjatanya dan Baghdad tentunya sebagai ibukota dengan berbagai industri yang digelutinya. Berkenaan dengan industri di Baghdad ini, A. Hsjmi menulis, bahwa Baghdad mempunyai 400 buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000 kilang keramik.[76]
Selain sektor pertanian dan industri di atas, masa pemerintahan bani Abbasiyah juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam bidang perdagangan. Pada masa ini usaha-usaha untuk memajukan perdagangan dilakukan dengan membangun sumur-sumur dan tempat peristirahatan para pedagang, membangun armada-armada dagang dan membangun armada-armada lalut untuk melindungi para pedagang dari ancaman serangan bajak laut. A. Hasjmi mengatakan bahwa Baghdad merupakan Kota Perdagangan terbesar di dunia pada waktu itu yang dilanjutkan dengan Damaskus sebagai kota keduanya di  samping kota-kota perdagangan lainnya di dunia Islam seperti Bashrah, Kufah, Madinah, Kairo, Kairawan, dan kota-kota di tanah Persia.[77]
Kemajuan ekonomi yang sangat signifikan ini diawali oleh khalifah Al Manshur yang piawai dalam bidang ekonomi dengan meletakkan fondasi-fondasinya dengan kuat selama 22 tahun yang dilanjutkan dengan khalifah-khalifah lainnya, terutama Harun Ar Rasyid. Sepeninggal Al Manshur,--sebagaimana ditulis oleh A. Hasjmi—kas negara masih tersisa sebanyak 810.000 dirham dan ketika khalifah Harun Ar Rasyid meninggal, ia meninggalkan kekayaan negara kurang lebih 900.000.000 dirham.[78]
Perbedaan-perbedaan dalam bidang ekonomi yang ada antara masa bani Umayah dan bani Abbasiyah ini di antaranya adalah pada penerapan konsep kepemilikan atas tanah di mana pada jaman bani Abbasiyah, konsep tanah adalah hak penuh negara lebih tegas dikemukakan, sementara pada masa bani Umayah, tanah adalah milik umat Islam yang diwakili oleh Khalifah. Perbedaan yang lain adalah pada penerapan pajak di mana diperoleh cara yang mempermudah dan memperlancar penarikan pajak dengan adanya sistem penjamin yang pada waktu itu disebut dengan Dhaman atau Qibalat.[79]
Selain itu, sikap bani pemerintahan bani Abbasiyah kepada para petani lebih baik jika dibandingkan dengan sikap bani Umayah yang kurang mendukung sektor pertanian, terutama di masa-masa awal pemerintahan. A. Hasjmi menulis bahwa tindakan-tindakan yang mendukung sektor pertanian seperti memberikan jaminan kepada para petani, memperluas areal pertanian, membangun bendungan-bendungan untuk keperluan irigasi hingga mengambil tindakan keras kepada para pejabat yang berlaku kejam terhadap petani menjadikan sektor pertanian pada masa Abbasiyah maju sekali sehingga tidak satu pun daerah yang tidak mempunyai lahan pertanian.[80]
Namun, kemajuan di bidang ekonomi ini bukan terjadi selama pemerintahan bani Abbasiyah, tapi hanya pada periode pertamanya di mana kekuasaan politik masih sangat kuat dan secara ekonomi sangat kaya. Setelah terjadinya disintegrasi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pendapatan pemerintah pun menurun. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh makin menyempitnya daerah kekuasaan, banyaknya kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan adanya dinasti-dinasti kecil yang tidak lagi membayar upeti, sedangkan pengeluaran membengkak. Badri Yatim menulis, pembengkakan pengeluaran ini antara lain karena kehidupan para khalifah dan pejabat yang semakin mewah, jenis pengeluaran yang semakin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[81]

C. Ilmu Pengetahuan Islam 

             Masa bani Abbasiyah disebut sebagai masa keemasan peradaban Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan di mana kemajuannya terjadi dengan sangat pesat dan mencapai puncaknya. Hal ini tidaklah mengherankan tentunya jika melihat perkembangan yang terjadi sebelumnya di mana stabilitas politik yang telah terwujud dan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan waktu itu dapat dikatakan telah mencapai tingkatannya yang paling tinggi. Ditambah lagi dengan industri kertas yang juga sangat mendukung gerakan keilmuan, telah ada sejak masa khalifah Harun Ar Rasyid.
            Hal ini, terlepas dari adanya disintegrasi politik maupun pemisahan diri daerah-daerah provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad sejak periode kedua sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, karena baik pusat maupun daerah sama-sama mementingkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan ini, Badri Yatim menulis bahwa selain perkembangan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan pemerintahan, setidaknya terdapat dua faktor lain yaitu faktor asimilasi dan gerakan terjemahan. Asimilasi ini terjadi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain seperti Persia, India dan Yunani yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan gerakan terjemahan, hal ini berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Al Mansur hingga Harun Ar Rasyid dengan penerjemahan karya-karya dalam bidang astronomi dan logika. Fase kedua, mulai masa Al Ma’mun hingga tahun 300 H dengan penerjemahan buku-buku di bidang filsafat dan kedokteran. Dan fase ketiga berlangsung setelah 300 H di mana buku-buku yang diterjemahkan semakin meluas.[82]
Pada masa bani Abbasiyah ini, kegiatan keilmuan Islam baik berupa penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab maupun penulisan karya-karya asli penulis Islam sangat intens dilakukan. Harun Nasution menulis bahwa buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari Byzantium dan berlangsung selama satu abad lamanya. [83]
Dalam kegiatan keilmuan ini, sejak khalifah Al Mansur, tepatnya setelah ia memindahkan ibukota pemerintahan ke Baghdad pada 762 M., buku-buku dari berbagai bahasa yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan banyak diterjemahkan dan dibukukan. Usaha pengembangan ilmu pengetahuan Islam ini diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya terutama Al Ma’mun (813-833 M.),  khalifah yang karena cintanya kepada ilmu pengetahuan membangun sekolah-sekolah dan Bait al Hikmah  di Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan keilmuan. Musyrifah Sunanto menyatakan bahwa di sinilah orang dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877M.), penerjemah buku kedokteran Yunani, termasuk buku ilmu kedokteran yang sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama Materia Medika.[84]
            Dengan dilakukannya berbagai penerjemahan dari buku-buku yang berasal dari Barat, dalam hal ini Yunani Klasik, lahirlah para ulama dan cendekiawan muslim yang tidak hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari, tetapi juga melahirkan ilmu-ilmu baru, khususnya di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Dalam bidang filsafat, muncul Ikhwanusshafa, Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd dan lain-lain. Dalam bidang astronomi, terdapat Al Battani, Ibn Al Hatsam, Al Fazari As Shufi, dan lain-lain. Dalam Ilmu Kimia ada Jabir Ibn Hayyan yang disebut sebagai Bapak Ilmu Kimia dan Abu Bakar Ar Razi. (865-925 M.), Al Hawawi, Al Majrithi dan lain-lain. Dalam bidang Fisika ada Abu Raihan Muhammad Al Bairuni (973-1048 M.), Al Khazin, Al Hamdani dan lain-lain. Dalam bidang geografi ada Al Mas’udi, Al Maqdisi, Al Handani dan lain-lain. Dalam bidang kedokteran dan farmasi ada Hunain Ibn Ishaq, Abu Bakar Ar Razi, Az Zahrawi, Ibn Sina dan lain-lain.
            Selain penerjemahan dan penemuan ilmu-ilmu baru dalam bidang ilmu pengetahuan umum, buku-buku yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan agama pun disusun dengan cara yang lebih sistematis dan rapi. Dalam bidang hadits terkenallah nama-nama seperti Bukhari dan Muslim pada abad ke IX M. Dalam bidang Fikih terdapat empat imam madzhab yang terkenal yaitu Imam Abu Hanifah (700-767 M.), Imam Malik (713-795 M.), Imam Syafi’I (767-820 M.) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M.). Dalam bidang tafsir terdapat Al Thabari (839-923 M.). Dalam bidang sejarah ada Ibn Hisyam pada abad kedelapan, Ibn Sa’d pada abad kesembilan. Dalam bidang teologi (ilmu kalam) ada Wasil bin ‘Atha, Ibn Huzail, Al Allaf (752-849 M.), dari golongan Mu’tazilah. Ada Abul Hasan Al Asy’ari (873-955M.) dan Al Maturidi dari golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah pada abad kesembilan dan kesepuluh. Dalam bidang tasawuf terkenallah Zunnun Al Mishri, Abu Yazid Al Busthami, Al Hallaj.
            Dan tidak hanya itu saja, kemajuan ilmu pengetahuan pada masa bani Abbasiyah ditandai dengan kemajuan di bidang sastra Arab. Dalam bidang ini,  baik puisi maupun prosa  mengalami kemajuan yang signifikan yang membedakannya dari puisi dan prosa pada jaman bani Umayah. Tentang kemajuan di bidang puisi, A. Hasjmi mengemukakan bahwa pada jaman bani Abbasiyah telah lahir para sastrawan (penyair) yang membawa aliran baru dalam sajak-sajaknya, baik isi, uslub, tema, atau pun sasarannya, sehingga dalam hal-hal tersebut mereka mengatasi para penyair sebelumnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa para penyair zaman bani Umayah masih terlalu keras mempertahankan kemurnian Arabnya, sehingga mereka menghindari filsafat, bahkan apa saja yang bukan asli Arab, sedangkan para penyair zaman Abbasiyah telah merubah kebiasaan itu.[85]
            Begitu juga dengan prosa, A. Hasjmi mengatakan bahwa selama masa pemerintahan bani Abbasiyah, prosa telah mengalami kemajuan yang pesat, baik dari gaya bahasanya maupun dari isinya. Para prosais masa Abbasiyah ini, lanjut A. Hasjmi, berani mengadakan perubahan-perubahan dan berbaikan dalam dunia sastra, bahkan kalau perlu dengan meninggalkan sama sekali kebiasaan-kebiasaan zaman sebelumnya.[86]
            Adapun para ahli muslim di bidang puisi dan prosa di antaranya adalah Abu Nuwas (145-198 H.), Abu Atahiyah (130-211 H.), Abdullah Ibn al Muqaffa’ (w. 143 H.), Al Jahizh (w. 255 H.), Badi’uzzaman al Hamzani (w. 398 H.), Al Mutanabbi (303-354 H.),  Al Mu’arry (363-449 H.), dan Ibn Qutaibah (w. 276 H.)
            Bidang seni musik adalah salah satu yang membedakan masa ini dengan masa sebelumnya di mana perkembangannya pada masa bani Abbasiyah sangat signifikan. Baik buku-buku asli maupun terjemahan dari bahasa Yunani dan India, pada masa  bani Abbasiyah ini tentang musik dan ilmunya telah banyak disusun. Di samping itu, para khalifah dan para pejabat pemerintahan lainnya memberi perhatian yang sangat besar terhadap musik, sehingga banyak didirikan sekolah-sekolah musik di berbagai daerah baik untuk level menengah maupun tinggi.  A. Hasjmi mengatakan bahwa sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Saiduddin Mukmin (w.1294 M.)[87]
Di antara ahli musik pada masa ini adalah Yunus bin Sulaiman (w. 765 M.), Khalil bin Ahmad (w. 791 M.), Al Kindi (w. 874 M.), Hunain bin Ishak (w. 873 M) dan Al Farabi yang juga seorang filosof.

EVALUASI
1.      Bagaimanakah perkembangan politik, sosial dan pemerintahan Islam pada masa bani Abbasiyah ini ?
2.      Bagaimana pula perkembangan ekonominya?
3.       Masa bani Abbasiyah disebut sebagai masa keemasan peradaban Islam. Bagaimanakah gambaran ilmu pengetahuan Islam pada masa ini>

BAB VI

PENUTUP

            Sejarah peradaban Islam masa klasik yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya merupakan bagian terpenting dari sejarah panjang umat Islam yang harus diketahui dan dipelajari sebagai bahan dan bagian dari upaya-upaya rekonstruksi peradaban Islam, terutama oleh para pemikirnya dalam rangka kebangkitan Islam yang sejak seabad lamanya disuarakan.
            Kebangkitan Islam ini sendiri sangat mungkin terjadi, karena peradaban Barat saat ini dapat dikatakan telah mencapai puncaknya yang tertinggi. Mengikuti teori Ibn Khaldun tentang peradaban bahwa peradaban itu seperti manusia yang berkembang dari bayi kemudian remaja, dewasa, tua dan akhirnya mati, peradaban Barat sekarang dapat dikatakan sedang berada di ambang kematiannya.
            Pertanyaannya kemudian adalah apakah peradaban Islam yang akan menggantikan peradaban Barat ini ? Jawabannya kembali kepada umat Islam itu sendiri. Karena peradaban Islam tidak lahir begitu saja tanpa adanya usaha untuk mewujudkannya. Lalu bagaimana mewujudkannya? Caranya yang paling pertama dan utama adalah dengan mempelajari sebab-sebab bangunnya peradaban yang terjadi sepanjang sejarah kemanusian dan peradaban itu sendiri.
            Oleh karena itu, ada baiknya jika kita mengingat ungkapan menarik tentang pentingnya arti sejarah dalam membangun sebuah peradaban yang dilontarkan Soekarno, Presiden pertama RI yang berbunyi jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Bulan Bintang. Jakarta. Cet. kelima. 1995.

Umari, Akram Dhiyauddin. Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan       Zaman Nabi (Terj.). GIP. Jakarta.  Cet. ke 1. 1999.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet. ke 16.      2004.

Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. Kalam Mulia. Jakarta. Cet. ke 1. 2002.

Ibn Hisyam, As Sirah an nabawiyyah, jilid 1, 2 dan 3, Darul Jil, Beirut, Cet. ke 1, 1991.

Al Syarqawi, Iffat. Fi falsafat al hadlarah al islamiyyah. Darunnahdlah al arabiyyah. Beirut. Cet. ke 4. 1985.

Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Pustaka Bani Quraisy. Bandung. Cet. ke 1. 2004.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Prenada Media. Jakarta. Cet. ke 1. 2003.

Majid, Abdul Mun’im. Sejarah Kebudayaan Islam (Terj.). Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997.

Ibn Khaldun. Al Muqaddimah. Darul Ma’arif. Tunis. Cet. ke 1. 1991.

Qardlawi, Yusuf. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.). Danakarya. Surabaya. Cet. ke 1.  1997.

Pasya, Ahmad Fuad. At-Turats al ‘Ilmi lil Hadlarah al Islamiyyah wa makanatuha fi tarikhil ‘ilmi wal hadlarah. Darul Ma’arif. Shan’a’. Cet. ke 2. 1984.

Farrukh, Umar. ‘Abqariyyatul ‘arab fil ‘ilmi wal falsafah. Mansyurat al Maktabah al ‘ashriyyah. Beirut. Cet. ke 4. 1985.

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam.Cet. IX . 1997.


[1] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 150.
[2] Ibid, h. 164.
[3] Lihat kisah provokasi kaum Kafir Quraisy kepada Negus dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1, h. 165-167.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 169.
[5] Ibid, h. 179.
[6] A. Hasjmy, Op. Cit., h. 49.
[7] Lihat untuk lebih jelasnya, Akram Dhiyauddin Umari dalam bukunya Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, (Terj.) Cet. ke 1, GIP, tahun 1999. h. 122-133
[8] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraiys, cet. ke-1, 2004, h.32.
[9] Lihat kisah pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama selengkapnya dalam tulisan Ibn Hisyam, As sirah an nabawiyyah, jilid VI, Darul jil, Cet. ke 1, 1991, h.  77-78
[10] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 408-409.
[11] Kisah syura ini secara lengkap dapat dilihat dalam tulisan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Op. Cit., h.  483-488.
[12] Ibid,  h. 329.
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, h. 371.
[14] Ibid,  h. 375.
[15] Di antara perang-perang ini adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Dzaturriqa’, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, dan Perang Bani Musthalaq.
[16] Q.S. Al Qashas [28]: 77.
[17] Q.S. At Taubah: 60.
[18] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 43-44.
[19] Ibid,  h.41.
[20] Ibid,  h.48.
[21] Ibid, h. 60. Bandingkan dengan yang ditulis oleh Hasan Ibrahim Hasan Op. Cit.,  h. 306.
[22] Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit, h. 62
[23] Ibid,  h. 63-64.
[24] Ibid. h. 83.
[25] Ibid,  h. 84.
[26] Untuk lebih jelas tentang Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan Islam, lihat buku Yusuf Qardhawi yang berjudul Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.), Danakarya, Surabaya, Cet. Ke 1, 1997., h. 103-253.
[27] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. ke 1, Kencana, 2003, h. 18.
[28] Yusuf Qardlawi, Op. Cit., h. 235.
[29] Ibid.,  h. 236.
[30] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 1.
[31] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, Cet. Ke 5, UI Press, 1985, h. 61.
[32] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit.,  h. 12.
[33] Ibid.,  h. 14.
[34] Badri Yatim, Op. Cit., h. 43.
[35] Harun Nasution, Op. Cit., h. 62.
[36] Ibid., h. 62.
[37] Lihat cerita oposisi Abu Dzar dan Ibn Abi Hudzaifah selengkapnya dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam karangan Hasan Ibrahim Hasan, jilid 2. h. 153-158.
[38] Lihat kisah ini selengkapnya dalam buku Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, h. 175-180.
[39] Ibid., h. 190.
[40] Ibid., h.247
[41] Ibid., jilid 2, h. .259.
[42] Ibn Khaldun, Al Muqaddimah, Darul Ma’arif, Tunisi, cet. ke-1, 1991, h. 134.
[43] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 311-312.
[44] Ibid., h. 328.
[45] Ibid., h. 329.
[46] Ibid., h. 330.
[47] Ibid., h. 330.
[48] Ibid., h. 364.
[49] Ibid., h. 369.
[50] Ibid., h. 377.
[51] Ibid., h. 382.
[52] Ibid., h. 341.
[53] Ibid., h. 351.
[54] Ibid., h. 353.
[55] Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 39.
[56] Ibid., h. 40.
[57] Harun Nasution, Op. Cit., h. 63.
[58] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 418.
[59] Ibid., h. 421.
[60] Harun Nasution, Op. Cit., h.67.
[61] Badri Yatim, Op. Cit., h.50 dengan sedikit modifkasi.
[62] Abdul Mun’im Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997. h. 17.
[63] Harun Nasution, Op. Cit., h. 67-68.
[64] A. Hasjmi, Op. Cit.  h. 222.
[65] Ibid.,  h. 223.
[66] Ibid., h. 226
[67] Badri Yatim, Op. Cit., h. 54.
[68] A. Hasjmi, Op. Cit.,  h. 230.
[69] Ibid, h. 233.
[70] Ibid., h. 235.
[71] Ibid., h. 245.
[72] Badri Yatim, Op. Cit.,  h. 65-66.
[73] Lihat kisah perjalanan karir bani Buwaih ini di buku Sejarah Peradaban Islam karya Dr. Badri Yatim, MA, h. 69-70.
[74] Ibid., h. 75.
[75] Ibid., h. 52.
[76] Ibid., h. 241.
[77] Ibid., h. 242.
[78] A. Hasjmi, Op. Cit. , h. 238.
[79] Abdul Mun’im Majid, Op. Cit., h. 27.
[80] A. Hasjmi, Op. Cit., h. 240.
[81] Badri Yatim, Op. Cit., h. 82.
[82] Ibid., h. 55-56.
[83] Harun Nasution, Op. Cit., h. 70.
[84] Musyrifah Sunanto, Op. Cit.,  h. 80.
[85] A. Hasjmi, Op. Cit., h. 307.
[86] Ibid., h. 310.
[87] Ibid. , h. 319.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar