Memberikan Bantuan Kepada Orang Yang Membutuhkan Dalam Perspektif Islam



MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA ORANG YANG MEMBUTUHKAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM*)
OLEH: H. AIP ALY ARFAN, MA
Hadirin, jamaah sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Indonesia saat ini sedang berduka. Belum 2 (dua) minggu selepas pergantian tahun baru 2014 kita telah ditimpa  kembali oleh musibah banjir. Ini terjadi pada saat bencana akibat letusan gunung Sinabung di Medan masih terus menimpa. Jumlah korbannya semakin hari semakin bertambah. Tentunya, para korban bencana ini membutuhkan bantuan yang tidak sedikit, dari makanan, pakaian, selimut, obat-abatan dan lain sebagainya. Terkait dengan hal ini maka khutbah Jumat kali ini khatib beri judul Memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan dalam perspektif Islam.
Hadirin, jamaah sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani & Ibnu Asakir, suatu hari, sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Hurairah r.a. beri’tikaf di masjid Nabawi. Ia tertarik ketika mengetahui ada seseorang di masjid yang sama, duduk bersedih di pojok masjid. Abu Hurairah pun menghampirinya untuk menanyakan apa yang menyebabkannya tampak bersedih. Setelah mengetahui masalah yang menimpa orang itu, Abu Hurairah pun segera menawarkan bantuan. ”Mari keluar bersamaku wahai saudara, aku akan memenuhi keperluanmu,” ajak Abu Hurairah. "Apakah kau akan meninggalkan kegiatan beri'tikafmu demi menolongku?" tanya orang tersebut terkejut. ”Ya. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Sungguh berjalannya seseorang di antara kamu untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, lebih baik baginya daripada i'tikaf di masjidku ini selama sebulan”.
Dari hadis yang khatib paparkan tadi dapat kita lihat bagaimana Abu Hurairah yang sedang berii’tikaf di masjid menghentikan aktivitasnya tersebut demi menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan, padahal kita tahu bahwa beri’tikaf di masjid adalah amalan baik yang akan mendapatkan pahala bagi orang yang melakukannya. Dalam hadis ini Abu Hurairah tidak melanjutkan I’tikafnya dan memilih menolong orang lain yang membutuhkan pertolongannya karena perbuatan menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan kualitasnya lebih baik dari I’tikaf selama 1 (satu) bulan lamanya. Artinya, perbuatan menolong orang lain yang mendapatkan kesulitan dalam perspektif Islam tidak kalah pentingnya daripada melakukan ibadah yang hukumnya sunnah seperti I’tikaf di masjid.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
خير الناس أنفعهم للناس
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni)
Dalam hadis ini kita dapat mengambil sebuah poin penting yaitu bahwa manusia yang paling bermanfaat dalam pandangan Islam bukan yang paling banyak ibadahnya, tapi yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Pertanyaannya adalah, apa yang harus kita lakukan sebagai umat Islam melihat kondisi terakhir di tanah air yang sedang ditimpa berbagai bencana ini?

Hadirin, jamaah sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Berdasarkan Hadis-hadis yang khatib bacakan tadi, maka siapapun kita, di manapun kita berada, apapun profesi kita, hendaknya kita memiliki orientasi untuk memberikan manfaat bagi orang lain karena sebagai Muslim, kita tidak hanya dituntut untuk melakukan ibadah-ibadah formal seperti salat dan membaca al-Quran saja, tetapi kita juga dituntut oleh Islam untuk juga melakukan ibadah sosial. Dalam Islam, banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai ibadah sosial, di antaranya adalah membayar zakat dan bersedekah. Untuk yang terakhir ini,
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ ، يَعْدِلُ بَيْنَ الاِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَيُعِينُ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ ، فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا ، أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ ، وَيُمِيطُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ

Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedekah setiap harinya mulai matahari terbit. Berbuat adil antara dua orang adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang baik adalah sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah. (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, dengan adanya berbagai bencana yang menimpa saudara-saudara kita di tanah air ini mari kita sama-sama menyingsingkan lengan badan, bahu membahu untuk memberikan bantuan, apa saja yang bisa kita lakukan. Kalau kita memiliki dana, mari kita sisihkan sebagian dana kita untuk para korban bencana. Kalau kita memiliki pakaian yang layak pakai, selimut, obat-obatan dan lain sebagainya mari kita berikan kepada mereka. Atau kalau kita memiliki waktu dan tenaga, kita bisa menggunakan waktu dan tenaga kita untuk menjadi relawan.

Hadirin sidang Jum'at yang dirahmati Allah!

Sepintas, ketika kita memberikan manfaat kepada orang lain, membantu dan menolong sesama itu membuat waktu kita tersita, harta kita berkurang, tenaga dan pikiran kita terporsir. Namun sesungguhnya, saat kita memberikan manfaat kepada orang lain, pada hakikatnya kita sedang menanam kebaikan untuk diri kita sendiri. Jika kita menolong orang lain, Allah akan menolong kita. Allah SWT berfirman  dalam surat Al-Isra ayat 7:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri (QS. 17:7).
Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

Barangsiapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah membantu keperluannya. (Muttafaq 'alaih).
Jika kita menolong dan membantu sesama, pertolongan dari Allah bukan sekadar di dunia, tetapi juga di akhirat. Jika kita memberikan manfaat kepada orang lain, Allah memudahkan kita bukan hanya dalam urusan dunia, tetapi juga pada hari kiamat kelak.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

Siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan2 dunia, Allah akan membantu menyelesaikan kesulitannya di hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang dalam kesulitan, niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat (HR. Muslim)
Demikian khutbah Jumat kali ini, semoga bermanfaat dan kita berdoa semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi sehingga kita tidak hanya piawai dalam ibadah formal saja tetapi juga jago dalam ibadah sosial. Amin.

*) Khutbah ini disampaikan pada tanggal 24 Januari 2014 di Masjid SMPN 6 Bulak Klender Jakarta Timur

Pemikiran Pembaruan Pra-modern



Pemikiran Pembaruan Pra-modern

Oleh: 

H. Aip Aly Arfan, MA

Dalam sejarah Islam, pemikiran pembaharuan telah hadir jauh sebelum masa moderen, sebagai usaha-usaha para pembaharu Islam untuk membangkitkan kembali ajaran-ajaran Islam yang mengalami degradasi sehingga umat Islam dapat terus berperan aktif sebagai hamba dan sekaligus khalifah Allah di bumi untuk membangun peradabannya dalam sejarah. Para ahli sejarah, pemikiran dan peradaban Islam bahkan telah menyimpulkan bahwa sejarah Islam adalah sejarah pemikiran pembaharuan sejalan dengan hadis nabi Muhammad Saw yang mengatakan bahwa dalam perjalanan waktu satu abad akan ada seseorang yang memperbaharui agama. Sebagaimana ditulis Zainal Abidin Ahmad, Sayyid Waliyullah Syah dan Abul A’la Al Maududi, sebagai contoh, menyebutkan nama-nama pembaharu sejak abad 7 hingga abad 19 M. Mereka, lanjut Zainal Abidin, sama-sama menyebut khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai pembaharu Islam pada abad 7 M.[1]
Sedangkan Zainal Abidin Ahmad sendiri menyebutkan bahwa Shalahuddin Al Ayyubi (1137-1193 M.) adalah pembaharu Islam yang pertama karena usahanya dalam perang Salib dilanjutkan dengan Imam Ibn Taimiyah (1263-1328 M.) dalam bidang agama, Ibn Khaldun (1332-1406 M.) dalam bidang ilmu dan kebudayaan, Sultan Muhammad II El Fatih (1429-1481 M.) dalam bidang politik dan Sultan Sulaiman Al Qanuni dan Sultan Salim I dalam bidang pemerintahan.[2]
Kalau Zainal Abidin Ahmad tidak memulai pemikiran pembaharuan sejak abad 7, tapi abad 12 di atas, hal itu karena ia membedakan antara mujaddid (modernis) dan mushlih (reformer), di mana yang pertama hanya pada bidang agama dan syaratnya lebih berat dari yang kedua. Dalam hal ini, ia merujuk hadis nabi yang mengatakan bahwa Islam akan menjadi asing, oleh karenanya bergembiralah orang yang saat itu asing. Orang asing yang dimaksud di sini adalah para muslihun (reformer/pembaharu).[3]
Berbeda dengan Zainal Abidin Ahmad, pembahasan pemikiran pembaharuan dalam  Islam periode pertengahan ini penulis mulai sejak Ibn Taimiyah (1263-1328) dengan mempertimbangkan bahwa masa sebelumnya masih tercakup dalam masa kejayaan peradaban Islam yang sebagaimana kita ketahui baru hancur setelah serangan Hulagu pada 1258 di mana khilafah sebagai lambang kesatuan politik Islam ikut turut sirna.

1. Ibn Taymiyah

            Ibn Taimiyah lahir di Harran pada tahun 1263 M. lima tahun setelah kehancuran Baghdad dalam agama dan intelektual yang sangat kuat di Syria. Ayahnya, Syihabuddin, adalah Ahli ilmu Hadis terkenal dan Khatib di Masjid Agung di Damaskus, sedangkan pamannya, Fakhruddin adalah cendikiawan dan penulis terkenal. Pada tahun 1269 ia bersama keluarganya terpaksa mengungsi ke Damaskus karena serbuan tentara Mongol yang hendak menguasai Syria Selatan.[4]
Karena latar belakang yang sangat relijius dan ilmiah ini, maka Ibn Taimiyah mendapatkan kesempatan baik dalam memperoleh pendidikan. Ia memulai pendidikannya langsung pada ayah dan keluarganya dengan mempelajari berbagai ilmu umum di samping tentunya ilmu-ilmu agama seperti ilmu Hadis dan Fiqih di mana ayahnya sebagai tokoh Fikih mazhab Hambali yang berpengaruh. Selain itu ia juga belajar dari para ulama terkemuka di Damaskus. Perlu diketahui, bahwa masa Ibn Taimiyah adalah masa di mana perdebatan-perdebatan yang cukup serius antara para pengikut Asy’ariyah dan Mu’tazilah serta Murjiah terjadi hingga taraf yang mengkhawatirkan hingga di antara mereka saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam masalah fiqih, para ulama pada masanya sedang berada dalam kondisi yang juga ironis di mana mereka didominasi oleh fanatisme yang berlebihan terhadap mazhab mereka dan merebaknya sikap taqlid sehingga tak banyak dihasilkan karya-karya ilmiah dan inovatif dalam bidang ini. Di samping itu, pemahaman para ulama juga banyak melenceng dari nilai-nilai kebenaran Islam, sehingga banyak terjadi bid’ah dan ajaran-ajaran tarekat yang bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.
Sebagai orang yang cerdas, Ibn Taimiyah mempelajari segala hal yang terjadi di sekitarnya, terutama yang berkaitan dengan konflik internal umat Islam yang membuatnya semakin antusias dalam melahap ilmu-illmu pengetahuan yang berkaitan dengan hal itu untuk kemudian berusaha mengatasinya. Ia pun mempelajari ilmu mantiq, filsafat, paham Asy’ariyah, Mu’tazilah, Murji’ah dan menguasai filsafat-filsafat mereka termasuk filsafat Imam Al Ghazali.[5]
Setahun setelah ayahnya meninggal dunia pada 1283 M dan karena kapasitas keilmuannya yang sudah cukup memadai, terutama dalam bidang Hadis, ia pun menggantikan ayahnya mengajar di berbagai sekolah di Damaskus dan menjadi Khatib di Masjid Agung di Damaskus dan dalam jangka waktu singkat ia menjadi terkenal, bahkan popularitasnya melebihi para ahli Hadis lain sebelumnya seperti Ibn Daqiq Al I’id, Kamaluddin Al Zimlikani dan Syamsuddin Adz Zahabi. Masa-masa ini adalah masa-masa awal Ibn Taimiyah menyebarkan ide-ide pembaharuannya dalam berbagai fatwanya yang dilanjutkan pada masa-masa berikutnya hingga wafat.[6]
Ide-ide pembaharuan Ibn Taimiyah terfokus pada masalah fikih dan teologi di mana ia menemukan kesalahan sebagian umat Islam dalam melakukan interpretasi terhadap fikih atau hukum Islam sehingga yang benar menjadi salah dan begitu juga sebaliknya. Selain itu ia juga melihat bahwa perkembangan Islam di berbagai bidang, terutama fikih, teologi, politik dan tasawuf mengalami ketidaktentuan sehingga tidak terkontrol dan berkembanglah neo-fikih, neo-kalam, dll.[7] Karena itulah menurut Ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Fazlurrahman, diperlukan suatu langkah untuk kembali kepada Al Quran dan Hadis karena banyak dari kebenaran telah ditinggalkan sedangkan kesalahan banyak diambil sehingga kebenaran dan kesalahan tercampur.[8] Selain itu juga diperlukan ijtihad karena para ahli fikih tidak lagi melakukan karya ilmiyah setelah adanya imam mazhab yang empat dan fikih pun menjadi bentuk opini yang memburuk di tangan orang-orang yang setengah tahu.[9]
Pada usia kurang dari 20 tahun, diundang ke Mesir untuk memberikan fatwa. Karena fatwa-fatwanya yang dianggap radikal dalam memberantas khurafat, ia kurang disenangi yang menyebabkannya dijebloskan ke penjara.
Karena mendapat penolakan terhadap fatwa-fatwanya di Mesir, pada 1313 M. Ibn Taimiyah kembali ke Syira dan meneruskan ide-ide pembaharuaannya tersebut hingga meninggal pada 1328 M. Zainal Abidin Ahmad menyebutkan bahwa Ibn Taimiyah selama 16 tahun hingga wafatnya pekerjaannya adalah keluar masuk penjara.[10]

2. Ibn Khaldun

            Ibn Khaldun lahir pada 1332 M./732 H.[11]., empat tahun setelah Ibn Taimiyah wafat, di Tunisia dari keturunan keluarga muslim Hadlramaut yang melakukan imigrasi dari Spanyol karena terpaksa jika tidak ingin berpindah agama dari Islam ke Kristen. Pada 1348 ia mendapatkan musibah yang sangat besar, yaitu kehilangan orang-orang yang dihormatinya, yaitu para gurunya termasuk orangtuanya dalam merebaknya wabah penyakit pes yang melanda sebagian besar dunia Timur dan Barat.[12]
Pendidikan Ibn Khaldun pada masa kecilnya adalah di Tunis dengan mempelajari berbagai ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadis, fikih, bahasa Arab, ilmu qira’at dan lain sebagainya termasuk sejarah, sy’air-syai’r dari para ulama-ulama Tunisia dan Andalusia.
            Sejak 1351 hingga 1380 Ibn Khaldun memasuki dunia karir dan politik praktis di  Tunisia, Maroko dan Spanyol baik sebagai pengawal Sultan, Sekretaris, Duta Sultan hingga  Hajib (setingkat dengan  Perdana Menteri) di samping mengajarkan ilmunya kepada masyarakat luas. Karir politik terakhirnya adalah ketika ia ditugaskan oleh Sultan Abu Hammu di Tilimsan, Spanyol untuk mendatangi kabilah-kabilah  agar tunduk kepada pemerintahannya pada 1374 di mana ia berjanji untuk mengakhiri kehidupan politiknya dan ingin mewarnainya dengan kehidupan yang penuh dengan kontemplasi, pemikiran dan kreasi intelektual. Sejak saat itu hingga 1378 karyanya Kitabul ‘Ibar yang mencakup Al Muqaddimah ditulis dalam sebuah rumah di dekat Benteng Ibn Salamah ditemani keluarganya dalam kehidupan yang tenang.
            Pada 1380 ia pulang ke kampung halamannya di Tunisia dan tinggal di sana selama 4 tahun sambil merevisi buku sejarah karangannya tersebut. Setelah rampung ia menghadiahkan bukunya itu kepada Sultan Abul Abbas, penguasa Tunisia waktu itu pada 1384 di mana pada pertengahan bulan Sya’ban ia meninggalkan Tunisia menuju Mesir.[13]
Sejak tahun 1384 Ibn Khaldun menghabiskan masa hidupnya di Mesir hingga meninggal pada 1406. Selama di Mesir, Ibn Khaldun menghabiskan waktunya untuk mengajar di berbagai perguruan tinggi termasuk di universitas Al Azhar dan menjadi Hakim Mazhab Maliki. Ia juga menambahkan beberapa pasal dalam buku sejarahnya, khususnya yang berkenaan dengan sejarah negara-negara Islam di Timur, negara Kristen dan negara luar Arab dan juga melaksanakan ibadah haji pada tahun 1389.[14]
Selain itu, Ibn Khaldun juga mengalami peristiwa yang sangat bersejarah yaitu pertemuannya dengan Timur Lenk, seorang penakluk dunia dari Mongol selama 35 hari pada 1401 di luar dinding kota Damaskus ketika ia diminta oleh Sultan untuk ikut dalam ekspedisi Mesir ke Syria di mana Timur Lengk bersama pasukannya yang telah menduduki Damaskus.
Ide-ide pembaharuan Ibn Khaldun terdapat dalam manifestasi Al Muqaddimah, karyanya yang sangat besar yang lahir justeru pada  saat dunia Islam belum lama mengalami masa kemundurannya. Sebagaimana telah diketahui, bahwa karya Ibn Khaldun ini merupakan karya tulis yang sangat ensiklopedis karena menyajikan ilmu pengetahuan yang sangat luas meliputi sejarah, filsafat, geografi, pendidikan, matematika, ekonomi, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Selain itu, ia juga mengatakan berkenaan dengan khilafah bahwa seorang khalifah itu tidak harus dari suku Quraisy, kapan dan di mana saja kekhalifahan itu berada, berbeda dengan kebanyakan umat Islam pada masanya dan sebelumnya yang berpendapat bahwa khalifah itu harus berasal dari suku Quraisy berdasarkan hadis Nabi. Di sini nampak bahwa Ibn Khaldun adalah termasuk dalam jajaran ilmuwan muslim yang rasional dalam memahami doktrin-doktrin Islam sebagaimana para pembaharu lainnya yang datang kemudian hingga kini.

3. Muhammad bin Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab lahir dan dibesarkan di Uyainah, Najed, pada 1703. Ia dua kali datang ke Mekah untuk belajar kepada para ulama waktu itu dan mengajar di berbagai madrasah. Ia pindah ke Bashrah dan memulai menyebarkan ide-ide pembahruannya, namun karena tidak mendapatkan tanggapan yang positif, ia kembali ke Najed dan terus ke ‘Uyainah, negeri asalnya.
Pada 1157 H, ketika ia pindah dari ‘Uyainah ke Dar’iyyah di Saudi Aabia, gerakan Muhammad bin Abdul Wahab didukung oleh pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Usahanya mengembalikan umat Islam kepada ajaran-ajaran Islam yang pertama sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi, Sahabat dan para pengikutnya ini dapat dikatakan berhasil karena mendapat sokongan penuh dari kerajaan dari masa Muhammad Ibn Su’ud, yang dilanjutkan dengan puteranya Abdul Aziz –lengkapnya Abdul ‘aziz bin ‘Abdurrahman al Fayshal as Su’udi-- hingga ke cucunya, Su’ud.[15] di mana pada tahun 1924 Mekkah berhasil ditaklukkan sementara Madinah dan Jeddah pada 1925. Setelah itu didirikanlah kerajaan Saudi Arabia (almamlakah al arabiyyah as su’udiyyah) yang kita kenal hingga hari ini.
Adapun pembaharuan yang lahir bukan karena pengaruh kemajuan Barat, tetapi sebagai reaksi atas rusaknya akidah Islam (tauhid)  dikenal dengan purifikasi (pemurnian) ini jika dikaji lebih seksama akan nampak bahwa ia sebenarnya adalah kelanjutan dari pembaharuan Ibn Taimiyah dengan ide Salafiyahnya. Oleh Fazlurrahman, gerakan reformasi Wahabiah ini disebut juga dengan Revivalis pra-modernis yang menurutnya denyut pertama kehidupan dalam Islam setelah kemerosotannya yang pesat dalam beberapa abad sebelumya.[16]
Ide-ide reformasi gerakan Wahabiah ini terfokus pada usaha pemurnian (purifikasi) ajaran-ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh di luar Islam seperti bid’ah, takhayul dan khurafat yang melanda sebagian besar umat Islam di seluruh dunia Islam, seperti loyalitas yang berlebihan kepada para wali dan syekh-syekh tarekat, meminta rezeki melalui kuburan para wali saleh dan lain sebagainya. Gerakan ini menganggap bahwa kegiatan-kegiatan seperti tersebut di atas termasuk dalam kategori bid’ah bahkan syirik sehingga harus dihilangkan dari ajaran-ajaran Islam yang murni yang dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Selain itu, pembaruan gerakan Wahabiyah juga terwujud dalam kecamannnya pada fanatisme mazhab (taqlid) dan menyerukan kepada umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Hadis dan dibukanya pintu ijtihad sebagaimana yang dikumandangkan pula oleh pendahulunya, Ibn Taiymiyah.
Dalam perkembangannya kemudian, gerakan reformasi Wahabiah ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pemikiran-pemikiran pembaharuan di dunia Islam selanjutnya pada masa moderen sampai sekarang, termasuk gerakan pembaharuan di Indonesia, dari gerakan kaum muda, para ulama Minangkabau pada abad ke-19 hingga gerakan Muhammadiyah pada abad ke-20. Yang terakhir ini akan diuraikan pembahasannya pada bab IV dalam Buku Ajar ini.


[1] Zainal Abidin Ahmad,  Sejarah Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet. ke 1, 1979, h.232.
[2] Zainal Abidin Ahmad,  Sejarah Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet. ke 1, 1979, h.240.
[3] Tentang perbedaan antara mujaddid dan muslih ini lihat Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya Sejarah Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet. ke 1, 1979, h.233-237.
[4] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 1903, h. 11.
[5] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 1903, h. 16.
[6] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 1903, h. 20.
[7] Fazlurrahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang Fundamentalisme Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke -1, Agustus 2000., h. 186.
[8] Fazlurrahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang Fundamentalisme Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke -1, Agustus 2000., h. 187.
[9] Fazlurrahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang Fundamentalisme Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke -1, Agustus 2000., h. 192-193.
[10] Zainal Abidin Ahmad,  Sejarah Islam dan Umatnya: Perkembangannya Dari Zaman ke Zaman, Bulan Bintang, Cet. ke 1, 1979, h.245.
[11] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah, Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis, 1991, h. 19.
[12] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah, Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis, 1991, h. 65.
[13] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah, Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis, 1991, h. 234.
[14] Ibn Khaldun, At-ta’rif bibni Khaldun dalam Al Muqaddimah, Mansyurat Darul Ma’arif, cet. ke-1, Tunis, 1991, h. 258.
[15] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya, Bulan Bintang, cet. ke-1, 1979, h. 271.
[16] Fazlurrahman, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam di Tengah Tantangan Dewasa Ini, dalam Perkembangan Moderen Dalam Islam, Harun Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting) , Edisi pertama, Yayasan Obor Indonesia, Desember 1985, h. 22.