REKONSTRUKSI PERADABAN ISLAM
DALAM PANDANGAN
ZIAUDDIN SARDAR
Oleh: Aip Aly Arfan[1]
Abstrack: According to Ziauddin Sardar, how
the Islamic future will be prospective
depends on their world-view in seeing sciences and technology development dominated by West related to their
interpretation to Islamic values and their magnificent history. Then, what Muslims must do now in
their lifes is how to see Islam not just as a religion, but also as a
civilization. Briefly, Muslims have to reconstruct their great civilization.
But how reconstruct Islamic civilization? Sardar sees that to reconstruct
Islamic civilization, Muslims have to explore Islamic sciences epistemology and
develop it supported all-out by all Muslims elements by establishing
cooperative webs in the world.
Katakunci: Peradaban Islam, rekonstruksi, ilmu pengetahuan, teknologi, jihad intelektual.
A. Pendahuluan
Dalam dunia Islam telah banyak bermunculan para penulis dan pemikir Islam
yang membahas masalah peradaban Islam dalam karya-karya ilmiah mereka. Salah
seorang dari mereka adalah Ziauddin Sardar, seorang pemikir muslim dan penulis
produktif kelahiran Pakistan pada 1951.
Hingga kini guru besar Postcolonial Studies di City
University, London, dan Editor Tetap Futures dan Third Text, dua jurnal
bergengsi yang khusus mendalami studi-studi kebijakan dan perencanaan
serta isu-isu mutakhir tentang budaya kontemporer di London Inggris ini
telah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel dalam bahasa
Inggris.
Pemikiran Ziauddin Sardar tentang peradaban Islam sebenarnya telah ada
pada tahun 80-an, di mana ia melahirkan karyanya yang berjudul The Future of
Muslim Civilization dan diterbitkan di Malaysia pada 1988 yang dilanjutkan
dengan karyanya yang lain berjudul Islamic Futures, The Shape of Ideas to
come. Namun, karena berbagai hal, belum banyak yang mengetahui dan kemudian
mengelaborasinya, yang menurut penulis sangat layak untuk dijadikan salah satu
referensi bagi umat Islam dalam melihat agamanya dan bagaimana
mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka di era globalisasi sekarang ini[2].
Salah satu poin penting dalam tulisan Ziauddin Sardar adalah idenya
tentang rekonstruksi Peradaban Islam. Pertanyaannya adalah sejauh mana Sardar
melihat masa depan Islam? Dan bagaimana rekonstruksi peradaban Islam yang
ditawarkannya?
B. Masa Depan Peradaban Islam: Pandangan Ziauddin Sardar
Masa
depan peradaban Islam dalam banyak tulisan selalu dikaitkan dengan ide
kebangkitan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-18 yang lalu[3].
Meskipun sudah kurang lebih dua abad berlalu, dan gambaran peradaban Islam masa
depan masih buram, kebanyakan para pemikir Islam tetap optimis. Lalu, apakah
memang belum saatnya umat Islam bangkit?
Sudah benarkah langkah umat Islam dalam mengusahakan kebangkitannya ini? Atau
sebenarnya mereka bukannya berusaha untuk mengembalikan kejayaan yang pernah
diraih, tapi sebaliknya, menghancurkan sisa-sisa peradaban mereka sendiri?
Jika kita melihat kembali ke belakang, ke sejarah, akan kita dapati bahwa
peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaannya di mana tak ada satu
peradaban pun yang menandingi. Namun,
kini umat Islam tidak lagi memiliki apa yang disebut dengan peradaban yang
membanggakan, karena di segala bidang kehidupan, umat Islam berada dalam
keadaan yang memprihatinkan. Pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Dalam dunia Arab sebagai representasi peradaban Islam, jawaban atas
pertanyaan di atas adalah karena telah terjadi kebekuan pemikiran dalam tubuh
orang Arab yang disebabkan oleh dua aliran pemikiran yang saling bertolak
belakang, yaitu aliran klasik yang berusaha menghidupkan kembali kebudayaan
Arab klasik tanpa disertai sikap kritis untuk memperbaruinya dan aliran moderen
yang menolak seluruh kebudayan Arab secara mutlak dan beralih pada kebudayaan
moderen. Aliran pertama disebut dengan aliran tradisionalis ortodox dan yang
kedua disebut dengan aliran sekularis.
Untuk mengatasinya, konferensi Intelektual Arab yang dilakukan di Kuwait
pada 7-12 April 1974 dengan tema Krisis Pembangunan Peradaban di Negeri Arab,
merekomendasikan sebuah solusinya, yaitu dengan memberikan dukungan pada model
pemikiran moderat yang tidak terlalu mendewa-dewakan tradisi, dan dapat
menciptakan pemikiran Arab yang otentik sekaligus modern.
Di Indonesia, sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, terkait
dengan kebangkitan Islam dan bagaimana membangun peradaban masa depannya,
dikenal suatu jargon yang mirip dengan solusi yang direkomendasikan Dunia Arab
di atas, yaitu melestarikan tradisi yang lama yang baik dan mengambil yang baru
yang lebih baik (Al muhafazhah ‘alal qadimis shâlih wal
akhhdzu bil jadîd ashlah).
Lalu, bagaimana dengan pandangan Sardar tentang hal ini?
Menurut Sardar, masa depan umat Islam
bergantung kepada diri mereka sendiri dengan menggali nilai-nilai yang mereka
miliki dan tidak dengan meniru Barat dengan memaksakan ide-ide dan pemikirannya
yang tidak cocok untuk diterapkan di dunia Islam. Sebagaimana ditulis Muhammad Al-Fayyadl:
“umat Islam tidak
dapat hidup dengan cita-cita kemajuan (the idea of progress) sebagaimana yang
dikonsepsikan oleh pandangan-dunia Barat. Sebab, mengikuti kerangka berpikir
Barat berarti memaksakan ide-ide yang secara kultural asing bagi pengalaman
umat Islam sendiri. Dengan demikian, umat Islam harus mulai membangun
kemandiriannya dalam menata langkah menuju masa depan sesuai dengan kemampuan
dan situasi internal mereka sendiri. Sistem-sistem ekonomi, sosial, politik,
atau kultural yang dihasilkan dari pengalaman sendiri akan jauh lebih bermakna
dan autentik, dan dalam jangka panjang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat
yang bersangkutan. Ketimbang memaksakan diri meniru sistem-sistem Barat, umat
Islam sebaiknya mulai menggali khazanah kulturalnya sendiri untuk menemukan
strategi-strategi yang diperlukan dalam menapaki masa depannya”.[4]
Secara lebih spesifik dan terfokus, Sardar mengaitkan masalah masa depan
peradaban Islam dengan cara pandang umat Islam.
Menurutnya, ada kesalahan-kesalahan mendasar yang dilakukan sebagian
besar umat Islam. Di antaranya, adalah Pertama, kesalahan pandangan
tentang sisi kemanusiaan nabi Muhammad SAW. Dari sinilah lahirnya pemahaman
bahwa ukuran keimanan seseorang dilihat dari sejauh mana ia secara fisik
menyerupai Nabi, seperti dalam hal cara berpakaian yang kemudian melahirkan
kesalahan-kesalahan lain.
Kedua, kesalahan
tentang pemahaman syariah. Syariah yang merupakan kumpulan interpretasi manusia
pada suatu jaman dan waktu-yang mungkin sudah
terbaik untuk waktu itu, namun telah dianggap seperti kitab suci yang tak boleh dikritisi. Kesalahan inilah yang membuat sulitnya pembaruan dalam bidang fikih Islam. Ketiga, hilangnya representasi individual karena kuatnya faktor ulama pada
praktek sehari-hari. Kesalahan inilah yang menghalangi lahirnya ide-ide pembaruan yang adaptif terhadap perubahan jaman, suatu hal yang sangat vital dalam membangun suatu peradaban.[5]
terbaik untuk waktu itu, namun telah dianggap seperti kitab suci yang tak boleh dikritisi. Kesalahan inilah yang membuat sulitnya pembaruan dalam bidang fikih Islam. Ketiga, hilangnya representasi individual karena kuatnya faktor ulama pada
praktek sehari-hari. Kesalahan inilah yang menghalangi lahirnya ide-ide pembaruan yang adaptif terhadap perubahan jaman, suatu hal yang sangat vital dalam membangun suatu peradaban.[5]
Selain itu, ia melihat bahwa kebanyakan umat Islam tidak benar-benar
memahami nilai Islam. Banyak nilai-nilai Islam yang tidak diperlakukan
sebagaimana mestinya, seperti bertanya, membaca, berpikir dan menulis. Keempat
hal tersebut kurang mendapat perhatian umat Islam, jika dibandingkan dengan
salat, puasa dan zakat, misalnya. Dalam hal ini, Sardar mengatakan:
“Mereka
pikir nilai Islam itu hanya shalat, puasa, zakat. Mereka tidak berpikir bahwa
bertanya itu adalah juga nilai Islam. Mereka tidak menjadikan bertanya sebagai
kunci dari nilai-nilai Islam. Padahal, kalau Anda lihat Alquran, di sana penuh
dengan pertanyaan. Dialog pertama Nabi (Muhammad SAW) saat menerima wahyu
adalah bertanya. Saat Nabi diminta untuk membaca, beliau mempertanyakan, apa
yang harus dibaca. Jadi mengapa kita tidak jadikan bertanya sebagai nilai
Islam. Jadi, buat saya, bertanya itu adalah nilai dasar Islam. Selain itu,
membaca, berpikir, dan menulis, adalah juga nilai-nilai Islam. Bahkan, nilai
ini datang lebih awal sebelum perintah shalat dan puasa. Dan jika Anda melihat
masyarakat Muslim, satu hal yang tertinggal adalah membaca. Menulis juga tidak
menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam masyarakat Islam”. [6]
Dari sini, Sardar sepertinya ingin mengatakan bahwa masa depan peradaban
Islam tergantung umat Islam sendiri. Masa depan peradaban Islam akan cerah jika
umat Islam tidak meninggalkan nilai-nilai Islamnya sendiri. Nilai-nilai Islam
seperti membaca dan berpikir jika ditinggalkan
akan mengakibatkan umat Islam jauh dari kebangkitan Islam yang sedang mereka
upayakan. Dengan
kalimat lain, ibadah ritual bukan segalanya yang harus dilakukan untuk mencapai
kebangkitan Islam.
Selain masalah cara pandang
umat Islam terhadap nilai-nilai yang dimiliki, Sardar juga melihat bahwa cara
pandang umat Islam terhadap sejarah yang keliru, di mana masa depan peradaban
harus diterapkan seperti kejayaan Islam di masa lalu. Sardar melihat pentingnya
melihat ke depan jika umat Islam ingin bangkit dan maju, bukan ke belakang,
yang dikenal dengan sebutan tradisi dan sejarah. Kalau pun melihat ke belakang,
itu dilakukan untuk dijadikan sebagai momentum. Dalam hal ini, Sardar
mengatakan:
“Kalau Anda berjalan maju,
terus Anda lihatnya ke belakang, maka Anda akan membentur sesuatu. Jadi kalau
Anda maju, lihatlah ke depan. Tapi kalau perlu melihat ke belakang, jadikan itu
sebagai momentum. Itulah yang disediakan sejarah. Kita perlu belajar sejarah,
kita perlu maju dengan tradisi kita, tapi kita tidak boleh terkekang oleh
tradisi kita. Tradisi itu hanya jadi batasan yang kaku. Berbagai tradisi itu
diperlukan untuk memajukan masyarakat, bukan untuk mengekang”.[7]
Untuk mewujudkan ide-ide di
atas, langkah yang harus ditempuh adalah melakukan apa yang disebut dengan
rekonstruksi peradaban Islam, suatu pendekatan yang menitikberatkan pada upaya
bagaimana memosisikan sains atau iptek terkait hubungannya dengan Islam dan
bagaimana respon yang harus dilakukan umat Islam terhadapnya.
C. Pendekatan Sains Islam Sebagai Upaya Rekonstruksi Peradaban Islam
Secara
historis, pendekatan sains sebagai upaya rekonstruksi peradaban Islam telah
diteorikan oleh para pemikir Islam, di antaranya adalah:
1.
I’jazul Quran (mukjizat al-Quran).
Teori ini dipelopori oleh
Maurice Bucaille yang populer dengan bukunya “La Bible, le Coran et la Science”
(edisi Indonesia: “Bibel, Quran dan Sains Modern“).
Dengan teori ini,
rekonstruksi peradaban Islam dilakukan dengan mencari kesesuaian penemuan
ilmiah dengan ayat al-Quran. Dalam perkembangannya, teori ini mendapatkan
kritikan dari ilmuwan muslim yang lain lantaran penemuan ilmiah tidak dapat
dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan dengan alasan menganggap Al-Quran
sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Quran juga
bisa berubah.
2. Islamisasi sains
Penggagas utama teori
ini adalah Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization
of Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali
dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought
(IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan
program seputar Islamisasi pengetahuan.
Teori ini berupaya membandingkan
sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book
orisinil dari ilmuwan muslim. Adapun tujuan dari teori ini ada 6 (enam), yaitu
penguasaan disiplin ilmu modern, penguasaan warisan Islam, penentuan relevansi
khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern, pencarian cara-cara untuk
menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern
(melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya), pengarahan
pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari
Allah dan Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui penulisan kembali
disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.
3. Membangun sains
pada pemerintahan Islami.
Teori ini memfokuskan
upayanya terutama pada proses pemanfaatan sains. Dengan pijakan dasar
pengertian bahwa dalam lingkungan Islam, sains tunduk pada tujuan mulia.
Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok
ini.
4. Menggali
epistimologi sains Islam (murni).
Teori ini digulirkan
oleh Ziauddin Sardar. Sepintas, teori ini nampak sama dengan teori islamisasi
sains yang digagas Isail Raji Al Faruqi di atas, namun sebenarnya sangat
berbeda. Jika islamisasi sains “mengislamkan sains” yang berasal dari Barat,
penggalian epistemologi sains Islam tidak berawal dari pengertian sains itu
identik dengan Barat.
Bagaimana jelasnya ide
rekonstruksi peradaban Islam versi Ziauddin Sardar akan diuraikan berikut ini.
D. Rekonstruksi Peradaban Islam: Kacamata Ziauddin Sardar
Ketika membicarakan masalah masa depan peradaban Islam, Ziauddin Sardar melihat
pentingnya rekonstruksi peradaban Islam dilakukan. Dalam hal ini, ia mengatakan
bahwa Islam dan masyarakat muslim menyerupai suatu bangunan yang sangat indah
tetapi kuno, yang, pada tahun-tahun sulitnya sekarang ini, membutuhkan banyak
biaya untuk pemugarannya. Fondasinya begitu kuat, tetapi penembokannya butuh
perhatian mendesak. Kita perlu merekonstruksi peradaban muslim, sebab jika
tidak, batu bata demi batu batu akan tumbang dan runtuh satu persatu.[8]
Rekonstruksi peradaban berarti membangun kembali peradaban Islam dalam
pengertian, bahwa Islam bukan hanya dipandang sebagai agama saja, atau pun
sistim etika dan politik saja, tapi Islam sebagai peradaban. Pengertian Islam
sebagai peradaban bukan dengan melihat Islam sebagai peradaban historik sebagaimana
yang dilakukan sebagian umat Islam sebagai romantisme, tetapi sebagai peradaban
kontemporer, bahkan peradaban masa depan. Jadi, pentingnya sejarah sebagaimana
yang dikatakan Sardar:
“Sementara sejarah harus berpihak kepada kita, kita tidak boleh hidup
di dalamnya”.[9]
Di era globalisasi sekarang ini, melakukan rekonstruksi peradaban Islam
akan sulit dilakukan. Namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan, bahkan
sangat mungkin dilakukan. Hal ini karena nilai-nilai Islam yang universal tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal yang lahir dari rahim peradaban
Barat. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar umat Islam secara mayoritas
menyadari pentingnya rekonstruksi peradabannya, sehingga proyek rekonstruksi ini
tidak dilakukan hanya oleh individu-individu tertentu. Ia harus dilakukan
secara bersinergi, simultan dan berkesinambungan oleh seluruh lapisan
masyarakat Islam, bahkan oleh pihak penguasa (pemerintah), sebagaimana yang
terjadi pada jaman kejayaan Islam di Baghdad dahulu di mana pengembangan ilmu
pengetahuan dilakukan bukan secara sporadis dan individual, tapi juga didukung
oleh kalangan penguasa seperti para khalifah.[10]
Dalam hal ini diperlukan upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara
keseluruhan akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin hari semakin berkembang dan maju. Kepada umat Islam harus diberikan
pemahaman yang komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan
pandangan keduniawian, khususnya iptek ini. Bahwa akhirat itu lebih kekal, dan
oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan
dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu
disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya
fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh Sardar, hal ini diungkapkannya dengan istilah perluasan syari’ah ke dalam
domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan,
kebijaksanaan sains dan penaksiran teoknologi, partisipasi masyarakat dan
pembangunan pedesaan.[11]
Di sini, peran para da’i dan aktivis pendidikan sangat strategis di mana
merekalah ujung tombak bagi sosialisasinya ide-ide rekonstruksi peradaban ini
di tengah-tengah masyarkat luas.
Sebagaimana dijelaskan Sardar, dalam melakukan upaya rekonstruksi
peradaban Islam, ada enam hal penting yang perlu diperhatikan sebagai
bahan pertimbangan. Keenam hal ini
secara ringkas adalah:
1. Pembangunan
peradaban dengan melihat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
2. Pembangunan
yang mencakup partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
3. Pembangunan
ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan
negera-negara maju.
4. Proses
industrialisasi tidak boleh hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial
tertentu dari negara-negara maju. Ia harus disertai dengan penguasaan
teknologi.
5. Tidak
semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrasktruktur sains
dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM), ilmu pengetahuan, keahlian
dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan mengadaptasi teknologi
impor.
6. Memiliki
kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains
negara-negara maju.[12]
Secara lebih kongkret, proyek rekonstruksi peradaban Islam ini dilakukan
dengan memfokuskan perhatian pada bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai dan
konsep Islam untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini,
dana zakat, infak dan shadaqah misalnya,
yang sebelumnya hanya dialokasikan hanya untuk pemberdayaan
ekonomi, seyogyanya diberikan porsi yang
besar pula kepada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masjid,
yang selama ini hanya diperuntukkan untuk shalat dan pengajian-pengajian,
diupayakan untuk dikembangkan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Yang juga termasuk dalam kategori penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi di sini adalah pengembangan teknologi dengan menguasai teknologi
informasi dan media massa
seperti radio dan televisi serta segala perangkat yang mendukungnya. Di
Indonesia, media-media radio dan televisi sekarang ini didominasi oleh budaya
konsumerisme di mana para penontonnya didorong, bahkan dijerumuskan kedalam
budaya konsumtif yang mematikan produktivitas dan kreativitas, sesuatu yang
inheren dalam suatu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkenaan dengan informasi dan penguasaan teknologinya, umat Islam perlu
mengembangkan Sistim Informasi Nasional (SIN), suatu keseluruhan yang kompleks
dengan sejumlah subsistim dan segenap unsur yang membangunnya mesti berfungsi
dalam kesalingterkaitan yang tepat satu sama lain. Adapun komponen SIN ini
adalah:
1.
Perpustakaan Nasional, suatu penyimpan semua
publikasi nasional dan bertugas menghimpun semua dokumen yang mungkin
diperlukan untuk riset dan kegiatan-kegitan intelektual lainnya.
2.
Pusat-pusat Informasi Nasional, untuk
bidang-bidang informasi ilmiah, informasi teknologis dan industrial, medis,
pertanian, bisnis dan lain-lain.
3.
Pusat Alih Informasi, untuk pertukaran informasi
nasional, seperti telepon-telepon yang menghubungkan para ilmuwan dan sarjana
terkait dengan kegiatan-kegiatan intelektual seperti seminar-seminar,
penelitian dan lain-lain.
4.
Lembaga Standar Nasional, untuk upaya-upaya
standarisasi kuantitas, kualitas, pola, metode dan satuan-satuan pengukuran
dalam sains, tekonologi, industri dan kedokteran.[13]
Dalam hal ini diperlukan para “penjaga gawang” informasi yang selain
bertugas membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Islam, tetapi juga
mengkritisi sumber-sumber informasi yang datang dari luar Islam (Barat). Sardar
mengilustrasikan para penjaga gawang ini dengan Janus, Dewa Penjaga Pintu
Romawi.[14]
Terkait dengan masalah pengembangan informasi ini, perlu diupayakan pula
secara intensif kerjasama di antara negeri-negeri muslim dengan membangun
Jaringan Informasi Muslim Internasional (JIMI). Hal ini menjadi penting
setidaknya, sebagaimana diuraikan Sardar, karena tiga hal berikut ini:
1.
Kesatuan iman, akidah, warisan budaya,
perkembangan peradaban dan kesamaan struktur politik-ekonomi.
2.
Kesatuan blok negeri-negeri muslim sebagai
negara-negara berkembang yang memiliki kepentingan-kepentingan, problem-problem
dan tantangan-tantangan yang sama dalam program pembangunan mereka.
3.
Ada
wilayah-wilayah tertentu yang merupakan prerogatif khas dunia muslim.[15]
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, dikarenakan telah
terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan yang semakin tajam, maka diperlukan
adanya saling kerjasama dan bahu-membahu antara para pakar Islam dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Di sini bukan hanya keahlian menjawab persoalan dengan
perspektif ilmu pengetahuan spesifik tertentu saja yang dibutuhkan, tetapi juga
keahlian melihat segala permasalahan dan problema kehidupan manusia secara
total dan integral yang dapat memecahkan segala problem umat Islam secara
komprehensif dan menyeluruh.
Dalam hal ini, masalah pendidikan menjadi hal
yang sangat penting peranannya sebagai wadah aktualisasi dan sosialisasi
ide-ide tentang rekonstruksi peradaban Islam. Di Indonesia, 20 % anggaran untuk
pendidikan yang telah terrealisasi harus dijadikan sarana untuk terus meningkatan
apresiasi di kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara
memberikan kemudahan-kemudahan bukan malah mempersulit segala proses yang
berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Pemberian beasiswa untuk menempuh
pendidikan, khususnya untuk ilmu pengetahuan umum dan teknologi harus terus
dikembangkan dan digalakkan.
Lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren,
perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun
finansial, karena lembaga-lembaga semacam inilah yang berperan besar membantu
program pemerintah di dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu
sisi serta pemberantasan buta aksara Al-Quran di sisi lain, khususnya di
daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.
Di sisi lain, lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, terutama
pesantren salaf perlu mereformasi dirinya dan memodernisasi sistim dan metode
pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang
melaju begitu pesat. Di Indonesia, orde Reformasi ini sangat urgen adanya sikap
kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan
pemerintah melalui pendekatan yang bersifat saling menghargai, saling memahami
dan saling tolong-menolong dengan tujuan yang pasti, yaitu untuk semakin
mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya para ilmuwan yang bermoral.
Namun dalam penguasaan teknologi, yang harus diperhatikan adalah
bagaimana agar teknologi yang dikembangkan bukan perpanjangan tangan peradaban
Barat, karena jika itu yang terjadi, maka umat Islam akan seterusnya menjadi
ketergantungan dan tidak terlepas dari dominasinya. Oleh karena itu, selain
penguasaan teknologi, juga harus memiliki teknologi-teknologi alternatif yang
dilahirkan umat Islam sendiri dan mengembangkannya untuk keperluan lokal dan
domestik.
E. Penutup
Dalam pandangan Ziauddin Sardar, masa depan peradaban Islam sangat
bergantung kepada cara pandang umat Islam dalam melihat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedang dikuasai Barat saat ini terkait dengan
interpretasi mereka terhadap nilai-nilai Islam dan sejarah masa lalu mereka
yang gemilang. Jika umat Islam menginginkan masa depan peradabannya yang cerah,
maka yang harus dilakukannya adalah bukan hanya dengan memandang Islam sebagai
agama tapi juga sebagai peradaban.
Oleh karena itu, menurut Ziauddin Sardar, yang diperlukan saat ini oleh
umat Islam adalah merekonstruksi peradabannya, dengan cara melakukan eksplorasi
epistemologi sains Islam dan terus mengembangkannya yang didukung penuh oleh
segala unsur umat Islam di seluruh dunia dengan membentuk jaringan-jaringan
yang saling bekerjasama. Wallahua’lam bisshawâb.
[1] . Penulis adalah Dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Dpk Institut Agama Islam Al Aqidah Jakarta, sekarang Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO) Jakarta.
[2] . Di Indonesia, Ziauddin
Sardar dikenal melalui tulisan-tulisan lepasnya yang dipublikasikan di
jurnal-jurnal keislaman, seperti Ulumul Qur?an atau al-Hikmah pada tahun 90-an.
Pada akhir Juli 2004, Ziauddin Sardar mengunjungi beberapa kota di Indonesia,
di antaranya Jakarta dan Surabaya.
[3] . Chandra Muzaffar
mengawali era kebangkitan Islam dengan
gerakan Wahabiyah pada abad ke-18.., Lihat tulisannya yang berjudul Kebangkitan
Islam:Suatu Pandangan Global dalam Perkembangan odern Dalam Islam (Penyunting:
Harun Nasution dan Azyumardi Azra), (Yayasan Obor Indonesia: Desember 1985), h.
.71.
[8] . Ziauddin Sardar, Jihad
Intelektual: Merumuskan Paremeter-parameter Sains Islam, (Risalah
Gusti:Surabaya, 1998),cet. pertama, h. 5.
[9] . Ziaddun Sardar, Jihad
Intelektual, h. 7.
[10]. Lihat gambaran kemajuan peradaban Islam dalam
tulisan Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), cet.
ke-16, , h. 52-53. Begitu juga dalam tulisan Harun Nasution, Islam ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1,
(Jakarta: UI Press, , 1985), cet. ke-5, h. 70-73.
[11] . Ziauddin Sardar, Jihad
Intelektual, h. 12.
[12] . Ziauddin Sardar, Tantangan
Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988), cet.
ke-1, h. 81-82.
[13] . Ziauddin Sardar, Tantangan
Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi (Bandung: Mizan, Mei 1988), cet.
ke 1, h. 174.
[14] Ziauddin Sardar, Tantangan
Dunia Islam Abad 21 h. 208.
[15] Ziauddin Sardar, Tantangan
Dunia Islam Abad 21 h. 192-193.
Daftar Pustaka
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya jilid 1, (Jakarta: UI Press, , 1985)
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam:Suatu
Pandangan Global dalam Perkembangan Modern Dalam Islam (Yayasan Obor
Indonesia: Desember 1985)
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan
Paremeter-parameter Sains Islam, (Risalah Gusti:Surabaya, 1998)
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21:
Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988)
Ziauddin Sardar, The Future of Muslim
Civilization, (Selangor, Darul Ehsan, Malaysia, 1988)
Ziauddin Sardar,
Masa Depan Islam, (Pustaka: 1985)
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21:
Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988)
Apakah makalah ini diterbitkan? Mohon infonya karesa saya sedang menulis tesis tentang Ziauddin Sardar
BalasHapusIya, sudah diterbitkan di jurnal Kordinat.
Hapusdi mana saya bisa mendapatkannya? apakah saya bisa tahu tahun terbit jurnal tersebut, volume dan lain sebagainya?
BalasHapusJurnal Kordinat Vol. X No. 2 tahun 2009.
HapusJurnal Kordinat Vol. X no. 2 tahun 2009.
BalasHapusArtikel yang komplit tentang rekonstruksi peradaban Islam, makasih dan salam kenal.
BalasHapusTerima kasih dan salam kenal juga.
Hapus