Rekonstruksi Peradaban Islam Dalam Pandangan Ziauddin Sardar



REKONSTRUKSI PERADABAN ISLAM
 DALAM PANDANGAN ZIAUDDIN SARDAR

Oleh: Aip Aly Arfan[1]
 
 
Abstrack: According to Ziauddin Sardar, how the Islamic  future will be prospective depends on their world-view in seeing sciences and technology development  dominated by West related to their interpretation to Islamic values and their magnificent  history. Then, what Muslims must do now in their lifes is how to see Islam not just as a religion, but also as a civilization. Briefly, Muslims have to reconstruct their great civilization. But how reconstruct Islamic civilization? Sardar sees that to reconstruct Islamic civilization, Muslims have to explore Islamic sciences epistemology and develop it supported all-out by all Muslims elements by establishing cooperative webs in the world.
 
Katakunci: Peradaban Islam, rekonstruksi, ilmu pengetahuan, teknologi, jihad intelektual.
 

A.           Pendahuluan


Dalam dunia Islam telah banyak bermunculan para penulis dan pemikir Islam yang membahas masalah peradaban Islam dalam karya-karya ilmiah mereka. Salah seorang dari mereka adalah Ziauddin Sardar, seorang pemikir muslim dan penulis produktif kelahiran Pakistan pada 1951. 
Hingga kini guru besar Postcolonial Studies di City University, London, dan Editor Tetap Futures dan Third Text, dua jurnal bergengsi yang khusus mendalami studi-studi kebijakan dan perencanaan serta isu-isu mutakhir tentang budaya kontemporer di London Inggris ini telah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel dalam bahasa Inggris.
Pemikiran Ziauddin Sardar tentang peradaban Islam sebenarnya telah ada pada tahun 80-an, di mana ia melahirkan karyanya yang berjudul The Future of Muslim Civilization dan diterbitkan di Malaysia pada 1988 yang dilanjutkan dengan karyanya yang lain berjudul Islamic Futures, The Shape of Ideas to come. Namun, karena berbagai hal, belum banyak yang mengetahui dan kemudian mengelaborasinya, yang menurut penulis sangat layak untuk dijadikan salah satu referensi bagi umat Islam dalam melihat agamanya dan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka di era globalisasi sekarang ini[2].
Salah satu poin penting dalam tulisan Ziauddin Sardar adalah idenya tentang rekonstruksi Peradaban Islam. Pertanyaannya adalah sejauh mana Sardar melihat masa depan Islam? Dan bagaimana rekonstruksi peradaban Islam yang ditawarkannya?

B.            Masa Depan Peradaban Islam: Pandangan Ziauddin Sardar


Masa depan peradaban Islam dalam banyak tulisan selalu dikaitkan dengan ide kebangkitan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-18 yang lalu[3]. Meskipun sudah kurang lebih dua abad berlalu, dan gambaran peradaban Islam masa depan masih buram, kebanyakan para pemikir Islam tetap optimis. Lalu, apakah memang belum saatnya umat Islam  bangkit? Sudah benarkah langkah umat Islam dalam mengusahakan kebangkitannya ini? Atau sebenarnya mereka bukannya berusaha untuk mengembalikan kejayaan yang pernah diraih, tapi sebaliknya, menghancurkan sisa-sisa peradaban mereka sendiri?
Jika kita melihat kembali ke belakang, ke sejarah, akan kita dapati bahwa peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaannya di mana tak ada satu peradaban pun yang  menandingi. Namun, kini umat Islam tidak lagi memiliki apa yang disebut dengan peradaban yang membanggakan, karena di segala bidang kehidupan, umat Islam berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Dalam dunia Arab sebagai representasi peradaban Islam, jawaban atas pertanyaan di atas adalah karena telah terjadi kebekuan pemikiran dalam tubuh orang Arab yang disebabkan oleh dua aliran pemikiran yang saling bertolak belakang, yaitu aliran klasik yang berusaha menghidupkan kembali kebudayaan Arab klasik tanpa disertai sikap kritis untuk memperbaruinya dan aliran moderen yang menolak seluruh kebudayan Arab secara mutlak dan beralih pada kebudayaan moderen. Aliran pertama disebut dengan aliran tradisionalis ortodox dan yang kedua disebut dengan aliran sekularis.
Untuk mengatasinya, konferensi Intelektual Arab yang dilakukan di Kuwait pada 7-12 April 1974 dengan tema Krisis Pembangunan Peradaban di Negeri Arab, merekomendasikan sebuah solusinya, yaitu dengan memberikan dukungan pada model pemikiran moderat yang tidak terlalu mendewa-dewakan tradisi, dan dapat menciptakan pemikiran Arab yang otentik sekaligus modern.
Di Indonesia, sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, terkait dengan kebangkitan Islam dan bagaimana membangun peradaban masa depannya, dikenal suatu jargon yang mirip dengan solusi yang direkomendasikan Dunia Arab di atas, yaitu melestarikan tradisi yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik (Al muhafazhah ‘alal qadimis  shâlih wal akhhdzu bil jadîd ashlah).
Lalu, bagaimana dengan pandangan Sardar tentang hal ini?
Menurut Sardar, masa depan umat Islam bergantung kepada diri mereka sendiri dengan menggali nilai-nilai yang mereka miliki dan tidak dengan meniru Barat dengan memaksakan ide-ide dan pemikirannya yang tidak cocok untuk diterapkan di dunia Islam. Sebagaimana ditulis Muhammad Al-Fayyadl:
“umat Islam tidak dapat hidup dengan cita-cita kemajuan (the idea of progress) sebagaimana yang dikonsepsikan oleh pandangan-dunia Barat. Sebab, mengikuti kerangka berpikir Barat berarti memaksakan ide-ide yang secara kultural asing bagi pengalaman umat Islam sendiri. Dengan demikian, umat Islam harus mulai membangun kemandiriannya dalam menata langkah menuju masa depan sesuai dengan kemampuan dan situasi internal mereka sendiri. Sistem-sistem ekonomi, sosial, politik, atau kultural yang dihasilkan dari pengalaman sendiri akan jauh lebih bermakna dan autentik, dan dalam jangka panjang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ketimbang memaksakan diri meniru sistem-sistem Barat, umat Islam sebaiknya mulai menggali khazanah kulturalnya sendiri untuk menemukan strategi-strategi yang diperlukan dalam menapaki masa depannya”.[4]

Secara lebih spesifik dan terfokus, Sardar mengaitkan masalah masa depan peradaban Islam dengan cara pandang umat Islam.  Menurutnya, ada kesalahan-kesalahan mendasar yang dilakukan sebagian besar umat Islam. Di antaranya, adalah Pertama, kesalahan pandangan tentang sisi kemanusiaan nabi Muhammad SAW. Dari sinilah lahirnya pemahaman bahwa ukuran keimanan seseorang dilihat dari sejauh mana ia secara fisik menyerupai Nabi, seperti dalam hal cara berpakaian yang kemudian melahirkan kesalahan-kesalahan lain.
Kedua, kesalahan tentang pemahaman syariah. Syariah yang merupakan kumpulan interpretasi manusia pada suatu jaman dan waktu-yang mungkin sudah
terbaik untuk waktu itu, namun telah dianggap seperti kitab suci yang tak boleh dikritisi. Kesalahan inilah yang membuat sulitnya pembaruan dalam bidang fikih Islam. Ketiga, hilangnya representasi individual karena kuatnya faktor ulama pada
praktek sehari-hari. Kesalahan inilah yang menghalangi lahirnya ide-ide pembaruan yang adaptif terhadap perubahan jaman, suatu hal yang sangat vital dalam membangun suatu peradaban.[5]
Selain itu, ia melihat bahwa kebanyakan umat Islam tidak benar-benar memahami nilai Islam. Banyak nilai-nilai Islam yang tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, seperti bertanya, membaca, berpikir dan menulis. Keempat hal tersebut kurang mendapat perhatian umat Islam, jika dibandingkan dengan salat, puasa dan zakat, misalnya. Dalam hal ini, Sardar mengatakan:
“Mereka pikir nilai Islam itu hanya shalat, puasa, zakat. Mereka tidak berpikir bahwa bertanya itu adalah juga nilai Islam. Mereka tidak menjadikan bertanya sebagai kunci dari nilai-nilai Islam. Padahal, kalau Anda lihat Alquran, di sana penuh dengan pertanyaan. Dialog pertama Nabi (Muhammad SAW) saat menerima wahyu adalah bertanya. Saat Nabi diminta untuk membaca, beliau mempertanyakan, apa yang harus dibaca. Jadi mengapa kita tidak jadikan bertanya sebagai nilai Islam. Jadi, buat saya, bertanya itu adalah nilai dasar Islam. Selain itu, membaca, berpikir, dan menulis, adalah juga nilai-nilai Islam. Bahkan, nilai ini datang lebih awal sebelum perintah shalat dan puasa. Dan jika Anda melihat masyarakat Muslim, satu hal yang tertinggal adalah membaca. Menulis juga tidak menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam masyarakat Islam”. [6]

Dari sini, Sardar sepertinya ingin mengatakan bahwa masa depan peradaban Islam tergantung umat Islam sendiri. Masa depan peradaban Islam akan cerah jika umat Islam tidak meninggalkan nilai-nilai Islamnya sendiri. Nilai-nilai Islam seperti membaca dan  berpikir jika ditinggalkan akan mengakibatkan umat Islam jauh dari kebangkitan Islam yang sedang mereka upayakan. Dengan kalimat lain, ibadah ritual bukan segalanya yang harus dilakukan untuk mencapai kebangkitan Islam.
Selain masalah cara pandang umat Islam terhadap nilai-nilai yang dimiliki, Sardar juga melihat bahwa cara pandang umat Islam terhadap sejarah yang keliru, di mana masa depan peradaban harus diterapkan seperti kejayaan Islam di masa lalu. Sardar melihat pentingnya melihat ke depan jika umat Islam ingin bangkit dan maju, bukan ke belakang, yang dikenal dengan sebutan tradisi dan sejarah. Kalau pun melihat ke belakang, itu dilakukan untuk dijadikan sebagai momentum. Dalam hal ini, Sardar mengatakan:
“Kalau Anda berjalan maju, terus Anda lihatnya ke belakang, maka Anda akan membentur sesuatu. Jadi kalau Anda maju, lihatlah ke depan. Tapi kalau perlu melihat ke belakang, jadikan itu sebagai momentum. Itulah yang disediakan sejarah. Kita perlu belajar sejarah, kita perlu maju dengan tradisi kita, tapi kita tidak boleh terkekang oleh tradisi kita. Tradisi itu hanya jadi batasan yang kaku. Berbagai tradisi itu diperlukan untuk memajukan masyarakat, bukan untuk mengekang”.[7]
Untuk mewujudkan ide-ide di atas, langkah yang harus ditempuh adalah melakukan apa yang disebut dengan rekonstruksi peradaban Islam, suatu pendekatan yang menitikberatkan pada upaya bagaimana memosisikan sains atau iptek terkait hubungannya dengan Islam dan bagaimana respon yang harus dilakukan umat Islam terhadapnya.

C.           Pendekatan Sains Islam Sebagai Upaya Rekonstruksi Peradaban Islam

Secara historis, pendekatan sains sebagai upaya rekonstruksi peradaban Islam telah diteorikan oleh para pemikir Islam, di antaranya adalah:
1. I’jazul Quran (mukjizat al-Quran).
Teori ini dipelopori oleh Maurice Bucaille yang populer dengan bukunya “La Bible, le Coran et la Science” (edisi Indonesia: “Bibel, Quran dan Sains Modern“).
Dengan teori ini, rekonstruksi peradaban Islam dilakukan dengan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat al-Quran. Dalam perkembangannya, teori ini mendapatkan kritikan dari ilmuwan muslim yang lain lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan dengan alasan menganggap Al-Quran sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Quran juga bisa berubah.
2. Islamisasi sains
Penggagas utama teori ini adalah Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan.
Teori ini berupaya membandingkan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Adapun tujuan dari teori ini ada 6 (enam), yaitu penguasaan disiplin ilmu modern, penguasaan warisan Islam, penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern, pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya), pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah dan Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.
3. Membangun sains pada pemerintahan Islami.
Teori ini memfokuskan upayanya terutama pada proses pemanfaatan sains. Dengan pijakan dasar pengertian bahwa dalam lingkungan Islam, sains tunduk pada tujuan mulia. Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok ini.
4. Menggali epistimologi sains Islam (murni).
Teori ini digulirkan oleh Ziauddin Sardar. Sepintas, teori ini nampak sama dengan teori islamisasi sains yang digagas Isail Raji Al Faruqi di atas, namun sebenarnya sangat berbeda. Jika islamisasi sains “mengislamkan sains” yang berasal dari Barat, penggalian epistemologi sains Islam tidak berawal dari pengertian sains itu identik dengan Barat.
Bagaimana jelasnya ide rekonstruksi peradaban Islam versi Ziauddin Sardar akan diuraikan berikut ini.

D.           Rekonstruksi Peradaban Islam: Kacamata Ziauddin Sardar


Ketika membicarakan masalah masa depan peradaban Islam, Ziauddin Sardar melihat pentingnya rekonstruksi peradaban Islam dilakukan. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa Islam dan masyarakat muslim menyerupai suatu bangunan yang sangat indah tetapi kuno, yang, pada tahun-tahun sulitnya sekarang ini, membutuhkan banyak biaya untuk pemugarannya. Fondasinya begitu kuat, tetapi penembokannya butuh perhatian mendesak. Kita perlu merekonstruksi peradaban muslim, sebab jika tidak, batu bata demi batu batu akan tumbang dan runtuh satu persatu.[8]

Rekonstruksi peradaban berarti membangun kembali peradaban Islam dalam pengertian, bahwa Islam bukan hanya dipandang sebagai agama saja, atau pun sistim etika dan politik saja, tapi Islam sebagai peradaban. Pengertian Islam sebagai peradaban bukan dengan melihat Islam sebagai peradaban historik sebagaimana yang dilakukan sebagian umat Islam sebagai romantisme, tetapi sebagai peradaban kontemporer, bahkan peradaban masa depan. Jadi, pentingnya sejarah sebagaimana yang dikatakan Sardar:
Sementara sejarah harus berpihak kepada kita, kita tidak boleh hidup di dalamnya”.[9]

Di era globalisasi sekarang ini, melakukan rekonstruksi peradaban Islam akan sulit dilakukan. Namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan, bahkan sangat mungkin dilakukan. Hal ini karena nilai-nilai Islam yang universal tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang lahir dari rahim peradaban Barat. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar umat Islam secara mayoritas menyadari pentingnya rekonstruksi peradabannya, sehingga proyek rekonstruksi ini tidak dilakukan hanya oleh individu-individu tertentu. Ia harus dilakukan secara bersinergi, simultan dan berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat Islam, bahkan oleh pihak penguasa (pemerintah), sebagaimana yang terjadi pada jaman kejayaan Islam di Baghdad dahulu di mana pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan bukan secara sporadis dan individual, tapi juga didukung oleh kalangan penguasa seperti para khalifah.[10]
Dalam hal ini diperlukan upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keseluruhan akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang dan maju. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan keduniawian, khususnya iptek ini. Bahwa akhirat itu lebih kekal, dan oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh Sardar, hal ini diungkapkannya dengan istilah perluasan syari’ah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijaksanaan sains dan penaksiran teoknologi, partisipasi masyarakat dan pembangunan pedesaan.[11] Di sini, peran para da’i dan aktivis pendidikan sangat strategis di mana merekalah ujung tombak bagi sosialisasinya ide-ide rekonstruksi peradaban ini di tengah-tengah masyarkat luas.

Sebagaimana dijelaskan Sardar, dalam melakukan upaya rekonstruksi peradaban Islam, ada enam hal penting yang perlu diperhatikan sebagai bahan  pertimbangan. Keenam hal ini secara ringkas adalah:
1.      Pembangunan peradaban dengan melihat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
2.      Pembangunan yang mencakup partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
3.      Pembangunan ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan negera-negara maju.
4.      Proses industrialisasi tidak boleh hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial tertentu dari negara-negara maju. Ia harus disertai dengan penguasaan teknologi.
5.      Tidak semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrasktruktur sains dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM), ilmu pengetahuan, keahlian dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan mengadaptasi teknologi impor.
6.      Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains negara-negara maju.[12]

Secara lebih kongkret, proyek rekonstruksi peradaban Islam ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai dan konsep Islam untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, dana zakat, infak dan shadaqah misalnya,  yang sebelumnya hanya dialokasikan hanya untuk pemberdayaan ekonomi,  seyogyanya diberikan porsi yang besar pula kepada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masjid, yang selama ini hanya diperuntukkan untuk shalat dan pengajian-pengajian, diupayakan untuk dikembangkan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang juga termasuk dalam kategori penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di sini adalah pengembangan teknologi dengan menguasai teknologi informasi dan media massa seperti radio dan televisi serta segala perangkat yang mendukungnya. Di Indonesia, media-media radio dan televisi sekarang ini didominasi oleh budaya konsumerisme di mana para penontonnya didorong, bahkan dijerumuskan kedalam budaya konsumtif yang mematikan produktivitas dan kreativitas, sesuatu yang inheren dalam suatu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berkenaan dengan informasi dan penguasaan teknologinya, umat Islam perlu mengembangkan Sistim Informasi Nasional (SIN), suatu keseluruhan yang kompleks dengan sejumlah subsistim dan segenap unsur yang membangunnya mesti berfungsi dalam kesalingterkaitan yang tepat satu sama lain. Adapun komponen SIN ini adalah:
1.            Perpustakaan Nasional, suatu penyimpan semua publikasi nasional dan bertugas menghimpun semua dokumen yang mungkin diperlukan untuk riset dan kegiatan-kegitan intelektual lainnya.
2.            Pusat-pusat Informasi Nasional, untuk bidang-bidang informasi ilmiah, informasi teknologis dan industrial, medis, pertanian, bisnis dan lain-lain.
3.            Pusat Alih Informasi, untuk pertukaran informasi nasional, seperti telepon-telepon yang menghubungkan para ilmuwan dan sarjana terkait dengan kegiatan-kegiatan intelektual seperti seminar-seminar, penelitian dan lain-lain.
4.            Lembaga Standar Nasional, untuk upaya-upaya standarisasi kuantitas, kualitas, pola, metode dan satuan-satuan pengukuran dalam sains, tekonologi, industri dan kedokteran.[13]

Dalam hal ini diperlukan para “penjaga gawang” informasi yang selain bertugas membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Islam, tetapi juga mengkritisi sumber-sumber informasi yang datang dari luar Islam (Barat). Sardar mengilustrasikan para penjaga gawang ini dengan Janus, Dewa Penjaga Pintu Romawi.[14]

Terkait dengan masalah pengembangan informasi ini, perlu diupayakan pula secara intensif kerjasama di antara negeri-negeri muslim dengan membangun Jaringan Informasi Muslim Internasional (JIMI). Hal ini menjadi penting setidaknya, sebagaimana diuraikan Sardar, karena tiga hal berikut ini:
1.                        Kesatuan iman, akidah, warisan budaya, perkembangan peradaban dan kesamaan struktur politik-ekonomi.
2.                        Kesatuan blok negeri-negeri muslim sebagai negara-negara berkembang yang memiliki kepentingan-kepentingan, problem-problem dan tantangan-tantangan yang sama dalam program pembangunan mereka.
3.                        Ada wilayah-wilayah tertentu yang merupakan prerogatif khas dunia muslim.[15]

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, dikarenakan telah terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan yang semakin tajam, maka diperlukan adanya saling kerjasama dan bahu-membahu antara para pakar Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di sini bukan hanya keahlian menjawab persoalan dengan perspektif ilmu pengetahuan spesifik tertentu saja yang dibutuhkan, tetapi juga keahlian melihat segala permasalahan dan problema kehidupan manusia secara total dan integral yang dapat memecahkan segala problem umat Islam secara komprehensif dan menyeluruh.
Dalam hal ini, masalah pendidikan menjadi hal yang sangat penting peranannya sebagai wadah aktualisasi dan sosialisasi ide-ide tentang rekonstruksi peradaban Islam. Di Indonesia, 20 % anggaran untuk pendidikan yang telah terrealisasi harus dijadikan sarana untuk terus meningkatan apresiasi di kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan bukan malah mempersulit segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Pemberian beasiswa untuk menempuh pendidikan, khususnya untuk ilmu pengetahuan umum dan teknologi harus terus dikembangkan dan digalakkan.

Lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembaga semacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintah di dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta aksara Al-Quran di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.

Di sisi lain, lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, terutama pesantren salaf perlu mereformasi dirinya dan memodernisasi sistim dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melaju begitu pesat. Di Indonesia, orde Reformasi ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat saling menghargai, saling memahami dan saling tolong-menolong dengan tujuan yang pasti, yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya para ilmuwan yang bermoral.

Namun dalam penguasaan teknologi, yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar teknologi yang dikembangkan bukan perpanjangan tangan peradaban Barat, karena jika itu yang terjadi, maka umat Islam akan seterusnya menjadi ketergantungan dan tidak terlepas dari dominasinya. Oleh karena itu, selain penguasaan teknologi, juga harus memiliki teknologi-teknologi alternatif yang dilahirkan umat Islam sendiri dan mengembangkannya untuk keperluan lokal dan domestik.

E.            Penutup


Dalam pandangan Ziauddin Sardar, masa depan peradaban Islam sangat bergantung kepada cara pandang umat Islam dalam melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dikuasai Barat saat ini terkait dengan interpretasi mereka terhadap nilai-nilai Islam dan sejarah masa lalu mereka yang gemilang. Jika umat Islam menginginkan masa depan peradabannya yang cerah, maka yang harus dilakukannya adalah bukan hanya dengan memandang Islam sebagai agama tapi juga sebagai peradaban.
Oleh karena itu, menurut Ziauddin Sardar, yang diperlukan saat ini oleh umat Islam adalah merekonstruksi peradabannya, dengan cara melakukan eksplorasi epistemologi sains Islam dan terus mengembangkannya yang didukung penuh oleh segala unsur umat Islam di seluruh dunia dengan membentuk jaringan-jaringan yang saling bekerjasama. Wallahua’lam bisshawâb.





[1] . Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dpk Institut Agama Islam  Al Aqidah Jakarta, sekarang Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO) Jakarta.
[2] . Di Indonesia, Ziauddin Sardar dikenal melalui tulisan-tulisan lepasnya yang dipublikasikan di jurnal-jurnal keislaman, seperti Ulumul Qur?an atau al-Hikmah pada tahun 90-an. Pada akhir Juli 2004, Ziauddin Sardar mengunjungi beberapa kota di Indonesia, di antaranya Jakarta dan Surabaya.
[3] . Chandra Muzaffar mengawali era kebangkitan Islam  dengan gerakan Wahabiyah pada abad ke-18.., Lihat tulisannya yang berjudul Kebangkitan Islam:Suatu Pandangan Global dalam Perkembangan odern Dalam Islam (Penyunting: Harun Nasution dan Azyumardi Azra), (Yayasan Obor Indonesia: Desember 1985), h. .71.
[8] . Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Paremeter-parameter Sains Islam, (Risalah Gusti:Surabaya, 1998),cet. pertama, h. 5.
[9] . Ziaddun Sardar, Jihad Intelektual, h. 7.
[10].  Lihat gambaran kemajuan peradaban Islam dalam tulisan Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke-16, , h. 52-53. Begitu juga dalam tulisan Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1,  (Jakarta: UI Press, , 1985), cet. ke-5, h. 70-73.
[11] . Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, h. 12.
[12] . Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988), cet. ke-1, h. 81-82.
[13] . Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi (Bandung: Mizan, Mei 1988), cet. ke 1, h. 174.
[14] Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21 h. 208.
[15] Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21 h. 192-193.



Daftar Pustaka

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid 1, (Jakarta: UI Press, , 1985)
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam:Suatu Pandangan Global dalam Perkembangan Modern Dalam Islam (Yayasan Obor Indonesia: Desember 1985)
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Paremeter-parameter Sains Islam, (Risalah Gusti:Surabaya, 1998)
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988)
Ziauddin Sardar, The Future of Muslim Civilization, (Selangor, Darul Ehsan, Malaysia, 1988)
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka: 1985)
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung: Mizan, Mei 1988)

7 komentar:

  1. Apakah makalah ini diterbitkan? Mohon infonya karesa saya sedang menulis tesis tentang Ziauddin Sardar

    BalasHapus
  2. di mana saya bisa mendapatkannya? apakah saya bisa tahu tahun terbit jurnal tersebut, volume dan lain sebagainya?

    BalasHapus
  3. Jurnal Kordinat Vol. X no. 2 tahun 2009.

    BalasHapus