Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam:
Urgensi Dan Eksistensinya Dalam Sejarah Islam
Oleh: Aip Aly
Arfan[1]
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang dipeluk oleh banyak orang di dunia.
Sejak awal pertumbuhannya di Mekah hingga perkembangannya ke seluruh dunia, jumlah
umat Islam saat ini mencapai lebih dari 1,6 miliar jiwa atau sekitar 23.4
persen dari total penduduk dunia. Pertumbuhan jumlah umat Islam ini akan terus
meningkat dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah Muslim dunia sekitar 2.2
miliar jiwa atau sekitar 35 persen pada tahun tersebut.[2]
Berkenanan dengan hal itu, studi Islam bagi umat Islam
adalah hal yang sangat penting dilakukan, baik untuk kebaikannya di dunia,
maupun di akhirat nanti. Untuk kebaikan umat Islam di dunia, ia bermanfaat
bukan hanya untuk menjalani hari-harinya dengan sebaik mungkin peradaban,
tetapi juga untuk menapaki masa depan peradabannya yang gemilang. Sedangkan
untuk untuk kebaikannya di akhirat, ia bermanfaat sebagai pembelajaran yang
sangat berharga baginya agar tidak terjerumus ke dalam jurang neraka.
Sejak dahulu hingga kini, studi Islam telah berkembang
hampir di seluruh negara di dunia, baik di dunia Islam maupun non Islam. Saat
ini di Indonesia, studi Islam sudah dilaksanakan di perguruan-perguruan tinggi umum dan yang berlabelkan
agama Islam, baik negeri maupun swasta, temasuk di Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI) Indonesia Jakarta.
Sedangkan di negara-negara non Islam, studi Islam
diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles,
London, dan Kanada. Di Aligarh University India, Studi Islam di bagi menjadi
dua, Islam sebagai doktrin dikaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua
jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah.
Sedangkan Islam dari aspek sejarah dikaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan
Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program
dikaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian
Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago
University. Secara organisatoris, studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur
Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lembaga ini, kajian
Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab,
naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.
Di Amerika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi
sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu
sosial. Studi Islam di Amerika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah
dan Timur Dekat.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar studi Islam itu
dapat dilakukan dengan baik sehingga kedua tujuan tersebut tercapai?
Secara umum ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam
melakukan studi Islam, yaitu pendekatan doktriner dan pendekatan ilmiah.
Pendekatan doktriner dalam studi Islam adalah pendekatan dengan melihat Islam
sebagai sebuah doktrin agama yang harus dipraktikkan secara ideal. Pendekatan
ini dikenal pula dengan pendekatan normatif. Sedangkan pendekatan ilmiah adalah
pendekatan dengan melihat Islam sebagai sebuah ilmu.
Beberapa dasawarsa terakhir ini pernah terjadi diskusi yang
cukup menegangkan dan perdebatan yang sengit di antara akademisi, terutama di
kalangan umat Islam terkait dengan pertanyaan mana yang harus dipilih antara
kedua pendekatan tersebut. Umat Islam, pada umumnya lebih cenderung menggunakan
pendekatan doktriner daripada ilmiah, sedangkan non-muslim, yang didominasi
oleh para orientalis, sebaliknya. Mereka lebih cenderung menggunakan pendekatan
ilmiah daripada doktriner. Menurut penulis, kedua pendekatan ini memiliki
kelebihan dan kekurangannya sendiri, sehingga menjawab pertanyaan di atas,
sebagaimana yang dinyatakan A. Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami Agama Islam, kedua
pendekatan tersebut harus digunakan. Dalam hal ini ia mengatakan: “…….mempelajari Islam dengan segala aspeknya
tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja yaitu metode filosofis, ilmu-ilmu
alam, historis dan sosiologis saja. Demikian juga memahami Islam dengan segala
aspeknya itu tidak bisa hanya dengan jalan doktriner saja. Menurut pendapat
saya, pendekatan ilmiah dan doktriner harus digunakan bersama”.[3]
Senada dengan itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa dalam
studi Islam, yang diperlukan bukan hanya pendekatan doktriner, yang dalam hal
ini ia mengistilahkannya dengan pendekatan teologis filosofis, tetapi juga
pendekatan ilmiah yang menurutnya dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan
linguistik-historis dan pendekatan sosiologis antropologis. Dalam hal ini ia
berasumsi bahwa ilmu apapun, termasuk ilmu tentang Islam yang memiliki
kompleksitasitasnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu
pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat
menyelesaikan persoalan secara sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan
dari ilmu yang lain, maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan
berubah menjadi narrow-mindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme
partikularitas displin keilmuan. Dari dasar pemikiran seperti inilah, ia pun
menghadirkan paradigma integratif-interkonektif sebagai jawaban atas pertanyaan
filosofis di atas.[4]
Dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang pendekatan ilmiah dan tidak akan membahas tentang pendekatan
doktriner atau normatif dalam studi Islam, karena hal itu sudah dilakukan oleh mayoritas
umat Islam dari berbagai kalangan dan level pendidikan yang beragam. Dan agar
pembahasan dalam makalah ini lebih terfokus dan terarah, maka penulis akan
membatasinya pada pentingnya pendekatan sejarah dalam studi Islam dan eksistensinya dalam
sejarah Islam. Namun sebelum itu penulis akan menguraikan secara umum berbagai
pendekatan ilmiah yang mungkin dilakukan dalam studi Islam, di antaranya adalah
pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan
fenomenologis dan pendekatan politis.
B. Berbagai Pendekatan Ilmiah Dalam Studi Islam
Pada awalnya pendekatan ilmiah yang mungkin dilakukan dalam
studi Islam terbatas pada pendekatan filosofis dan historis saja. Namun seiring
perkembangan ilmu pengetahuan, pendekatan yang mungkin dilakukan dalam studi
Islam juga ikut berkembang. Selain kedua pendekatan filosofis dan historis,
sedikitnya ada 5 (lima) pendekatan lain yang mungkin dilakukan, yaitu
pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis,
pendekatan fenomenologis dan pendekatan politis. Berikut ini ketujuh pendekatan
tersebut:
1. Pendekatan Filosofis
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan
kata shopos yang beraati ilmu atau
hikmah. Jadi, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Selain itu,
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Secara terminologi, filsafat adalah
berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dalam rangka mencari kebenaran,
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendekatan
filosofis penting dilakukan sedikitnya karena beberapa sebab berikut:
a. Agar seseorang
dapat menggunakan pemikiran atau rasio seluas-luasnya sampai titik maksimal
dari daya tangkapnya. Sehingga seseorang terlatih untuk terus berfikir dengan
menggunakan kemampuan berfikirnya.
b. Dapat digunakan
dalam memahami agama, dengan maksud agar mendapatkan hikmah, hakikat atau inti
dari ajaran agama, agar dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
c. Agar seseorang
merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.
2. Pendekatan Sejarah
Dalam bahasa Arab, sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti ketentuan waktu, dan secara
istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada masa lampau/masa yang masih
ada. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah merupakan terjemahan dari kata history yang secara harfiah diartikan the past experience of mankind, yakni
pengalaman umat manusia di masa lampau.
Jadi sejarah adalah ilmu yang membahas berbagai masalah yang
terjadi di masa lampau, baik yang berkaitan dengan masalah sosial, politik
ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama dan sebagainya.
Pendekatan historis adalah salah satu
upaya melakukan studi Islam dengan menumbuhkan perenungan untuk memperoleh
hikmah dengan cara mempelajari sejarah nilai-nilai Islam yang berisikan kisah
dan perumpamaan.
3. Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal dari Bahasa Yunani ”anthropos” artinya manusia/orang, dan ”logos” yang berarti wacana.
Secara terminplogi, antropologi adalah
adalah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia terdiri dari
aspek fisik dan non fisik dan berbagai pengetahuan tentang kehidupan lainnya
yang bermanfaat.
Pendekatan antropologis adalah salah
satu upaya memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam
studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara
melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini Islam tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
4. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya
yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari
sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku.
Pendekatan Sosiologis
digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam. Hal demikian
dapat dimengerti, karena banyak studi Islam dapat dipahami secara proporsional
dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari sosiologi.
Sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan
antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat
dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta
pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup
bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Dari defenisi
tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala
sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu itu suatu fenomena sosial
dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses
tersebut.
Melalui pendekatan
sosiologis, Islam dapat dipahami dengan mudah karena ia diturunkan untuk
kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan
dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan.
Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui
sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[5]
5. Pendekatan Psikologis
Psikologi berasal dari Bahasa Yunani ”psych” yang berarti jiwa dan ”logis” yang berarti ilmu. Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari jiwa. Dan jika pendekatan psikologi
dilakukan dalam studi Islam maka hal itu mengandung arti paradigma atau cara pandang dalam memahami Islam dengan
mempelajari jiwa seseorang dengan cara melihat gejala perilaku yang dapat
diamati. Dalam Islam banyak sekali pengambaran batin. Seperti iman, taqwa
kepada Allah. Perilaku seseorang dapat dilihat dari sesuatu yang dia yakini. Dengan
pendekatan psikologis ini, maka akan diketahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami dan diamalkan serta sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa
seseorang.
6. Pendekatan fenomenologis
Fenomenologi adalah sebuah studi Islam dalam bidang filsafat yang
mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena.
Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan agama dengan cara
membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam
agama.
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Hussert dan Alfred Schulta, mereka
mengungkapkan bahwa ”Diam merupakan tindakan untuk mengungkapkan pengertian
sesuatu yang sedang diteliti, dengan diam akan mengetahui perilaku orang lebih
lanjut”.
Tujuan fenomenologi:
1.
Menginterprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan
setepat-tepatnya.
2.
Merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno/menerangkan permasalahan
suatu cerita dari mitos.
3.
Memahami struktur dan organisasi dari suatu kelompok masyarakat religius
dengan kehidupan sekitar.
7. Pendekatan politis
Teori politik normatif adalah cara untuk membahas lembaga sosial, khususnya
berhubungan dengan kekuasaan publik, dan tentang hubungan antar individu di
dalam lembaga politik disebut juga sebagai moral/etika.
Perlawanan menghadapi penjajah merupakan pergerakan politik Islam yang
kemudian menjadi pembentukan negara Indonesia.
Pendekatan politis dalam studi Islam adalah salah satu upaya memahami Islam
dengan cara menanamkan nilai-nilai Islam pada lembaga sosial agar timbul
motivasi/keinginan untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan serta perdamaian
pada masyarakat.
C. Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam
Istilah
sejarah berasal dari kata berbahasa Arab syajarah
yang berarti pohon. Dalam hal ini, Azyumardi Azra mengatakan:
“pengambilan istilah ini berkaitan dengan
kenyataan, bahwa sejarah –setidaknya dalam pandangan orang pertama yang
menggunakan kata ini- menyangkut tentang, antara lain, syajarat al-nasab, pohon
genealogis yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut sejarah keluarga. Atau
boleh jadi juga karena kata kerja syajara juga punya arti to happen, to occur
dan to develop. Namun selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama
dengan tarikh (Arab), istoria (Yunani), history atau geschicte (Jerman)”.
[6]
Dalam
penggunaannya, filosof Yunani memakai kata istoria
untuk menjelaskan secara sistematis mengenai gejala alam. Dalam perkembangan
selanjutnya, kata istoria
dipergunakan untuk menjelaskan mengenai gejala-gejala terutama hal ikhwal
manusia dalam urutan kronologis.
Secara
terminologi, para sejarawan beragam dalam mendefinisikan sejarah. Ada yang
sempit dan ada yang luas. Yang mendefinisikan sejarah secara sempit contohnya
adalah Edward Freeman. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, Edward Freeman
mendefinisikan sejarah dengan politik masa lampau. Adapun yang mendefinisikan
sejarah secara luas, contohnya adalah Ernst Bernheim, yang menyatakan,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, sejarah adalah imu tentang perkembangan
manusia dalam upaya-upaya mereka sebagai makhluk sosial.[7]
Secara
leksikal, sejarah adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa
dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Secara
terminologi sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia, baik
yang berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi maupun gejala alam. Defenisi
ini memberi pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa
masa lampau manusia dengan segala dimensinya.
Yang
jelas, sejarah adalah fakta yang benar-benar terjadi bukan yang seharusnya
terjadi, ia adalah realitas bukan idealitas. Oleh karena itu, pendekatan
sejarah amat dibutuhkan dalam upaya kita melakukan studi Islam, karena Islam
itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi
sosial kemasyarakatan.
Maka
lapangan sejarah adalah meliputi segala pengalaman manusia.
Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman perisriwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari peneliti sejarah. Dengan kata lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman perisriwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari peneliti sejarah. Dengan kata lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Karena peristiwa sejarah adalah mengenai apa saja yang
dipikirkan, dikatakan, dirasakan dan dialami manusia, atau dalam bahasa
metodologis bahwa lukisan sejarah itu merupakan pengungkapan fakta mengenai
apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu telah terjadi, maka pendekatan
sejarah atau dapat dikatakan sejarah sebagai suatu metodologi menekankan
perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek
kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri
khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu pengkajian terhadap gejala-gejala
agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prossesnya,
perubahan-perubahan dan aspek diakronisnya. Bahkan secara kritis, pendekatan
sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta
keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu memahami
gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa.
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa sejarah bukan hanya
sebagai masa lalu tapi juga ilmu, sejarah terikat pada prosedur penelitian
ilmiah. Sejarah juga terikat pada penalaran yang bersandar pada fakta.
Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber
sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan mengungkapkan sejarah secara
objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah adanya kecocokan antara pemahaman sejarawan
dengan fakta. Sejarah dengan demikian didefenisikan sebagai ilmu tentang
manusia yang merekonstruksi masa lalu.
Melalui
pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Seperti orang yang ingin memahami
al Qur’an maka ia harus memahami ilmu
Asbabun Nuzul (Ilmu tentang Turunnya
Al-Qur’an) dengannya seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung
dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk
memelihara syariat dan kekeliruan memahaminya. Begitu
juga jika seseorang ingin memahami Hadis nabi Muhammad SAW, maka ia membutuhkan
ilmu Asbabul Wurud (Ilmu tentang
turunnya Hadis) yang dengan cara itu ia mempertimbangkan kondisi historis-empiris
pada saat Hadis tersebut disampaikan Nabi saw. Dalam hal ini, Fazlurrahman
mengatakan, sebagaimana dikutip oleh yang dikutip Profesor Dr. H.M. Amin Syukur
, MA dkk, dalam bukunya Metodologi Studi
Islam: ” Bila seseorang menemukan
Al-Qur’an di Kutub utara dan bermaksud memahamninya meskipun ia mengetahui
bahasanya, dia tidak akan berhasil memahami Al-Qur’an tersebut secara utuh”.[8]
Dan jika studi Islam difokuskan pada
masalah pendidikan, maka melalui pendekatan sejarah ditemukan berbagai
keterangan yang terkait dengan pendidikan Islam sepanjang sejarah, seperti
adanya perhatian yang sangat besar umat Islam terhadap pentingnya pendidikan
dan menuntut ilmu sejak dini. Selain itu, juga akan didapat informasi yang
sangat berharga terkait dengan para ulama Islam yang memiliki perhatian khusus
terhadap dunia pendidikan Islam. Dan masih banyak lagi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan
pendekatan ini, maka pertanyaan mengapa ayat tertentu diturunkan pada waktu
tertentu dan Hadis dikeluarkan dari mulut Nabi Muhammad SAW akan mendapatkan
jawabannya. Begitu juga dengan pertanyaan tentang bagaimana kondisi
sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu, akan terjawab.
Dari uraian di atas dapat dikatakan
bahwa pendekatan sejarah dalam studi Islam bisa dikembangkan ke arah pendekatan
multidisipliner di mana dalam pengungkapan berbagai hal di balik suatu kejadian
bisa menggunakan teori-teori sosial, politik, antropologis dan psikologis.
Pentingnya penggunaan pendekatan
interdisipliner ini semakin disadari melihat keterbatasan hasil-hasil
penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji
teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan
pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan
historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan hermeneutik
misalnya. Dan menurut penulis, perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar
dan seharusnya memang terjadi seiring dengan perkembangan jaman dan masyarakat
yang semakin hari menjadi semakin kompleks.
D. Tahapan pendekatan Sejarah dalam Studi Islam
Sebagai sebuah ilmu, sejarah membahas berbagai peristiwa
dengan memerhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.[9] Dan tentunya pendekatan sejarah
dalam studi Islam ini dilakukan melalui berbagai tahapan yang harus dilalui.
Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah tahapan akumulasi
data. Dalam tahapan ini, sumber sejarah merupakan salah satu yang menentukan
kualitas pendekatan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan dalam hal sumber
sejarah ini adalah akurasi, dan otentisitasnya sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun jenis sumber sejarah itu sendiri antara lain :
a.
Sumber
tertulis, seperti prasasti, arsip, segala dokumen, kitab-kitab, serat,
babad, hikayat, buku, majalah, dan sebagainya. Semuanya dapat dikumpulkan
faktanya melalui telaah teks atau library research.
b.
Sumber
visual, dan audio visual, yaitu foto, film, video, kaset, laser disk, CD ROM,
dan sebagainya. Sumber semacam ini ditela’ah melalui pengamatan.
c.
Benda-benda
sejarah yang dapat memberikan dan menjadi bukti sejarah.
d.
Sumber
lisan, yaitu penuturan lisan dari pelaku sejarah dan atau penyaksi adanya
peristiwa sejarah. Pengumpulan data terhadap sumber tersebut dapat dilakukan
dengan metode wawancara.
Sumber-sumber di atas, dalam proses pengumpulannya perlu
dipertimbangkan apakah ia termasuk sumber primer, yaitu sumber langsung asli
sebagai jejak-jejak sejarah, ataukah ia termasuk sumber sekunder, ialah
sumber tidak langsung yang memberikan informasi adanya peristiwa sejarah.
Sumber sejarah tertulis dapat dicari di banyak tempat,
terutama pusat arsip dan perpustakaan-perpustakaan. Kesulitan pencarian sumber
biasanya terjadi karena permasalahan sejarah yang diteliti merupakan peristiwa
yang sudah terlalu lama, misalnya dalam sejarah Islam sumber-sumber tertulis
masa Nabi hingga abad pertengahan sudah sangat langka. Adapun sumber lisan,
seyogyanya adalah manusia pelaku/penyaksi sejarah, keberadaannya perlu dicari
dan berpacu pada usianya. Penggunaan sumber lisan ini akan lebih kredibel bagi
penelitian sejarah kontemporer.
Untuk mengurangi kesulitan di dalam menghadapi berbagai
sumber sejarah, dan dalam rangka menghemat waktu serta ketepatan sumber, maka
diperlukan seleksi sumber sejarah berdasarkan relevansinya terhadap penulisan
yang akan dikerjakan. Bagi sumber-sumber yang relevan (benar-benar mendukung
dan berhubungan) dengan penulisan sejarah agama diambil, sedangkan sumber yang
tidak relevan lebih baik diabaikan. Sumber-sumber yang benar-benar memiliki
nilai relevan itu, kemudian dikaji ulang secara teliti dengan menggunakan
metode kritik yang berlaku dalam metode sejarah.
Tahapan yang kedua adalah pemilihan data. Pemilihan data ini
dilakukan dengan cara menyeleksi sumber sejarah melalui kritik sejarah. Kritik
sejarah ini dilakukan terhadap dua hal, yaitu kritik terhadap sisi eksternal
sumber dan kritik terhadap sisi internal sumber.
Kritik eksternal, yaitu kritik terhadap sisi fisik sumber.
Apakah bahan yang dipakai itu asli, apakah tulisan tintanya juga asli dan
sebagainya. Intinya di sini mempertanyakan keaslian (otentisitas) sumber
sejarah.
Kritik internal, yaitu kritik terhadap isi sumber. Apakah
isi dari pernyataan sumber itu dapat dipercaya? Caranya dengan membandingkan
beberapa sumber yang sama. Apabila isi dari sumber itu sama benar, maka sumber
itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya.
Tahapan yang ketiga adalah tahapan interpretasi data. Tahapan
ini merupakan proses pendekatan sejarah yang tidak terpisahkan dari langkah berikutnya,
yaitu penulisan sejarah. Yang dimaksud interpretasi dalam hal ini adalah proses
analisis terhadap fakta-fakta sejarah, atau bahkan proses penyusunan
fakta-fakta sejarah itu sendiri. Seperti dikemukakan di depan, bahwa fakta
sejarah haruslah objektif, tetapi tidaklah berarti peneliti tidak ada peluang
untuk menerangkan fakta itu atas dukungan teori yang dimilikinya. Oleh karena
itu proses interpretasi sejarah juga dimungkinkan masuk unsur-unsur subjektif
peneliti, terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi
terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang dikembangkannya.
Tahapan yang terakhir adalah tahapan penulisan data. Dalam
pendekatan sejarah, penulisan sejarah merupakan proses rekonstruksi sejarah.
Dalam hal ini kerangka penulisan yang sudah dipersiapkan menjadi patokan, dan
pola penulisan dimaksud tergantung kepada penulis, apakah penyusunannya
berdasarkan pola yang dikembangkan secara urut waktu atau periodesasi ataukah
didasarkan kepada tema-tema unik sesuai peristiwa sejarah. Demikian pula model
pemaparan atas fakta-fakta sejarah dapat ditempuh secara deduktif maupun
induktif. Suatu hal yang penting dicatat, bahwa penulisan sejarah biasa
dikembangkan secara kualitatif, sehingga antara deskripsi fakta dan analisisnya
merupakan satu kesatuan di dalam pemaparan sejarah.
Dalam hal ini, Badri Yatim dalam salah satu kesimpulannya tentang penulisan
sejarah, mengatakan bahwa pengerjaan ilmu sejarah tidak saja menuntut kemampuan
teknis dan wawasan teori, tetapi juga integritas yang tinggi. Karena itu, dalam
melakukan studi sejarah, sejarawan sering harus meninjau kecenderungan
pribadinya.[10]
E. Pendekatan Sejarah dalam Wujud Historiografi Islam
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hasil dari penulisan
sejarah disebut sebagai historiografi. Dan jika sejarah yang ditulis adalah
sejarah Islam, maka disebut historiografi Islam. Dalam sejarah, historiografi
Islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik,
periode pertengahan dan periode modern.
Pada periode klasik, Dalam bukunya Historiografi Islam,
Badri Yatim mengikuti pembagian Husein Nashar yang historiografi Islam Awal
menjadi tiga aliran, yaitu aliran Madinah, aliran Iraq dan aliran
Yaman. Pada aliran Madinah, penulisan sejarah bertolak dari gaya penulisan ahli
hadits, lalu kemudian mulai berkembang penelitian khusus tentang kisah
peperangan Rasul (al-Maraghi). Orang
pertama yang menyusun al-Maraghi dan
kemudian disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada
pengkajian al-Maraghi, ialah Aban
Ibnu Usman Ibn Affan (w.105 H/723 M) dan yang paling terkenal sebagai penulis al-Maraghi adalah Muhammad Ibn Muslim
al-Zuhri (w.124 H/742 M), dari penulisan al-Maraghi
kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan penulisan Sirah Nabawiyah (riwayat
hidup Nabi Muhammad SAW).[11]
Pada aliran Iraq, pengungkapan
kisah al-ayyam di masa sebelum Islam,
kemudian karena panatisme politik kekabilahan
yang diakibatkan oleh adanya persaingan antara kabilah untuk mencapai kekuasaan, disini dikembangkan model
penulisan silsilah. Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan
penulisan sejarah di Iraq adalah pembukuan tradisi lisan. Ini pertama kali di
lakukan oleh Ubaidillah Ibn Abi Rafi’ dengan menulis buku yang berisikan nama
para sahabat yang bersama Amir al-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) ikut dalam
perang Jamal, Siffin dan Nahrawan oleh karena itu, dia dipandang sebagai
sejarawan pertama dalam aliran Iraq ini.[12]
Pada aliran Yaman, yang
difokuskan adalah penulisan sejarah pra-Islam. Di daerah ini jauh sebelum Islam
datang telah berkembang budaya penulisan peristiwa, isinya adalah cerita-cerita
khayal dan dongeng-dongeng kesukuan, sehingga berita-berita israiliyat masuk dan mempengaruhi
historiografi Islam. Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip oleh
sejarawan muslim berikutnya yang terpenting di antaranya adalah Ka’ab al-Ahbar
Wahb Ibn Munabbih dan ‘Ubayd ibn Syariyah.[13]
Periode pertengahan merupakan periode kemunduran peradaban
Islam, di mana secara politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan umat Islam berada
dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terutama setelah penyerangan Hulagu
Khan dari Mongol yang membumihanguskan kekuatan khilafahan Bani Abbasiyah di
Baghdad pada tahun 1258 M. Kemunduran peradaban Islam ini disebabkan oleh
banyak faktor. Menurut Badri Yatim, kelemahan khalifah merupakan salah satu
faktor kemunduran peradaban Islam pada periode ini. Selain itu, menurut Guru
Besar Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, ada
beberapa faktor yang yang saling berkaitan satu sama lain, di antaranya adalah
adanya persaingan antarbangsa Arab dan Persia, telah terjadinya kemerosotan di
bidang ekonomi, adanya konflik keagamaan yang berkembang di kalangan penganut
aliran Sunnah dan Syi’ah dan adanya ancaman dari pihak luar, baik akibat perang
Salib maupun serangan Mongol.[14]
Pada periode ini pendekatan sejarah dalam studi agama secara
umum tidak dilakukan lagi oleh umat Islam. Hal itu disebabkan karena stagnasi
ilmu pengetahuan Islam yang ditandai dengan minimnya karya ilmiah baru di
berbagai bidang, termasuk sejarah.
Sementara itu, di negera-negara Eropa dan Amerika yang non-muslim, masa
pertengahan dalam periode sejarah Islam ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuannya, suatu hal yang menjadikan studi agama di kalangan mereka
berkembang pesat pada abad ke-19 dan 20 M. Perhatian ini ditandai dengan
munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Introduction
to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis
P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal
dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor
(1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon
(w. 1958) dan sebagainya. Amerika menghasilkan tokoh seperti William James
(1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious
Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942)
dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Keadaan inilah yang membuat para
ilmuwan Barat ini mampu mengembangkan pendekatan mereka dalam studi agama ke
pendekatan sejarah, seperti yang diwujudkan dalam karya-karya mereka di bidang
sejarah pada periode modern yang akan diuraikan selanjutnya dalam makalah ini.
Namun hal ini bukan berarti tidak ada seorang ilmuwan muslim
pun yang menghasilkan karya ilmiah baru pada periode ini. Bukti yang paling
nyata adanya historiografi Islam pada masa ini adalah karya fenomenal Ibn
Khaldun yang berjudul Kitabul’Ibar Wa
Diwanul Mubtadai Walkhabar Fi Ayyamil’arab Wal’ajami Walbarbar Waman ‘Asharahum
Min Dzawis Sulthanil Akbar.
Yang sangat disayangkan terkait dengan pendekatan sejarah
dalam studi Islam pada periode ini adalah bahwa hal itu berhenti pada sosok Ibn
Khaldun tanpa ada lagi ilmuwan berikutnya yang mengikuti jejaknya sampai
memasuki periode modern. Ironisnya lagi, di dunia Islam buku al-Muqaddimah ini sendiri baru
diterbitkan di Kairo pada tahun 1855.
Sejak runtuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah pada 1258 M.,
yang menandai kemunduran peradaban Islam hingga periode modern, bahkan
sekarang, kepedulian umat Islam masih sangat rendah terhadap sejarah. Disiplin
ilmu sejarah bagi umat Islam merupakan ilmu yang tertinggal dibanding ilmu yang
lain, seperti ilmu kalam, fiqih dan tasawuf. Setelah Al-Muqaddimah, karya Ibn Khaldun, karya ilmiah tentang sejarah di
dunia Islam yang menjadi referensi utama umat Islam hingga kini belum ada yang
menandinginya, padahal dalam Islam, manusia memiliki peran sentral dalam
sejarah. Muhammad Iqbal dalam bukunya, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, mengatakan bahwa manusialah
yang memiliki kekuatan penggerak sejarah yang berupa kesadaran yang berakar
dalam sifat dan fitrahnya. [15]
Senada dengan hal itu, Muhammad Baqir Shardar, dalam bukunya
mengatakan bahwa manusia dengan jiwa, pikiran dan semangat yang dimilikinya
merupakan dinamo yang menggerakkan sejarah.[16]
Pada periode modern,
di akhir abad ke-18 awal abad ke-19, muncul seorang sejarawan yang disebut
sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali Arab Islam yang bernama Abdurrahman
al-Jabarti (w.124 H/1825 M) dengan menggunakan dan mengembangkan corak
penulisan sejarah melalui metode hawliyat
ditambah dengan metode Maudu’iyat (tematik).
Baru pada abad 20 para sejarawan Islam terutama setelah adanya kontak budaya
dan ilmu pengetahuan antara Timur dengan Barat mulai mengembangkan
historiografi Islam dengan metode kajian terhadap sejarah secara menyeluruh,
total atau global, tidak hanya satu aspek sosial saja dengan mencontoh metode
dan pendekatan yang berkembang di dunia Barat.
F. Pendekatan periodisasi Sejarah dalam Studi Islam
Dalam
pendekatan ini, sejarah Islam dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik
(650-1250M), pertengahan (1250-1800M), dan periode modern (1800 sampai
sekarang). Pendekatan ini dilakukan diterapkan oleh banyak penulis sejarah, di
antaranya oleh Harun Nasution dalam bukunya Islam
ditinjau dari berbagai aspeknya. Dalam buku tersebut Harun Nasution membagi
periode klasik kedalam dua fase:
a.
Masa Kemajuan Islam I (650-1000M)
Pada fase ini daerah Islam meluas
melalui Afrika Utara sampai Spanyol di barat,dan melalui Persia sampai keIndia
timur. Pada masa ini pula berkembang dan memuncaknya Ilmu pengetahuan baik
dalam ilmu agama maupun non agama dan kebudayaan Islam. Dalam aspek hukum
Islam, lahir banyak ulama besar seperti Imam Malik (93H), Imam Abu Hanifah
(80H), Imam Syafi`i dan Imam Ahmad Bin Hanbal (164H).
Dalam bidang teologi (Ilmu Kalam)
muncul Imam al Asy`ari, Imam al-Maturidi, Pemuka pemuka Mu`tazilah seperti
Wasil Bin Atho`,Abu al Hudzail. Al Nazzam, dan al-Jubba`i. Dalam bidang tasawuf/mistisme, seperti Dzul
al Nun al Misri, Abu Yazid al Bustami dan al Hallaj. Dalam bidang filsafat
ditemukan al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina,al Ghazali, Ibnu Rusdy dan Ibn
Maskawaih. Dalam bidang Ilmu pengetahuan (sains) Ibnu Hayyan, Ibnu Haytam, al
Khawarizmi, al Mas`udi al Razi. Dan bidang bidang lainnnya yang tidak kami
sebutkan secara rinci di dalam pembahasan ini. Dengan demikian periode klasik
ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan
mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat
sekarang, sungguhpun tidak secara langsung.[17]
b.
Fase
Disintegrasi (1000-1250)
Fase disintegrasi ini sebenarnya telah
didahului oleh fase pradisintegrasi, yaitu suatu fase di mana kemajuan Islam
masih berlangsung, yaitu daerah daerahnya mulai terdapat usaha memisahkan diri
dari khalifah pusat di Damaskus atau Baghdad Misalnya:
Disebelah Timur Baghdad, timbul Dinasti
Tahiri, yang berkuasa di Khurasan (820-872M), Dinasti Samani (874) melepaskan
diri dari Baghdad, dan Dinasti Saffari pada tahun 908M
Adapun fase disintegrasi merupakan fase
di mana pemisahan diri dinasti dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan
perebutan kekuasaan antara dinasti dinasti tersebut untuk menguasai satu sama
lain. Sepeti Dinasti Buwaihi menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk
pimpinan Tughril Beg (1076M)
Di zaman disintegrasi ini, ajaran
ajaran sufi timbul pada zaman kemajuan Islam, mengambil bentuk terikat,
sehingga mutunya mulai menurun.[18]
Kemudian
periode pertengahan. Periode ini juga dibagi menjadi dua fase:
a. Masa kemunduran I (1250-1500M). Pada masa ini desentralisasi dan
disisntegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi`ah, demikian
juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Pada masa itu pula umat Isalm di
Spanyol di paksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.
b. Fase tiga kerajaan besar (1500-1700M)
yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700M), kemudian masa kemunduran II
(1700-1800M). Tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Usmaniah di Turki, kerajaan
Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.
Selanjutnya
periode Modern (1800 sampai sekarang). Periode
ini merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang
berakhir pada Tahun 1801 M yang mengakibatkan jatuhnya Mesir ke tangan Barat,
itu membuka mata dunia Islam terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan
kelemahan umat Islam dibanding dengan kemajuan dan kekuatan Barat.[19]
G. Penutup
Studi Islam adalah sebuah disiplin yang
sangat tua seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Karena Islam sebagai sebuah agama
memiliki banyak aspek, maka objek studi Islam pun beragam tergantung aspek mana
yang ingin dilakukan oleh sang pengkaji maupun peneliti, baik itu dilakukan
oleh umat Islam maupun kalangan non muslim. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai
pendekatan.
Diawali hanya dengan satu pendekatan saja,
yaitu pendekatan doktriner atau normatif teologis, pendekatan dalam studi Islam
kemudian berkembang seiring dengan perkembangan jaman menjadi banyak
pendekatan, di antaranya pendekatan historis, pendekatan sosiologis, pendekatan
antropologis, pendekatan psikologis dan pendekatan fenomenologis. Semua
pendekatan ini memiliki tujuannya masing-masing yang secara umum adalah untuk
menghasilkan pemahaman yang tepat dan komprehensif tentang segala permasalahan
Islam yang menjadi objek pengkajian maupun penelitian.
Sebagai sumber utama studi Islam,
Al-Qur’an dan Hadis perlu difahami dengan baik. Salah satu cara memahaminya
adalah dengan menggunakan pendekatan linguistik, yaitu pemahaman Al-qur’an dan
Hadis dari makna asalnya dalam bahasa Arab yang kita kenal dengan pemahaman
secara tekstual. Cara seperti ini tidak cukup, bahkan bukan tidak mungkin akan
membawa kita kepada pemahaman yang parsial dan tidak utuh. Di sinilah pentingya
pendekatan sejarah dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian dikenal
dengan pemahaman kontekstual.
Kalau pentingnya pendekatan
sejarah ini bisa diterapkan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis, maka ia juga
dapat diterapkan pada segala aspek dalam Islam. Dan jika ditelusuri
perkembangan studi Islam sepanjang sejarahnya, maka akan ditemukan fakta-fakta
dan realita yang meyakinkan tentang penggunaan pendekatan ini oleh umat Islam,
yang dengannya umat Islam pernah menjadi mercusuar peradaban dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi
Azra, Penelitian Non Normatif Tentang
Islam: Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab,
dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disipin Ilmu Nuansa dan
Pusjarlit, Cet. Pertama, 1998.
Basrin
Melamba, Historiografi Islam: Pertumbuhan
dan Perkembangannya Dari Masa Klasik Hingga Modern, dalam jurnal Thaqafiyyat, vol. 2, no. 11,
Juli-Deember 2010.
Dr.
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Modernisme, Pustaka Pelajar, Cet. Pertama,
Januari 1995.
Dr.
Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pelajar, Cet. I,
Februari 2006.
Dr.
Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam,
PT RajaGrafindo Persada, cet. Ke-16,
April, 2004.
Drs.
Adeng Muchtar Ghazali, M. Ag, Ilmu Studi
Agama, CV Pustaka Setia, Cet. Pertama, 2005.
Drs.
Badr Yatim, MA, Historiografi Islam,
Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama, 1997.
H. A. Mukti Ali, Metode Memahami
Agama Islam, PT Bulan Bintang, Cet. 1, 1991.
Harun
Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, jilid I, UI Press, Cet. Kelima, 1985.
http://alymasyhar.wordpress.com/2009/11/03/pendekatan-deskriptif-dalam-studi-islam-klasifikasi-pendekatan-studi-agama-charles-j-adams/
diakses 8 Januari 2013
http://arieslailiyah.blogspot.com/2012/05/pendekatan-sejarah.html, diakses
tanggal 8 Januari 2013
http://kamusbahasaindonesia.org/pendekatan/mirip#ixzz2HLbK0r2m,
diakses tanggal 8 Januari 2013.
http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-sejarah-dan-pendekatan.html,
diakses tanggal 8 Januari 2013.
http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadis-nabi.html diakses tanggal 8 Januari 2013.
Moh. Ali, Kontekstualisasi
Alquran: Studi atas Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah melalui Pendekatan
Historis dan Fenomenologis dalam Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.1, April
2010.
Muhammad
Baqir Shardar, Manusia Masa Kini dan
Problem Sosial, Mizan, Bandung, t.t.
Muhammad
Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam, Kitab Bahuan, New Delhi, India, 1981.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010
Prof.
Dr. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, PT Tiara WacanaYogya, Edisi
kedua, Agustus 2003.
Prof.
Dr. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yayasan Bentang Budaya, cet. Keempat,
November, 2001
Profesor
Dr. H.M. Amin Syukur , MA dkk, Metodologi
Studi Islam, Gunungjati Semarang dan IAIN Walisongo Press, t.t.
Soeryono
Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Press, cet. Kesembilan,
Juni1988.
Sukarman,
Studi Sejarah dan Pendekatan Sejarah Islam,
dalam jurnal Sintesa, vol. 8, no. 1,
Januari 2008.
Taufik
Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987.
TENTANG PENULIS
Aip Aly Arfan, MA, adalah Dosen
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Indonesia Jakarta dalam bidang ilmu Sejarah
dan Peradaban Islam yang kini menjabat sebagai Sekretaris Program Studi
Pendidikan Agama Islam (PAI). Dilahirkan di Jakarta, pada 24 Januari 1975,
memperoleh gelar Magister dalam bidang Peradaban Islam di Universitas Zaitunah,
Tunis Tunisia pada tahun 2003. Sejak tahun 2005 menjadi Dosen di Institut Agama
Islam Al-Aqidah (IAIA) Jakarta dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktur
Pascasarjan IAIA Jakarta pada tahun 2007-2008. Tulisan-tulisannya: Pemikiran Fikih Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid,
dalam junal Dirasat, vol. 1, no. (2006), Islam
Modern di Tunisia: Studi Tentang Pemikiran Pembaharuan Syaikh Muhammad Thahir
bin ‘Asyur dalam jurnal Dirasat, vol.02, no.1 (2007), Rekonstruksi Peradaban Islam: Pandangan Ziauddin Sardar, dalam
jurnal Kordinat, vol. X, no. 2 (2009), Sejarah
Peradaban Islam Masa Klasik, Diktat Fakultas Tarbiyah IAIA (2011), Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam
(PPMDI), Buku Ajar STAI Indonesia Jakarta (2012).
[1] Makalah ini disampaikan pada
diskusi keempat Lecturer’s Study Club (LSC) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Indonesia Jakarta pada hari Rabu, 15 Januari 2013.
[2] Data ini diambil dari hasil penelitian The Pew Forum on Religion & Public Life pada tahun 2010, di mana umat
Islam Indonesia mencapai 205 juta jiwa atau 88,1 persen dari jumlah penduduk.
Lihat selengkapnya hasil penelitian ini pada
http://www.anashir.com/2012/05/102159/46553/10-negara-dengan-jumlah-penduduk-muslim-terbesar-di-dunia
7
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), h. 35-36.
[6]
Azyumardi Azra, Penelitian Non Normatif Tentang Islam:
Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab,
dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disipin Ilmu (Nuansa dan
Pusjarlit, Cet. Pertama, 1998), hal. 119.
[7] Azyumardi Azra, Penelitian Non Normatif Tentang Islam: Pemikiran Awal Tentang
Pendekatan Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab, 119.
[8]
Profesor Dr. H.M. Amin Syukur ,
MA dkk, Metodologi Studi Islam, (Gunungjati
Semarang dan IAIN Walisongo Press), t.t., hal 51.
[9] Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta;
Pustaka Firdaus, 1987), h. 105.
[10] Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, (Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama,
1997), hal. 4.
[11] Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, hal. 54.
[12] Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, hal. 69.
[13] Selengkapnya tentang ketiga sejarawan muslim
tersebut, lihat Drs. Badr
Yatim, MA, Historiografi Islam, (Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama, 1997), hal. 50-54.
[14] Lihat selengkapnya terkait faktor kemunduran
peradaban Islam pada masa bani Abbasiyah ini dalam buku Sejarah Peradaban
Islam, karangan Dr. Badri Yatim, MA, (PT RajaGrafindo Persada, cet. Ke-16,
April, 2004), hal 80-84.
[15] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Kitab Bahuan,
New Delhi, India, 198)1, hal 97.
[16] Muhammad Baqir Shardar, Manusia Masa Kini dan Problem Sosial, (Mizan, Bandung, t.t.) hal 115-126.
[17] Lihat selengkapnya dalam Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid
I,(UI Press, Cet. Kelima, 1985),
hal.56-74.
[18] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, hal.75-88.
[19] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, hal.88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar