Pemikiran Moderen dalam Islam di India dan Indonesia


Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.

1. Sir Sayyid Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan lahir pada 1817 di Delhi dalam lingkungan keluarga yang agamis di mana ia selalu mempelajari Al Quran dan bahasa Arab.  Ia putra seorang bangsawan dan pejabat pemerintah di Istana Sultan Mongol, Mir Mir Muragjen yang juga seorang sufi. Karena merasa bosan dalam pelajarannya, pada usia 21 tahun ia memutuskan untuk  bekerja pada pemerintahan Inggris, meskipun tidak diperkenankan oleh keluarganya.
Meskipun tidak menempuh pendidikan tinggi, Ahmad Khan sangat memperhatikan keadaan di sekelilingnya, terutama umat Islam yang sedang dalam kondisi buruk karena didominasi oleh sikap taqlid dan penuh dengan kecurigaan, apalagi terhadap segala sesuatu yang berasal dari Barat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa Inggeris pada masanya telah menancapkan cakar penjajahan di India selama beberapa tahun lamanya. Selain itu, ia juga aktif dalam menulis. Wilfred Cantwel Smith menyatakan bahwa Ahmad Khan banyak sekali menulis, terutama tentang sains abad pertengahan, teologi dan sejarah yang menunjukkan minatnya pada masa-masa bahagia ketika peradaban Islam di India sedang mengalami kemajuan.[1]
Pada 1857, ia menyaksikan betapa umat Islam India berada dalam suatu kondisi yang sangat menyedihkan setelah terjadinya pemberontakan. Kejadian ini sangat berpengaruh dalam dirinya yang kemudian menjadi dasar dalam ide-ide pembaharuannya untuk memajukan umat muslim India.
Pada 1869 Ahmad Khan berkunjung ke London selam tujuh bulan dengan tujuan melihat secara langsung kemajuan Barat dan menulisnya agar dapat dimanfaatkan oleh umat Islam di India.
Didasari kedua peristiwa di atas, bebeda dengan pemikir pembaharuan pendahulunya, Jamaluddin Al Afghani, yang memilih jalan perang, ia lebih memilih jalan kerjasama dengan pihak Inggris. Ini ia lakukan karena menurutnya, perbaikan kondisi umat Islam bukan dengan jalur politik tapi melalui jalur pendidikan. Karena itulah ia pada 1878 mendirikan Muslim Anglo Oriental College (M.A.O.C.) di Aligarh, suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya selain matapelajaran agama, dimasukkan pula matapelajaran bahasa Inggeris dan matapelajaran-matapelajaran tentang ilmu pengetahuan moderen. Usaha pembaruan di bidang pendidikan ini ia lanjutkan dengan mengadakan Konferensi Pendidikan Islam tahun 1886, 12 tahun sebelum akhirnya ia meninggal dunia pada 1898.
Pada perkembangannya kemudian, ide-ide pembaruan yang dicetuskan Sir Sayyid Ahmad Khan ini terwujud dalam suatu gerakan yang disebut Gerakan Aligarh. Dan karena kesuksesannya dalam pembaruannya di bidang pendidikan, M.A.O.C. pun ditingkatkan menjadi universitas pada 1920 yang hingga sekarang dikenal dengan nama Universitas Aligarh yang berfungsi tidak hanya sebagai produsen ilmuwan-ilmuwan Muslim India tapi juga sebagai pusat gerakan nasionalis Islam yang mencikalbakali berdirinya negara Pakistan.[2]
Selain dalam bentuk lembaga pendidikan, ide-ide pembaharuan Ahmad khan dituangkan melalui tulisan-tulisannya seperti Tafsirul Quran dalam bahasa Urdu dan Essays on the life of Muhammad. Dalam karya-karya tersebut, Wilfred melihat bahwa Ahmad Khan sangat percaya kepada Al Quran sebagai pemegang otoritas kebenaran mutlak, sedangkan Hadits berada pada urutan keduanya, bahkan ia menolak hadits-hadits yang berisi tentang moralitas sosial Islam dalam masyarakat Islam abad pertama dan kedua, dan menolak hukum fikih yng berisi tentang pengembangan moralitas di masyarakat berikutnya sampai zaman empat mazhab. Dengan demikian, tulis Wilfred kemudian, bahwa Ahmad Khan menerima hanya Al Quran dan memberikan relevansinya dengan masyarakat baru di zamannya sendiri dan menyangkal segala sesuatu selain Al Quran seperti otoritas para ulama, yang dianggapnya paling menentukan dalam agamanya.[3]
Selain itu, Ahmad Khan, sebagaimana diuraikan Wilfred sangat mengedepankan akal dalam melakukan interpretasi Al Quran yang menurutnya sangat mirip dengan pemikiran Mu’tazilah yang sering melakukan takwil. Mu’jizat baginya tidak pernah terjadi dan mi’raj nabi Muhammad hanyalah sekadar visi. Al Quran sendiri diartikan olehnya sebagai karya Allah Swt.[4]
Perlu diuraikan di sini bahwa di India, pemikiran pembaruan telah muncul pada abad ke-18, bersamaan waktunya dengan munculnya pemikiran pembaruan di Turki. Perbedaannya adalah bahwa di Turki, pemikiran pembaruan dalam kerangka pemerintahan di kesultanan Utsmaniyah yang sedang mengalami kemunduran, sementara di India, pemikiran pembaruan ini muncul dalam kerangka kerajaan Islam Mongol yang juga telah menurun kekuasaannya di India karena pengaruh Inggris yang mulai menjajah pada abad ke-17.[5] Pemikir pembaruan di India pada abad ke-18 ini di antaranya adalah Syah Waliyullah (1703-1762) pada awalnya dan dilanjutkan oleh Sayyid Ahmad Syahid (1752-1831) pada akhirnya memasuki abad ke-19, di mana pembaruannya dilanjutkan dengan Sayyid Ahmad Khan yang menjadi pembahasan kita kali ini.

2. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab India (Pakistan sekarang) pada 9 Nopember 1877[6] dalam keluarga Islam yang taat beragama di mana ayahnya adalah seorang sufi. Ia menempuh pendidikan formalnya pertama kali di maktab yang dilanjutkannya ke Scottish Mission School  di mana ia bertemu salah seorang yang kemudian berpengaruh kepada pemikiran keagamaannya, yaitu Sayid Mir Hasan.
Pada 1895, ia ke Lahore dan belajar di Government College di mana ia bertemu oleh Sir Thomas Arnold, guru besar Universitas Aligarh dan berkenalan dengan filsafat Barat darinya yang kemudian merekonmendasikannya untuk belajar ke Eropa. Pada tahun 1908 ia berhasil meraih gelah doktor dari Universitas Munich Jerman  dengan tesis tentang mistisisme Persia setelah sebelumnya berhasil mencapai gelar MA pada Universitas Cambridge di Inggeris. Ia pun sempat menggantikan gurunya Sir Thomas Arnold sebagai pengajar di Universitas London yang telah berusia lanjut.[7]
Pada tahun itu pula (1908) ia pulang ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara. Di samping itu ia juga aktif menggubah syair-syair sehingga ia terkenal sebagai pujangga dengan syair-syair yang menggelorakan semangat ajaran aktivismenya yang dinamis, ajaran tentang masa depan yang didasari nilai-nilai Islam yang sangat mengagumkan. Karirinya pun mulai menanjak sejak saat itu  di mana pada 1922 Muhammad Iqbal diangkat menjadi seorang bangsawan dan empat tahun kemudian menjadi anggota dewan legislatif pusat. Pada 1930 ia menjadi Ketua Liga Muslim.[8]
Ia meninggal pada 21 April 1938 setelah menderita penyakit kencing batu sejak 1935 sebelum ide negara Pakistan yang dicetuskannya menjadi kenyataan.
Dalam pandangan keagamaan, Iqbal membangunkan umat Islam yang menurutnya sedang terlelap dalam tidurnya dan menyerukan kepada mereka agar bersikap aktif dan dinamis dengan meninggalkan paham fatalisme dan mengambil paham kebebasan. Menurut Iqbal, sebagaimana ditulis Smith, hidup itu bukan untuk dikontemplasikan, namun harus dijalani dengan penuh semangat.[9] Oleh karena itu, pintu  ijtihad harus dibuka kembali seluas-luasnya, termasuk dalam lapangan fikih. Hal itu, menurut Iqbal karena sejak masa-masa yang sangat dini dalam sejarah Islam sampai masa Daulat Abbasiyah telah bermunculan berbagai mazhab fikih sebagai bukti diberlakukannya ijtihad.[10] Dalam hal ini, Iqbal mengkritisi pandangan sebagian ulama yang memberikan persyaratan ijtihad yang sangat ketat sehingga tidak mungkin dipenuhi yang mengakibatkan hukum Islam menjadi stagnan dan tidak berkembang. Umat Islam pun dilanda penyakit taqlid yang berkepanjangan. Ia mengatakan bahwa sikap pemagaran ijtihad dengan syarat-syarat yang sangat sulit ini merupakan sikap yang ganjil dalam sistem hukum yang didasarkan pada Al Quran yang mengandung satu pandangan hidup yang dinamis.[11]
Seruan untuk bergaya hidup yang dinamis dan meninggalkan sikap hidup yang pasif kepada umat Islam ini begitu  kerasnya dalam tulisan-tulisan Iqbal sehingga dapatlah dikatakan bahwa inilah inti dari seluruh ide-ide pembaharuannya yang diarahkan kepada umat Islam. Dalam suatu syairnya, sebagaimana dikutip Smith, Iqbal, berkenaan dengan ide dinamismenya sampai mengatakan bahwa seorang kafir yang dinamis adalah lebih baik daripada seorang muslim yang pasif. Berikut ini syairnya:
Seorang kafir yang berada di hadapan berhalanya dengan
Hati yang hidup (punya semangat)
Adalah lebih baik daripada orang beragama (Islam)
Yang tertidur di masjid.[12]
Namun hal itu bukan berarti rasa solidaritas Iqbal terhadap sesama umat Islam pudar, karena, sama dengan Jamaluddin Al Afghani, ia mengaku sebagai seorang Pan Islamis. Selain itu, ia juga sangat menekankan ukhuwah islamiyah dalam sya’ir-syairnya. Ia menghendaki adanya suatu jamaah Islam di mana seluruh umat Islam hidup adil dan makmur dalam satu persaudaraan tanpa dibatasi oleh suku, warna kulit dan etnik kedaerahan. Itulah yang merupakan ide Iqbal tentang negara Pakistan.
Selain itu, Iqbal sangat kritis dalam menghadapi dan menanggapi nilai-nilai Barat. Pada satu sisi ia menerima vitalitas dan dinamisme masyarakat dalam Barat dalam kehidupannya karena tidak bertentangan dengan Islam. Tapi, di sisi lain, ia mengecam nilai-nilai yang destruktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, ia tidak suka dan tidak rela meniru-niru demokrasi ala Barat. Ia sangat mengecam demokrasi Barat dan juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia juga menggambarkan peradaban Barat sebagai peradaban yang gelap karena kering dari nilai-nilai agama. Dalam suatu sya’irnya yang dikutip oleh Osman Raliby, Muhammad mengecam peradaban Barat dengan menulis:
“Wahai Bangsa Barat,
Bumi Tuhan ini bukanlah toko,
Emas yang kau sangka murni kini ternyata bernilai rendah.
Kebudayaan bakal bunuh diri dengan pedangnya sendiri,
Sangkar atas dahan yang lapuk tidaklah bisa menjadi aman”.[13]

3. Ahmad Dahlan

            Ahmad Dahlan lahir pada 1869, dengan nama Muhammad Darwis dalam keluarga yang taat beragama di Kauman Jogjakarta. Sebagaimana kebanyakan umat Islam pada waktu itu, ia tidak belajar di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda. Namun, hal itu tidak berarti ia tidak mempelajari ilmu pengetahuan umum. Selain belajar ilmu agama dari ayahnya, ia juga mempelajari ilmu falak dari gurunya Raden Dahlan dan ilmu kedokteran dari gurunya Syekh Muhammad Jamil Jambek.
            Pada 1890, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekah  belajar kepada Sayyid Santa sambil menunaikan ibadah haji. Kegiatan ini dilanjutkannya pada 1903 di mana ia belajar berbagai ilmu pengetahuan dari gurunya Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama besar dari Minangkabau yang juga guru Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU). Di sini, ia berkesempatan bertemu dengan Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh dan mempelajari karyanya yang terkenal, yaitu Tafsir Al Manar. Dari aktivitas haji yang kedua kalinya inilah Ahmad Dahlan mulai berpikir secara lebih mendalam tentang ide-ide moderennya dalam Islam.
            Sekembalinya dari Mekah, ia memulai transformasi ide-ide moderennya, baik sebagai guru pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah, maupun di organisasi-organisasi. Yunus Salam menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan selain sebagai pedagang, juga aktif di organisasi kebangsaan Budi Utomo sebagai salah satu pemimpinnya dan organisasi sosial Syarekat Dagang Islam (SDI) sebagai penasehat.[14]
            Karena dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh melalui muridnya Rasyid Ridha dan tafsirnya, ide-ide moderen Ahmad Dahlan yang termanifestasikan dalam organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan pada 12 Nopember 1912, tidak jauh berbeda dengan ide-ide pembaruan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Ia dalam bidang keagamaan sangat mengecam praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Dalam bidang pemikiran, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya menggunakan akal dalam memahami Islam. Berbeda dengan kebanyakan umat Islam pada masanya, ia memaknai makna tauhid sebagai teologi persaudaraan yang meliputi persaudaraan sesama umat Islam, yaitu ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan sesama manusia, yaitu toleransi antar umat beragama. Ide ini ia ungkapkan didasari oleh keadaan masyarakat Indonesia waktu itu yang sedang berada dalam penjajahan dengan tujuan agar seluruh masyarakat Indonesia mau saling membantu mewujudkan kepentingan bersama terlepas dari agama, etnik, suku bangsa maupun golongan. [15]
Selain itu, karena umat Islam didominasi oleh sikap taklid yang tidak produktif, dengan gerakan Muhammadiyahnya ia menyerukan  kepada umat Islam untuk kembali kepada Al Qur’an dan Hadis dan membuka kembali pintu ijtihad karena fatwa para ulama yang selama ini menjadi sandaran bukanlah kebenaran yang mutlak tanpa kemungkinan ada kesalahan di dalamnya. [16]
Dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan memandang perlunya ilmu pengetahuan umum dipelajari umat Islam agar mengejar ketertinggalannya dari Barat. Menurutnya, ilmu pengetahuan umum yang berasal dari Barat sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan agama. Oleh karena itu, ia pun mendirikan sekolah-sekolah yang di dalamnya terdapat perpaduan antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan dunia di samping melengkapi sekolah-sekolah pemerintah yang hanya mempelajari ilmu pengetahuan sekular dengan ilmu pengetahuan agama.[17]
            Selain menekankan pentingnya ilmu pengetahuan Barat, Ahmad Dahlan juga menerima sistem pendidikan Barat. Hal ini bisa dilihat dari sekolah-sekolah yang ia dirikan di mana tidak lagi merupakan sekolah-sekolah tradisional seperti pesantren yang dilakukan di dalam masjid atau surau. Sekolah-sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan adalah sekolah-sekolah moderen karena sudah merupakan bangunan tersendiri yang terdiri dari kelas-kelas sebagaimana yang diterapkan terlebih dahulu oleh pemerintah Belanda dalam sekolah-sekolahnya.
Sistem pendidikan Barat yang diadopsi Ahmad Dahlan, selain itu adalah jelasnya waktu belajar di sekolah. Berbeda dengan pesantren tradisional di mana waktunya yang tidak terikat, di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, telah diketahui dengan jelas kapan tahun ajaran baru dimulai dan kapan berakhir.
 Masalah hubungan antara guru dan murid juga menjadi salah satu sistem pendidikan yang diadopsi oleh Ahmad Dahlan. Ia, dalam sekolah-sekolahnya menekankan bahwa hubungan antara guru dan murid bukan hubungan antara raja dan rakyatnya di mana guru merupakan kata akhir yang tidak dapat dikritisi apalagi dibantah perkataannya.[18]
Dalam bidang sosial, pemikiran pembaharuan Ahmad Dahlan terwujud dalam sikapnya mengangkat martabat wanita dengan mendirikan organisasi khusus wanita, yaitu Aisiyah lima tahun setelah berdirinya Muhammadiyah. Ia berpendapat bahwa kedudukan laki-laki sama dengan perempuan. Oleh karena itu, wanita juga dapat berperan dalam masyarakat dan tidak terbatas pada perannya sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, ia pun merubah praktek sebagian umat Islam dalam pengelolaan zakat yang mengangap bahwa kyai mapun pejabat pemerintahan berhak menerima zakat karena hal ini bertentangan dengan Al Quran tentang para penerima zakat. Pembaharuan dalam pengelolaaan dana zakat dengan menjalankan manajemen yang moderen dikatakan oleh Mitsuo Nakamura dimulai sejak 1920.[19]
Pembaharuan Ahmad Dahlan dalam bidang sosial ini tercermin juga dalam sikapnya yang sangat peduli pada anak yatim yang ia demonstrasikan kepada para muridnya dalam memberikan pelajaran tafsir surat Al Ma’un. Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Yunan Yusuf, Mohammad Damami dan Muhammad Yusran Asrafi, Ahmad Dahlan waktu itu langsung memerintahkan kepada setiap satu orang dari muridnya untuk mencari seorang anak yatim miskin dan memberikannya seperangkat pakaian dan alat-alat mandi serta makanan. Setelah masing-masing melaksanakan perintahnya barulah pelajaran tafsirnya dilanjutkan.[20]

4. Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada 23 September 1919 dari seorang ayah yang berprofesi sebagai Penghulu dan Hakim Agama pada pemerintahan Belanda Tapanuli Selatan. Oleh karenanya, ia hidup dalam keluarga yang berkecukupan dalam ekonomi sehingga ia pun mendapatkan kesempatan bersekolah di HIS selama tujuh tahun. Ia juga hidup dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan yang ia nikmati di rumah di mana tiap hari ia mengaji dari pukul 16.00 hingga 17.00 dilanjutkan dengan setelah shalat maghrib. Pada pagi hari ia bangun untuk melakukan shalat Subuh berjamaah. Pada bulan Ramadlan, ia bertadarrus Al Quran hingga pukul 24.00.
            Pada 1934 Harun menempuh pendidikan di MIK, suatu sekolah swasta Islam moderen setingkat MULO di Bukittinggi. Di sini ia mulai mendapatkan pengaruh pemikiran moderen. Tapi karena merasa kurang nyaman, ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu sekolah guru Muhammadiyah (HIK) di Solo, namun tidak jadi karena ibundanya telah merencanakan kepergiannya ke Mekah dan menjadi guru di sana. Setelah bertemu dan berkonsultasi dengan Mukhtar Yahya, seorang alumnus Mesir, ia lebih tertarik mengikuti saran darinya setelah sebelumnya ia juga telah mengetahui tentang keadaan Mesir dari majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan Hamka.
            Agar tidak mengecewakan ibunya, ia pun ke Mekah dan mendalami bahasa Arab dengan niat dari sana akan terus ke Mesir. Setelah satu tahun setengah, ia pun tiba di Mesir pada 1938 setelah mendapat ijin dan uang dari orangtuanya di tanah air dan masuk ke Fakultas Ushuluddin di Universitas Al Azhar setelah lulus dalam ujian ahliyyah. Namun, karena kurang puas dengan sistem pendidikan di Al Azhar meskipun sudah lebih moderen dibanding di Majidil Haram, ia pun melanjutkan studinya di Universitas Amerika di Kairo. Karena masalah keuangan, kuliah di Universitas Amerikanya terbengkalai meskipun akhirnya selesai juga hingga tahun 1953 ketika ia disuruh pulang setelah menjadi atase di Kedutaan Indonesia di Mesir pada 1949. Pada 1955 setelah pemilu, Harun diangkat menjadi sekretaris Duta Besar di Belgia. Pada 1960 kembali ke Mesir setelah keluar dari kedutaan. Ia menekuni ilmu-ilmu keislaman kembali dengan belajar di Ad dirasat al islamiyyah. Salah satu dosennya adalah Abu Zahrah yang menurutnya moderen setelah merekomendasikan mandi dengan niat wudlu.
Namun, ia tetap tidak betah di sana dan kuliah pun dilanjutkan ke Universitas McGill setelah mendapat rekomendasi dari Abu Zahrah pada 1962 dengan beasiswa hingga meraih MA dan dilanjutkan dengan Ph. D pada 1968. Di sinilah Harun banyak belajar tentang Islam dari Barat yang moderen, baik dari kalangan orientalis maupun tidak. Ia berpendapat bahwa pengajaran Islam di Timur yang kurang kaku dan kurang rasional harus dirubah menjadi seperti di Barat yang sangat rasional. Karena latar belakang pendidikan agamanya, baik selama di Indonesia maupun di Mesir begitu kuat, ia lebih terpengaruh oleh filsafat Islam, tepatnya ilmu kalam. Dan disertasinya tentang Muhammad Abduh sebagai pemikir moderen sekaligus muktazilah adalah bukti  perhatiannya pada filsafat Islam dan sekaligus kemapanannya dalam pemikiran moderen.
            Maka dari itu, sepulangnya dari Kanada, Harun Nasution pun mencurahkan perhatiannya pada transformasi pemikiran Islam moderennya di Indonesia, khususnya di kalangan akademik, terutama di IAIN sebagai pusatnya. Dalam bidang pendidikan, meskipun ide-ide pembaruannya mengalami banyak kendala, akhirnya berhasil juga. Yang ia lakukan adalah modernisasi kurikulum. Pada aspek ini Harun menilai bahwa matakuliah-matakuliah umum,  terutama filsafat harus diajarkan karena matakuliah inilah yang menurutnya dapat merubah keadaan umat Islam menjadi maju. Titik tolaknya adalah bahwa pemikiran Mu’tazilah harus menggantikan pemikiran Asy’ariyah yang sangat dominan, karena dalam sejarah, umat Islam maju oleh kaum Mu’tazilah.[21]
            Di sini Harun Nasution, sebagaimana para pemikir moderen lainnya, menekankan pentingnya akal dalam memahami Islam. Akal baginya merupakan lambang kekuatan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya sehingga harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun, keinginan mengganti teologi Asy’ariyah dengan teologi Mu’tazilah bagi Harun bukan berarti mengedepankan akal dari wahyu sebagaimana disalahpahami sebagian orang karena Mu’tazilah juga menggunakan ayat-ayat Al Quran dan Hadis dalam mempertahankan pendapat mereka. Bahkan, dengan  mengutip An Nasysyar, Guru Besar Filsafat Islam Universitas Alexandria, Harun seakan ingin mengatakan bahwa Mu’tazilah terkenal sebagai orang-orang zahid, bertakwa dan banyak ibadah.[22]
            Pemikiran moderen Harun Nasution, salah satunya diuraikan dalam buku Islam ditinjau dari berbagai aspeknya yang disusun untuk keperluan IAIN dan perguruan-perguruan tinggi lain serta masyarakat umum. Pada kurikulum IAIN tahun 1975 buku ini merupakan matakuliah Komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa, apa pun jurusannya. Dalam buku ini Harun mengatakan bahwa dalam masyarakat waktu itu ada pandangan yang menganggap bahwa Islam itu sempit, padahal sebenarnya luas. Pandangan ini, menurut Harun keliru, oleh karenanya harus dirubah. Karena dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek lain seperti teologi, ajaran spirituil dan moral, sejarah, kebudayaan, politik, hukum, lembaga kemasyarakatan, mistisisme dan tarekat, filsafat, ilmu pengetahuan dan pemikiran serta usaha-usaha pembaharuan dalam Islam.[23]

5. Nurcholish Madjid

            Nurcholish Madjid lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, Kiai Abdul Madjid, yang dikenal sebagai pendukung Masyumi adalah seorang ulama alumni pesantren Tebuireng dan sekaligus murid dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu. Sedangkan ibunya adalah anak Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri yang juga teman dekat KH. Hasyim Asy’ari. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, Nurcholish menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968)[24], yang dilanjutkan dengan studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah dengan Fazlurrahman sebagai pembimbingnya yang sekaligus orang yang berpengaruh dalam pemikiran moderennya di Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa, Nurkholish aktif di organisasi mana pada periode tahun 1966-1969 dan 1969-1971 ia menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI. Ia juga menjadi Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) pada tahun 1967-1969, dan menjadi Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations) pada tahun 1969-1971.
Selain di organisasi, Nurcholish Madjid juga aktif dalam kegiatan ceramah dan tulis menulis. Yang terakhir ini ia mulai sejak ia masih menjadi mahasiswa pada tahun 1963 di mana ia mengirimkan hasil terjemahannya tentang fikih Umar bin Khattab ke majalah Gema Islam pimpinan Hamka. Setelah itu tulisannya banyak mengisi kolom-kolom di berbagai media masa di tanah air.
Tiga tahun setelah lulus dari IAIN, Nurcholish Madjid aktif dalam bidang pendidikan dengan mengajar sebagai dosen di almamaternya IAIN Syarif Hidayatullah, dan kemudian sejak tahun 1985 menjadi dosen pascasarjana di kampus yang sama. Ia juga aktif sebagai peneliti di LIPI sejak tahun 1978. Dan di luar negeri beliau juga sempat menjadi Guru Besar Tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, antara tahun 1991-1992.
Ide-ide moderen Nurcholish Madjid dikemukakan secara formal pertama kali pada 2 Januari 1970 pada acara silaturrahmi Idul Fithri atau halal bihalal yang diadakan bersama oleh empat organisasi pemuda dan mahasiswa muslim terkemuka waktu itu, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) dalam suatu makalah berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Dalam makalah ini, Nurcholish menyatakan bahwa pembaharuan pemikiran Islam adalah suatu persoalan yang mendesak, karena organisasi-organisasi Islam moderen seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis dan lainnya telah kehilangan elan mereka yang reformis dan dinamis dalam dunia moderen.[25]
            Kemudian, de-ide moderen ini pada 30 Oktober 1972 diungkapkan kembali oleh Nurcholish Madjid di dalam sebuah ceramah di Taman Ismail Marzuki yang dihadiri para cendikiawan-cendikiawan muslim dengan judul Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Indonesia, berupa penjelasan lebih lanjut dengan menguraikan masalah prinsip iman, prinsip amal saleh dan cita-cita keadilan sosial. Muhammad Kamal mengatakan dalam disertasinya tentang modernisasi di Indonesia dan respon para cendekiawan muslim terhadapnya bahwa ia hadir dalam acara tersebut dan Nurcholish waktu itu mengatakan dalam menjawab sebuah pertanyaan, bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah ada negara Islam, yang ada pada masa Nabi dan Khalifah pertama adalah negara-negara kesukuan.[26]
Menurut Nurcholish, pembaharuan pemikiran Islam ini dimulai dengan dua tindakan yang antara satu dengan yang lainnya erat hubungannya, yaitu membebaskan umat dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan proses yang disebut dengan liberalisasi dengan menerapkan sekularisasi, kebebasan berpikir, Idea of Progress dan sikap terbuka. [27]
Berbeda dengan sekularisme, sekularisasi menurut Nurcholish bukan berarti penerapan sekularisme, karena ini sangat bertentangan dengan Islam. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Tujuannya adalah untuk memantapkan tugas duniawi  sebagai Khalifah Allah di bumi, karena, menurut Nurcholish, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini. Jadi sekularisasi di sini menurut Nurcholish adalah desakralisasi terhadap sesuatu yang lain (dunia) daripada sesuatu yang benar-benar transendental (Tuhan) sebab sakralisasi kepada selain Tuhan itulah pada hakekatnya apa yang dinamakan “syirik” .
Dalam hal kebebasan berpikir, Nurcholish menyatakan bahwa hal ini dilakukan oleh setiap gerakan pembaharuan, baik perorangan maupun organisasi di mana pun di dunia ini dan kita harus mantap berkeyakinan bahwa semua bentuk pikiran atau pun ide yang umumnya dikira salah dan palsu, ternyata kemudian benar. Oleh karena itu, umat Islam diserukan untuk tidak ragu dan aktif mengambil inisiatif dalam berpikir bebas di dunia ini sehingga posisi-posisi strategis tidak diambil pihak lain yang akan merugikan kepentingan umat Islam sendiri.
Tentang idea of progress dan sikap terbuka, Nurcholish menyatakan bahwa sebagai umat Islam harus optimis menghadapi kehidupan dan tidak perlu khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata nilai-tata nilai duniawi manusia. Yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi perubahan ini, menurut Nurcholish adalah sikap mental yang terbuka, yaitu kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai duniawi dari mana saja asalkan mengandung kebenaran. Hal inilah yang menjadikan umat Islam dalam sejarahnya dalam mengambil warisan-warisan manusiawi baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persi), lanjut Nurcholish, melahirkan suatu kebudayaan dan peradaban yang dibanggakan.


[1] Wilfred Canttwell Smith,  Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 9.
[2] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 87.
[3] Wilfred Canttwell Smith,  Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 15-16.
[4] Wilfred Canttwell Smith,  Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 17.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 175.
[6] Sebenarnya tentang kelahiran Iqbal terdapat beberapa perbedaan. Miss Luce Claude Maitre, Osman Raliby dan Bachrum Rangkuti mencatat bahwa ia lahir pada 22 Pebruari 1873, sedangkan Wilfred Cant’well Smith mencatat kelahirannya tahun 1876. Namun yang terkuat adalah pada 9 Nopember 1877 di mana KBR Islam Pakistan memeringati 100 tahun kelahirannya pada tanggal 9 Nopemmber 1977. Lihat Drs. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam, h. 44.
[7] Drs. Muhammad Iqbal,  Rekonstruksi Pemikiran Islam, h. 47.
[8] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke-1, tahun 2004, h. 112.
[9] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke-1, tahun 2004, h. 113.
[10] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang, cet. ke-3, 1983, h.223.
[11] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang,cet. ke-3, 1983, h. 205.
[12] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke 1, 2004, h.115.
[13] Osman Raliby dalam Sedikit Tentang Iqbal dalam Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam,  Bulan Bintang, cet. ke-3, 1983, h. 15-16.
[14] Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, h. 10.
[15] Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, Penerbit Fajar Pustaka Baru, Cet. ke-1, 2000, h. 62-63.
[16] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (1900-1942), LP3ES, Cet. ke-7, 1994.
[17] Lihat Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, h. 68-70 tentang pembaruan gerakan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
[18] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, h. 70-72.
[19] Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Gajah Mada University Press, 1983.
[20] Lihat Muhammad Yunan Yusuf dalam Teologi Muhammadiyah : Cita Tajdid dan Realitas Sosial, h. 38-39, Mohammad Damami dalam Akar Gerakan Muhammadiyah, h. 93-94 dan Muhammad Yunan Asrofi dalam Kiyai Haji Ahmad Dahlan: Pemikirannya dan Kepemimpinannya, h. 50.
[21] Panitia Penerbitan Buku dan Seminar Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution dan LSAF, Cet. Ke-1, 1989, h. 37.
[22] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Cet ke 2, 2002 h. 58.
[23] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, UI Press, Cet. 5, 1985, h. 4.
[24] Sebelum belajr di IAIN, Nurcholish Madjid memiliki keinginan untuk melanjutkan studinya di Universitas Al Azhar, Mesir. Namun karena sesuatu hal ia tidak jadi ke sana. Ia pun akhirnya diberikan rekomendasi ke IAIN oleh KH. Syukri Zarkasyi, pimpinan Gontor waktu itu melalui salah seorang alumni Gontor karena Nurcholish tidak memiliki ijazah negeri.
[25] Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, PT Bina Ilmu, 1987, h. 117. Isi lengkap makalah ini bisa dilihat dalam lampiran buku ini.
[26] Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, PT Bina Ilmu, 1987, h. 126.
[27] Lihat lampiran dalam buku Modernisasi Indonesia yang telah disebutkan di atas pada halaman 245.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar