Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.
1. Sultan Mahmud II
Pemikiran pembaruan pada masa moderen di Turki dilakukan oleh Sultan Mahmud II (1808-1839) sebagai lanjutan upaya-upaya pembaruan sebelumnya yang dilakukan oleh Sultan Ahmad III (1703-1730) pada permulaan abad ke-18 antara lain dengan mengutus Celebi Mehmed ke Paris pada 1720 untuk melihat secara langsung kemajuan teknik, organisasi angkatan perang moderen dan kemajuan lembaga sosial lainnya agar dapat dijadikan model bagi pembaruan di Turki. Kemudian pembukaan percetakan di Istambul pada 1727, mendatangkan De Roche Fort, ahli militer Eropa untuk melatih tentara Turki pada 1729, dan mendirikan Sekolah Teknik Militer pada 1734. [1]
Pembaruan Sultan Ahmad III ini dilanjutkan pada akhir abad ke-18 oleh Sultan Salim III yang mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat, terutama para pengikut Jenissari yang berhasil menghalau usaha-usaha pembaruannya dan mencopotnya hingga terjadinya pembunuhan terhadapnya pada 1807.[2]
Upaya-upaya modernisasi di Turki sendiri pada dasarnya merupakan reaksi terhadap kekalahan kesultanan Utsmaniyah dalam perang melawan serangan Eropa di Wina pada 1683[3]. Sejak saat itu kesultanan Utsmaniyah mengalami kemundurannya yang paling dahsyat, sehingga para Sultan pun mulai berpikir bagaimana memajukan kembali kesultanannya ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengirim para duta ke negara-negara Eropa untuk melihat secara langusung kemajuan-kemajuan yang dicapai Eropa pada waktu itu.
Pembaruan pada masa Sultan Mahmud II pada abad ke-19 mendapatkan perlawanan yang sengit dari para ulama konservatif, sebagaimana yang terjadi pada abad ke-18 ketika hendak dilakukan pembaruan di Turki, sehingga segala usaha ke arah pembaruan sering mengalami kegagalan. Dan kalau dapat dikatakan bahwa pembaruan pada masa ini berhasil, itu di antaranya mungkin karena Sultan Mahmud II melakukan pembunuhan massal terhadap Jenissari, --kaum militan Turki yang anti pembaruan-- pada tahun 1829 dan menghilangkan segala hal yang menghalangi usaha-usaha pembaruannya dengan kekerasan.[4]
Setelah menghancurkan Jenissari, Sultan Mahmud II melanjutkan usaha pembaruannya, terutama dalam bidang militer dan administrasi pemerintahannya. Selain itu pembaruannya juga meliputi pembukaan lembaga-lembaga dan institusi-institusi sekuler, terutama sekolah-sekolah kemiliteran, dan pengiriman mahasiswa ke Eropa untuk menempuh pendidikan di sana. Sebagaimana ditulis oleh A. Mukti Ali, Sultan Mahmud II, setelah menghancurkan Jenisari telah mengirimkan pada rombongan pertamanya sejumlah 150 mahasiswa ke pusat-pusat pendidikan di Eropa.[5]
Dalam bidang administrasi pemerintahan, Sultan Mahmud II menghapuskan sistem feodal dan urusan wakaf dialihkan ke pengawasan suatu Direktorat, yang kemudian menjadi Kementerian Keuangan sehingga dominasi para ulama yang sebelumnya sangat signifikan di pemerintahan sedikit demi sedikit dikurangi karena gaji mereka yang dulunya berada dalam genggamannya sendiri telah dialihkan menjadi berada di bawah Departemen Keuangan Utsmaniyah, yang notabene adalah di bawah kekuasaan Sultan.
Selain itu, pembaruan Sultan Mahmud II juga dilakukan dengan merombak badan-badan di pemerintahan dan mendirikan badan-badan baru. A. Mukti Ali menyebutkan di antara badan-badan baru ini adalah Dewan Khusus atau Dewan Menteri yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri dan Dewan Tertinggi Urusan Pengadilan yang memiliki fungsi yudikatif dan legislatif dalam pemerintahan moderen.[6]
Pengiriman diplomat-diplomat ke negara-negara Eropa juga merupakan bagian dari pembaruan Sultan Mahmud II, karena melalui merekalah informasi-informasi tentang kemajuan di Eropa diperoleh untuk kemudian diterapkan di dalam kesultanan Utsmaniyah. A. Mukti Ali menyebutkan tiga orang yang berperan besar dalam membawa reformasi pembaratan sebagai Duta Besar, yaitu Mustafa Rasyid Pasya di Inggris, Ali Pasya di Prancis dan Fuad Pasya di Austria.[7]
Selain ketiga orang tersebut, sebenarnya ada satu orang lagi, sebagaimana disebutkan oleh Harun Nasution, yaitu Sadik Rif’at (1807-1856) yang menjadi duta besar pada masa Sultan Mahmud II. Sadik Rif’at ditugaskan menjadi Duta Besar ke Wina ketika Mustafa Rasyid Pasya yang sebelumnya juga menjadi Duta Besar di Inggris. Kepadanyalah ia mengirim laporan-laporannya dari Wina untuk diterapkan di Turki. [8] Menurut Harun Nasution, pikiran-pikiran dan ide dari Sadik Rif’at ini banyak mempengaruhi pembaharuan di Turki, khususnya di bidang pemerintahan. Ia mengatakan bahwa pikiran Sadik Rif’at untuk membatasi kekuasaan mutlak Sultan Utsmani terwujud dalam bentuk Piagam Syarif Gulhane pada tahun 1839 yang diperkuat kemudian dalam bentuk Piagam Humayun pada tahun 1856.[9]
Pada perkembangan selanjutnya ide-ide pembaruan Sadik Rif’at di atas dikembangkan oleh Namik Kemal (1840-1888) pada masa Sultan Abdul Hamid dengan ditandatanganinya konstitusi pertama dalam sejarah moderen di Turki pada tahun 1876.. Namun, sebagaimana disimpulkan oleh Harun Nasution, eksperimen konstitusi in gagal, terutama karena pada pasal-pasal yang tercantum dalam konstitusi tersebut nampak bahwa Sultan masih memiliki sifat otokrat yang dengannya ia melakukan pembubaran parlemen pada tahun 1878.[10]
2. Zia Gokalp
Zia Gokalp lahir di Diyarbakir pada 1875 dari keluarga negeri kesultanan Utsmaniyah. Semasa muda ia sudah menaruh perhatian terhadap masalah di kesultanan Utsmaniyah dan telah mempelajari sosiologi setelah sebelumnya, sebagaimana orang Islam Turki lainnya, ia mempelajari ilmu-ilmu agama termasuk tasawuf yang menurutnya tidak berguna bagi usaha-usaha intelektualnya. Perhatiannya terhadap sosiologi ini terus didalaminya dengan serius, terutama setelah bertemu dengan Naim Bey, salah seorang revolusioner Turki pada tahun 1900 yang mendorongnya untuk menulis di surat-surat kabar tentang masalah-masalah yang terjadi.[11]
Sejak tahun 1908 Zia Gokalp mulai terjun ke dunia politik di mana ia menjadi anggota Partai Turki Muda. Pada 1909 ia mengikuti Kongres Partai di mana pada waktu itu ia memulai menyebarkan ide-ide nasionalismenya dengan perantaraan Pena-pena Muda, suatu majalah berkala yang diterbitkan di Salonika. Selain di Pena-pena Muda, ia aktif di berbagai majalah terkemuka di Turiki, dan karena aktivitasnya dibidang tulis menulis inilah terutama di bidang sosiologi, Zia Gokalp, sebagaimana ditulis A. Mukti Ali mendapatkan penghargaan sebagai Guru Besar di Istambul pada 1913. [12]
Pada 1914 Zia Gokalp menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Apel Merah tentang masalah-masalah di Turki dalam sejarahnya di Asia Tengah. Karir politik Zia Gokalp berikutnya adalah ketika ia menjadi anggota delegasi ke Majelis Nasional Agung Turki sekaligus anggota Dewan Dewan Pendidikan Rakyat pada tahun 1923. Ini adalah jabatan politiknya terakhir karena pada 15 Oktober 1924 ia meninggal dunia dalam usia 49 tahun setelah ide-idenya tentang nasionalisme terwujud dalam bentuk Republik Turki[13]
Berkenaan dengan ide-ide moderennya, selain melalui Partai, Zia Gokalp menyuarakannya di berbagai tulisan-tulisannya, baik dalam bentuk puisi, prosa maupun artikel di majalah-majalah di Turiki. Ide-idenya itu sendiri terfokus ke masalah nasionalisme sehingga ia pun karena hal itu diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki. [14]
Dalam pembahasannya tentang nasionalisme sebagai fokus perhatiannya pada pembaruan di Turki, ia mengatakan bahwa bahasa adalah dasar nasionalisme yang terkuat. Orang-orang yang memakai bahasa yang sama biasanya memunyai asal keturunan yang sama. Selain itu, bahasa merupakan alat komunikasi yang penting dalam penyebaran ide-ide dan aspirasi. Antara nasionalisme Turki dan Islam tidak terdapat pertentangan, karena yang pertama menggambarkan kenasionalan, sedang yang kedua menggambarkan keinternasionalan.[15] Dengan pembaharuan nasionalisme Turki juga tidak bertentangan, karena untuk pembaharuan, yang perlu diambil hanyalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Dalam hal sintesis antara Islam, Turki dan pembaruan ini, dalam salah satu tulisannya yang dikutip oleh Mukti Ali, Zia Gokalp mengatakan: “Saya terbilang kepada bangsa Turki, saya terbilang kepada umat Islam, saya terbilang kepada peradaban Eropa”.[16]
Dalam gagasannya tentang nasionalisme yang terwujud dalam sintesis di atas, Zia Gokalp menekankan pentingnya modernisasi yang menurutnya bukan berarti mencontoh orang-orang Eropa dalam tata-lahir kehidupan, tapi melakukan segala usaha untuk mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa, karena menurutnya dalam hal-hal kerohanian, umat Islam tidak perlu mengambilnya dari Eropa. Selain masalah modernisasi, ia menyentuh aspek pendidikan di mana bertolak dari sintesis di atas, ia mengatakan bahwa pendidikan itu harus Turkis, Islamis dan moderen di mana ketiga elemen ini harus saling membantu dan melengkapi, sebab kalau tidak begitu, maka ketiganya itu akan menjadi pincang dan bertentangan satu dengan yang lain. Apabila pendidikan sekular itu melampaui batas, maka ia akan merusak cita-cita Turki dan Islam.[17]
Perlu diterangkan di sini, jika Zia Gokalp dikenal sebagai Bapak Nasionalisme Turki, namun ide nasionalisme sendiri bukan dia yang mencetuskan. Sebagaimana dikatakan oleh Harun Nasution, pencetus ide nasionalisme adalah Yusuf Ackura (1876-1933) yang melihat perlunya orang-orang Turki memikirkan kepentingan nasionalnya sendiri di samping kepentingan golongan Islam bukan Turki dan kepentingan golongan bukan Islam. Adapun Zia Gokalp, ialah yang memperkuat ide nasionalisme ini.[18]
3. Mustafa Kamal At Taturk
Mustafa Kamal Attaturk, selanjutnya disebut Attaturk lahir pada tahun 1881 dari ayah seorang pegawai negeri yang setelah pensiun menjadi pedagang kayu, Ali Reza Effendi. Karena keinginan ibunya, ia disekolahkan di sekolah rakyat setempat, namun karena merasa tidak betah, ia lari dari sekolahnya. Kemudian ia dipindahkan belajarnya di sekolah rakyat Shemsi Effendi yang menggunakan metode moderen dalam sekolahnya.
Pada usia 7 tahun ayah Attaturk meninggal dunia. Ia pun terpaksa pergi ke desa karena ibunya membawanya ke desa pamannya. Setelah beberapa lama ia dimasukkan ke sekolah di Salonika tempat bibinya berada. Karena berkelahi pada suatu hari dengan kawan sekelasnya ia dihukum dan akhirnya ia pun keluar dari sekolah itu.
Mungkin karena ia lebih tertarik menjadi tentara, Attaturk ketika mencoba memasuki sekolah militer menengah di Salonika, ternyata ia berhasil karena di sekolah tersebut kepandaiannya sudah nampak terutama di bidang matematika. Dua tahun berikutnya ia masuk akademi militer di Monastir, dan setelah menyelesaikan studinya di sana ia melanjutkannya ke Perguruan Tinggi Perang di Istambul dan lulus pada tahun 1905.[19]
Karir militer Attaturk dimulai ketika ia lulus dari Perguruan Tinggi Perang dengan pangkat Kapten Staf. Namun, berkenaan dengan perjalanan politiknya, Attaturk telah memulainya sejak di akademi militer di mana ia pernah dijebloskan kedalaam tahanan karena kegiatan-kegiatan politiknya. Ketika adanya pemberontakan dengan tuntutan diberlakukannya kembali Syari’ah oleh Ittihad-i- Muhammadi, suatu organisasi pan-Islamisme pada 1908, Attaturk diangkat menjadi Kepala Staf dalam Kesatuan Angkatan Darat untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Karir Attaturk selanjutnya hingga tahun 1913 adalah menjadi Panglima Resimen Infantri ke-38 ketika kembali ke Salonika, kemudian Kepala Staf ketika terjadi pemberontakan di Albania, Kepala Staf Umum di Istambul, Komandan Kesatuan ketika terjadi Perang Italia di Tripoli, Kepala Staf Korps Militer di Gallipoli selama perang Balkan Kedua pada tahun 1913 dan Atase Militer di Sofia setelah Perang Balkan berakhir dengan pangkat Kolonel. [20]
Karena prestasinya di Gallipoli sehingga diangkat menjadi Kolonel, Attaturk kemudian dikirim ke Edirn sebagai Panglima Angkatan Bersenjata di Diyarbakir. Di sini ia pun berhasil merebut kembali Mush dan Bitlis dari Rusia dan dianugerahi pangkat Jenderal. Setelah itu banyak peristiwa-peristiwa yang terkait dengan karir politik Attaturk yang tidak perlu diuraikan di sini hingga pada 29 Oktober 1923 ketika Turki diproklamasikan sebagai Republik dengan Attaturk sendiri sebagai Presidennya.[21] Sejak saat itulah Attaturk memulai pembaruannya di Turki hingga ia meninggal dunia pada 10 Nopember 1938 di Istambul setelah menderita sakit agak lama.[22]
Berkenaan dengan pemikiran pembaruannya ini, Attaturk memfokuskan perhatiannya pada pembentukan peradaban, dan yang dimaksudkan dengan peradaban di sini adalah peradaban Barat. Dengan kalimat lain, tema sentral ide-ide moderennya tercermin dalam ide pembaratannya. Turki, menurut Attaturk harus menjadi Barat dalam segala tindakannya. Oleh karena itu, segala hal yang tidak sesuai dengan tujuan ini harus ditinggalkan. Mukti Ali dalam hal ini menulis bahwa Atttaturk menolak ide sintetis antara peradaban Barat dan peradaban Timur sejak dari permulaannya.[23]
Sebagai pemikir moderen, pembaruan Attaturk terwujud dalam berbagai kebijakannya sebagai Presiden Republik Turki melanjutkan nasionalisme Zia Gokalp sebelumnya. Ia dalam hal ini menyatakan bahwa pemerintahan nasional didasarkan kepada prinsip-prinsip pokok pluralisme kerakyatan yang berarti bahwa kedaulatan dan semua kekuatan administrasi harus langsung diberikan kepada rakyat. Konsekuensi logis dari prinsip ini adalah hapusnya Kesultanan dan Kekhalifahan. Penghapusan kekhilafahan sendiri terjadi pada 3 Maret 1924 yang disetujui oleh Dewan Nasional Agung di mana pada peristiwa ini segala atribut kekhilafahan juga ikut diganti. Kementerian Syari’ah dan Awqaf dihapus, sistem pendidikan berada di bawah kendali Kementerian Pendidikan, jabatan Syaikhul Islam dihapus dan sekolah-sekolah serta perguruan-perguruan tinggi agama ditutup.[24]
Dalam bidang sosial, ide-ide pembaruan Attaturk teraplikasikan dalam keputusan-keputusan Presiden yang ia keluarkan sendiri yang ia mulai pada tahun 1925 di mana pada bulan September ia keluarkan keputusan tentang pelarangan memakai pakaian agama oleh orang yang tidak menjabat jabatan agama dan mewajibkan pegawai negeri sipil untuk memakai pakaian stelan Barat dan topi. Dua bulan kemudian ia mengeluarkan peraturan bahwa memakai topi wajib bagi laki-laki dan memakai turbus adalah suatu kejahatan.[25]
Dalam bidang perundang-undangan, Attaturk mengimplementasikan ide-ide moderennya pada Konstitusi Republik yang sudah akitif sejak 20 April 1924 di mana ia menghilangkan klausul “Agama negara Turki adalah Islam” pada 10 April 1928, suatu hal yang dengan sangat signifikan menjelaskan bahwa semangat sekularisme adalah dasar dari segala pembaruan yang dilakukan oleh Attaturk. Selain itu, ia juga mengganti huruf Turki dengan huruf latin melalui undang-undang yang disetujui oleh Dewan Nasional Agung pada 3 Nopember 1928.[26]
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, cet. ke-16, 2004, h. 178.
[2] A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Moderen, Djambatan, 1994, h. 35.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, cet. ke-16, 2004, h. 178.
[4] A.. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 14. Berbeda dengan tulisan Badri Yatim yang mengatakan bahwa pada masa Sultan Mahmud II pembaruan di Turki mengalami kemajuan setelah Yenissari dibubarkan pada 1826, atau dengan Y pada Yenissari dan selisih 3 tahun pada 1826 dengan yang disebut A. Mukti Ali sebelumnya. Lihat Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, cet. ke-16, 2004, h. 179.
[5] A.. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 37.
[6] A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 38.
[7] A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 39.
[8] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press, cet. Ke-1, 2002, h. 100.
[9] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press, cet. Ke-1, 2002, h. 101.
[10] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press, cet. Ke-1, 2002, h. 103.
[15] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press, cet. Ke-1, 2002, h. 104.
[18] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press, cet. Ke-1, 2002, h. 104.
[19] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 73.
[20] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 74.
[21] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. _é :
[22] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 92.
[23] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 92.
[24] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 85.
[25] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 86.
[26] Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, 1994, h. 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar