Oleh: H. Aip Aly Arfan, MA.
1. Khairuddin Pasya At Tunisi
Khairuddin lahir pada 1810 di Syarkasy dari keluarga Abadan di sebuah provinsi Rusia di Asia Tengah. Ia diculik pada waktu masih kanak-kanak dan dijual sebagai budak di Istambul di mana Tahsin Bek, seorang bangsawan Turki membelinya dan memeliharanya hingga dewasa hingga ia menjualnya kembali kepada Bey Ahmad Pasya, seorang penguasa Tunisia yang kemudian membawanya ke Tunisia .
Di Tunisia, Khairuddin tinggal di Istana Bey dan mendapat perhatian yang sangat baik oleh Tuannya dengan memberikannya kesempatan menempuh pendidikan secara baik layaknya seperti anaknya sendiri. Setelah menempuh pendidikan tradisional sebagaimana masyarakat muslim Tunisia waktu itu dan menguasai bahasa Arab, Prancis dan Turki, ia beralih ke karir yang ia mulai dari militer. Karena prestasinya yang luar biasa, setelah Bey Ahmad Pasya meninggal, ia diangkat oleh Bey Muhammad Pasya sebagai Menteri Peperangan selama 6 tahun sejak 1273-1279 H di mana ia mulai melakukan pembaharuan di bidang administrasi negara dan sarana-sarana sosial. Ia juga dipercaya untuk mengemban amanah sebagai Ketua Majelis Syura yang merupakan salah satu usahanya dalam melakukan pembaharuan di bidang pemerintahan.
Namun, karena mendapatkan banyak rintangan, Khairuddin mengundurkan diri dari Kabinet dan menjalani karir sebagai Duta Besar di negara-negara Eropa, yaitu Jerman, Prancis, Inggeris, Swedia, Belanda, Denmark dan Belgia. Dari pengalamannya sebagai Duta Besar di berbagai negara Eropa ini, ia mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan kemajuan yang dicapai Barat dan menulisnya dalam sebuah buku berjudul Aqwamul Masalik Fi ma’rifati Ahwalil Mamalik. Karyanya ini merupakan manifestasi dari pemikiran moderennya yang ia tulis untuk kepentingan dan kemajuan umat Islam. [1]
Pada waktu Tunisia mengalami masalah keuangan yang sangat berat pada 1286 H, Khairuddin dipaksa oleh Bey Muhammad Shadiq Pasya untuk menjadi ketua dalam Komite Keuangan. Setelah berhasil mengatasi masalah keuangan tersebut, karirnya terus menanjak hingga menjadi Perdana Menteri. Pada saat itulah ia melaksanakan kembali ide-ide pembaharuannya sehingga Tunisia berubah keadaannya dari kesusahan, kesempitan, morat-marit dan teraniaya menjadi aman, makmur dan teratur. Keadaan ini terus berlangsung hingga pada 1294 H. ia mundur dari jabatannya karena merasa terus diserang oleh lawan-lawan politiknya yang tidak menyukai berbagai kebijakannya.
Karir Khairuddin tidak berhenti sampai di sini, karena tidak lama setelah itu, tepatnya pada 4 Desember 1878 (1295 H.) ia diangkat menjadi Perdana Menteri di kesultanan Utsmaniyah untuk menyelesaikan masalah politik dan keuangan yang sangat berat hingga akhirnya ia dibebastugaskan oleh Sultan Abdul Humid hingga meninggal dunia pada 1889.
Berkenaan dengan ide-ide moderen, dalam bukunya Aqwam al-Masalik ini, pada bagian pendahuluannya, Khairuddin menerangkan keadaan umat Islam dan perlunya memperbaiki dan cara yang harus dilakukan untuk perbaikan itu. Ia, sebagaimana diuraikan oleh Mukti Ali, mencela umat Islam karena mereka tidak mau mengambil cara-cara Barat dalam perbaikan. Mereka menganggap bahwa apa saja yang keluar dari Eropa adalah haram dengan alasan yang bermacam-macam.[2]
Dari sini nampak bahwa Khairuddin sesungguhnya sedang berupaya mengingatkan umat Islam tentang pentingnya mencapai kemajuan sebagaimana yang telah dicapai oleh Barat. Dan Jika umat Islam ingin maju seperti negara-negara Barat, mereka tidak perlu merasa salah mengambil ilmu Barat untuk meraih kemajuan tersebut karena tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam masalah pemerintahan, ide moderen Khairuddin terwujud dalam pandangannya tentang perlunya suatu majelis syura yang berwenang menyikapi dan merespon segala permasalahan rakyat dengan sebaik-baiknya sehingga keputusan-keputusan Pemerintah tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ia, dalam hal ini mengecam tindakan-tindakan diktatorisme yang dilakukan pemimpin Islam dalam pemerintahannya. Sebagai contoh dalam penerapan pajak, Khairuddin mengecam tindakan pemerintahnya yang dengan seenaknya saja membelanjakan uang negara di mana jika telah kehabisan uang, maka yang dilakukan adalah dengan menentukan pajak-pajak baru.[3]
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa keadilan dan kebebasan merupakan dua tiang yang harus ada dalam suatu negara yang ingin maju. Penduduk Eropa yang mengalami kemajuan, menurut Khairuddin, hal itu terjadi karena adanya keadilan dan kebebasan ini. Itu hukum alam yang tidak akan berubah. Keadilan dan kebebasan pasti akan melahirkan kemakmuran.[4] Kebebasan yang dimaksud Khairuddin di sini meliputi kebebasan pribadi di mana seseorang itu bebas melakukan segala hal untuk kepentingan diri dan pekerjaannya, serta aman dan dilindungi dirinya, kehormatannya, harta bendanya dan persamaan bagi seluruh penduduk dalam hak dan kewajiban, dan kebebasan politik di mana setiap penduduk berhak ikut ambil bagian dalam pemerintahan dan berpartisipasi dalam penetapan undang-undang demi kepentingan bersama antar rakyat dan pemerintah.[5]
Dalam bidang pendidikan, ide-ide moderen Khairuddin teraplikasikan dalam wujud pembangunan sekolah-sekolah moderen, perbaikan perpustakaan dan pembenahan percetakan negara. Di sekolah-sekolah yang ia dirikan. tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga diajarkan di dalamnya ilmu-ilmu sekular di mana diajarkan pula bahasa Turki, Prancis dan Italia. Perpustakaan Jami’ Zaitunah yang pada waktu itu memiliki 1100 kitab tulisan tangan diatur dengan baik. Dan percetakan negara yang berwenang mencetak dan menyiarkan buku-buku diperbaiki sesuai dengan perkembangan jaman. Sementara itu, rakyat dianjurkan untuk berpartisipasi dalam menuangkan ide-ide mereka tentang politik di surat kabar Ar Raid At Tunisi terbitan pemerintah dan para pegawai pemerintahan diwajibakan untuk membaca surat kabar itu.[6]
2. Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali lahir pada 1765 dari keturunan Turki. Ia baru berusia 4 tahun ketika ayahnya meninggal dunia dan diasuh oleh pamannya. Pamannya pun meninggal dunia sehingga ia diambil oleh Gubernur dan dijadikan anak angkat dengan meminta sahabat ayahnya untuk mengasuhnya dengan biaya dari Gubernur.
Muhammad Ali sejak kecilnya tidak memperoleh pendidikan sebagaimana umat Islam kebanyakan pada waktu itu. Yang ia dapati adalah pengalaman-pengalaman di bidang kemiliteran. Namun, dalam bidang inilah ia berhasil meraih prestasi yang baik sehingga diangkat oleh kesultanan Utsmaniyah menjadi penguasa Mesir pada 1805.
Pada 1811 ia diperintahkan oleh pemerintahan Utsmaniyah untuk mengatasi masalah pemberontakan gerakan Wahabi di Saudi Arabia. Ia pun berhasil, dan setelah itu, bersama anaknya, Ibrahim Pasya, ia pun berniat menguasai pemerintahan pusat dan niatnya itu hampir berhasil kalau saja pemerintahan Inggeris dan Rusia tidak turun tangan membantu kesultanan Utsmaniyah. Ide untuk mandiri dengan memerdekakan diri dari kesultanan Utsmaniyah inilah yang membawa Muhammad Ali kepada ide nasionalisme. Maka, setelah Perjanjian London yang memaksanya untuk berkonsentrasi di Mesir, seluruh pemikiran pembaharuannya di fokuskan untuk kemajuan Mesir.
Ia berkeyakinan bahwa ketinggian dan kemajuan Eropa didasarkan atas kekuatan militernya yang didukung oleh kekuatan ekonomi yang membiayainya. Oleh karena itu, dalam pembaharuannya di Mesir, selain pembaharuan di bidang militer, pembaharuan di bidang ekonomi juga ia lakukan. Dan karena pembaharuan di kedua bidang tersebut memerlukan para ahli, maka untuk merealisasikan ide-ide pembaharuannya, selain mendatangkan para ahli dari Eropa, ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk melahirkan para ahli di kedua bidang tersebut. Untuk itu, didirikanlah Sekolah Militer di tahun 1815, Sekolah Teknik tahun 1816, sekolah kedokteran tahun 1827, sekolah pertambangan tahun 1834 dan sekolah pertanian tahun 1836. Ia juga mengirim pemuda-pemuda Mesir untuk belajar ke Eropa.
Pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali ini sebenarnya masih bersifat pragmatis di mana ilmu-ilmu pengetahuan sekular yang menjadi perhatiannya tidak dimasukkan dalam kurikulum Al Azhar, walaupun di masa lampau sains tersebut diajarkan. Karena, sebagaimana ditulis oleh Fazlurrahman, tujuan utama pendirian sekolah-sekolah tersebut sebelumnya adalah untuk menghasilkan pegawai-pegawai untuk pemerintahan dan administrasi.[7]
Tetapi dalam hal ini harus diakui bahwa melakukan pembaharuan di Al Azhar dengan memasukkan sains ke dalamnya adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan karena itu bertentangan dengan tradisi pengajaran yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Dalam sejarah pembaharuan di Mesir, Al Azhar baru memasukkan sains di dalam kurikulumnya pada 1961 atau lebih dari setengah abad setelah pembahruan Muhammad Ali dengan adanya fakultas-fakultas sekular seperti kedokteran, pertanian, teknik dan lain-lain. [8]
Oleh karena itu, usaha pembaharuan Muhammad Ali, sebagaimana telah disebutkan di atas memiliki nilai yang sangat positif dalam merintis gerakan pembaharuan dalam Islam di Mesir, karena usahanya tersebut telah membuat pemikiran moderen cepat berkembang di Mesir yang dilanjutkan oleh para pemikir lainnya seperti At Thahthawi dan Muhammad Abduh yang akan dijelaskan berikut ini.
3. Rifa’ah Rafi at Tahthawi
At Thahthawi lahir di Thahtha, suatu kota kecil di Mesir pada tahun 1801. Sebagaimana anak-anak muslim Mesir pada umumnya, at Thahthawi belajar ilmu-ilmu agama pada masa kecilnya. Pada usia 16 tahun ia melanjutkan studi ke Al Azhar.
Setelah menyelesaikan studinya di Al Azhar, sebagai salah seorang ulama al Azhar, At Thahthawi dikirim ke Paris menjadi Imam masjid di sana oleh Muhammad Ali Pasya, pemikir pembaruan yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1826. Selain bertugas sebagai Imam, At Thahthawi juga belajar banyak ilmu pengetahuan dan membaca karya-karya para pemikir Perancis seperti Voltaire, Montesquieu, Condillac, dan Rousseau..
Sekembalinya di Kairo setelah kurang lebih lima tahun di Paris, ia diangkat menjadi guru dan penerjemah di sekolah kedokteran. Tahun 1836, ia pun mendirikan akademi bahasa-bahasa dan menterjemahkan konstitusi dan hukum perdata Prancis ke dalam bahasa Arab.
Selain mengajar dan menerjemahkan buku-buku, AT Tahthawi juga menulis. Di antara tulisannya terdapat buku-buku mengenai pengalaman di Paris, tentang perekonomian, pemerintahan demokrasi, pendidikan dan ijtihad. Buku-buku itulah yang merupakan wahana baginya untuk menuangkan ide-ide pembaruannya.
Dalam upayanya menyebarkan ide-ide moderennya, atThahthawi sempat mendapatkan hambatan yaitu pada masa pemerintahan Abbas Hilmi I yang menutup lembaga penerjemahan yang ia dirikan dan mengasingkannya ke Khartum Sudan. Pada masa Sa’id ia diperbolehkan kembali ke Mesir dan melakukan aktivitas penerjemahannya kembali. Lalu pada masa pemerintahan Ismail, at Thahthawi dilibatkan dalam penerbitan Al Bulaq milik pemerintah. Di sini ia merekomendasikan buku-buku Arab klasik yang dianggapnya perlu diterbitkan, termasuk Al Muqaddimah, karya Ibn Khaldun yang sangat terkenal itu. yang meninggal dunia di Kairo pada tahun 1873.
Salah satu buku at Thahthawi yang menjadi salah satu referensi tentang pemikiran modernnya adalah At Thahthawi adalah Takhlis al-Ibriz ila Talkhis Bariz yang diterbitkan beberapa bulan setelah kembalinya dari Paris. Dalam buku ini, at Thahthawi menceritakan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Eropa, khususnya Perancis seperti kebersihannya, kedisiplinannya dan etos kerjanya yang sangat jauh berbeda dengan yang ada di Mesir, tanah airnya.
Adapun pemikiran-pemikiran moderen At Tahthawi, sebagaimana disimpulkan oleh Harun Nasution di antaranya adalah :
1. Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal akhirat saja tapi juga hidup di dunia.
2. Kekuasaan absolut raja harus dibatasi oleh syariat dan raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum terpelajar seperti dokter, ekonom dll.
3. Syriat harus disesuaikan dengan perkembangan moderen
4. Kaum ulama harus mempelajari filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan moderen agar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan masyarakat moderen
5. Pendidikan harus bersifat universal dan sama bentuknya untuk semua golongan. Wanita harus memperoleh pendidikan yang sama dengan pria. Isteri tidak hanya untuk tinggal di dapur.
6. Umat Islam harus dinamis dan berusaha meninggalkan sifat statisnya.[9]
Berkenaan dengan sains, dalam bukunya Manahij al Albab, Thahthawi menyatakan, sebagaimana dikutip Fazlurrahman, bahwa kaum muslim mesti mempelajari semua sains moderen, karena orang Eropa telah mengembangkannya sesudah meminjam dari kaum muslimin sendiri.[10]
4. Jamaluddin Al Afghani
Jamaluddin Al Afghani lahir pada 1838 dari keluarga bangsawan yang menguasai sebagian wilayah di Afghanistan sampai masa di mana raja Muhammad Khan mengambil alih kekuasaannya.[11] Dengan latar belakang yang demikian, ia memiliki kesempatan yang baik untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan, sehingga dalam usia 18 tahun ia sudah menguasai bahasa Arab, bahasa Persia, sejarah, hukum, filafat, di samping ilmu-ilmu agama.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Afganistan, ia berangkat ke India dan melanjutkan pendidikan tingkat tingginya di sana. Selain belajar, ia juga telah memulai pergerakan politik di India dalam mengusir penjajahan Inggeris. Pada 1857 ia ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan tinggal di Hijaz selama setahun. Setelah itu ia ke Palestina, melalui Irak dan Iran hingga ke Balluchistan. Dari sana ia kembali ke Afghanistan dan menjabat sebagai pembantu raja Muhammad Khan dan menteri dalam pemerintahan Azam. Karena pemerintahan Azam ditaklukkan oleh oposisi di bawah pimpinan Shir Ali yang didukung Inggeris, ia meninggalkan Afghanistan dan pergi ke India dan meneruskan perjuangan politiknya di sana. Karena dianggap mengganggu stabilitas politik di India, Inggeris yang pada saat itu telah menjajah India mengusirnya karena dianggap berbahaya. Ia pun ke Mesir pada 1871 atas permintaan dari Risyad Pasya, Perdana Menteri Mesir waktu itu dan menekuni bidang pendidikan dan pengajaran.[12]
Karena keadaan politik di Mesir kala itu yang memanas terutama pada 1876 di mana pemerintah asing mencampuri urusan dalam negeri pemerintahan Mesir, ia pun aktif kembali dalam kegiatan politik di mana pada 1879 ia mendirikan Partai Nasional (al hizbul wathani). Usahanya untuk menggulingkan raja Mesir, yiatu Khedive Ismail berhasil, meskipun Taufik, sebagai penggantinya dengan tekanan dari pihak Inggeris mengusir Afghani keluar dari Mesir pada 1879.
Pengembaraan politiknya yang sangat padat dan beragam, sejak di Afganistan, India hingga Mesir yang berada dalam cengkraman penjajahan Inggeris, sebagaiman diuraikan di atas, telah mengantarkan Al Afghani memfokuskan ide-ide pembaharuannya pada ide Pan Islamisme (Kesatuan Islam/Jama’ah Islamiyah). Ia berpendapat bahwa Barat adalah musuh umat Islam, oleh karena itu, salah satu jalan agar umat Islam bangkit dari keterpurukannya adalah dengan bersatu padu melawannya. Ide-ide pembaharuannya yang dituliskan Afghani dalam majalah Al Urwatul Wutsqa bersama muridnya Muhammad Abduh terbit di Paris hanya selama delapan edisi dari 13 Maret hingga 17 Oktober 1884 karena dilarang pemerintah Inggeris yang merasa politiknya terancam.
Salah satu ide moderen Al Afghani terwujud dalam penolakannya terhadap teori evolusi Darwin dalam bukunya Ar Raddu ‘aladdahriyyin. Ia menganggap bahwa aliran evolusi Darwin melahirkan pengingkaran akan adanya Tuhan sekalipun Darwin sendiri bukan orang yang mengingkari Tuhan karena pada masa Darwin inilah tersebar mterialisme yang mengatakan bahwa alam ini mempunyai satu dasar, yaitu materi, dan tidak ada yang lainnya, dan segala sesuatu dalam kehidupan ini merupakan manifestasi dari materi itu, termasuk pikiran dan perasaan. Materi itu tidak akan hilang dan tidak akan rusak. Dan hukum-hukum yang mengenainya abadi, tidak akan berubah. Ia azali dan abadi. Dan sebenarnya di alam semesta ini tidak ada sesuatu yang binasa, tetapi segala sesuatu itu berubah dalam bentuk. Karena itu tidak ada jiwa, tidak ada ruh, tidak ada agama dan tidak ada Tuhan.[13]
5. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di sebuah desa bernama Mahallatu Nasr, Mesir dari kedua orang tua yang sederhana. Belajar membaca dan menulis pertama kali didapatkannya di rumah orang tuanya sendiri. Pada umur 10 tahun, telah hapal Al Quran dengan baik. Menginjak umur 15 tahun, pergi ke "Al Jami Al Ahmadi" di Thontho untuk belajar Ilmu Tajwid dan Tatabahasa Arab, tetapi tidak kerasan dan hampir saja keinginannya menuntut ilmu hilang dari dirinya dan beralih ke tani, jika tidak bertemu dengan salah seorang paman dari ayahnya, Syeikh Darwisy, seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran as Sanusiah yang sejalan dengan aliran Wahabiyah dalam hal ajakannya untuk kembali kepada corak Islam yang pertama yang bersih dari bid’ah. Apa yang ia pelajari bersama gurunya ini menjadi salah satu aspek pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh kemudian.[14]
Pada tahun 1866 dan berumur 17 tahun, ia berangkat ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikannya selama tiga tahun, tetapi hal itu tidak memberikannya banyak faedah karena sistem belajar di Al Azhar waktu itu yang sangat menekankan hapalan tanpa diiringi dengan pemahaman yang semestinya sehingga ia berhenti kuliah dan pergi mengamalkan zuhud dan menyendiri hingga akhirnya bertemu dengan Jamaluddin Al Afghani dan berguru kepadanya.
Pada tahun 1876, setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Al Azhar, Muhammad Abduh mengajar sejarah di universitas Darul Ulum selain mengajar di Universitas Al Azhar dan madrasah-madrasah yang berada di bawah naungannya. Pada saat yang sama, ia aktif menulis mengikuti gurunya Al Afghani di berbagai surat kabar, terutama Al Ahram dan terjun ke dunia politik.
Pada tahun 1884, tepatnya di musim panas, ia berangkat ke Inggeris sebagai wakil dari "Al Urwatul Wusqo" di London dan menemui para politikus Inggeris untuk membicarakan masalah Mesir dan eksistensinya. Yang terpenting adalah pembicaraannya dengan Lord Huntington, Menteri Peperangan Inggeris tentang keinginan rakyat Inggeris untuk merdeka dan bebas dari penjajahan Inggeris. Pada kesempatan itu, ketika disindir dengan perkataan Lord Huntington bahwa bangsa Mesir merasa senang berada di bawah kekuasaan Inggeris, ia mengatakan bahwa keinginan untuk merdeka dari suatu penjajahan asing adalah fithrah manusia yang hadir bahkan dari bangsa yang terliar seperti "Zoolos". Karena pembicaraannya tersebut umur Al Urwatul Wusqo hanya sampai edisinya yang keempat belas.
Pada tahun 1885, ia pergi ke Beirut dan mengajar ilmu kalam di "madrasah As Sulthaniah" . Pelajaran inilah yang kemudian menjadi salah satu buku yang ditulisnya, yaitu "risalah tauhid". Selain mengajar, ia pun mendirikan organisasi keagamaan dengan tujuan utamanya yaitu mendekatkan tiga agama besar: Kristen, Yahudi dan Islam, dimana pendeta Ishak Taylor beragama Kristen menjadi salah satu anggotanya.
Pada tahun 1888, dan berumur 40 tahun, ia kembali ke Mesir dan menjadi Hakim dan Penasehat di sana. 10 tahun kemudian, menjadi mufti Mesir dan anggota majelis syuro bidang hukum. Pada saat menjadi Hakim, fatwanya yang terkenal adalah:
1. bahwa umat Islam diperbolehkan menabung di bank dan memanfaatkan bunganya.
2. Bahwa umat Islam diperbolehkan memakan makanan yang disembelih oleh selain Islam.
3. Bahwa umat Islam diperbolehkan memakai pakaian selain pakaian asli mereka.
Sebelum meninggal, ia juga menjadi salah satu peletak dasar "Al Jamiyyah Al Khairiyah" yang bertujuan membantu para fakir miskin. Dan pada tahun 1905 ia meninggal dunia.
Dalam masalah keagamaan, ia berpendapat bahwa Islam yang dianut oleh sebagian umat Islam bukan Islam yang sebenarnya, suatu hal yang menjadi kan umat Islam terasing dari masyarakatnya sendiri. Abduh yang pada masa mudanya juga sebagai sufi, berpendapat bahwa tasawuf yang benar adalah tasawuf yang dilakukan tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai anggota masyarakat.
Berkenaan dengan praktek sufi ini, pada suatu hari, ketika diundang pada suatu perayaan oleh para syuyukh Al Azhar, ia menolaknya. Pada saat ditanya sebabnya ia menjawab: "Saya tidak mau memperbanyak orang-orang fasik, perayaan ini adalah suatu kemungkaran. Abduh berpendapat bahwa berkah dari sufi dan keyakinannya adalah bertentangan dengan Syariat. Orang-orang Islam telah menjadikan para wali sebagai sekutu bagi Allah. Mereka pergi ke kubur untuk memohon hajat, baik untuk disembuhkan penyakitnya ataupun dimurahkan rezekinya. Padahal sebelumnya ziarah kubur dilakukan untuk menjadikan orang-orang yang meninggal itu sebagai pelajaran bagi mereka yang masih hidup.
Singkat kata, pemikiran moderen Abduh terhadap tasawuf yang sangat berkaitan dengan masalah keagamaan (akidah) ini dapat disimpulkan sabagai berikut:
1. Al-Qur'an dan Sunnah amaliah yang mutawatir hukumnya adalah qath'i. Selain keduanya bisa dibedakan antara yang shahih dan yang tidak.
2. Dalam segala hal yang berhubungan dengan akidah, kita tidak harus percaya 100% kepada hadits, terutama yang disebut "ahaditsulahad". Apalgi jika hanya perkataan manusia.
3. Para wali itu bukan nabi yang maksum sehingga segala perkataannya harus dituruti.
Berkenaan dengan Al Quran, ia menyatakan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang hidup bermasyarakat tidak banyak dan itu pun hanya disebutkan secara umum. Dengan demikian, ajaran-ajaran tentang hidup bermasyarakat dalam Islam senantiasa dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, menurutnya, sikap taklid harus dibuang dan ijtihad dihidupkan kembali. Ia, dalam hal ini memberi penghargaan yang tinggi kepada akal dan Islam adalah agama yang sangat rasional. Bahkan ia mengatakan bahwa jika terdapat ayat-ayat yang pada lahirnya bertentangan dengan pendapat akal, maka harus dicarikan interpretasi terhadapnya sehingga selaras dengan pendapat akal. Karena apresiasinya yang tinggi terhadap akal ini, pemikirannya memiliki persamaan dengan Mu’tazilah.
Dalam hal kejumudan yang terdapat di kalangan umat Islam, Muhammad Abduh sangat kritis. Ia berpendapat bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan moderen, oleh karenanya sifat jumud atau statis yang menyebabkan umat Islam berhenti berpikir dan berusaha harus dihilangkan dan diganti dengan sifat dinamis sebagaimana yang diterapkan pada jaman Islam klasik yang dengan dinamisme dan inovasi-inovasinya telah mencapai suatu peradaban yang sangat tinggi.
Berbeda dengan gurunya, Muhammad Abduh lebih memfokuskan ide-ide moderennya pada bidang pendidikan. Oleh karena itu, sebagai wujud realisasi pembaruannya di bidang ini, Muhammad Abduh melakukan reformasi di dalam Al Azhar dengan memasukkan matapelajaran-matapelajaran tentang ilmu pengetahuan moderen. Ia berpendapat bahwa selain matapelajaran agama, matapelajaran umum juga perlu dipelajari umat Islam, baik di tingkat madrasah maupun perguruan tinggi.
Pemikiran moderen Muhammad Abduh memiliki pengaruh baik di Mesir sendiri maupun di dunia Islam lain, seperti Syria, Tunisia dan Indonesia melalui buku-buku yang ditulisnya sendiri, atau melalui mahasiswa-mahasiwa yang belajar di Al Azhar dan juga melalui murid-muridnya, terutama Rasyid Ridha. Yang terakhir ini, secara khusus menulis pemikiran-pemikiran gurunya dalam majalah Al Manar dan Tafsirnya.
[1] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 203.
[2] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 204.
[3] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 208.
[4] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 209.
[5] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 212.
[6] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, h. 217.
[7] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 69.
[8] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 120.
[9] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, h. 97.
[10] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 74.
[11] Mukti Ali menulis bahwa nasab Jamaluddin Al Afghani sampai kepada Hasan bin Ali, sehingga ia dipanggil dengan sebutan Sayid dalam bukunya Alam Pikiran Moderen Islam di Timur Tengah, Djambatan, tahun 1995, h. 259.
[12] Mukti Ali menyebutkan bahwa kegiatan Al Afghani dalam bidang pendidikan dan pengajaran ini dibagi menjadi dua, yaitu mengajarkan pelajaran ilmiahnya secara teratur di rumahnya dan secara praktis di rumahnya pada saat dikunjungi oleh orang-orang maupun para pembesar maupun di rumah para pembesar tersebut dalam acara kunjungan balasan.
[13] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Dalam Islam di Timur Tengah, h. 279.
[14] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Moderen Dalam Islam di Timur Tengah, h. 435.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar